• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Tingkat Nasional

BAB III ANALISA DATA DAN WAWANCARA

3.1 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Tingkat Nasional

Berdasarkan Undang-undang No. 42 tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden maka Republik Indonesia pada tahun 2014 melaksanakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung untuk ketiga kalinya sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini juga mendapat respon dari berbagai organisasi politik dan organisasi massa lainnya maupun tokoh agama di indonesia untuk mengambil langkah dan kebijakan dalam melihat dan membahas tentang pesta demokrasi ditingkat nasional.

Pemilihan ini menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia. Presiden pertama Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat maju kembali dalam pemilihan ini karena dicegah oleh undang-undang yang melarang periode ketiga untuk seorang maju menjadi presiden. Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut, 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua).

Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.

Pemilihan umum ini diikuti oleh dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014, serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada tanggal 31 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 2 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, serta melakukan pengundian nomor urut pada 1 Juni 2014. Berikut adalah kandidat resmi beserta nomor urutnya yang telah ditetapkan KPU.

1. Prabowo Subianto-Hatta Radjasa

(Gerindra/Golkar/PPP/PKS/PAN/Demokrat)

2. Joko widodo-Muhammad Jusuf Kalla (PDI–P/Hanura/NasDem/PKB)46

  Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa, Calon Presiden dan calon

      

46

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014, diakses pada tanggal 26 juli 2014 Pukul 15.00 Wib

Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Sementara Pasal 9 undang-undang yang sama mengamanatkan, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum

pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.47 

Sebagaimana diketahui, berdasarkan rekapitulasi KPU terhadap hasil Pileg 2014, tidak satu pun partai dapat memenuhi ambang batas minimal untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Karena semua partai peserta pemilu tidak dapat memenuhi ambang batas itu, sangat jelas koalisi partai gabungan partai politik menurut Pasal 9 UU No. 42/2008 tak terhindarkan lagi. Secara teoretis, koalisi partai bukan hanya solusi atas minimnya perolehan suara partai yang dapat mengajukan kandidat pada bursa calon pemilihan presiden, tetapi juga sebagai wilayah bagi penciptaan stabilitas politik, terutama pemerintahan.48

Sejak Indonesia menerapkan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai, sejak itu pula negeri ini masuk dalam Dengan semakin sedikitnya kontestan pemilu dan berkurangnya kompetitor, partai yang bertarung seharusnya makin mudah meraup suara. Namun, selain tetap sulit terkonsentrasi di kutub tertentu, suara pemilih tetap tersebar. Suara yang berhasil diraih pemenang pemilu dalam tiga pemilu terakhir masing-masing 33,73 persen

      

47

http://rumah pemilu.com/laporan/referensi Leo20Agustino, Pemilihan Umum Di Indonesia 2014 Prisma Vol.33, No.20 2014 Diakses Pada Tanggal 06 Juni 2015 Pukul 16.00 Wib

48

(Pemilu 1999), 23,27 persen (Pemilu 2004), dan 20,85 persen (Pemilu 2009),

bukan suara mayoritas mutlak.49

Jika diasumsikan bahwa banyak partai tidak ingin bergabung dengan partai pemenang pemilu, maka pemerintah akan menjadi pemerintah yang minoritas (minority government). Kombinasi presidensialisme-multipartai membuat demokrasi cenderung tidak stabil, karena eksekutif dan legislatif dikuasai partai yang berbeda. Hal tersebut menyulitkan pemerintah dan parlemen untuk mencapai

konsensus, dan kerap menciptakan konflik berkepanjangan bahkan political

deadlock. Karena sebagian besar kursi parlemen dikuasai partai oposisi, setiap program kebijakan yang diajukan pemerintah bisa dihadang dan digoyang

parlemen, bahkan presiden terancam pemakzulan (impeachment). Karena itu,

solusi agar tidak terjadi political deadlock, partai politik pemenang pemilu harus

melakukan kolaborasi dalam bentuk koalisi.50

Sebelum koalisi pencapresan 2014 terbentuk, setidaknya ada tiga partai politik menyodorkan nama yang akan dicalonkan sebagai presiden. Ketiga partai itu adalah PDI-P yang menjagokan Joko Widodo, Partai Golkar memajukan Aburizal Bakrie, dan Partai Gerindra mengusung Prabowo Subianto. Namun, pada masa kampanye Pileg muncul beberapa nama kandidat Presiden Indonesia periode 2014-2019. Mereka ialah Hatta Rajasa (PAN), Wiranto (Partai Hanura), Surya Paloh (Partai NasDem), Rhoma Irama dan Mahfud MD (PKB), Anis Matta, Hidayat Nurwahid, dan Ahmad Heryawan (PKS), Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung (Partai Golkar), bahkan Abraham Samad (Ketua Komisi Pemberantasan

