• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemimpin Berasal Dari Partai Besar

BAB IV ANALISIS IDE DOMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH

C. Hubungan Prinsip Demokrasi Dalam Konsep ’Ashabiyah

3. Pemimpin Berasal Dari Partai Besar

Ibn Khaldun termasuk pemikir Islam yang berpendirian bahwa salah satu syarat agar dapat menjadi khalifah atau imam yang merupakan pimpinan tertinggi

111

dunia Islam, seseorang harus berasal dari keturunan Quraisy.112 Ibn Khaldun mencoba merasionalisasikan atas ketentuan itu berdasarkan teori ’ashabiyah.

Berdasarkan teori ini, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka dan original yang tampil dari bani Mudhar dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran.113

Berkaitan dengan syarat kepemimpinan dari suku Quraisy, Nabi Muhammad SAW menyatakan hendaknya kepemimpinan umatnya dipercayakan kepada suku Quraisy. Menurut Ibn Khaldun, janganlah diartikan bahwa kepemimpinan ummat Muhammad SAW itu monopoli suku Quraisy, dan agar syarat keturunan Quraisy didahulukan dari pada syarat kemampuan. Petunjuk Nabi Muhammad SAW mengenai kepemimpinan suku Quraisy berdasarkan kenyataan bahwa suku Quraisy merupakan suku Arab yang paling terkemuka

112

Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.106

113

dengan solidaritas kelompok yang terkuat dan dominan, karenanya paling berwibawa. Pemimpin negara yang berasal dari suku yang demikianlah yang akan mampu secara efektif menjamin ketertiban negara dan keserasian hubungan antara komponen-komponen negara itu. Maka jika suku Quraisy tidak lagi menjadi suku yang paling berwibawa, dan solidaritas kelompoknya tidak lagi dominan, yang berarti pula bahwa pemimpin yang berasal dari suku Quraisy tidak lagi dapat diharapkan mampu secara efektif mewujudkan ketertiban negara dan kerukunan antara warga negara. Jika demikian, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok yang lain yang memiliki wibawa yang lebih besar dan solidaritas kelompok yang lebih kuat.114

Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran al-Mawardi ataupun al-Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘ashabiyah seperti dijelaskan diatas.

Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Oleh karena itu, solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan. Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila

114

solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya.115

Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat kedalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara.116

Apabila ’ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia akan segera digantikan oleh ’ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam memperebutkan kekuasaan negara akan terjadi pertarungan antara tokoh dengan basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai

115

Ibn khaldun, Muqaddimah, h.131-132.

116

’ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. ’Ashabiyah yang paling kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ’ashabiyah yang kecil.117 Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ’ashabiyah lemah melakukan kualisi antar ’ashabiyah lemah yang lain membentuk ’ashabiyah yang lebih kuat.

Teori yang dipaparkan oleh Ibn Khaldun memiliki kekuatan logika dan argumentasi yang cukup tinggi, maka walaupun penulis menerima bahwa yang menjadi tujuan hukum syariat adalah tercapainya kesatuan kata, harmoni kehidupan, dan syariat itu selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya perpecahan dan perselisihan. Ketentuan hukum syariat lazimnya sesuai dengan realitas yang terjadi, tetapi kita tidak dapat menerima bahwa Islam telah menyetujui ide tentang fanatisme primordial atau bahwa karakteristik prinsip- prinsip memiliki potensi untuk bersesuaian dengan ide itu, sebagai sebuah tujuan jurisprudensi atau landasan pembangunan masyarakat. Jika kita menghendaki terwujudnya tujuan yang disepakati, yang tampaknya menjadi terakhir dari ditemukannya sebuah persyaratan, yaitu disempurnakannya persatuan ummat dan mencegah kemungkinan timbulnya perpecahan. Hukum syariat jika dikaji penerapannya, maka kesesuaian antara ketentuan syariat dengan realitas yang eksis, maka kesimpulan yang seharusnya didapatkan (dalam kapasitasnya sebagai penafsiran atas persyaratan itu) adalah bahwa kesimpulan yang dihasilkan itu haruslah berkembang sesuai dengan hukum-hukum eksistensi atau hukum sosial,

117

sesuai dengan makna yang dimaksud oleh Ibn Khaldun. Dengan demikian, persyaratan yang menjadi konsekuensinya adalah bahwa orang yang mengurus pemerintah kaum muslimin haruslah memiliki akseptabilitas dimata mayoritas terbesar anggota masyarakat, hingga mereka menaatinya dengan penuh kerelaan, mempunyai kekuatan yang bersumber dari aspirasi masyarakat, dan juga memiliki wibawa, sehingga keberadaannya membawa pada persatuan dan menghilangkan faktor-faktor penyebab perpecahan.118

