• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER (TELAAH PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER (TELAAH PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN) - Test Repository"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

i

MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM

BERKEADILAN GENDER

(TELAAH PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh:

ENDANG DWIJAYANTI

NIM: 111-12-147

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

MOTTO

Sesungguhnya laki-laki muslim dan perempuan muslimah, laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, laki-laki yang taat dan perempuan yang taat, laki-laki yang benar dan demikian juga perempuan yang benar, laki-laki penyabar dan perempuan penyabar, laki-laki yang khusyu‟ dan perempuan yang khusyu‟, laki-laki yang gemar bersedekah dan perempuan yang gemar bersedekah, laki-laki yang sering kali berpuasa dan perempuan yang sering kali berpuasa, laki-laki yang selalu memelihara kemaluannya dan perempuan yang selalu juga memelihara kehormatannya, laki-laki yang banyak berdzikir menyebut nama Allah dan perempuan yang banyak berdzikir menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk tiap-tiap orang dari mereka ampunan dan pahala yang

besar.” (Q.S. al-Ahzab: 35)

(7)

vii

PERSEMBAHAN

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan izin Allah SWT skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Almarhum ayahku Subur Santoso yang dulu telah membiayai pendidikanku sampai perguruan tinggi, kemudian ibuku Punarwati yang sabar dalam membimbingku. Adikku tercinta Angkus Hadidayasa yang sangat menyayangiku, tidak lupa juga kepada seluruh keluargaku phakdhe, budhe, kakak-kakak sepupuku.

2. Dosen pembimbing skripsi Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si. yang sabar dalam membimbing, mengarahkan, menghargai, memantapkan rasa percaya diri saya dan mengerti akan keterlambatan saya dalam penyusunan skripsi ini.

3. Kepada Ahmad Dimyati dan Siti Alfijah yang sudah ku anggap sebagai orang tuaku, terima kasih untuk semangat dan nasihatnya. Selalu memberi sambutan hangat di setiap kunjungan saya.

4. Sahabat-sahabatku Fajri, Lia, Aisyah, Rouf, Anis, Wulan, Agus, Maftukhin, Murni, yang selalu mendukung dan mendengarkan ceritaku.

(8)

viii

mendoakan dan memberi dukungan. Terima kasih karena sudah diizinkan dan diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari LPM DinamikA. Tidak lupa juga untuk kawan persma lainnya.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini meski masih jauh dari kata sempurna. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Rasulullah Muhammad SAW sang revolusioner, semoga kelak dapat berjumpa dan mendapat syafaatnya di hari akhir.

Penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari beberapa pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Suwardi, M.Pd. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. 3. Siti Rukhayati, M.Ag. Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam.

4. Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si. dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan pikiran dan waktunya dalam proses penyelesaian skripsi ini. 5. Dra. Ulfah Susilowati, M. Si. selaku Pembimbing Akademik.

6. Ibuku (Punarwati) dan adikku (Angkus Hadidayasa) saudara-saudaraku. 7. Keluarga besar LPM DinamikA baik alumni, demisioner, teman-teman

seperjuangan, maupun adik-adik angkatanku yang selalu mendukungku. 8. Sahabat-sahabat ku yang selalu sabar mendampingi dan menyemangatiku. 9. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu

(10)

x

Terselesainya tulisan ini selain sebagai bentuk tanggung jawab pengenyam perguruan tinggi tentunya kelak akan menjadi salah satu referensi. Semoga dapat menjadi sumbangan pemikiran dan kajian literasi dalam keberlangsungan pendidikan khususnya Perguruan Tinggi Islam. Semoga bermanfaat.

Salatiga, 20 Maret 2017 Penulis

(11)

xi

ABSTRAK

Dwijayanti, Endang. 2017. “Membangun Paradigma Pendidikan Islam

Berkeadilan Gender (Telaah Pemikiran Riffat Hassan)”. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si.

Kata kunci: Pendidikan Islam, Gender, Riffat Hassan.

Salah satu penyebab yang melanggengkan konstruksi sosial budaya yang

mengakibatkan ketidakadilan gender adalah pemahaman agama. Istilah „bias gender‟ yang berangkat dari pemahaman agama yang berat sebelah seolah melanggengkan sebuah hegemoni yang didominasi pada salah satu jenis kelamin. Minimnya pengetahuan tentang gender tanpa disadari mempengaruhi pola pikir dan sikap dalam memandang realita. Meski tidak disebutkan secara eksplisit jika menengok sejarah jelas terlihat bagaimana Islam datang untuk menegakkan keadilan gender. Kalaupun benar ada ketimpangan dalam penafsiran maka harus ditelaah kembali pijakan teologi Islam yang menjadi sumber Pendidikan Islam yaitu al-Qur‟an dan hadis.

Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep Pendidikan Islam yang berkeadilan gender; (2) Bagaimana hubungan Pendidikan Islam dengan gender; (3) Kontribusi apa yang diberikan Riffat Hassan untuk mewujudkan Pendidikan Islam yang berkeadilan gender.

Temuan penulis berkaitan pertanyaan yang ada yaitu (1) Konsep Pendidikan Islam berkeadilan gender berangkat dari nilai persamaan, kemanusiaan, dan keseimbangan. (2) Hubungan Pendidikan Islam dengan gender menuntun untuk terwujudnya relasi antara laki-laki dan perempuan. Derajat kemanusiaannya sama dimata Tuhan, bukan karena jenis kelaminnya melainkan ketaqwaannya. (3) Kontribusi Riffat Hassan dalam rangka menegakkan keadilan gender yaitu melakukan interpretasi ulang terhadap teks keislaman terutama

(12)

xii

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Telaah Pustaka...10

F. Metode Penelitian... 14

G. Penegasan Istilah ... 16

(13)

xiii

BAB II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER

A. Pengertian Pendidikan Islam ... 21

B. Pengertian Keadilan Gender ... 22

C. Tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender ... 30

D. Gender dalam Al-Qur‟an... 31

E. Nilai-Nilai Keadilan Gender ... 33

BAB III RIFFAT HASSAN DALAM TELAAH KEADILAN GENDER A. Biografi Riffat Hassan... 39

B. Latar Belakang Pendidikan ... 42

C. Dasar Pemikiran Riffat Hassan ... 45

BAB IV ANALISIS TRANSFORMATIF KEADILAN GENDER A. Menyibak Eksistensi Perempuan ... 54

B. Rekonstruksi Interpretasi Mitos Perempuan ... 64

C. Elaborasi Kajian Riffat Hassan dalam Pendidikan Islam ... 78

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 96 DAFTAR PUSTAKA

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar SKK

2. Nota Pembimbing Skripsi 3. Lembar Konsultasi

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gender bukanlah sebuah kajian baru, selain menjadi wacana akademis kajian ini berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu (perspektif). Istilah responsif gender, sensitif gender, berwawasan gender, bias gender bahkan diskriminasi gender merupakan bagian dari problematika sosial. Meski istilah ini sering di dengar oleh khalayak umum akan tetapi belum tentu setiap individu paham bagaimana hal tersebut bisa muncul. Apabila rancu dalam memahami makna ini maka akan berdampak pada cara pandang dimana nanti akan mempengaruhi sikap.

Gender menjadi sebuah permasalahan yang kompleks dan cukup signifikan karena menyangkut kehidupan umat manusia. Pokok bahasan yang menarik dan sering mendapat sorotan pada kajian ini yaitu perempuan. Dunia perempuan memang menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji atau diperbincangkan. Seringnya mendapat sorotan layaknya seperti makhluk istimewa, bukan hanya keindahan yang selalu dilekatkan pada dirinya melainkan ada sisi lain yang mungkin perlu diungkap mengenai keberadaannya.

