4 HASIL DAN PEMBAHASAN
3. Pemilihan model berdasarkan ringkasan model secara statistik
Proses pemilihan model ini berdasarkan ringkasan model secara statistik. Parameter statistik yang digunakan untuk memilih model yang tepat difokuskan pada akar R-kuadrat dan prediksi R-kuadrat terendah. Hasil pemilihan model berdasarkan ringkasan model secara statistik dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Pemilihan model berdasarkan ringkasan model secara statistik
Sumber Ragam Standar Deviasi R-kuadrat Akar R-kuadrat Prediksi R-kuadrat Presisi Linear 0.29 0.3770 0.2436 -0.3784 2.65 2FI 0.30 0.4704 0.1816 -1.3107 4.45 Quadratic 0.17 0.8863 0.7583 -0.2547 2.41 Cubic 0.14 0.9574 0.8189 -26.6387 53.18
Tabel 9 menunjukkan bahwa diantara model–model yang ada yaitu linier, 2FI, dan kuadratik, hanya model kuadratik yang menunjukkan status disarankan yang berarti bahwa model tersebut disarankan untuk digunakan.
Persamaan berikut merupakan bentuk umum persamaan regresi untuk model kuadratik :
Y = -18.9555 + 0.61884 X1+ 4.3449X3-0.058046X1X3-0.22536X32 ... (2)
Koefisien model regresi pada persamaan terdiri atas satu koefisien blok, dua koefisien linier, satu koefisien interaksi, dan satu koefisien kuadrat. Model persamaan merupakan interaksi 3 faktor dan linier.
Tabel 10 Hasil uji analisa ragam (ANOVA) dari desain eksperimen CCD
Sumber Jumlah
kuadrat
DB Mean kuadrat F Hitung Nilai P Prob>F Model 1.56 3 0.52 23.71 <0.0001 X1 0.67 1 0.67 30.65 0.0002 X1X3 0.14 1 0.14 6.51 0.0357 X3 X3 0.74 1 0.74 28.00 0.0001 Residual 0.31 14 0.022 Lack of Fit 0.29 11 0.027 5.30 0.0759
Pure Error 0.015 3 5.010E-003
Cor Total 1.93 19
Tabel 11 Lanjutan hasil uji analisa ragam (ANOVA) dari desain eksperimen CCD
Hasil analisa ragam pada Tabel 10 dengan = 0.05, diketahui bahwa faktor yang signifikan adalah konsentrasi tongkol jagung (X1), interaksi konsentrasi tongkol
Std.Dev. 0.15 R-kuadrat 0.8377
Mean 2.17 Akar R-kuadrat 0.7666
C.V.% 7.48 Prediksi R-kuadrat 0.6269
PRESS 0.72 Adeq Presisi 11.350
Disarankan
Signifikan
28
jagung dengan pH (X1X3) dan pH (X3) karena Pvalue< 5%. Hasil analisa model dengan nilai Pvalue< 5% juga menunjukkan signifikan yang berarti model dapat digunakan untuk proses optimasi produksi xilanase. Selain itu dari hasil uji Lack of Fit terhadap model dapat diketahui bahwa tidak ada ketidaktepatan model, hal ini dapat dibuktikan dari nilai Lack of Fit diperoleh Pvalue = 0.0982 (Not significant) > derajat signifikansi artinya model regresi diterima (Tabel 10).
Berdasarkan uji ANOVA pada Tabel 11 diperoleh nilai koefisien determinasi R2 = 0.8356 yang menunjukkan bahwa hubungan korelasi 83% variabel respon pada produksi xilanase dipengaruhi oleh variabel independen.
Keakuratan model juga dapat diketahui dari perbandingan nilai aktual penelitian dengan prediksi model. Hasil prediksi model (Predicted) dinyatakan sebagai garis lurus dan aktual hasil penelitian (Actual) dinyatakan sebagai kotak. Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui nilai aktual dan prediksi tersebar mendekati garis linier. Hal ini menunjukkan deviasi yang rendah sesuai dengan uji ANOVA nilai standar deviasi menunjukkan 0.15. Nilai standar deviasi yang rendah ini menunjukkan bahwa model memiliki keakuratan yang baik atau model tersebut sesuai (fit model). Model dikatakan tepat jika uji asumsi residual memenuhi asumsi berdistribusi normal. Apabila plot residual menyebar acak disekitar nol dan cenderung mendekati garis lurus (garis linier) sehingga terdistribusi normal (Gaspersz 1995).