Korupsi). Akan tetapi, semua itu hanyalah gimmick partai politik untuk meraup

       49

ibid

50

sebanyak-banyaknya suara pemilih yang bersimpati kepada masing-masing tokoh yang mereka ajukan. Sebagai contoh, “memanfatkan” pengaruh Rhoma Irama dan Mahfud MD, yang dicalonkan PKB sebagai kandidat presiden, sebagai pendulang

suara (vote getter). Hasilnya memang luar biasa, perolehan suara PKB berada

diatas 9 persen, namun petinggi partai ini menampik relatf tingginya suara itu

karena hasil Rhoma Irama dan Mahfud MD.51

Konfigurasi nama-nama calon presiden diatas berubah seiring dengan perhitungan final KPU pada 9 Mei 2014. Menariknya, kendati suara pemilih tersebar di beberapa partai politik, PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra tetap “ngotot” memajukan kandidat masing-masing dalam bursa pemilihan calon presiden 9 Juli 2014. Ketiga partai kemudian melakukan lobi secara intensif untuk menggenapi syarat 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah nasional. Sementara itu, sembilan partai politik (Partai NasDem, PKB, PKS, PD, PAN, PPP, Partai Hanura, PBB, dan PKPI) mengurungkan niat memajukan kandidat masing-masing dalam kompetisi pemilihan Presiden. Satu minggu setelah Pileg, muncul gagasan membentuk “Poros Islam di antara partai-partai Islam. Tujuan koalisi itu jelas, mengajukan nama lain di luar calon yang diajukan PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra. Jika semua partai Islam (PKB, PKS, PPP, PBB dan PAN) berkoalisi, gabungan suara mereka berjumlah 31,81 persen, dan lebih dari cukup untuk memajukan nama kandidat presiden. Namun, muncul persoalan ketika Ketua Umum PPP Suryadharma Ali menyatakan hendak menjalin koalisi dengan Partai Gerindra. Langkah Suryadharma Ali yang mendahului elite partai

Islam lainnya itu mengakibatkan koalisi Poros Islam gagal terbentuk.52

       51

ibid

52

  Setelah Poros Islam gagal terbentuk, elite politik mencoba membangun koalisi yang lebih realistis dalam menghadapi Pilpres 9 Juli 2014. Beberapa tokoh PDI-P, Partai Golkar, dan Partai NasDem melakukan lobi secara intensif, yang akhirnya mengerucut pada dua nama calon, yakni Joko Widodo dari PDI-P dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Konfigurasi tersebut merupakan dampak langsung dari konstruksi beberapa lembaga survei yang memprediksi bahwa hanya dua kandidat itu yang memiliki “daya magis” dalam Pilpres 2014. Meskipun Partai Golkar telah “menyodorkan” Aburizal Bakrie sebagai calon presiden sejak rapat pimpinan nasional partai pada 2012, nama Ketua Umum Partai Golkar ini tenggelam dibalik bayang-bayang dua kandidat dari PDI-P dan Partai Gerindra. Beberapa lembaga survei juga menunjukkan bahwa elektabilitas

Aburizal Bakrie tidak pernah meningkat, bahkan cenderung stagnan.53

Pada 18 Mei 2014, PDI-P dan Partai Gerindra telah memiliki sejumlah nama partai yang bersedia menjalin kolaborasi konstruktif dengan mereka. Partai-partai yang kemudian berkoalisi dengan PDI-P adalah Partai NasDem (35 kursi di DPR-RI atau setara dengan 6,3%), PKB (47 kursi atau 8,4%) dan Partai Hanura (16 kursi atau 2,9%). Sementara Prabowo didukung PAN (49 kursi atau 8,8%), PKS (40 kursi atau 7,1%), dan PPP (39 kursi atau 7%). Jika diakumulasi, koalisi yang dibangun PDI-P menguasai 207 kursi di parlemen atau setara dengan 37 persen, sementara koalisi Partai Gerindra menguasai 201 kursi atau 35,9 persen. Artinya, kedua koalisi tersebut telah memenuhi syarat minimal UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk mengajukan kandidat mereka dalam Pilpres 2014. Partai Golkar dan Partai Demokrat belum

       53

menentukan sikap. Beredar spekulasi bahwa akan muncul poros ketiga, yakni koalisi Partai Golkar dan Partai Demokrat (total kursi mereka di parlemen sebanyak 152 atau setara 27,1 persen). Namun, spekulasi tersebut terbantah setelah Partai Golkar menyatakan bergabung dengan koalisi Partai Gerindra, PAN, PKS, dan PPP serta PBB (partai nonparlemen) yang menamakan diri