(16)

2

keberadaannya sebagai makhluk the second classmelewati proses yang cukup panjang. Menghadapi sebuah struktur yang timpang dimana jenis kelamin laki-laki lebih diunggulkan atau diutamakan, label inferior (rendah) dilekatkan pada dirinya. Jika memang demikian maka perlu dilakukan penelusuran mengapa hal tersebut terjadi bahkan memberi dampak yang kurang menyenangkan. Terlebih lagi perempuan juga makhluk ciptaan Tuhan yang tentunya memiliki nilai kemanusiaan sama halnya laki-laki.

Ketimpangan ini menjadi problematika ketidakadilan sosial dimana perempuan kurang mendapat tempat. Gender merupakan salah satu bagian dari masalah ketidakadilan sosial, superioritas (pengunggulan jenis kelamin) laki-laki melekat dalam budaya masyarakat. Sering mendapat tempat sebagai pilihan utama dengan dalih memiliki keunggulan dan keutamaan. Kemudian hal itu berdampak menjadi sebuah hierarki atau hegemoni yang didominasi laki-laki.

(17)

3

Pendidikan Islam dibangun berdasarkan dua landasan teologis yang menjadi dasar utama yaitu al-Qur‟an dan hadis. Konsep Pendidikan Islam dirumuskan melalui kerangka metodologi dan dihimpun berdasarkan tema atau pokok bahasan tertentu. Perspektif agama selalu diutamakan dalam menghadapi ataupun memecahkan problematika umat. Kemudian perlu ditelusuri juga apakah memang benar dalam ajaran Islam pun perempuan dalam posisi subordinat dan termarginalkan.

Sejarah menunjukkan bagaimana Islam memuliakan perempuan dengan menghapuskan praktikdiskriminasi masyarakat Arab jahiliyah. Sebelum Islam datang sungguh miris nasib perempuan saat itu, bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Perempuan menjadi bagian dari warisan layaknya properti, maraknya praktik poligami banyaknya masyarakat Arab yang memiliki istri lebih dari satu. Nilai kemanusiaan perempuan saat itu kurang mendapat perlakuan baik, maka lahirnya Muhammad saw. sebagai utusan Tuhan diperintahkan untuk membebaskan perempuan dari berbagai praktik diskriminasi.

(18)

4

perlakuan yang adil. Tindakannya ini merupakan salah satu wujudkomitmen dalam mengemban misi kemanusiaannya.

Islam menegaskan bahwa perempuan bagian dari ciptaan Tuhan, pada kisah Siti Maryam yang tertulis pada Q.S. Ali-Imran: 195 ketika Imran dan istrinya bernadzar maka muncullah redaksi,“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik seorang lelaki ataupun perempuan, (karena) sebagian kamu dari sebagian yang lain...., dari ayat ini maka muncul bahwa dimata Tuhan baik laki-laki dan perempuan kedudukannya sama. Disinilah tampak bagaimana Islam pun memanusiakan manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Bahkan Islam pun mengakui intelektualitas kaum perempuan salah satunya ibunda Aisyah ra sebagai representasi ulama‟ perempuan.

Pada nilainya ajaran Islam mengandung spirit persamaan dan nilai kemanusiaan tanpa adanya diskriminasi salah satu jenis kelamin. Akan

tetapi, melihat fenomena sekarang dengan adanya istilah „bias gender‟

(19)

5

Setelah menelusuri dan mengkaji kembali teks keagaamaan yang menjadi sumber pijakan Islam tokoh tersebut menemukan adanya beberapa hasil penafsiran yang menunjukkan adanya superioritas yang menjadi dominasi salah satu jenis kelamin. Mengingat banyaknya

kalangan mufasir, ulama‟, cendekiawan Islam didominasi laki-laki maka tidak menutup kemungkinan adanya produk penafsiran yang kurang mengakomodir topik yang menjadi isu perempuan. Maka usaha yang dilakukan yaitu melakukan interpretasi terhadap teks-teks Islam klasik sebagai usaha guna meluruskan pandangan yang menjadi kegelisahan akademis.

Membahas diskursus keagamaan yang sama dengan interpretasi yang berbeda, bukan merubah teks melainkan membongkar penafsiran lama dan menata ulang kembali dengan pendekatan yang lebih egaliter. Menelusuri kembali literatur Islam yang bertendensi mengandung muatan misogini. Keempat tokoh tersebut memiliki kegelisahan masing-masing dan tentunya dengan pengalaman yang berbeda, akan tetapi keyakinannya selaras bahwa Islam pada nilainya memuat ajaran yang universal baik persamaan, keadilan, maupun hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Menjamin hak-hak makhluk hidup tanpa adanya subordinasi maupun diskriminasi.

(20)

6

sosial kurang mendukung. Begitu juga sebaliknya, jika realitas sosial mampu memberi ruang terkadang idealitas agama tertutup. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman akan teks turut dipengaruhi oleh kultur dengan kondisi sosial masyarakatnya. Tetapi di satu sisi teks tersebut mengandung spirit pembebasan dan penghapusan hal-hal yang berbau diskriminatif. Meskipun demikian, ajaran universal tetap berlaku dan dapat diimplemantasikan.

Disinilah kemudian dialog dan relevansi antara teks dengan konteks guna menemukan sebuah jalan keluar yang akan menjadi tawaran ideologi perubahan. Baik Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, maupun Amina Wadud Muhsin merupakan sosok kontroversial dan gagasannya sering dipertentangkan tetapi tidak sedikit pula yang mengapresiasi karya-karyanya. Melihat dari beberapa tokoh feminis muslim menurut penulis merekalah yang konsisten mengkaji teologi dengan melibatkan kerangka metodologi dalam kancah pemikiran Islam. Dimana pada ranah ini akan menjadi perspektif baru dalam rangka membangun paradigma Pendidikan Islam yang lebih responsif gender.

(21)

7

filosofis maupun teologis. Karena jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta dari sesuatu yang sama maka selanjutnya mereka tidak dapat diperlakukan tidak sama baik dalam bentuk apapun maupun kapanpun.

Menurutnya, adanya diskriminasi terhadap perempuan berakar dari asumsi-asumsi teologis yang keliru dan oleh karena itu harus dibongkar melalui reinterpretasi terhadap al-Qur‟an yang merupakan sumber nilai tertinggi bagi umat Islam. Riffat ingin membangun kerangka dasar paradigmatik model kepercayaan baru dalam konteks Islam dan isu-isu keperempuanan. Sebab ia merasa yakin bahwa selama ini telah terjadi pencemaran dan distorsi historis antara ajaran Islam normatif yang bersumber pada al-Qur‟an dengan Islam historis yang selama ini dipraktikkan pada masyarakat patriarkhi. Konstruksi paradigmatik itu kemudian diintrodusir oleh Riffat sebagai teologi feminis. Teologi feminis dalam konteks Islam dimaksudkan oleh Riffat untuk membebaskan (liberation; taharrur) bagi perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi (Mustaqim, tt: 174-175).

(22)

8

Berdasarkan pemaparan diatas penulis tertarik untuk mengkaji konsep pemikiran Riffat Hassan salah satu tokoh feminis muslim dengan melibatkan kerangka metodologinya. Keaktifannya dalam mengkaji isu-isu gender dalam teks membuka sebuah kerangka pemikiran baru bagi perkembangan ajaran islam, melalui tulisan ini akan diuraikan kajian teologi dari kacamata perempuan. Penulis tidak menggunakan perspektif Riffat Hassan melainkan menghubungkan kajian interpretasinya dalam rangka meluruskan konstruksi pemikiran selama ini mengalami penyesatan interpretasi. Melalui langkah inilah uraian pada skripsi nanti penulis akan memaparkan hasil penelitian Riffat Hassan dalam proses merekonstruksibangunan teologi Islam dalam rangka mewujudkan Pendidikan Islam yang berkeadilan gender.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran pada latar belakang diawal, adapun rumusan masalah yang menjadi pokok penelitian disusun sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep Pendidikan Islam yang Berkeadilan Gender? 2. Bagaimana hubungan gender dengan Pendidikan Islam?

