• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Pemikiran dan Metode Istinbāṭ Siti Musdah Mulia tentang

1. Pemikiran Siti Musdah Mulia tentang Pencatatan Nikah

Perkawinan dalam Islam menurut Siti Musdah Mulia lebih menekankan pada suatu akad atau kontrak. Kontrak itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan kabul (penerimaan). Adapun definisi perkawinan dalam UUP menurut Siti Musdah Mulia terkesan sangat ideal dan bahkan lebih bernuansa sebagai rumusan ajaran agama ketimbang rumusan yuridis (hukum). Sebab, dalam hukum tidak lazim dicantumkan istilah “lahir batin” dan “kebahagiaan yang kekal” karena hukum hanya menjangkau persoalan yang tampak secara lahiriah dan tidak menjangkau hal-hal yang bersifat

batiniah. Sedangkan mengenai bahagia dan kekal sangat relatif dan tidak dapat didefinisikan oleh hukum. Dengan demikian, perkawinan dalam perspektif hukum hanyalah suatu perjanjian hukum (legal agreement) antara seorang laki-laki dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan yuridis formal.120

Pencatatan perkawinan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya secara yuridis diatur dalam UUP dan KHI serta peraturan pelaksanaannya. Dalam hal ini Siti Musdah Mulia menyatakan bahwa:

“Masalah ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUP. Ayat (1) menyebutkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Sementara ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pada hakikatnya kedua ayat dalam pasal tersebut bermakna satu, yakni sahnya perkawinan adalah dicatatkan. Artinya, perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut negara. Pengertian ini yang menjadi pegangan di kalangan para hakim di pengadilan.”121

Siti Musdah Mulia melihat masyarakat pada umumnya memahami perkawinan adalah sah kalau sudah dilakukan berdasarkan hukum agama meskipun tidak dicatatkan. Komunitas Islam di Indonesia yang mayoritas menganut mazhab Syafi‟i, misalnya meyakini syarat sahnya perkawinan apabila tersedia lima unsur, yaitu adanya mempelai laki-laki dan perempuan, ijab kabul, saksi dan wali. Sedangkan pencatatan bukanlah merupakan syarat sahnya perkawinan. Oleh sebab itu, di masyarakat banyak dijumpai perkawinan yang tidak tercatatkan, seperti “kawin siri” atau “kawin bawah

120Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan, h. 362-363.

tangan”.122

Agar tidak rancu Siti Musdah Mulia mengusulkan kedua ayat dalam pasal tersebut hendaknya digabung menjadi satu sehingga berbunyi sebagai berikut:

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.123

Siti Musdah Mulia juga mengusulkan alternatif lain yakni dengan memasukkan pencatatan nikah sebagai salah satu rukun nikah dan negara berkewajiban mencatatkan semua perkawinan yang terjadi. Hal ini disebabkan rukun nikah yang dirumuskan oleh masing-masing mazhab berbeda-beda, sehingga ada peluang untuk memasukkan pencatatan nikah sebagai rukun nikah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Siti Musdah Mulia,

“Buat saya rukun nikah yang dirumuskan dalam Mazhab Syafi‟i yang kemudian menjadi pegangan negara atau Departemen Agama bukanlah sesuatu yang mutlak. Buktinya, mazhab selain Syafi‟i punya rumusan rukun nikah sendiri, meskipun ada di antaranya yang sama. Sudah waktunya memasukkan pencatatan sebagai rukun nikah dan itulah yang kami tawarkan dalam CLD KHI 2004. Mengapa harus menjadi rukun? Agar mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya dianggap tidak sah secara hukum dan dapat dibatalkan oleh negara. Bagi saya, pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat diabaikan pelaksanaannya. Dalilnya secara teologis dapat mengambil qiyas atau analogi dari ayat tentang pencatatan utang-piutang.”124

Berdasarkan analogi atas ayat Alquran surah al-Baqarah ayat 282 yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan transaksi penting seperti

122Ibid.

123Ibid.

piutang hendaknya selalu dicatatkan. Perkawinan sejatinya menurut Siti Musdah Mulia merupakan transaksi yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada transaksi lainnya dalam kehidupan manusia. Jika suatu transaksi harus dicatat, maka transaksi perkawinan merupakan hal yang lebih krusial untuk dicatatkan.125 Begitu pentingnya pencatatan perkawinan, dalam hal ini Siti Musdah Mulia menyatakan:

“Mengapa pencatatan perlu dijadikan salah satu rukun sehingga menentukan sah tidaknya suatu perkawinan? Jawabnya, demi kemaslahatan manusia. Sebab, perkawinan yang tidak tercatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-anak. Bagi istri, dampaknya secara hukum adalah dia tidak akan dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki „akta nikah‟ atau „buku nikah‟ sebagai bukti hukum yang autentik. Akibat lanjutannya, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan suami yang meninggal dunia. Juga, istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Selain berdampak hukum, perkawinan bawah tangan juga membawa dampak sosial bagi perempuan. Perempuan yang melakukannya akan sulit bersosialisasi di masyarakat karena mereka sering dianggap sebagai istri simpanan atau melakukan kumpul kebo, yakni tinggal satu rumah tanpa menikah.”126

Pernikahan yang tidak dicatatkan juga akan berakibat pada kedudukan atau status dan hak-hak anak dalam pernikahan. Sebagai konsekuensinya Siti Musdah Mulia menyatakan:

“Anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya (seperti dalam ketentuan Pasal 42 dan 43 UUP). Status anak yang dilahirkan pun akan dianggap sebagai anak tidak sah. Akta kelahirannya hanya berupa akta pengakuan, misalnya dicantumkan (anak luar nikah) atau (anak yang lahir dari ibu dan diakui oleh seorang bapak). Tentu saja pencatuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Tambahan lagi, ketidakjelasan status anak di muka hukum

125Ibid., h. 364.

mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan dari ayahnya.127

Siti Musdah Mulia sebagai ketua Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, juga pernah merancang counter legal draft (CLD) atas KHI, yang mana pada CLD atas KHI tersebut merupakan upaya konkret untuk menjadikan pencatatan sebagai salah satu rukun nikah sehingga tanpa dicatatkan perkawinan itu tidak sah.128 Hal ini untuk mencegah timbulnya pernikahan siri, pernikahan di bawah umur dan berbagai bentuk perkawinan yang sangat berpotensi mengeksploitasi perempuan dan menimbulkan korban di kalangan anak-anak.129