• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMIKIRAN AL-IDLIBI< TENTANG KRITIK MATAN HADIS ... 35-82

B. Pemikiran Syuhudi tentang Kritik Matan Hadis

Dalam membahas sub judul di atas perlu dipaparkan dan dijelaskan sejumlah istilah terkait. Berikut ini penjelasan dari istilah-istilah dimaksud beserta definisinya.

Istilah kaidah, berarti perumusan dari asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang tentu, patokan, atau dalil.188 Sedangkan kata kesahihan menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa secara bahasa berarti perihal sahih, kebenaran, kesempurnaan. Adapun kata dasar sahih diserap dari kosakata bahasa Arab al-s}ah}i>h}, berarti yang sehat. Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti sah, benar, sempurna, tiada cela (dusta, palsu), sesuai dengan hukum (peraturan).189 Pada asalnya, kata ini dipakai menyifati tubuh, kemudian secara metaforis dipakai juga untuk menyifati sesuatu selain tubuh.190

Diketahui bahwa kaidah kesahihan hadis mengacu pada rumusan kaidah kesahihan hadis. Menurut Syuhudi, rumusan tersebut terdiri dari lima kaidah, yaitu

188Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op. cit., h. 657.

189Ibid., h. 1340.

190Ibn Manz}u>r, op. cit., juz 3, h. 338-339; al-Fayyu>mi>, al-Mis}ba>h} al-Muni>r fi> Gari>b al-Syarh}

sanadnya bersambung, rawinya bersifat adil dan d}a>bit}, dan terhindar dari sya>z\ dan ‘illah. Rumusan ini diakui Syuhudi karena menurutnya telah disepakati oleh mayoritas kritikus hadis dari definisi ibn S{ala>h} dan diringkaskan oleh al-Nawawi>.191

Selain itu, rumusan tersebut telah mencakup sanad dan matan hadis. Terkait kriteria yang menyebutkan rangkaian rawi dalam sanad harus bersambung dan seluruh rawi harus adil dan d}a>bit} adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari sya>z\ dan ‘illah, selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad juga kriteria untuk kesahihan matan hadis.192 Karenanya, kritikus hadis umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanadnya sahih belum tentu sanadnya juga sahih. Jadi, kesahihan hadis tidak hanya ditentukan oleh kesahihan sanad saja, melainkan juga ditentukan oleh kesahihan matan.

Untuk itu, dari definisi dan pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas kritikus hadis menurut Syuhudi dapat dirinci menjadi dua kaidah, yaitu kaidah mayor dan kaidah minor.

1. Kaidah mayor adalah semua syarat, kriteria, atau unsur yang bersifat umum, sedangkan;

191Definisi hadis sahih menurut ibn S{ala>h}, yaitu hadis yang bersambung sanadnya (sampai

kepada Nabi saw.), diriwayatkan oleh rawi yang adil dan d}a>bit} sampai akhir sanad (di dalam hadis

itu) tidak terdapat kejanggalan (sya>z\) dan cacat (‘‘illah). Abu ‘Amr ‘Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n (selanjutnya disebut sebagai ibn S{ala>h}), ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktaba>t al-‘Ilmiyyah, 1972), h. 10. Al-Nawa>wi> yang juga sepakat dengan definisi ibn S{ala>h} meringkasnya dengan sebuah rumusan sebagai berikut: hadis yang bersambung sanadnya (diriwayatkan oleh orang-orang) yang adil dan d}a>bit}, serta tidak terdapat (dalam hadis itu) kejanggalan (sya>z\) dan cacat

(‘‘illah). Abu> Zakariyya Yah}ya ibn Syaraf al-Nawa>wi> (selanjutnya disebut sebagai al-Nawa>wi>),

al-Taqri>b li al-Nawa>wi> Fann al-’Us}u>l al-H{adi>s\ (al-Qa>hirah: Maktabah ‘Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad,

t.th.), h. 2.

2. kaidah minor adalah segala syarat, kriteria, atau unsur yang bersifat khusus.193 Kaidah yang bersifat khusus merupakan rincian dari kaidah yang bersifat umum.