3. Kontribusi apa yang diberikan Riffat Hassan untuk mewujudkan Pendidikan Islam yang Berkeadilan Gender?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

(23)

9

3. Memaparkan kontribusi pemikiran Riffat Hassan dalam mewujudkan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Rekomendasi tawaran pemikiran berperspektif feminis.

b. Memperbarui cara pandang yang selama ini mengakar menjadi konstruksi pemikiran.

c. Membangun kerangka paradigmatikmelalui kajian teologi dari kacamata perempuan dan penerapannya dalam pendidikan Islam. d. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya isu-isu gender sehingga

mampu menjadi sarana untuk membangun paradigma baru berwawasan gender serta menegaskan bahwa gender bagian dari pendidikan Islam.

2. Secara Praktis

a. Menjadi salah satu bahan proses penyusunan kurikulum maupun silabi dalam lembaga pendidikan yang responsif gender.

(24)

10

E. Telaah Pustaka

Pemikiran Riffat Hassan cukup menarik beberapa penulis lainnya sebagai bahan kajian, dan hal ini membuktikan bahwa hasil karyanya mendapatkan perhatian dikalangan akademis. Untuk menghindari terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan beberapa karya ilmiah yang sudah ada. Selain itu telaah pustaka juga untuk melihat orisinilitas skripsi.Setelah membaca dan mengamati penulis menemukan beberapa skripsi dengan kajian tokoh yang samanamun ada perbedaan dalam penelitian skripsi ini, diantaranya:

Pertama, Miftah As‟adi Romadhoni mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syari‟ah dan Hukum al-Ahwal

al-Syakhsiyyah, 2012 dengan judul “Pemikiran Riffat Hassan tentang Peran Istri dalam Keluarga”. Pokok pembahasannnya mengenai konsepsi Riffat

mengenai peran istri dalam ikatan perkawinan dan kedudukannya dalam keluarga.Menjabarkan konsepsi pada penetapan tugas dan peran masing-masing pihak antara suami istri. Skripsi ini mengkritisi argumentasi Riffat mengenai peran domestik yang mempengaruhi kiprah perempuan (sebagai istri) dalam ruang publik.

Kedua, skripsi karya Putut Ahmad Su‟adi Jurusan Sejarah

Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2008 dengan judul

“Pemikiran Fazlur Rahman dan Riffat Hassan tentang Kesetaraan Gender

(25)

11

mencari persamaan dalam membangun konsep kesetaraan gender tentunya dengan metode dan kerangka berpikir yang berbeda.

Ketiga, skripsi karya Siti Kusumaningsih Jurusan Aqidah Filsafat

Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel, 2014 dengan judul “Pembebasan Perempuan: Studi Komparasi Asghar Ali Engineer dan Riffat Hassan”.

Memaparkan konsep pembebasan perempuan dari dua perspektif beserta upaya dari kedua tokoh tersebut dalam pembongkaran aspek teologi dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan sebagai agenda baru pemikiran Islam.

Tiga judul diatas sama-sama mengkaji isu perempuan,

perbedaannya tulisan Miftah As‟adi membidik satu persoalan khusus mengenai peran perempuan sebagai istri dalam rumah tangga, hal ini mengarah pada pembagian kerja antara ruang domestik dan publik. Selama ini kegiatan domestik lebih dominan diampu oleh perempuan, adapun salah satu problematikanya adalah ketika perempuan ingin berkiprah di ruang publik. Pembahasan inimengantarkan pada kajian fiqh.

Al-Qur‟an memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan potensi yang ada pada dirinya, termasuk perempuan yang berstatus sebagai istri. Namun pendefinisian maupun penetapan tugas sering kali tidak bisa terlepas dari kultur masyarakat. Kesetaraan laki-laki dan perempuan berdasarkan pemikiran Riffat Hassan

memiliki segi positif tersendiri akan tetapi tulisan Miftah As‟adi memberi

(26)

12

tanggung jawab yang diemban seorang istri. Riffat memang menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan potensi yang sama untuk mencapai kesuksesan dalam bidang apapun, namun tidak mendefinisikan secara baku peran apa yang dapat dimainkan oleh perempuan dalam keluarga maupun masyarakat. Adanya pendefinisian atau penetapan tugas dapat membatasi potensi dalam kehidupan modern saat ini.

Potensi dalam diri manusia sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan dan setiap orang berhak untuk mengaktualisasikannya, termasuk seorang istri sekalipun. Meskipun demikian, beberapa tugas baik kewajiban maupun tanggung jawab memang harus diemban serta dilaksanakan. Dikhawatirkan karena mengatasnamakan hak dan kesetaraan beberapa hal yang berkaitan dengan managemen keluarga terbengkalai. Karena ada sesuatu yang secara khusus diemban, tulisan ini mengatakan pemikiran Riffat Hassan tidak relevan terhadap konteks di Indonesia yang masih menganut prinsip hierarkis dalam keluarga.

Kemudian, pada skripsi Putut Ahmas Su‟adi menggunakan

(27)

13

penciptaan laki-laki dan perempuan, konsep kejatuhan manusia dari surga, tujuan penciptaan perempuan, konsep poligami dan sistem segregasi.

Kedua tokoh yang menjadi objek pembahasan skripsi ini memiliki visi yang sama dalam permasalahan kesetaraan gender dalam Islam bahwa perempuan yang menjadi korban ketidakadilan gender dengan basis teologis harus diselamatkan. Hanya saja Rahman menggunakan pembaharuan Islam versi Rahman dengan gerakan Neo-Modernisme Islam dengan merumuskan tafsir baru keagamaan yang berorientasi pada kesetaraan terutama pada bidang fiqh. Sedangkan Riffat memperbarui teks Islam klasik menggunakan pendekatan teologi feminis.

Keduanya memiliki persamaan kesetaraan gender dalam Islam menggunakan al-Quran sebagai acuan sentral, Rahman merepresentasikan gagasannya dalam spektrum yang luas didukung dengan argumen yang represesntatif tidak hanya dalam fokus feminisme saja. Riffat juga sedikit terpengaruh pada gagasan Rahman hanya saja lebih memilih tema-tema teologis penciptaan perempuan yang masih tabu diperbincangkan dan diperdebatkan oleh beberapa kalangan dan membuka ruang untuk didiskusikan karena juga memiliki refleksi teologis.

(28)

14

perempuan tidak dibenarkan atas Islam dan bukanlah sebuah kondisi yang mutlak karena posisi keduanya setara. Berbeda dengan Asghar Ali Engineer yang mengungkapkan ada kelebihan laki-laki atas perempuan dalam beberapa hal. Secara normatif al-Qur‟an memihak kesetaraan laki -laki dan perempuan namun secara kontekstual dalam al-Qur‟an pun dinyatakan ada kelebihan dalam hal tetapi itu didasarkan pada konteks sosialnya.

Sedangkan untuk kajian skripsi ini penulis lebih memusatkan hasil penelitian Riffat Hassan mengenai proses penciptaan perempuan sebagai topik mendasar yang menuai perdebatan. Kemudian menghubungkannya dengan konsep Pendidikan Islam mengenai hakikat manusia menurut Islam dengan fitrah (potensi) yang dibawanya.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu kajian pustaka, suatu penelitian dimana data-datanya diperoleh dari literatur baik kitab tafsir, buku karya feminis muslim sebagai sumber pustaka, jurnal, maupun artikel tentang perempuan sebagai sumber sekunder.