Gambar 6 Distribusi sebaran nilai aktual dan prediksi produksi xilanase Prediksi vs. Aktual Pre di ks i Aktual Prediksi vs. Aktual
Dengan menggunakan persamaan (2) dapat diprediksikan level optimum konsentrasi xilan tongkol jagung, tepung ikan P, dan pH untuk produksi xilanase. Gambar 7, 8, 9 menunjukkan respon permukaan dan plot kontur 3D pada optimasi fermentasi produksi xilanase. Menurut Myers (1971), respon optimal dapat berupa grafik maksimum, minimum dan pelana (Saddle Point). Penentuan titik optimum dari variabel bebas (faktor) yang memiliki pengaruh nyata terhadap respon dilakukan setelah model sesuai. Titik optimum faktor yang dipilih adalah yang memiliki respon yang paling maksimum. Titik optimum dilakukan dengan menganalisa bentuk kurva permukaan dan kontur respon terhadap faktor. Diketahuinya titik stasioner atau titik optimum, maka bentuk kurva dapat ditentukan memiliki titik maksimum, titk minimum atau titik pelana.
Pada penelitian ini setelah dilakukan analisis secara statistik, maka kesimpulan yang diperoleh adalah model desain CCD telah cukup dan sesuai untuk mewakili model. Dari persamaan baru diperoleh nilai respon yang baru. Hasil perhitungan nilai respon dapat dilihat dalam Lampiran 2. Nilai respon yang terukur dalam penelitian tidak berbeda jauh dengan hasil respon perhitungan secara teoritis oleh model permukaan respon. Daerah optimum faktor yang menghasilkan respon paling maksimum dapat terlihat dari kontur plot kuva 3D dalam Gambar 7, menunjukkan bahwa kurva yang diperoleh tidak berbentuk parabola sempurna, melainkan kurva berbentuk pelana (Saddle Point) sehingga sedikit sulit untuk menentukan titik optimum dari kurva. Penentuan titik optimum dapat dilakukan dengan menganalisa tingkat pengaruh faktor sumber karbon, sumber nitrogen dan pH terhadap respon jumlah total produksi xilanase berdasarkan kontur permukaan respon tertinggi pada Gambar 7.
Gambar 7 Pengaruh pH dan tongkol jagung dengan level terkodekan terhadap produksi xilanase
Produksi xilanase total tertinggi yaitu 522±26.6 U/mL diproleh pada rentang konsentrasi tongkol jagung yang sedang 4.36% (b/v) level -1 sampai level 0 dan rentang konsentrasi tepung ikan P tinggi 1.75% (b/v) level 0 sampai level +α.
Titik optimum berada di dalam daerah yang rentang total xilanase yang diprediksi maksimum. Hal ini menyatakan bentuk kurva cenderung maksimum terbukti dari
30
bentuk kurva 3D Gambar 8. Pada kondisi optimum ini prediksi model pada aktivitas xilanase yang dihasilkan 521.3 U/mL (Log10 2.7176).Titik optimum pada model ini berada pada titik tertinggi (warna kemerahan), kontur dari titik optimum berupa Saddle Point ini diduga dikarenakan penentuan batas atas dan batas bawah dari faktor yang diujikan kurang tepat.