Kedua kaidah ini diadopsi Syuhudi dalam menentukan kesahihan sanad. Kaidah yang sama juga diterapkan pada kritik kesahihan matan, kemudian melahirkan unsur-unsur kaidah mayor kesahihan matan hadis, yaitu terhindar dari syuz\u>z\ dan ‘illah.

a. Kaidah mayor pada matan 1) Terhindar dari syuz\\u>z\

Ragam pengertian sya>z\ pada hadis telah menjadikan ulama berbeda pendapat. Jika pada bab sebelumnya telah dibahas pengertian ibn S|ala>h}, al-H{a>kim dan al-Idlibi> tentang sya>z\, maka tidak lengkap jika pendapat al-Sya>fi‘i> dan Abu> Ya‘la al-Khali>li> (selanjutnya disebut sebagai al-Khali>li>) tidak disertakan dalam menilai hadis sya>z\. Karena menurut Syuhudi, dari sejumlah perbedaan pendapat tentang pengertian sya>z\, ada tiga macam pengertian yang menonjol. Yakni, pendapat al-Sya>fi‘i>, al- H{a>kim dan al-Khali>li>, dan pada umumnya kritikus hadis mengikuti pendapat Syafi‘i>, tandas Syuhudi.194

Menurut al-Sya>fi‘i>, suatu hadis tidak dinyatakan mengandung syuz\u>z\, bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang s\iqah, sedang rawi yang s\iqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Barulah suatu hadis dinyatakan mengandung syuz\u>z\, bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang s\iqah tersebut

193Ibid, h. 10.

bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang juga bersifat s\iqah.195

Menurut al-Khali>li>, hadis sya>z\ adalah hadis yang sanadnya hanya satu macam, baik rawinya bersifat s\iqah maupun tidak bersifat s\iqah. Apabila rawinya tidak s\iqah maka hadis itu ditolak sebagai hujjah, sedang bila rawinya s\iqah maka hadis itu dibiarkan (mutawaqqaf ) tidak ditolak dan tidak diterima sebagai hujjah.196

Berdasarkan penjelasan al-Sya>fi‘i> dan al-Khali>li>, Syuhudi merincinya sebagai berikut:

a) Penjelasan al-Sya>fi‘i> menunjukkan bahwa hadis sya>z\ tidak disebabkan oleh; (a) kesendirian individu rawi dalam sanad hadis, yang dalam ilmu hadis dikenal istilah hadis fard mut}laq (kesendirian absolut);197 atau (b) rawi yang tidak s\iqah. Hadis baru memungkinkan mengandung syuz\u>z\ , bila; (a) hadis itu memiliki lebih dari satu sanad; (b) para rawi hadis itu seluruhnya s\iqah; dan (c) matan dan atau sanad hadis itu ada yang mengandung pertentangan.198

b) Penjelasan Khali>li>, menurut Syuhudi hampir sama dengan pendapat al-H{a>kim yang menyaratkan rawi harus s\iqah, sedang al-Khali>li> tidak menyaratkan itu.

195Al-H{a>kim, op. cit., h. 118-119; Ibn S{ala>h}, op. cit., h. 48; Syuhudi, loc. cit.

196Nu>r al-Di>n ‘Itr, op. cit., h. 429-430.

197Lebih lanjut Syuhudi menjelaskan, kesendirian rawi dapat dilihat dari segi individunya

dan dapat dilihat dari sifat aau keadaan tertentu lainnya, misalnya negeri asal. Hadis yang demikian

ini, oleh sebagian ulama dinamai sebagai hadis fard dan oleh sebagian ulama lagi dinamai sebagai

hadis gari>b. Hadis fard yang disebabkan oleh kesendirian individu rawinya dinamai hadis fard mut}laq

(kesendirian absolut). Sedang yang disebabkan oleh kesendirian sifat atau keadaan tertentu lainnya

dinamai sebagai fard nisbi> (kesendirian relatif). Lihat catatan kaki no. 47, Syuhudi, op. cit., h. 139.