2. Sumber Data

(29)

15

Optik Perempuan. Sedangkan sumber data sekunder sebagai penunjang topik pembahasan meliputi, buku Nasaruddin Umar

Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an, Mansour Fakih

Analisis gender & Transformasi Sosial, Kadarusman Agama, Relasi Gender & Feminisme,Siti Muslikhati Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Muzayyin Arifin Kapita Selekta Pendidikan Islam, Ahmad Tafsir Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam, Ahmad Mutohar Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam & Pesantren, dll.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun bentuk pengumpulan data dalam proses penyusunan skripsi ini yaitu kepustakaan. Teknik pengumpulan ini diperoleh melalui telaah terhadap data-data tertulis seperti buku-buku, artikel ilmiah, dan sumber tertulis lainya yang berkaitan dengan pokok bahasan. Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis sebagai berikut :

a. Mencari buku-buku di perpustakaan yang ada hubungannya dengan pokok masalah, baik primer sebagai sumber utama penelitian maupun buku pendukung (sekunder) yang berkaitan dengan kajian skripsi.

(30)

16

c. Mengkonsultasikan hasil penemuan berupa tulisan ilmiah tokoh lain dengan pandangan berbeda maupun pengalaman penulis yang berkaitan dengan pokok bahasan skripsi.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik deskriptif analitik yaitu penelitian untuk menyelesaikan masalah dengan cara mendeskripsikan masalah melalui pengumpulan, penyusunan, dan penganalisaan data untuk kemudian dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian (Adi, 2004: 128). Memaparkan beberapa deskripsi pemikiran kemudian melakukan analisis sehingga terjadi hubungan bermakna di antara berbagai komponen penelitian.

G. Penegasan Istilah

Penegasan istilah disini akan membantu pembaca memahami beberapa istilah dalam skripsi ini. Adapun beberapa istilah pokok yang penulis kemukakan sebagai berikut:

1. Paradigma

(31)

17

Menurut Musthofa Rembangy paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kacamata atau alat pandang. Sedangkan menurut Thomas Kuhn paradigma diartikan sebagai suatu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya (Mutohar, 2013: 139).

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat diartikan secara singkatnya paradigma sebagai sebuah cara pandang melalui suatu proses keilmuan.

2. Pendidikan Islam

(32)

18

merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua, manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6).

Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam yaitu bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi ini digunakan menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap seseorang yang diselenggarakan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki fitrah, dalam konteks pendidikan Islam dimaknai sebagai potensi dan ada pula yang memaknai suci. Setiap manusia lahir membawa potensi dalam diri (baik laki-laki maupun perempuan) dan pembentukan karakter maupun kepribadian manusia dipengaruhi pula oleh lingkungan sekitarnya. Pengembangan diri dibentuk melalui proses pendidikan, dimana peserta didik dibimbing, diarahkan dalam rangka menggali potensi dalam dirinya. Pendidikan Islam memiliki tugas untuk mencerdaskan anak manusia dengan fitrah potensinya tanpa adanya diskriminasi atau marginalisasi (peminggiran) jenis kelamin.

3. Keadilan Gender

(33)

19

diperhitungkan ekuivalen dalam hak, kewajiban, kepentingan, dan kesempatannya (UNESCO, 2002: 20-21). TIM PSGK STAIN dalam buku berjudul Menelisik Gender dalam Konstruksi Sosial Salatiga mendefiniskan keadilan gender adalah antara laki-laki dan perempuan memiliki dan menikmati status yang sama, sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk merealisasikan hak-haknya dan potensi dirinya dalam memberikan kontribusi pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta sama-sama dapat menikmati hasil-hasil pembangunan tanpa harus membedakan jenis kelamin.

Konsep keadilan gender dibangun atas dasar nilai kemanusiaan dimana tujuannya adalah memanusiakan manusia. Bukan menuntut 50:50 menyamaratakan atau membuat struktur menjadi timpang dengan membuat laki-laki menjadi inferior. Melainkan membuka dan memberi ruang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam rangka pengembangan potensi. Disinilah perempuan juga mendapat akses dan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dalam dirinya. 4. Riffat Hassan

Salah seorang tokoh feminis muslim yang lahir di ujung Galee

(34)

20

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan memberikan gambaran terkait dengan susunan laporan penelitian:

BAB I merupakan pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan.

BAB II memaparkan konsep Pendidikan Islam berkeadilan gender, membingkai perbedaan seks dan gender,tujuan Pendidikan Islam berkeadilan gender, dasar hukum keadilan gender, kemudian nilai-nilai yang membangun keadilan gender.

BAB IIImemaparkan telaah keadilan gender Riffat Hassan, adapun isinya meliputi biografi pribadi dan keluarga, latar belakang pendidikan, kemudian dasar pemikirannya beserta karya yang dihasilkannya.

BAB IVanalisis keadilan gender transformatif, menguraikan usaha Riffat Hassan dalam menyibak asal kejadian perempuan, membongkar dan meluruskan mitos penciptaan perempuan, kemudianmengelaborasikan dengan Pendidikan Islam.

(35)
(36)

22

BAB II

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER

A. Pengertian Pendidikan Islam

Proses pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan-kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial serta alam sekitar ia berada. Proses kependidikan Islam senantiasa berada di dalam nilai-nilai Islam dan berupaya menanamkan akhlaqul karimah (Anam, 2013: 37).

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. Pendidikan Islam itu bertolak dari pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam

al-Qur‟an bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang

(37)

23

Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam yaitu bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi ini digunakan menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap seseorang yang diselenggarakan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah.

B. Pengertian Keadilan Gender

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan konsep sex dan gender. Dalam kamus Bahasa Inggris gender dan seks mengandung pengertian sebagai jenis kelamin. Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya (Umar, 1999: 35).

(38)

24

No Sex (Laki-Laki) Sex (Perempuan)

1. Mempunyai Penis Mempunyai Vagina

2. Memiliki hormon testosterone (pembawa sifat-sifat kejantanan), berfungsi untuk memproduksi sperma.

Memiliki ovarium, memproduksi hormon prolactin, extrogen, dan progesteron (berpengaruh dalam

4. Mempunyai suara yang lebih besar, berkumis, berjenggot, dada bidang atau datar.

Suara lebih bening, buah dada menonjol, pinggul umumnya lebih lebar (mulai membentuk).

5. - Haid, nifas, hamil, melahirkan,

menyusui

(39)

25

Berbeda dengan sex, gender adalah suatu konsep tentang klasifikasi sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) yang dibentuk secara sosio-kultural. Di dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, posisi, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa gender itu tidak berlaku universal. Artinya setiap masyarakat, pada waktu tertentu, memiliki sistem kebudayaan (cultural systems) tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain dan waktu yang lain. Sistem kebudayaan ini menyangkut elemen dasar deskriptif dan

prekristif, yaitu mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana “sebenarnya” dan “seharusnya” laki-laki dan perempuan itu (Faqih, 2004: 20-21).

(40)

26

perempuan memiliki suara yang cukup keras atau lantang saat berbicara. Mengenai rasio hal itu bisa dibantah karena saat ini banyak sekali perempuan yang berprestasi dalam berbagai bidang bahkan mampu meraih pendidikan tinggi. Sifat-sifat tersebut bisa terjadi dengan siapapun baik laki-laki atau perempuan tergantung bagaimana kondisi sosial budaya mempengaruhinya baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Gender merupakan seperangkat analisis untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Perlunya memahami konsep sex merupakan kunci utama karena sering dikonstruksikan untuk menentukan relasinya pada ranah sosial terutama perempuan. Kodrat yang dibawa perempuan seperti haid, nifas, hamil, melahirkan, dan menyusui digeneralisasi dan berimplikasi pada posisi atau letak kedudukan perempuan. Hal-hal diluar kodrati dimungkinkan untuk bisa dirubah baik mengenai peran maupun fungsi.

(41)

27

seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh

kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts) untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan (Mosse, 1996: 2-3).