Gambar 8 Pengaruh tepung ikan P dan tongkol jagung dengan level variabel terkodekan terhadap produksi xilanase
Gambar 9 Pengaruh pH dan tepung ikan P dengan level terkodekan terhadap produksi xilanase
Gambar 9 menjelaskan bahwa pemberian konsentrasi konsentrasi tepung ikan P yang lebih tinggi atau lebih rendah tidak akan berpengaruh pada peningkatan aktivitas xilanase dapat dilihat dari pelengkungan pada kurva. Pengujian hasil prediksi aktivitas xilanase dilanjutkan dengan melakukan pengujian sesuai prediksi yang disarankan pada model yaitu dengan penambahan konsentrasi tongkol jagung. Interaksi pH dan sumber nitrogen dari tepung ikan P tidak dilakukan validasi karena dari data analisa ANOVA sumber nitrogen tidak signifikan <P=0.05 dengan model yang diinginkan hal ini pun diketahui pada analisa ANOVA selisih antara Pred-Adjusted > dari 15% ataupun – (negatif), dan juga terlihat pada Gambar 9 yang menunjukkan respon permukaan plot kontur 3D
Tepung ikan P Tongkol jagung
yang tidak mencapai titik optimum yang ditandai dengan tidak adanya warna merah pada kelengkungan kurva. Pengujian hasil prediksi produksi xilanase selanjutnya dilanjutkan dengan melakukan pengujian sesuai prediksi yang disarankan pada model yaitu dengan penambahan konsentrasi tongkol jagung. Oleh karena itu pada saat dilakukan validasi model hanya sumber karbon tongkol jagung yang dioptimalkan. Setelah RSM memberikan saran titik komposisi yang akan divalidasi untuk melihat batas kecocokan model maka dilakukan kembali fermentasi sesuai dengan yang disarankan desain RSM (Tabel 12), dari hasil validasi diketahui nilai hasil perkiraan titik optimum secara teoritis sebesar 521.32 U/mL tidak jauh berbeda dari nilai hasil validasi menggunakan komposisi media tersebut yaitu sebesar 522±26.6 U/mL dengan tingkat kesamaan 99.8 % sehingga model dikatakan valid.
Tabel 12 Validasi model berdasarkan solusi dari desain model
Tongkol jagung % (b/v) Tepung ikan P % (b/v) pH Prediksi produksi xilanase (U/mL) Aktual produksi xilanase (U/mL) 4.36 1.75 9 521.32 522±26.6 9.33 1.75 9 635.5 115±20.6 9.83 1.75 9 712.6 67±4.7
Namun pada hasil validasi data dengan konsentrasi karbon dinaikkan menjadi 9.83% (b/v) terjadi penurunan produksi xilanase yang dihasilkan yaitu sebesar 67 U/mL yang secara teoritis model memprediksikan sebesar 712 U/mL dan pada konsentrasi karbon 9.33% (b/v) juga terjadi penurunan produksi xilanase yang dihasilkan yaitu sebesar 115 U/mL berbeda jauh dari apa yang diprediksikan model yaitu sebesar 635.5 U/mL. Sehingga penambahan konsentrasi sumber karbon diatas 9.33% (b/v) akan menyebabkan penurunan aktivitas enzim xilanase yang berarti model persamaan yang telah didapatkan sudah tidak valid. Hal ini juga diduga dikarenakan adanya perubahan kondisi media fermentasi dari cair (submerged) menjadi semi padat (koloid hidrofilik gel) dengan penambahan substrat tongkol jagung. Menurut Schlegel (1994), ketersediaan air memiliki peranan yang sangat penting bagi mikroorganisme untuk pertumbuhan.Selain sebagai komponen terbesar penyusun sel 70-80%, air juga berfungsi sebagai reaktan dalam berbagai reaksi biokimia. Beberapa air yang tidak dapat digunakan mikroorganisme sebagai reaktan yaitu adanya solut dan ion yang dapat mengikat air dalam larutan (gula dan garam), koloid hidrofilik gel sebanyak 3-4% dapat menghambat pertumbuhan sel, dan hidrasi yaitu air dalam bentuk kristal es. Menurut Ahmadi dan Estiasih (2009), dalam suatu proses fermentasi Aktivitas air (aw) juga mempengaruhi pertumbuhan mikroba karena aw merupakan penentu banyaknya jumlah air bebas didalam suatu bahan media fermentasi yang dapat digunakan oleh mikroba untuk melakukan pertumbuhan dan berkembangbiak, semakin tinggi aw dalam suatu media maka akan lebih menopang kehidupan mikroorganisme. Bakteri Bacillus sp. untuk dapat tumbuh optimal membutuhkan aw 0.91 sehingga cocok pada fermentasi cair dengan karakteristik aw > 0.9. Berbeda dengan bakteri, fungi membutuhkan aw < 0.9 sehingga cocok pada fermentasi media padat dengan karakteristik aw 0.7, oleh karena ketersediaan aw begitu penting, diduga perubahan kondisi fermentasi produksi pada penelitian ini menjadi semi padat menyebabkan pertumbuhan B. halodurans CM1 menjadi
32
kurang optimal. Penambahan substrat xilan diatas konsentrasi optimum juga menyebabkan penurunan produksi xilanase hal ini sesuai dengan penelitian Gessese dan Mamo (1997) yang menggunakan substrat xilan oatspelt pada
Bacillus sp AR-009, menghasilkan xilanase 45.2 U/mL pada konsentrasi xilan 10 mg/mL namun apabila penggunaan xilan oatspelt diatas konsentrasi menyebabkan penurunan produksi xilanase.