Adanya sejumlah pendapat ulama tentang syuz\u>z\, Syuhudi kemudian mempertegas yang dimaksud syuz\u>z\ adalah apa yang sebenarnya berlawanan dengan peri keadaan yang terkandung dalam sifat s\iqah atau bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah berlaku secara umum, atau bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.199

Sementara itu, dalam terminologi ilmu-ilmu hadis, hadis sya>z\ adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi s\iqah yang berbeda matan atau sanadnya karena adanya penambahan atau pengurangan dengan riwayat yang lebih kuat dari padanya dilihat dari aspek pentarjihan, seperti jumlahnya yang banyak, lebih kuat hafalan dan ke-d

}

a>bit}-an, tanpa dapat mengkompromikan di antara keduanya dan mengharuskan untuk menerima atau menolaknya, sebab jika memungkinkan untuk dikompromikan, maka tidak disebut sebagai sya>z\ dan diterima riwayat dari rawi s\iqah tersebut meski ada tambahan atau pengurangan. Hadisnya akan menjadi sahih jika ke-d

}

a>bit}-annya sempurna, dan jika kurang, maka hadisnya hasan.200

Penegasan Syuhudi mengenai hadis sya>z\ setidaknya terdapat tiga hal penting. Pertama; peri keadaan yang terkandung dalam sifat s\iqah, kedua; bertentangan dengan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum, ketiga; bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. Analisis tiga hal ini sebagai berikut:

199Syuhudi, Pengantar., h. 180.

200Ibra>hi>m al-Dasu>qi> al-Sahawi>, Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (Mis}ra>: Syirkat al-T{aba>‘ah al-Fanniyyah al-Muttah}idah, t.ts.), h. 45.

1. Pertama; peri keadaan yang terkandung dalam sifat s\iqah

Sifat s\iqah adalah gabungan dari sifat adil dan d}a>bit}.201 Kualitas ke-adil-an dan ke-d}a>bit}-an seorang rawi menjadikannya s\iqah. Kritikus hadis berpendapat, ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi rawi hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat yang disampaikannya itu bisa diterima menjadi hujah atau ditolak. Kedua hal itu adalah ke-adil-an dan ke-d}a>bit}-an. Ke-adil-an terkait kualitas pribadi rawi, sedang ke-d}a>bit}-an terkait kapasitas intelektual, dan jika digabungkan keduanya maka rawi tersebut dinilai bersifat s\iqah.202

a. Ke-‘a>dil-an rawi

Ke-‘a>dil-an rawi dalam penilaian Syuhudi tidak lepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama.203 Dari perbedaan tersebut, ditetapkan sejumlah kriteria (syarat-syarat) rawi yang adil, antara lain; (a) beragama islam; (b) balig; (c) berakal; (d) takwa; (e) memelihara muru>’ah;204 (f) teguh dalam agama; (g) tidak berbuat dosa; (h) menjauhi (tidak selalu berbuat) dosa kecil; (i) tidak berbuat bid’ah; (j) tidak

201Syuhudi, Metodologi, h. 66. Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> fi> Syarh} Taqri>b al-Nawa>wi>, juz 1 (Bairu>t: Da>r Ih}ya>’i al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1979), h. 63.

202Syuhudi, loc. cit.

203Syuhudi mengambil sampel dari 15 orang ulama dari berbagai disiplin ilmi sesuai

zamannya, namun penulis hanya mengambil 10 orang ulama mewakili kritikus hadis, mereka adalah Al-H{a>kim, Ibn S{ala>h}, al-Nawa>wi>, ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-Harawi>, al-Syauka>ni>, Muh}ammad Mah}fu>z} al-Tirmisi>, Ah}mad Muh}ammad Sya>kir, Nu>r al-Di>n al-‘Itr dan Muh}ammad ‘Ajja>j al-Kha>t}ib.

Syuhudi, Kaedah, h. 131-132.

204Muru>’ah artinya adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada

tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan. Ini dapat diketahui melalui adat istiadat yang

berlaku di berbagai negeri. Di antara perbuatan-perbuatan yang merusak muru>’ah, makan di jalanan,

kencing di jalanan, makan di pasar yang dilihat orang banyak, memarahi istri atau anggota keluarga dengan ucapan kotor, atau bergaul dengan orang berprilaku buruk. Demikian penjelasan Syuhudi terkait muru>’ah. Ibid., h. 133.

berbuat maksiat; (k) tidak berbuat fasik; (l) menjauhi hal-hal yang dibolehkan, yang dapat merusakkan muru>’ah; (m) baik akhlaknya; (n) dapat dipercaya beritanya.