Gender kita membatasi dan mendahului kita. Kita lahir kedalamnya sebagaimana halnya kita lahir ke dalam keluarga kita dan gender kita bekerja pada suatu tingkat di luar tujuan-tujuan individu kita. Untuk itulah kita cenderung menjalani peran gender sebagai sesuatu yang benar, alami dan baik. Peran gender yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari landasan kultural kita dan tidak mudah diubah (Mosse, 1996: 7 mengutip buku Reeves Sanday berjudul Female Power and Male Dominance).

Gender tidak akan menjadi masalah selama perempuan dan laki-laki diperlakukan secara adil. Tidak masalah bagi perempuan dan laki-laki ketika

membuat klasifikasi “feminin” dan “maskulin” selama tidak digunakan untuk

(42)

28

Gender akan menjadi masalah apabila masyarakat punya pandangan bahwa pendidikan perempuan sebaiknya lebih rendah dari laki-laki karena ia

“hanya” bertanggung jawab di rumah. Gender juga menjadi masalah apabila

dalam masyarakat ada pandangan bahwa gaji perempuan dan jaminan sosial yang diterimanya harus lebih rendah dari laki-laki karena perempuan “hanya” pencari nafkah tambahan. Gender menjadi masalah apabila jabatan publik perempuan seharusnya lebih rendah dari laki-laki karena perempuan bersifat feminin, tidak mampu memimpin, kurang mandiri, dsb. Dengan kata lain, ketika masyarakat memperlakukan perempuan dan laki-laki secara diskriminatif negatif bukan karena kompetensinya, tetapi semata-mata karena jenis kelaminnya, maka bisa dikatakan telah terjadi ketidakadilan gender (Nurhaeni,2010: 26).

Mansour Fakih memaparkan perangkat yang digunakan untuk menganalisis bentuk ketidakadilan gender, yaitu marginalisasi (peminggiran perempuan), subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja majemuk (ganda). Kemudian penulis meringkas hal tersebut dalam tiga bagian berkaitan dengan gender, yaitu:

1. Kedudukan

(43)

29

2. Peran (fungsi)

Berbicara mengenai peran, salah satu yang sering dituju yaitu ruang publik dan domestik. Kultur (budaya) mengkonstruksikan domestik sebagai kodrat yang dilekatkan dan harus dilakukan oleh perempuan. Ketika anak perempuan lahir maka akan menanggung dan menjalankan tugas ini.

Menilik kembali pada pembahasan sebelumnya bahwa kodrat sesuatu yang bersifat biologi dan tidak bisa berubah maupun dipertukarkan, sedangkan hal ini dipengaruhi faktor yang berada di luar diri manusia. Hal yang berada di luar diri manusia tidaklah bersifat kodrati. Jika dikaitkan dengan masalah ini maka tidak ada salahnya kalau laki-laki turut andil untuk membantu meringankan tugas rumah baik posisinya sebagai anak laki-laki, suami, maupun ayah.

Sering kali masyarakat menilai tidak lazim jika laki-laki membantu mengerjakan pekerjaan domestik karena itu milik perempuan. Label inilah yang sudah terkonstruksi dalam mindset masyarakat sehingga ketika hal tersebut dilakukan menganggap seolah dunia terbalik. Padahal tidak karena sifatnya fleksibel. Begitu juga mengenai profesi, tidak ada yang mutlak menjadi milik laki-laki.

(44)

30

politik, dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maupun aktivitas sosial lainnya.

3. Citra

Berbicara masalah citra maka hal ini berkaitan dengan cara pandang, gambaran yang dimiliki oleh banyak orang mengenai pribadi seseorang atau kelompok lainnya. Dalam analisis gender hal ini disebut stereotype, yaitu pelabelan negatif atau penandaan terhadap suatu jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan diskriminasi.

Misalkan ketika menanggapi kasus pemerkosaan. Pertama kali yang diduga adalah pihak perempuan yang berdandan atau berpakaian minim (misalnya) yang memancing syahwat laki-laki. Tanpa adanya analisa lebih jauh selalu saja perempuan menjadi korban sekaligus pemicu terjadinya pemerkosaan.

Kemudian label pemalas yang juga sering diberikan kepada laki-laki. Baik dalam hal kebersihan maupun kegiatan pembelajaran, hal tersebut tidaklah demikian. Karena masing-masing dari mereka juga mampu merawat diri dan memenuhi tanggung jawab.

(45)

31

berasal dari luar diri manusia, bentukan sosial budayanya dan bisa dipertukarkan. Baik laki-laki maupun perempuan bisa saling bertukar dan bekerja sama karena sifatnya yang fleksibel dan fungsional.

C. Tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender

Mengacu pada beberapa definisi diatas adapun tujuan Pendidikan Islam yaitu membentuk pribadi muslim dengan jalan membimbing, mengarahkan, mengembangkan potensi atau kemampuan dasar (fitrah) sesuai dengan ajaran Islam. Laki-laki dan perempuan sebagai makhluk ciptaan Allah diciptakan dari bahan yang sama melalui proses perpaduan dari benih dua jenis kelamin. Mereka dibebani tanggung jawab sebagai hamba, mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi, mengaktualisasi diri, mendapat pahala jika berbuat kebaikan, dan berdosa ketika melanggar ketentuan Tuhan. Pada nilainya islam membawa misi keadilan, membuka peluang yang sama kepada hambanya dalam rangka pengembangan potensi dan hak aktualisasi diri tanpa adanya diskriminasi atau menggunggulkan satu jenis kelamin. Karena Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menghargai hak sesama.

(46)

32

Bumi ini diciptakan untuk laki-laki dan perempuan, selain beribadah mereka juga mengemban tugas sebagai khalifatullah fil ardh.

Adapun tujuan Pendidikan Islam Berkeadilan Gender yaitu menumbuhkembangkan potensi jasmani dan rohani berdasarkan kemampuan dasar (fitrah) tanpa adanya diskriminasi atau subordinasi salah satu jenis kelamin. Perbedaan biologis bukan berarti menghambat kiprah perempuan atau membatasi ruang gerak atas nama kodrat. Karena Islam pun juga memberi celah dengan aturan yang lebih longgar untuk memberi ruang maupun akses.

D. Gender dalam Al-Qur’an

Hakikat Pendidikan islam dalam konteks gender pada prinsipnya sebagai usaha untuk memanusiakan manusia (secara keseluruhan) tanpa memandang suku, ras, maupun jenis kelamin. Orientasi ini dilihat dari dasar ayat al-Qur‟an sebagai berikut:

“Barang siapa yang mengerjakan amal-amak saleh, baik ia laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (Q.S. an-Nisa‟: 124)

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka

(47)

33

mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta‟at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka didalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga „Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang

besar.” (Q.S. at-Taubah: 71-72)

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang

telah mereka kerjakan.” (Q.S an-Nahl: 97)

Sesungguhnya laki-laki muslim dan perempuan muslimah,laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, laki-laki yang taatdanperempuan yang taat, laki-laki yang benardan demikian jugaperempuan yang benar,

laki-laki penyabar dan perempuan penyabar,laki-laki yang khusyu‟ dan

perempuan yang khusyu‟, laki-laki yang gemar bersedekah dan

perempuan yang gemar bersedekah, laki-laki yang sering kali berpuasa dan perempuan yang sering kali berpuasa, laki-laki yang selalu memelihara kemaluannya dan perempuan yang selalu juga memelihara kehormatannya, laki-laki yang banyak berdzikir menyebut nama Allah dan perempuan yang banyak berdzikir menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk tiap-tiap orang dari mereka ampunan dan pahala

(48)

34

E. Nilai-Nilai Keadilan Gender

Keadilan gender adalah keadilan dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup perlakuan yang setara atau perlakuan yang berbeda tetapi diperhitungkan ekuivalen dalam hak, kewajiban, kepentingan, dan kesempatannya (UNESCO, 2002: 20-21). TIM PSGK STAIN Salatiga dalam buku berjudul Menelisik Gender dalam Konstruksi Sosial mendefiniskan keadilan gender adalah antara laki-laki dan perempuan memiliki dan menikmati status yang sama, sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk merealisasikan hak-haknya dan potensi dirinya dalam memberikan kontribusi pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta sama-sama dapat menikmati hasil-hasil pembangunan tanpa harus membedakan jenis kelamin.