Waktu fermentasi untuk produksi xilanase dan laju pertumbuhan biomassa
B. halodurans CM1 diperlukan untuk mengetahui waktu produksi xilanase optimum. Pada penelitian ini produksi xilanase hingga jam ke 6 tidak mengalami peningkatan karena bakteri masih dalam proses adaptasi dari medium starter ke medium produksi. Adaptasi sel dengan jumlah biomassa sel yang masih sedikit mengakibatkan aktivitas enzim yang dihasilkan kecil sehingga degradasi xilan oleh xilanase juga masih rendah. Fase adaptasi dapat disebut juga fase lag yaitu fase dimana bakteri baru mengalami pengenalan pada kondisi yang baru dalam hal ini kultur cair dan penyesuaian agitasi. Agitasi pada fermentasi medium cair dapat membantu pertumbuhan bakteri dengan memberikan intensitas kontak bakteri terhadap substrat lebih banyak sehingga diharapkan degradasi xilan oleh xilanase lebih tinggi. Pada fermentasi medium cair komposisi dan konsentrasi medium dapat diatur dengan mudah. Selain itu difusi oksigen, pH, dan nutrisi tersebar merata kedalam medium karena adanya proses agitasi (Rachman 1989; Suhartono 1989). Fase eksponensial terjadi dari jam ke 12 hingga mencapai puncaknya pada jam ke 24 yang terlihat dari kenaikan jumlah sel bakteri yang sangat besar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada kisaran waktu tersebut pembentukan sel dari B. halodurans CM1 sangat cepat dan saat itu merupakan waktu pertumbuhan yang paling optimal. Pada jam ke-24 merupakan fase stasioner akhir yang merupakan waktu optimum pemanenan enzim xilanase. Waktu optimum dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Brock et al. (1994), waktu inkubasi optimum aktivitas enzim biasanya dihasilkan pada fase stasioner akhir dari kurva pertumbuhan, dimana enzim telah dihasilkan pada fase log dan terakumulasi pada fase stasioner. Bacillus sp. AR-009 menghasilkan produksi xilanase tertinggi setelah inkubasi 40 jam juga pada fase stasioner (Gessesse dan Mamo 1997). Hal ini juga sesuai dengan penelitian Khandeparkar dan Bhosle (2003), Enterobacter
sp. MTCC 5112 menghasilkan xilanase tertinggi setelah inkubasi 50 jam, yang merupakan fase stasioner bakteri tersebut. Kondisi pada fase stasioner ini juga disebut sebagai pertumbuhan seimbang karena terjadi laju pertumbuhan dan aktivitas metabolik yang konstan. Kondisi ini berlanjut hingga sumber karbon dan energi di media telah habis (Pleczar dan Chan 1986). Dimulai dari jam ke 24 hingga jam ke 30 merupakan fase kematian yang terlihat dari berkurangnya jumlah sel bakteri selama kisaran waktu tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa sudah ada B. halodurans CM1 yang mati karena kekurangan nutrisi serta dihasilkannya metabolit sekunder yang bersifat toksik. Kondisi nutrisi di dalam media yang semakin berkurang serta mulai jenuhnya kondisi lingkungan dengan metabolit sekunder yang bersifat toksik membuat sel baru yang tumbuh menjadi sebanding dengan banyaknya sel yang mati,sehingga jumlah sel hidup menjadi tetap.
Pada Gambar 10 juga terlihat bahwa pembentukan xilanase berasosiasi dengan petumbuhan bakteri dimana produksi xilanase merupakan metabolit primer dari isolat B. halodurans CM1 sehingga pembentukan gula-gula sederhana
dapat terukur sebagai akibat aktivitas enzim. Dalam percobaaan ini fermentasi produksi xilanase B. halodurans CM1 dengan skala 100 mL dalam erlenmeyer 500 mL. Dinamika pertumbuhan bakteri mengalami kenaikan sejalan dengan kenaikan maksimum produksi xilanase. Produksi enzim tertinggi didapat pada jam ke 24 yaitu 522 U/mL dan jumlah sel B. halodurans CM1 adalah 2.2 x 108 sel/mL.