Syuhudi menilai hanya empat poin dari kesepuluh butir tersebut yang dapat dijadikan syarat-syarat rawi adil dan kemudian ditetapkan sebagai unsur-unsur kaidah minor rawi adil yaitu: (1) beragama Islam; (2) mukalaf (balig); (3) melaksanakan ketentuan agama; dan (4) memelihara muru>’ah.205

Lain dari itu, kritikus hadis juga secara garis besar menetapkan cara menilai ke-adil-an rawi hadis berdasarkan:

a. popularitas keutamaan rawi di kalangan kritikus hadis; rawi yang dikenal keutamaan pribadinya, semisal Ma>lik ibn Anas dan Sufya>n al-S|awri>.

b. penilaian dari para kritikus rawi hadis; penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri rawi hadis.

c. penerapan kaidah al-jarh} wa al-ta‘di>l; cara ini ditempuh bila para kritikus rawi hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi rawi tertentu.206

Dengan demikian, penilaian kritikus hadis untuk menetapkan ke-‘a>dil-an rawi pada intinya memerlukan kesaksian dari ulama, dalam hal ini ulama ahli kritik rawi. Akan tetapi, wilayah kritik ulama tersebut tidak masuk ke tataran ke-‘a>dil-an Sahabat Nabi saw. yang menjadi bagian dari transmisi periwayatan suatu hadis, sebab hal ini sudah disepakati mayoritas ulama.207

205Alasan ilmiah Syuhudi hanya menetapkan empat hal itu sebagai syarat-syarat rawi adil

lebih lanjut lihat: Ibid., h. 134-159.

206Al-Nawa>wi>, op. cit., h. 12; al-Harawi>, op. cit., h. 55-56. Syuhudi, loc. cit.

207Dalil-dalil al-Qur’an yang dipakai ulama dalam melegitimasi ke-adil-an sahabat Nabi

saw., antara lain: (Q.S. al-Baqarah/2: 143), (Q.S. A<lu ‘Imra>n/3: 110), (Q.S. al-Fath}/48: 18-19) dan (Q.S. al-Fath}/48: 29). Sedangkan hadis-hadis Nabi saw. yang biasa dijadikan dalil, sabda-sabda seputar: (a) larangan memaki sahabat Nabi saw.; dan (b) generasi umat Islam yang paling baik adalah generasi Nabi saw., yakni mereka sahabat Nabi saw.

Tidak demikian dengan Syuhudi, menurutnya ke-‘a>dil-an sahabat masih harus dibahas secara obyektif.208 Menganggap sahabat Nabi saw. bebas dari kritikan karena akan menurunkan kehormatan diri sahabat dianggap Syuhudi pendapat yang cukup berlebihan, karena seluruh sahabat Nabi saw. tanpa kecuali telah dianggap sebagai manusia yang nyaris tak bercacat.209

Syuhudi berpendapat, ke-‘a>dil-an sahabat Nabi saw. dalam penilaian ulama hanya lahir dari pemahaman mereka atas dalil-dalil agama dan bukan dari hasil penelitian terhadap pribadi sahabat Nabi saw. Walau begitu, Syuhudi mengakui ke-‘a>dil-an sahabat Nabi saw. itu berlaku dominan atau mayoritas. Sedang yang lain, ada beberapa sahabat Nabi saw. dan itu tidak banyak, perlu diterapkan penilaian terhadap pribadi mereka. Caranya, dengan melihat biografi dan peringkat keutamaan para sahabat Nabi saw. dari kitab-kitab biografi karangan kritikus hadis.210

b. Ke-d}a>bit-an rawi

Secara bahasa d}a>bit} dapat berarti: yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Secara istilah kata d}a>bit} memiliki beberapa definisi. Menurut ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-S{an‘a>ni> dan al-Sakha>wi>, d}a>bit} ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan hafalan

208Menurut Syuhudi, untuk mengetahui ke-‘a>dil-an sahabat tidak terlalu sulit, karena ulama

telah menyusun kitab biografi para sahabat Nabi saw., khususnya para sahabat periwayat hadis, di samping itu kalangan ulama telah menyusun peringkat keutamaan para sahabat Nabi. Al-Ha>kim misalnya, telah menyusun peringkat tersebut ke dalam dua belas tingkat. Syuhudi juga menambahkan bahwa, macam-macam peringkat itu, walaupun tidak harus diterapkan secara mutlak, tetapi tetap

sangat bermanfaat untuk dijadikan acuan umum. Syuhudi, op. cit., h. 168.