“Koalisi Merah Putih.”54

Tabel 3.1

Hasil Perolehan Suara Pemilu Legislatif Tahun 2014 Koalisi

Partai

Partai Politik Perolehan Suara Resmi Kursi Parlemen 1 Gerindra PAN PPP PKS Golkar 14.760.371 9.481.621 8.157.488 8.480.204 18.432.312 73 49 39 40 91 2 PDI P NasDem PKB Hanura 23.681.471 8.402.812 11.298.957 6.579.498 109 35 47 16

Jalan berliku menuju koalisi partai berakhir pada 19 Mei 2014, satu hari sebelum pandaftaran calon presiden dan wakil presiden di KPU ditutup. Dengan demikian, hanya ada dua gabungan partai dalam menghadapi kontestasi Pilpres 2014. Koalisi pertama terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, Partai Golkar, dan PBB memiliki 292 kursi di DPR RI (52%) serta meraup 48,93 persen suara

       54

sah nasional (61.137.746 suara). Koalisi ini mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sementara koalisi kedua terdiri dari PDI-P, Partai NasDem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI yang menjagokan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden dan wakil Presiden. Koalisi ini menguasai 207 kursi DPR RI (37%) dengan dukungan suara sah nasional 39,97 persen (49.962.738 suara). Hanya Partai Demokrat saja yang sampai tenggang akhir pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden bersikap netral, meski perolehan suara mereka mencapai 11 persen (61 kursi di parlemen).55

Konfigurasi “Koalisi Merah Putih” mirip gabungan partai politik yang dibangun Partai Demokrat pada periode 2009-2014. Ketika itu, koalisi yang dibangun Partai Demokrat mencakup PAN, PKS, PPP, Partai Golkar, dan PKB. Sementara Koalisi Merah Putih yang diprakarsai Partai Gerindra pada 2014 juga didukung PAN, PKS, PPP, dan Partai Golkar, minus PKB yang memilih berkoalisi dengan PDI-P. Hal yang cukup menarik, selaku calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo mengingatkan bahwa sejak awal tidak berminat dengan koalisi yang dibangun berdasarkan kesepakatan bagi-bagi kursi kabinet—seperti yang terjadi pada era sebelumnya. Dia menghendaki koalisi yang dibangun lebih berdasarkan kesamaan platform. Sebaliknya dengan Koalisi Merah Putih. Partai Golkar, partai peraih suara terbesar kedua setelah PDI-P, dijanjikan mendapat 8 kursi Menteri ditambah satu kursi “Menteri Utama”, PKS dan PAN 3-5 kursi

Menteri, dan 2-3 kursi Menteri untuk PPP.56

       55

ibid

56

Dua koalisi yang bersaing dalam Pilpres 2014 (head to head) juga

bersaing memperebutkan “tiket dukungan” dari para pendulang suara (vote

getter). Koalisi Merah Putih tampak lebih lugas dalam menyambangi beberapa

vote getter yang akhirnya bergabung dengan koalisi ini, di antaranya Mahfud MD (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan pernah diajukan PKB sebagai calon presiden) yang ditunjuk sebagai ketua tim sukses Koalisi Merah Putih, Rhoma Irama (artis karismatik dan juga pernah diajukan PKB sebagai calon presiden), Ahmad Dani (artis/pemusik), dan lain-lain. Tokoh lain yang dianggap memiliki banyak pendukung ialah Ali Masykur Musa (anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang juga menjabat Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama). Sikap berbeda ditunjukkan sastrawan Goenawan Mohamad yang mundur dari PAN setelah partai yang didirikannya bersama beberapa kawan di awal Reformasi itu menyatakan resmi mendukung Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai

Gerindra57

Kampanye hitam dan kampanye negatif merebak beberapa hari sebelum pencoblosan pada 9 Juli 2014. Isu yang diangkat dalam kampanye gelap itu umumnya berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (Sara), serta hak asasi manusia (HAM). Kampanye hitam terkait Sara banyak diarahkan ke pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Joko Widodo dituding non-Muslim (Kristen),

keturunan Tionghoa, dan penghamba ajaran komunis.58

Kampanye gelap tidak hanya menerpa Joko Widodo, tetapi juga Prabowo Subianto, terutama soal kasus penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998. Untuk menghadapi tudingan tersebut, tim pemenangan Prabowo-Hatta merangkul

       57

ibid

58

beberapa tokoh, salah seorang di antaranya Marzuki Darusman bekas Ketua Komnas HAM periode 1998-2003 dan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta

Kerusuhan (TGPF) Mei 1998. Marzuki menegaskan, “Walaupun Prabowo diduga

memainkan peranan yang signifikan, rekomendasi tim kami (TGPF) tidak menyatakan Prabowo bersalah”. Pernyataan tersebut secara tidak langsung mementahkan kampanye gelap yang dilontarkan lawan-lawan Prabowo; bersih

dan tak terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu.59

3.2. PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014

Dokumen terkait