Keutamaan itu tidak dapat diperoleh pada masa kini kecuali dengan jalan pemilihan umum. Maksudnya, dengan pemilihan yang dilakukan oleh ummat, baik seluruhnya atau sebagiannya (apapun manifestasi yang terlihat dari bentuk aspirasi tadi) terhadap seorang figur tertentu, karena mereka mendukung platform politiknya, atau merasa sesuai dengan kebijakan ekonomi dan sosialnya, sehingga dengan adanya dukungan umum itu, dia menjadi lebih mampu dibandingkan dengan yang lainnya dalam memimpin negara dan menjaga persatuannya. Dengan demikian jelaslah bahwa persetujuan terhadap sebuah ide dan persatuan dalam melaksanakan sebuah platform tertentu, baik yang bersifat politik maupun yang bersifat sosial, atau yang lainnya, sekarang telah menggantikan kedudukan fanatisme primordial, atau ikatan solidaritas untuk menjaga eksistensi sebuah kabilah atau posisi sosialnya yang menjadi landasan teoritis pemikiran Ibn Khaldun.

118

Sekarang ini, ikatan kesukuan tidak lagi menjadi landasan sosial (atau hukum eksistensi dalam redaksinya) tetap telah tergantikan oleh ikatan politik atau ikatan sosial, yang ditujukan untuk mewujudkan sebuah platform tertentu dalam realitas, yang dianut oleh setiap individu anggotanya berdasarkan pemahaman mereka dan penerimaan meraka terhadap platform itu. Karena, dalam pandangan mereka platform-platform tersebut mewujudkan kemaslahatan umum.119

Pemilihan kepala negara dalam konsep ’ashabiyah berdasarkan suara terbanyak yang dipilih lewat kompetisi antara solidaritas kelompok adalah merupakan sebuah mekanisme yang terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Perubahan ini dapat dilihat dari perjalanan konsep ’ashabiyah itu sendiri yang dari waktu kewaktu terus berkembang khususnya dalam pemilihan raja atau kepala negara. Mulanya pemimpin itu harus berasal dari satu nashab (keturunan), kemudian satu suku, dan terakhir berdasarkan suara terbanyak (ashabiyah terkuat atau terbesar) yang dipilih langsung oleh masyarakat dari berbagai suku lewat kompetisi antara solidaritas kelompok.120 Dengan demikian konsep ’ashabiyah

sejalan dengan ide demokrasi khususnya dalam hal pemilihan kepala negara. Dalam konsep demokrasi kepala negara berasal dari partai terkuat atau suara mayoritas yang dipilih melalui kompetisi antara partai politik lewat pemilu.

119

Rais, Teori Politik Islam,h.246.

120

Ahmad Satori, “Konsep Ibn Khaldun Tentang Negara dan Pemerintahan”, artikel diakses 19 April 2008 dari http://politeiapress.blogspot.com/2007/11/new-artice12.html

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Setelah menguraikan seluruh permasalahan yang ada dalam skiripsi ini yang di beri judul “Ide Demokrasi Dalam Konsep ‘Ashabiyah Ibn Khaldun”

dengan cara komperehensif, maka untuk mendapatkan gambaran inti dari permasalahan yang dibahas, perlu kiranya penulis menyimpulkan hasil analis yang dikemukakan sebagai berikut:

1. ’Ashabiyah (solidaritas kelompok) adalah sebuah konsep demokratis yang cocok untuk diterapkan pada saat ini. Hal ini disebabkan karena konsep

‘ashabiyah mempertimbangkan nilai-nilai hukum (syariat) dalam proses penyelenggaraan negara dan tidak mengabaikan pertimbangan akal dalam menentukan kebijakan Negara demi kemaslahatan masyarakat.

2. ’Ashabiyah adalah solidaritas kelompok yang jika diterapkan pada saat ini bisa berbentuk organisasi kepartaian yang fungsinya sebagai alat untuk pencapaian kekuasaan yang dilakukan dengan cara pemilu atau pilkada.

3. ’Ashabiyah (solidaritas kelompok), adalah sebuah sistem demokratis berbentuk perwakilan dimana para anggota perwakilan dari masing-masing

‘ashabiyah ikut serta dalam menjalankan pemerintahan. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa adanya lembaga merupakan sebuah keharusan dalam masyarakat atau negara, sebagai penengah, pemisah sekaligus hakim. Adapun tugas seorang raja adalah menjaga kelestarian ajaran agama dan pemimpin

duniawi bagi rakyat. Oleh karena itu kedudukan penguasa (raja) yang sewajarnya ialah mewujudkan usaha memerintah rakyat sesuai dengan tujuan dan keinginan yang memerintah. Tindakan politik ialah memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk akal untuk memajukan kepentingan duniawi dan menjauhkan kejahatan. Seorang raja/khalifah adalah memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama (syariat), baik yang berkenaan dengan masalah ukhrawi (akhirat) ataupun duniawi (maslahah al-kaffah). Karena kekhalifahan (khilafah) adalah sebagai pengganti pembuat hukum, sebagai penjaga agama dan pengatur permasalahan duniawi di pandang dari segi agama.