209Syuhudi, Metodologi., h. 161.

itu kapan saja ia kehendaki.211 Definisi serupa diutarakan ‘Abd al-Ra’u>f al-Mana>wi> (selanjutnya disebut al-Mana>wi>), d}a>bit} yaitu pembuktian rawi dari apa yang ia dengar dari gurunya secara sempurna berupa hafalan, dimana ia bisa menyampaikan kadangkala kapan saja ia mau, akan tetapi bukan menjadi syarat bahwa kemampuannya menyampaikan harus utuh, bisa juga secara bertahap.212 Ada lagi yang berpendapat, seorang d}a>bit} mampu mendengar riwayat sebagaimana seharusnya, memahami secara detail, hafal secara sempurna, dan kemampuan itu dimiliki sejak ia mendengar sampai ia menyampaikan kepada orang lain.213

Berdasarkan sejumlah definisi di atas, Syuhudi menilai ada tiga poin penting yang dapat disimpulkan, yaitu:

1) rawi memahami betul riwayat yang diterimanya (didengarnya) 2) rawi hafal betul riwayat yang diterimanya (didengarnya)

3) rawi mampu menyampaikan riwayat yang dihafalnya dengan baik dengan dua keadaan; (1) kapan saja ia kehendaki; (2) sampai saat ia menyampaikan riwayat itu kepada orang.214

Tiga poin ini cukup beralasan, karena seorang rawi d}a>bit} jika hanya dibatasi pada hafalan saja belum tentu ia paham. Padahal, paham akan apa yang dihafal sangat penting dalam menentukan ke-d}a>bit}-an rawi. Namun demikian, masih ada ulama yang mencukupkan rawi d}a>bit} pada kemampuan hafalan. Kalau pendapat ini

211Al-‘Asqala>ni>, Nuzhah al-Naz}ar fi> Tawd}i>h}i Nukhbah al-Fikir fi> Mus}t}alah} Ahli al-’As\ar (Cet. I; Riya>d}: Mat}ba‘ah Safi>r, 1422), h. 69; al-Sakha>wi>, op. cit., Jilid. I,h. 16. Al-S|an‘a>ni>, op. cit., juz 1, h. 16.

212‘Abd al-Ra’u>f al-Mana>wi>, al-Yawaqi>t wa al-Duraru fi> Syarh}i Nukhbah ibn H{ajar, juz 1 (Cet. I; Riya>d}: Maktabah al-Rusyd, 1999), h. 338.

213Syuhudi, op. cit., h. 135.

diadopsi, tentu seorang rawi yang hafal dan paham dengan baik riwayatnya harus mendapat penilaian yang lebih, apalagi jika hafalan riwayat yang sekaligus ia paham itu mampu dipelihara dan dijaga sampai saat ia menyampaikan kepada orang lain pastilah kualitas rawi d}a>bit} tersebut tidak sama dengan rawi d}a>bit} lainnya, sebab tidak menutup kemungkinan seorang rawi di sebagian atau di akhir hidupnya menjadi pikun dan mengalami gangguan hafalan.

Untuk itu, Syuhudi menetapkan ke-d}a>bit}-an rawi menurut berbagai pendapat ulama sebagai berikut:215

1) ke-d}a>bit}-an rawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama

2) ke-d}a>bit}-an rawi dapat diketahui berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh rawi lain yang telah dikenal ke-d}a>bit}-annya. Kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai di tingkat makna atau mungkin di tingkat teksnya.

3) Apabila rawi sekali-kali terjadi kekeliruan, maka ia masih dapat dinyatakan sebagai rawi yang d}a>bit}. Tapi, apabila terlalu sering salah maka riwayatnya itu tidak lagi disebut riwayat d}a>bit}.

Penilaian kualitas d}a>bit} yang tidak sama mengantarkan pada pembagian istilah berikut ini:

1) istilah d}a>bit} secara umum untuk rawi yang:

(a) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya

(b) mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain

2) istilah tamm al-d}abt} (d}a>bit} plus), untuk rawi yang: (a) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya

(b) mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalanya itu kepada orang lain

(c) paham dengan baik hadis yang dihafalnya itu.

