• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

D. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Reformasi telah membawa perubahan setidaknya terlihat pada dua aspek, yaitu mekanisme pemilihan kepala pemerintahan di tingkat nasional dan daerah, serta pelaksanaan pemilihan langsung calon legislatif pusat dan daerah. Harapan perubahan ke arah yang lebih baik ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, meskipun sempat dinilai terlalu dipaksakan oleh pemerintah pada waktu itu. Perubahan ini berarti adanya pergeseran kedaulatan politik dari partai politik (parpol) kepada rakyat yang secara langsung dapat memberikan suaranya dalam menentukan siapa yang mereka nilai layak untuk memimpin.38

Seiring perubahan sistem pemilihan pemerintahan di tingkat nasional, ternyata memiliki implikasi politis terhadap sistem pemilihan kepala pemerintahan di tingkat daerah. Pada masa Orde Baru, kepala pemerintahan di daerah, tingkat satu dan dua, calon-calon dipilih secara proforma oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian diajukan untuk mendapatkan restu dari atas. Pada masa reformasi, proses pemilihan yang bersifat lebih sentralistis kemudian bergeser kepada pilihan anggota DPR Daerah. Sistem Pilkada masih bersifat oligarkis dan rakyat masih belum berdaulat sepenuhnya dalam memilih kepala daerah. Namun, pergeseran ini dapat dinilai sebagai

38 Donni Edwin et al, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, dalam Koleksi Pustaka Pribadi Cecep Effendi, (Jakarta: Partnership, 2005), Cet. Ke-1, h. 1.

langkah maju dalam proses demokratisasi, yaitu bentuk desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah) hasil langsung dari reformasi.39

Sebelum munculnya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sewaktu itu UU No.22 Tahun 1999 digunakan sebagai landasan hukum Pilkada. Mekanisme tersebut memiliki dampak terhadap minimnya peranan masyarakat dalam menentukan siapa yang akan memimpin wilayah mereka dalam waktu lima tahun. Kini dengan disahkannya UU No.32 Tahun 2004, yang mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa sistem Pilkada mengalami perubahan ke arah yang lebih demokratis, rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya dalam memilih calon pemimpin mereka.40

39 Donni Edwin et al, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance…,h. 2.

40 Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktek dalam Pilkada Langsung, (Bandung: PT Simbiosa Rekatama Media, 2010), h. 175.

Bagan 2.1.

Model Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Indonesia41

Umpan balik

Berdasarkan bagan di atas, Pemilihan Kepala daerah terbagi tiga, yaitu ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, ditunjuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan secara langsung. Pilkada secara langsung yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten serta diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Panwaslu itu sendiri terdiri dari kejaksaan, perguruan tinggi, kepolisian, pers, serta tokoh masyarakat. Pada model pemilihan secara langsung ini, pasangan calon kepala

41 Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik; Teori dan Praktek dalam Pilkada Langsung…,h. 126. PEMERINTAH PUSAT KPUD PANWAS DPRD 1. Pendaftaran Pemilih 2. Pencalonan 3. Kampanye 4. Pemungutan dan Perhitungan

5. Penetapan Calon Terpilih Calon Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah Partai Gabungan Partai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pemantau Masyarakat

daerah dan wakilnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyarakatan dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilihan umum untuk dipilih secara langsung oleh rakyat pemilih.

Perubahan sistem pemilihan berarti juga telah membawa perubahan hubungan tata pemerintahan antara pusat dan daerah. Pendelegasian kekuasaan dari pusat ke daerah tidak lagi terbatas pada kewenangan yang bersifat administratif, tetapi telah bergeser ke arah yang lebih maju yaitu kewenangan politik dan juga menjadi ‘pemimpin politik’ di daerah, karena dipilih dan mendapatkan legitimasi politik yang kuat dari rakyat.42

2. Sisi Positif dan Sisi Negatif Pilkada

Harus diingat bahwa Pilkada hanyalah sebuah proses yang tidak bediri sendiri. Baik atau buruknya proses berkaitan langsung dengan subjek yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Keberhasilan pelaksanaan Pilkada, baik dalam pengertian ‘prosedural’ ataupun ‘substansial’, terkait dengan tiga faktor; (1) pemilih yang memiliki hak pilih, (2) penyelenggara yaitu KPU Daerah, Panwaslu, pemantau, dan pemerintah, serta (3) lembaga stake holders lainnya.43