Gambar 10 Kurva jumlah sel B. halodurans CM1 (-♦-), dan aktivitas produksi xilanase (-■-) pada 50 ºC pH 9 selama waktu inkubasi
Enzim yang dihasilkan pada fase log akan terakumulasi pada fase stasioner (Brock et al. 1994), sehingga didapatkan waktu optimum untuk produksi xilanase yaitu pada jam ke 24, fase stasioner akhir pertumbuhan B. halodurans CM1.
Kadar protein diukur dengan menggunakan metode Bradford (1976) dimana protein enzim akan bereaksi dengan pereaksi coomassie Brilliant Blue G-250. Aktivitas xilanase ditentukan oleh dua faktor, yaitu unit aktivitas dan kadar protein. Enzim merupakan protein, maka dengan mengetahui kadar protein keseluruhan dapat diketahui besarnya protein yang berfungsi sebagai enzim melalui kemampuannya dalam mengubah substrat menjadi produk yang diinginkan.
Dari grafik pada Gambar 11 terlihat bahwa peningkatan kadar protein yang terukur melalui aktivitas spesifik enzim xilanase menunjukkan pola kurva yang meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas xilanase dari B. halodurans
CM1. 0 100 200 300 400 500 600 0,000E+00 5,000E+07 1,000E+08 1,500E+08 2,000E+08 2,500E+08 3,000E+08 0 6 12 16 20 24 28 Ak tiv it a s Xila na se U/m l Lo g Se l/ m l Waktu (Jam )
34
Gambar 11 Kurva hubungan antara kadar protein xilanase (-♦-), dan aktivitas xilanase (-■-) pada 50 ºC pH 9 terhadap waktu inkubasi
Gambar 12 Kurva hubungan antara aktivitas (-■-) dan aktivitas spesifik enzim xilanase (-♦-), pada 50 ºC pH 9 terhadap waktu inkubasi
Hubungan aktivitas enzim xilanase dan aktivitas spesifik dari B. halodurans
CM1 dapat dilihat pada Gambar 12, aktivitas spesifik meningkat pada fase eksponensial dimana produksi enzim xilanase dengan jumlah besar terjadi pada fase ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa xilanase merupakan produk metabolit primer yang berasosiasi dengan pertumbuhan sel yang menggunakan tongkol jagung untuk kelangsungan hidup B. halodurans CM1.
0 100 200 300 400 500 600 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0 6 12 16 20 24 28 Ak tiv it a s Xila na se U/m L K a da r P ro tein ( m g ) Waktu ( Jam ) 0 100 200 300 400 500 600 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 0 6 12 16 20 24 28 Ak tiv it a s Xila na se U/m L Ak tiv it a s Sp esifik Xila na se U/m g Waktu ( Jam )
Xilan merupakan penginduksi dari xilanase karena xilanase dapat diinduksi oleh media yang mengandung residu xilan murni, xilooligosakarida, xilosa, dan residu lignoselulosa (Beg et al. 2001). Berdasarkan laporan Garcia et al. (2002), tongkol jagung mengandung xilan sebesar 15-30%. Sedangkan menurut Yang et al. (2005) kadar xilan dari tongkol jagung adalah 34.8%. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa meningkatnya aktivitas xilanase selama inkubasi menunjukkan telah terjadi induksi enzim xilanase oleh xilan tongkol jagung sehingga mencapai waktu optimumnya.
Setelah jam ke-24 aktivitas enzim xilanase mulai menurun,penurunan unit aktivitas xilanase ini seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi pada suhu optimum, hal ini berkaitan dengan berubahnya struktur tiga dimensi protein enzim yang menyebabkan turunnya aktivitas katalitik Brock et al. (1994).