Adapun beberapa nilai dalam Islam yang membangun keadilan gender, yaitu:

1. Prinsip Keadilan

Sesungguhnya Allahmemerintahkanberlaku adildanberbuat ihsan, pemberiankepada kaum kerabat, dan Dia, melarangperbuatan kejikemunkaran, danpenganiayaan,

Dia memberi pengajarankepada kamukamu dapat selalu ingat.” (Q.S. an-Nahl (16): 90)

(49)

35

adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih (Shihab, 2002: 698).

Kemudian Quraish Shihab juga mencantumkan pendapat beberapa pakar dalam mendefinisikan adil dengan

penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar pada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Ada juga yang menyatakan bahwa adil

adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang memberi hak kepada pihak lain, tetapi juga hak tersebut harus diserahkan tanpa menunda-nunda. “Penundaan utang dari seseorang yang

mampu membayar utangnya adalah penganiayaan.” Demikian

sabda Nabi. Saw. Ada lagi yang berkata adil adalah moderasi:

”tidak mengurangi tidak juga melebihkan,” dan masih banyak

rumusan yang lain.

2. Musyawarah

Salah satu ayat yang populer dan berkaitan dengan ini yaitu:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami

(50)

36

Asas ini memiliki peran penting karena memberi ruang bagi setiap orang untuk menyalurkan gagasan, aspirasi, kritik dalam rangka pengambilan keputusan maupun kebijakan. Disinilah akan tercipta ruang demokratis dan menjadi lahan untuk menunjukkan kemampuan diri baik bagi laki-laki maupun perempuan karena keduanya sama-sama dilibatkan. Baik pada ranah pribadi seperti keluarga maupun hal yang bersifat publik.

3. Kemanusiaan

Ayat ini menjadi prinsip dasar hubungan antar manusia.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah islah orang yang paling bertakwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

(Q.S. al-Hujurat: 13)

(51)

37

perbedaan antara satu suku dan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan.

4. Keseimbangan

Disinilah maka akan terwujud sebuah relasi.

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan

supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (Adz-Dzaariyat (51): 49)

Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan, ada laki-laki perempuan, siang malam, panas dingin, gelap terang, bahkan hal yang berkaitan dengan gender seperti feminin maskulin, privat publik, dll. Maka disinilah tersirat sebuah prinsip keseimbangan bahwa segala yang ada dibumi memiliki antomin (lawan kata), akan tetapi keduanya memiliki fungsi, peran, dan manfaat.

(52)

38

Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, dan disinilah fungsi untuk melengkapi satu sama lain. Tidak ada yang merasa unggul atau dalam posisi rendah, ditinggikan atau direndahkan. Pada sebuah riwayat dikatakan “Kaum wanita adalah saudara kandung kaum laki-laki.” (HR Abu Daud dan Al-Tirmidzi)

Sebagai “saudara” laki-laki dan perempuan menerapkan asas kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas hak, pembelaan atas orang-orang yang mengalami kezaliman, serta rasa senasib dan sepenanggungan. Orang yang bersaudara akan bergerak bersama dengan semangat dan jiwa demi kemaslahatan bersama.

(53)

39

(54)

40

BAB III

RIFFAT HASSAN DALAM TELAAH KEADILAN GENDER A. Biografi Riffat Hassan

Kajian mengenai setting sosial-historis seorang tokoh merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Sebab ide dan gagasan pemikiran tidak pernah lepas dari konteks sosio historisitas pencetus ide. Sebuah gagasan pemikiran selalu based on historical problems. Riffat berasal dari keluarga yang cukup terpandang, yakni keluarga sayyid (sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad dalam tradisi Arab) (Mustaqim (tt): 160-161). Salah satu tokoh feminis muslim lahir pada tanggal 23 Juli 1943 di Lahore, Pakistan.

Selain faktor konstruksi budaya masyarakatnya, kehidupan dalam keluarga juga memberi pengaruh yang cukup signifikan. Hampir dalam setiap masalah ayah dan ibunya selalu menemui perbedaan, ada

pertarungan idiologi patriarki dan idiologi feminis. Ayahnya (Begum Shahiba) orang yang sangat konservatif di daerahnya, pandangannya tradisional dan patriarkhal. Menurutnya usia pernikahan terbaik bagi perempuan 16 tahun dengan calon yang dipilihkan oleh orang tua khususnya ayah.

(55)

41

penting daripada laki-laki karena lahir dalam masyarakat muslim dengan rintangan yang sangat hebat. Mulai dari sinilah benih-benih feminis Riffat Hassan diperoleh dari ibunya. Mengkategorikan ibunya sebagai feminis radikal. Tidak berkompromi dengan kebudayaan Islam tradisional yang meneguhkan superioritas laki-laki dan ketundukan perempuan.

Melihat kuatnya hegemoni patriarki dalam kultur masyarakatnya menumbuhkan kesadaran pada dirinya untuk mengatasi situasi yang dihadapi perempuan muslim. Melalui bukunya berjudul Setara di hadapan Allah: Relasi Perempuan dan Laki-Laki dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi yang ditulis bersama Fatima Mernissi dia menuturkan,

Semakin banyak saya melihat keadilan dan kasih sayang Tuhan yang tercermin dalam ajaran al-Qur‟an tentang perempuan, semakin membuat saya sedih dan marah melihat ketidakadilan dan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan perempuan Muslim yang lazim terjadi dalam kehidupan nyata.”

(56)

42

Riffat juga ingin perempuan dinegaranya terbangun dari “tidur dogmatis”, sadar akan realita, mengkritisi peraturan yang menyangkut

norma maupun nilai yang berkaitan dengan perempuan. Mengenai undang-undang dinegaranya (seperti undang-undang mengenai perkosaan terhadap perempuan atau kesaksian perempuan dalam masalah-masalah keuangan dan masalah-masalah lainnya) dan undang-undang yang mengancam (seperti usulan-usulan yang berkaitan dengan “uang-darah” bagi pembunuh perempuan)telah digunakan untuk mereduksi perempuan secara sistematis dan matematis sehingga bertendensi dan dikhawatirkan mengurangi jumlah mereka menjadi lebih sedikit daripada laki-laki.

Masyarakat Pakistan pada saat itu memberlakukan undang-undang yang meletakkan posisi perempuan -dalam hal mendasar- lebih rendah dari laki-laki. Karena umat Islam pada umumnya menganggap perempuan memang tidak setara dengan laki-laki. Kegelisahan ini diungkapkannya lebih lanjut,

Siapapun yang menyatakan bahwa di dunia sekarang ini persamaan laki-laki dan perempuan bisa diterima oleh banyak agama dan juga oleh masyarakat sekuler, dan ditemukan pula bukti-bukti yang menegaskan persamaan laki-laki perempuan dalam al-Qur‟an dan tradisi Islam. Mungkin akan segera ditentang dengan kekerasan, dengan sejumlah dalil yang

digambarkan sebagai “bukti-bukti tak terbantahkan” yang diambil dari al-Qur‟an, hadits dan Sunnah untuk “membuktikan” bahwa laki-laki “di atas” perempuan” (Hassan, 1995: 42).

(57)

43

dari persfektif non-patriarki. Riffat juga mendapat dorongan dari para anggota komisi status perempuan Pakistan dengan mengupas satu persatu untuk dibuktikan kepada masyarakat Pakistan bahwa perempuan tidak selamanya menjadi sekunder, subordinatif dan inferiorterhadap laki-laki.