Beranjak dari faktor keberhasilan pelaksanaan Pilkada, ada pula sisi positif dan sisi negatif dari pelaksanaan Pilkada. Sisi positif dari Pilkada, yaitu

pertama, kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung akan

42 Donni Edwin et al, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance…, h. 2.

43 Donni Edwin et al, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance…,h. 3.

mendapat mandat dan dukungan yang riil dari rakyat sebagai wujud “kontrak sosial” antara pemilih dengan yang dipilih. Semangat Pilkada langsung adalah memberikan ruang yang luas bagi partisipasi politik masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan di daerah masing-masing. Sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah nantinya sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya, atau dengan kata lain, lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya. Selain itu, Pilkada secara langsung oleh rakyat ini akan membawa pengaruh secara transparan dan bertanggungjawab, sehingga akan membawa dampak kepada peningkatan pendidikan politik rakyat.44

Kedua, kedekatan calon dengan masyarakat daerah dan penguasaan medan

(geografi, demografi, SDA, dan SDM) dan berbagai permasalahan dalam masyarakat, merupakan prasyarat mutlak yang harus dikuasai oleh calon. Pendayagunaan sumber daya (resources)yang dimiliki calon akan lebih efektif dan efisien, sebab komunikasi calon dengan masyarakat tidak difasilitasi oleh pihak ketiga, walaupun menggunakan kendaraan parpol. Ketokohan figur calon sangat menentukan dibanding dengan kekuatan mesin parpol, artinya besar atau kecilnya parpol yang dijadikan kendaraan politik pencalonan tidak berkolerasi kuat terhadap keberhasilan seorang calon.45

Ketiga, Pilkada secara langsung dapat menjadi mekanisme rekrutmen

politik atas calon pemimpin bangsa. Dengan kata lain, mungkin saja dapat

44 Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi, Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan, (Jakarta: IIP Press, 2005), Cet. Ke-1, h. 9.

45 Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi, Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan…, h. 10.

meningkatkan gairah birokrasi Pemerintahan Daerah, karena adanya keleluasaan untuk mengambil keputusan, serta terbukanya peluang karir yang lebih tinggi melalui kompetensi profesional. Artinya, jika kinerja seseorang bupati atau walikota piawai, mungkin saja dapat dicalonkan dalam pemilihan gubernur. 46

Keempat, pemberian pelayanan umum kepada masyarakat akan semakin

meningkat, baik kualitas maupun kuantitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan yang lebih baik yang pada gilirannya akan menimbulkan keterpercayaan kepada masyarakat.47

Sedangkan, sisi negatifnya, yaitu pertama, kemungkinan munculnya konflik kepentingan antara propinsi dan kabupaten atau kota, dan antar daerah. Dampak pemekaran daerah sehingga menjadi ajang perebutan kekuasaan di kalangan elit politik lokal. Atau dengan kata lain, proses Pilkada ini dapat menyebabkan monopoli di tingkat lokal, bahkan merambah kepada struktur politik di tingkat lokal. Kedua, ketidakseimbangan populasi antara penduduk asli dengan para pendatang yang relatif lebih besar jumlahnya di daerah pemekaran. Ketiga, dalam penyelenggaraan Pilkada langsung kemungkinan terjadinya isu kolusi dan isu money politic, disebabkan ekonomi di daerah masih relatif rendah. Fanatisme golongan dan keluarga sangat menonjol

46 Agust Riewanto, Ensiklopedia Pemilu, (Wonogiri: Lembaga Studi Agama dan Budaya, 2007),h. 180.

47 Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi, Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan…, h. 11.

sehingga kadang tidak rasional dan menimbulkan sikap siap menang, tetapi tidak siap kalah.48

Keempat, sikap dan perilaku birokrasi pusat yang cenderung untuk tetap

mempertahankan statusquo, terutama dalam hal mempertahankan kewenangan pusat yang enggan menyerahkannya kepada daerah (tidak transparan). Kelima, kekurangpahaman terhadap metode riset ilmiah melalui quick count sehingga cenderung menolak hasil perhitungan dengan melakukan perhitungan sendiri yang kurang didasari keakuratan data.49

Dokumen terkait