Penurunan produksi xilanase terjadi setelah fermentasi pada jam ke-24 terjadi setelah melewati fase stasioner karena pertumbuhan bakteri telah menurun menuju ke fase kematian sel. Penurunan produksi xilanase juga terjadi karena nutrisi yang dibutuhkan bakteri yang terkandung dalam media telah habis terpakai untuk pertumbuhan bakteri, selain itu terjadi akumulasi metabolit dimana produk akhir sintesis enzim terakumulasi dalam media fermentasi sehingga dapat menghambat aktivitas xilanase. Dalam hal ini dapat terjadi mekanisme penghambatan aktivitas enzim pada tahap awal jalur biosintesis dalam kontrol produksi enzim (Pelczar dan Chan 1986), produk akhir terikat pada sisi alosterik dan mengubah konformasi enzim sehingga substrat tidak dapat terikat pada sisi aktif enzim. Bauman (2004) menyatakan pentingnya inducer (xilan) dalam media produksi, mekanisme induksi diatur oleh protein represor. Jika di dalam suatu media terdapat substrat (penginduksi xilan) maka protein represor akan menjadi tidak aktif sehingga terjadi proses biosintesis enzim penghidrolisis substrat. Namun dengan habisnya penginduksi xilan dalam suatu media akan menyebabkan protein represor aktif sehingga sintesis enzim penghidrolisis xilan ditekan sehingga produksi xilanase turun. Faktor lain yang dimungkinkan penyebab menurunnya produksi enzim ialah adanya proteolisis oleh protease indigenous yang lepas ke dalam media akibat pecahnya sel yang mati. Proteolisis oleh protease indigenus merupakan fenomena yang umum terjadi apabila sel yang telah mati mengalami lisis. Proteolisis dapat merusak protein termasuk enzim di dalam medium yang belum dipisahkan dari masa sel bakterinya (Spurway et al. 1997; Rahmanta 2003)
Komposisi media fermentasi dari Mamo et al. (2006) mengandung beberapa mineral seperti Mg, K, Ca dan Na dalam hal ini konsentrasi mineral tersebut diduga mempengaruhi tingginya aktivitas bakteri dalam menghasilkan enzim sesuai dengan penellitian Becker (2000), bahwa mineral kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel mikroba dan mencerna serat secara maksimal oleh bakteri. Mineral Ca berperan dalam menjaga stabilitas struktur dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan kerusakan pertumbuhan dan proses proses metabolisme dalam sel. Ion magnesium (Mg2+) ditemukan pada turunan porfirin yaitu : Magnesium dalam molekul klorofil, dan peroksidase. Mg2+ sangat penting untuk fungsi dan metabolisme dalam ribosom. Ca2+ dibutuhkan sebagai komponen dinding sel gram positif, meskipun ion tersebut juga dibutuhkan untuk bakteri gram negatif (Pelczar dan Chan 2006).
36
Menurut penelitian Kumar dan Satyanarayana (2011) dengan substrat dedak gandum dengan B. halodurans TSEV1 bersifat alkalistabil dan termostabil menghasilkan xilanase 40 U/mL menggunakan desain CCD pada pH 9, suhu 80 ºC optimum. Pada penelitian ini didapatkan hasil yang lebih tinggi yaitu xilanase sebesar 522 U/m substrat tongkol jagung dengan menggunakan metode CCD yang sama namun perbedaannya pada jenis substrat yang digunakan. Begitupun jika dibandingkan dengan penelitian Mamo et al. (2006) dengan metode konvensional menggunakan B. halodurans S7 hanya menghasilkan produksi xilanase sebesar 5.1 U/mL. Pada penelitian Bocchini et al. (2002) menggunakan metode optimasi RSM didapatkan hasil konsentrasi xilan dan waktu yang optimal untuk memproduksi xilanase adalah 5 g/l dengan waktu fermentasi 48 jam dihasilkan aktivitas xilanase sebesar 19 U/ml menggunakan Bacillus circulans D1. Pada penelitian ini produksi xilanase mengalami peningkatan lebih tinggi dan dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih pendek dari Bocchini et al. (2002) yaitu lamanya waktu fermentasi 24 jam sebesar 522.52 U/mL dengan konsentrasi tongkol jagung 4.37% (b/v). Pada penelitian ini penambahan konsentrasi tepung ikan P dan pH tidak mempengaruhi produksi dan konsentrasi tepung ikan P dan pH masing-masing adalah 1.75% (b/v) dan 9. Produksi xilanase menggunakan jamur membutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan bakteri. Pada penelitian Katapodis et al. (2006), jamur Sporotrichum thermophile
menggunakan substrat tongkol jagung dengan desain RSM menghasilkan xilanase optimum sebesar 56 U/mL selama 5 hari inkubasi, hasil ini menunjukkan waktu inkubasi yang cukup lama jika dibandingkan waktu produksi dengan bakteri B. halodurans CM1 pada percobaan ini selama 24 jam.
Pada penelitian ini percobaan validasi juga dilakukan untuk memverifikasi ketersediaan dan akurasi model, dan hasilnya menunjukkan bahwa nilai validasi prediksi yang cukup baik dengan nilai-nilai eksperimental yang dicobakan.