B. Latar Belakang Pendidikan Riffat Hassan

Riffat memiliki hobi membaca buku dan menulis. Pendidikannya di sekolah menengah Bahasa Inggris yang menjadi sekolah unggulan didaerahnya mengantarkannya memiliki bekal berbahasa asing yang baik.

Kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi Inggris di St. Mary‟s College

Universitas Durham, meraih predikat cumlaude (kehormatan) di bidang sastra Inggris dan filsafat. Diusia 24 tahun berhasil mengantongi gelar doktor di bidang filsafat (Ph.D), dalam disertasinya ia menulis tentang filsafat Muhammad Iqbal (tokoh pemikir Islam Pakistan).

Tahun 1974 Riffat sedang menjadi penasihat guru besar

Perhimpunan Mahasiswa Islam (Muslim Studen‟t Association, MSA)

organisasi Mahasiswa Islam cabang Universitas Oklahoma di Stillwater

dan dari sini ia memulai karier sebagai teolog “feminis”. Suatu hari ia

mendapat undangan untuk mengisi seminar tahunan yang rutin dilaksanakan dimana pada salah satu pidato disampaikan oleh penasihat guru besar. Kebetulan pada masa itu ia satu-satunya guru besar muslim di kampus tersebut. Kronologi peristiwa itu ia paparkan

(58)

44

sama sekali tidak tepat untuk mengharapkan seorang Muslimah, sekalipun seseorang yang mengajar mereka studi-studi Islam, berkompeten

berbicara tentang objek lain yang berkaitan dengan Islam”(Hassan, 1995: 35).

Hal itu membuatnya tersinggung, terlebih lagi saat itu posisi perempuan kurang mendapat tempat dan masih dipandang sebelah mata. Ditambah lagi bahwa dirinya belum begitu tertarik dengan persoalan yang menyangkut perempuan dalam Islam. Namun, akhirnya undangan tersebut diterima dengan dua alasan. Pertama, berpidato di depan majelis yang semuanya laki-laki dan sebagian besar kelompok muslim Arab yang memiliki kebanggan patriarki. Hal ini dijadikannya sebagai peluang. Kedua, ia bosan mendengar laki-laki Muslim mengajar tentang posisi, status, atau peranan perempuan dalam Islam sementara sama sekali tidak dipahami bahwa perempuan pun bisa berbicara tentang posisi, status atau peranan laki-laki dalam Islam. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk membuktikan bahwa seorang perempuan mampu menyampaikan pandangannya (termasuk berbicara teologi). Sebelum memulai, Riffat sempat melakukan riset kemudian mempelajari teks ayat-ayat al-Qur‟an secara cermat dan melakukan reinterpretasi khususnya yang berhubungan dengan persoalan perempuan.

(59)

45

Allah). Pada tahun 1979, ia mengikuti suatu „trialog‟ Yahudi, Kristen, dan

Islam (disponsori oleh Kennedi Institute of Ethies di Washington D.C.) untuk menjelajahi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dalam tiga tradisi iman Ibrahimi. Saat itu ia menulis draf kertas kerja dengan judul

Woman in The Qur‟an dan menyampaikan paparan rinci tentang lembaran-lembaran al-Qur‟an yang berhubungan dengan perempuan dalam beragam konteks (misalnya, hubungan perempuan dengan Allah, perempuan dalam konteks penciptaan manusia, dan cerita tentang

“kejatuhan”, perempuan sebagai saudara, sebagai istri, sebagai ibu, perempuan dalam hubungannya dengan perkawinan, perceraian, warisan, pemisahan, kerudung, kesaksian dalam hal perjanjian, hak-hak ekonomi, kematian, dan lain-lain).

Secara khusus, ia memusatkan perhatian pada ayat-ayat yang dianggap definitif dalam konteks antara perempuan dan laki-laki atas perempuan. Setelah studinya selesai, ia datang ke Pakistan dan menghabiskan waktu selama dua tahun untuk meneliti sekaligus menyaksikan Pemberlakuan undang-undang anti perempuan atas nama Islam dan banyaknya kegiatan dan kepustakaan anti-perempuan yang

melanda negeri tersebut sesudah “Islamisasi” masyarakat Pakistan dan

sistem undang-undangnya.

(60)

46

hasil temuannya dan memintanya membuktikan sebagai analisis apakah temuannya sesuai dengan keberadaan perempuan dalam masyarakat Pakistan. Ketika perempuan dinegaranya terdorong memobilisasikan dan memimpin protes di jalan-jalan, iaturut bergabung membantu menyangkal argumen-argumen yang membuat kemanusiaan mereka menjadi kurang sempurna berdasarkan kasus perkasus atau masalah permasalah. Kesadarannya muncul untuk membela saudaranya yang tersingkir dari hak-hak kemanusiaan atas nama Islam.

C. Dasar Pemikiran Riffat Hassan

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap fenomena disekitarnya, ia berpendapat bahwa yang pertama sekali harus dilakukan adalah memeriksa landasan teologis di mana semua argumen anti perempuan tersebut berakar, dan melihat apakah suatu kasus benar-benar bisa dibuat untuk menegaskan bahwa dari sudut pandang Islam normatif, laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara, kendati ada perbedaan biologis dan perbedaan lainnya.

(61)

47

Pencariannya ke dalam akar teologis dan problem ketidakadilan laki-laki dan perempuan dalam tradisi Islam menuntunnya menindaklanjuti kajian studi dalam dua wilayah signifikan. Pertama, melalui kepustakaan hadis terutama kitab shahih Bukhari dan Muslim yang dianggap otoritatif setelah al-Qur‟an. Berkaitan dengan diskursus perempuan dalam teologi Islam maka tergeraklah untuk memeriksa dengan teliti hadis-hadis yang berkaitan dengan perempuan. Kemudian, Riffat mengkaji karya penting yang ditulis oleh para teolog feminis Yahudi dan Kristen yang secara kebetulan juga melacak sumber teologis mengenai gagasan dan sikap anti feminis dalam tradisi mereka masing-masing.

Kesungguhannya untuk meneliti, mengkaji ulang, dan melakukan interpretasi yang terdapat dalam prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai upaya mewujudkan suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa adanya diskriminasi (baik laki-laki maupun perempuan). Meluruskan pandangan yang selama ini bertendensi mempengaruhi citra perempuan dengan membongkar bangunan teologi yang mengakar pada narasi besar Islam.

(62)

48

menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan ditegakkan. Ketiga asumsi ini yaitu: (1) Ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan. karena mereka diyakini telah diciptakan dati tulang rusuk laki-laki, secara ontologis berfifat derivatif dan sekunder. (2) Perempuan (bukan laki-laki) adalah penyebab utama dari apa yang biasanya

dilukiskan sebagai “kejatuhan” atau pengusiran manusia dari Surga Adn.

Maka semua “anak perempuan Hawa” harus dipandang dengan rasa benci,

curiga, dan jijik. (3) Perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar.

Melihat tiga asumsi diatas muncullah tiga pertanyaan berkaitan dengan eksistensi perempuan, yaitu bagaimana perempuan diciptakan, apakah mereka bertanggungjawab atas kejatuhan manusia, dan mengapa perempuan diciptakan. Disinilah Riffat bersikeras memusatkannya sebagai perhatian utama mengenai isu penciptaan manusia karena baginya baik secara filosofis maupun teologis hal ini lebih penting dan mendasar. Menurutnya jika laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah, penentu nilai tertinggi, maka untuk selanjutnya secara hakiki mereka akan setara pula. Disisi lain jika diciptakan berbeda oleh Allah maka tidak akan setara pada waktu selanjutnya.