Selain dua istilah tersebut masih ada istilah khafi>f al-d}abt}, tingkatannya sedikit kurang dari d}a>bit} secara umum. Rawi yang khafi>f al-d}abt} kualitas hadisnya disebut h}asan.216 Dengan begitu istilah d}a>bit} terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) tamm al-d}abt} (d}a>bit} plus); (2) d}a>bit} secara umum dan; (3) khafi>f al-d}abt}.

Dalam tradisi ilmu hadis, para kritikus hadis juga sudah memiliki istilah tersendiri dan membaginya kepada dua jenis d}abt} yakni d}abt} s}adr dan d}abt} kita>b. Istilah d{abt} s}adr inilah yang telah dibahas panjang lebar oleh ulama di atas dan disikapi dengan beberapa penilaian Syuhudi. Sedang d}abt} kita>b tidak terkait dengan pembahasan d{abt} s}adr, karena istilah ini menurut al-‘Asqala>ni> dan al-Harawi> merupakan pemahaman paripurna seorang rawi atas tulisan hadis yang terdapat dalam kitab hadis miliknya, sehingga tatkala ditemukan kesalahan maka rawi yang d}abt} kita>b dengan cermat mampu menunjukkan letak kesalahan itu.217 Dari penjelasan unsur-unsur penting seorang rawi s\iqah dapat dipahami bahwa maksud dari peri keadaan yang dikehendaki Syuhudi dalam menentukan ke-s\iqah-an adalah unsur adil dan d}a>bit}.218

216Dalam ilmu hadis dikenal dua jenis hadis h}asan, yakni h}asan liz\a>tihi dan h}asan li gairihi.

217Al-‘Asqala>ni>, loc. cit; al-Harawi>, loc. cit.

Penulis menilai ke-d}a>bit}-an yang diinginkan Syuhudi dalam menentukan kesahihan suatu matan hadis sehingga terhindar dari sya>z\, rawi da>bit tersebut harus berstatus tamm al-d}abt} (d}a>bit} plus), sebab jika seorang rawi s\iqah memiliki kekurangan dari segi hafalan atau pemahaman atas riwayat yang ia dengar dengan sendirinya akan mempengaruhi kredibilitas rawi dari segi intelektualitas.

Penilaian ini sejalan dengan pernyataan Syuhudi, bahwa diabaikannya riwayat rawi s\iqah karena bertentangan dengan rawi yang lebih s\iqah darinya, bukan pada masalah ke-adil-an rawi, tapi pada masalah tingkatan ke-d}a>bit}-an rawi. Kondisi ini menjadikan riwayat rawi yang hanya da>bit secara umum tersisihkan dan rawi yang da>bit plus diunggulkan.

Lain daripada itu, Syuhudi tampaknya alpa dalam menilai sahabat dari sisi ke-d}a>bit}-an. Sejauh ini penulis tidak menemukan apa alasan Syuhudi tidak membahas ke-d}a>bit}-an sahabat sebagaimana Syuhudi membahas ke-‘a>dil-an sahabat. Hemat penulis, titik sengketa dari konsep ke-‘a>dil-an sahabat ini sebenarnya sederhana saja. yaitu menilai diri para sahabat Nabi saw. sebagai jalur penyampai yang bisa dipercayai bagi al-Qur’an, hadis-hadis Nabi saw., serta seluk beluk kehidupan Nabi saw. selama beliau hidup, bagi generasi berikutnya.

Hal tersebut tidak berarti memberikan penilaian mereka sebagai sosok yang maksum yang tak mungkin berbuat salah, tidak mungkin lupa, tidak mungkin berbuat dosa, atau melakukan suatu kemaksiatan. Mereka bisa saja melakukan semua itu. Karena sifat maksum atau terhindar dari dosa hanya bagi Nabi saw. saja. Tidak maksumnya sahabat akan berpengaruh pada sisi ke-d}a>bit}-an, dan kalaupun hal itu ada, hanya akan menurunkan kualitas hadis dari sahih menjadi hasan.

Secara logika, ini bisa diterima, sebab di manapun di dunia ini, ketika orang ingin mengetahui sejarah dan catatan-catatan tentang kejadian sebelum kelahirannya, pasti memerlukan info dari orang yang hidup sebelumnya. Seseorang

Dokumen terkait