4. Dalam konsep ‘ashabiyah-nya, Ibn Khaldun mengakui bahwa lebih baik mempergunakan ajaran dan hukum agama sebagai dasar kebijakan dan peraturan negara daripada hanya hasil rekayasa otak manusia. Namun ia juga mengakui bahwa terdapat banyak negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, akan tetapi negara itu dapat mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negara, bahkan dapat berkembang dan jaya.

5. Bertitik tolak dari salah satu inti ajaran al-Qur’an yang menggariskan adanya hubungan manusia secara vertikal dan Horizontal, maka dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan suatu totalitas yang bersifat konprehensif dan luwes. Islam sebagai al-Din mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya aspek kenegaraan dan hukum.

6. Terakhir, Konsep ‘ashabiyah sangatlah relevan dalam arti konsep ’ashabiyah

sangatlah demokratis, karena prinsip-prinsip yang ada dalam konsep

’ashabiyah Ibn Khaldun sangatlah sejalan dengan konsep demokrasi yang banyak digunakan oleh negara modern saat ini.

B. Saran

Ibn Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh seting sosial politik yang terjadi pada masa itu. Karena itu teori-teori yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun merupakan hasil refleksi atas realitas politik. Pemikiran Ibn Khaldun tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibn Khaldun menjelaskan mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibn Khaldun, kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun

khususnya teori ‘ashabiyah ini perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan diperdebatkan secara kritis.

Maka penulis mengharapkan pembahasan mengenai teori ‘ashabiyah Ibn Khaldun ini diteliti dan dikaji kembali dari sudut pandang yang berbeda dengan metodologi yang berbeda pula.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.

Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi. Jakarta: Ind Hill-Co, 1991.

Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam. Ter. Ahmad Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, Cet. Ke-27.

Fachry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis. Jakarta: Mizan, 2001.

Haris, Syamsuddin, Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1995, Cet. Ke-1

Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid.I, Bandung: Mizan, 2001.

Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun. Ter. Ahmad Rafi’. Bandung: Pustaka, 1987, Cet. Ke-1.

Khaldun, Ibnu, Mukaddimah. Ter. Ahmad Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Kusnardi, Moh dan Saragih, Bintan R, Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama,

1995, Cet. Ke-3.

Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat. Ter. M. Maufur al-Khoiri. Yogyakarta: Fajar Pustaka Utama, 2003.

Madjid, Nurcholis, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia: Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi. Jakarta: Paramadina, 1994, Cet. Ke-1.

Mahfud MD, Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Univ. Atmaja, 2000, Cet. Ke-2.

Meyer, Thomas, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan. Jakarta: Friedrieh Ebert Stiftung, 2003, Cet. Ke-2.

Mahmoud Robi, Muhammad, The Political Theory of Ibn Khaldun. Leiden: Bj. Briil, 1967.

Nasyi’at, Ali M, Al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibnu Khaldun. al-Qahirah: t.p., 1944.

Lahbabi, M.A, Ibn Khaldun-Presentation, Choix de Textes, Bibliographie. Paris: Edition Seghers, 1968.

Lubis, M. Solly, Ilmu Negara. Bandung: Mandar Maju, 1989.

Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Bandung: Mizan Pustaka, 2001, Cet. Ke-4. Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan

Bintang,1978, Cet. Ke-4.

Rais, Dhiauddin, Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.

Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.

Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica. Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti, 1996.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-16

Sevilla, Consuelo G, (dkk), Pengantar Metodelogi Penelitian. Jakarta: UI Pres, 1993, Cet. Ke-1

Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2004.

Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001

UIN Jakarta, Tim ICCE, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Renada Media, 2003.

Zainuddin, Rahman, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, Cet. Ke-2.

--- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustak Utama, 1992.

Website :

Ahmad satori, Konsep Ibn Khaldun Tentang Negara dan Pemerintahan” http://politeiapress.blogspot.com./2007/11/new-artice12.html.

Hidayatul haq, Keunggulan Sistem Pemerintahan Islam Dengan Sistem Demokrasi, artikel diakses http://www.hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/

Sulardi, Sistem Presidensial, http://www.kompas.com/kompas- cetak/0208/29/opini/pusa04.htm. diakses pada 19 April 2008

Dokumen terkait