(63)

49

manusia pertama dari dua sumber yang berbeda, yaitu Rahib (The Yahwist) dan Pendeta (The Priestly), lahir dua tradisi yang menjadi subyek dari banyak kontroversi ilmiah di kalangan Yahudi dan Kristen. Ada empat rujukan bagi penciptaan perempuan dalam Genesis: (1) Genesis 1: 26-27 abad ke-5 SM, tradisi Kependetaan, (2) Genesis 2: 7 abad ke-10 SM tradisi Kerahiban, (3) Genesis 2: 18-24 abad ke-10 SM tradisi Kerahiban, (4) Genesis 5: 1-2 abad ke-5 SM tradisi Kependetaan. Kajian terhadap teks-teks di atas menunjukkan istilah Ibrani “Adam”

(secara literal berarti tanah, berasal dari kata adamah: “tanah”) sebagian

besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia. Dari keempat teks yang mengacu pada penciptaan ini, tidak diragukan lagi yang paling berpengaruh adalah Genesis 2: 18-24 yang menyatakan bahwa perempuan tercipta dari laki-laki. Melalui teks ini disimpulkan tiga isu mendasar tersebut (Hassan, 1995: 45).

Secara kronologis, asal-usul kejadian manusia tidak dijelaskan oleh al-Qur‟an. Cerita penciptaan manusia banyak diketahui melalui hadis,

kisah isra‟iliyat, dan riwayat yang bersumber dari kitab Taurat, Injil, dan

(64)

50

klaim bahwa Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipertanyakan oleh beberapa kalangan (Hassan, 2009: 174).

Kesungguhan Riffat meneliti dan mengkaji ulang prinsip-prinsip ajaran al-Qur‟an demi mencapai tujuan yang diperintahkan agama adalah bentuk personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Sedangkan bahasa yang dipakai Riffat juga mencerminkan seorang aktor dari dalam. Dia merasakan sebagai pelaku korban dari diskriminasi sistem patriarkhi. Dari sini, maka dapat dilihat bahwa fundamental struktur dari teologi feminisme yang hendak dibangun Riffat adalah bagaimana agar terwujud suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di bawah sinar petunjuk

al-Qur‟an (Mustaqim, tt: 177).

Usaha dalam rangka membangun paradigma teologi feminis yang erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, Riffat menggunakan dua pendekatan, yaitu:

(65)

51

normatif dalam al-Qur‟an mengenai perempuan kemudian melihat kenyataan empiris dalam masyarakat (Mustaqim, tt: 179-180).

Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal normatif al-Qur‟an, Riffat mencoba melihat bagaimana kenyataan secara empiris historis kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Sehingga di satu sisi Riffat mendapatkan gambaran teoritis bersifat normatif-idealis mengenai pandangan al-Qur‟an terhadap perempuan. Melihat nasib perempuan yang masih memprihatinkan berarti ada something wrong dalam sejarah keperempuanan (Mustaqim, tt: 180-180).

Dua pendekatan tersebut dilakukan secara dialektis-integratif dan fungsional. Artinya, keduanya tidak dipisah-pisahkan. Berawal dengan melihat sisi ideal normatif itulah, Riffat kemudian melihat sisi yang empiris-realistis. Pada level normatif, Riffat merujuk kepada al-Qur‟an sebagai sumber nilai tertinggi dalam Islam. Sedangkan pada level historis, melihat bagimana praktik perlakuan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat Islam (Mustaqim, tt: 182). Jika dalam al-Qur‟an mengandung spirit pembebasan, keadilan, kesejajaran, penghormatan atas hak asasi kemanusiaan maka seharusnya teraktualisasikan dalam kehidupan nyata.

(66)

52

terutama ketika ia mencoba melakukan penafsiran tandingan (counter exegeses). Ketiga prinsip metodologis tersebut yaitu:

1. Memeriksa ketetapan makna kata (language accuracy) dari berbagai konsep yang ada dalam al-Qur‟an dengan menggunakan analisis semantik. Mencari makna kata yang sebenarnya dari konsep tertentu berdasarkan kata aslinya, kemudian meletakkan pengertian tersebut sesuai dengan konteks masyarakat di mana konsep tersebut digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk menguji konsep-konsep yang telah terderivasi.

2. Melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran yang telah ada. Ini berarti teori kebenaran yang dipakai adalah teori koherensi. Memahami al-Qur‟an sesungguhnya harus secara integral, sebab ia merupakan satu kesatuan makna yang terenyam dan terajut secara dialektis. Sehingga kesan adanya kontradiktif dapat dihindari atau minimal dapat dieliminir, dan hal itu dijadikan untuk menilai dan menguji sumber dan sistem nilai lainnya.

(67)

53

selaras dengan prinsip-prinsip keadilan. Demikian sebaliknya, suatu hasil penafsiran akan dinilai salah jika mengabaikan prinsip-prinsip keadilan. Karena dapat menyebabkan penindasan dan ketidakadilan bagi perempuan khususnya dan manusia pada umumnya.

Secara terbuka Riffat melabeli dirinya sebagai feminis, terkait dengan pendekatan feminis Saparinah Sadly mengungkapkan Feminist Perspective yang didasarkan pada suatu kerangka teori feminis, mengusulkan bahwa dalam suatu kegiatan penelitian perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi (kemampuan) untuk berkembang. Kaum perempuan juga mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan sangat bisa ikut memberi arah kepada pengembangan masyarakat, ekonomi, politik, dan pribadi. Kaum perempuan memiliki berbagai macam kualitas manusia yang bisa meningkatkan mutu hidupnya, seperti yang dimiliki kaum laki-laki.

(68)

54

interpretasi universal yang berstandar laki-laki dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Pengalaman itu menuntun kita untuk menggagas metodologi yang lebih adil dan mampu menjawab keberbedaan yang tak terelakkan antara laki-laki dan perempuan (Nurhayati, 2006: 12).

Adapun karya-karya Riffat Hassan baik dalam bentuk buku maupun artikel, antara lain:

1. The Role and Responbilities of Women in The Legal and Ritual Tradition of Islam.

2. Equal Before Allah?; Women-Man Equality in Islamic Tradition. 3. Feminis Theology and Women in The Muslim World.

4. What does it mean to be a Muslim To Day? 5. Women Living Under Muslim Laws

6. Muslim Women and Post Patriarchal Islam

7. The Issue of Women-Men Equality in Islamic Tradition.

8. Jihad fi Sabilillah; A Muslim Woman‟s Faith Journey from Struggle to Struggle

9. Women‟s and Men‟s Liberation

Referensi

Dokumen terkait

Proses ekstraksi pada industri minuman teh cair manis dalam kemasan botol menggunakan bahan baku teh hijau kering dengan ukuran 40 mesh dan air sumur bor pada kedalaman 120 m

Dengan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Algoritma untuk Dekomposisi Digraph Berbobot

Kehendak soalan : beza tingkah laku / akhlak orang yang berzikir dengan tidak berzikir. Perbezaan orang yang berzikir dengan yang tidak berzikir: Orang yang berzikir Orang yang

Bonding Performance of Tropical Fast-Growing Wood Species-Bondability of Six Indonesian Wood Species in Relation with Density and Wettability.. Faculty of Agriculture, Shizuoka

Negara Exportir utama komoditas krustasea adalah Negara Ekuador dengan total transaksi yang mencapai 255.928.000 juta USD pada tahun 2014 yang meningkat 10,9%

Penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dengan keberadaan minimarket terhadap pendapatan syariah toko kelontong di Kecamatan Somba Opu,

Kecuali apabila ditentukan lain oleh Pengekspor Data, Data Pribadi yang ditransfer berhubungan dengan kategori subjek data berikut: pegawai, kontraktor, mitra bisnis atau

Di Kabupaten Bandung dan Garut pengetahuan dan sikap petani responden alumni SLPHT kubis dan Non SLPHT kubis terhadap pestisida tidak mempengaruhi mereka dalam mematuhi