• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ide demokrasi dalam konsep'Ashabiyah IBN Khaldun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ide demokrasi dalam konsep'Ashabiyah IBN Khaldun"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH IBN KHALDUN

Skripsi

Di ajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : Muhammad Taufik NIM : 104045201517

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan semesta alam, karena berkat Rahmat dan Hidayah serta Inayah-Nya, penulis dengan segala keterbatasan dan kekurangan, berhasil menyelesaikan penulisan skiripsi ini sekalipun penulis sadari disana sini masih banyak kekurangan yang harus dilengkapi, oleh karena itu besar harapan penulis adanya saran-saran atau masukan juga sebuah kritik konstruktif yang mendukung kelengkapan penulisan ini.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, kepada para keluarga, sahabat, dan kepada mereka yang selalu tetap konsisten dalam berjuang demi tegaknya agama Islam di bumi Allah ini sampai hari kiamat.

Selanjutnya pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung ataupun tidak langsung selama perkuliahan berlangsung hingga penyusunan skiripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada yang terhormat :

(3)

2. Bapak. Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, sebagai Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak. Drs. Muharram, MA, dan Dr. M. Arskal Salim GP, MA, selaku pembimbing penyusunan skiripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan Ilmu dan wawasannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

(4)

7. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis khususkan buat Ust Khairil Baits, Ust, Tasrif Amin, Ust. Ahkam Sumadiana, dan Ust Hasan Ibrahim, yang penulis anggap sebagai orang tua yang tidak bosan-bosannya memberikan nasehat kepada penulis dari awal hingga akhir perkuliahan.

8. Dan yang paling utama ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah membimbing, mengasuh, mendidik, serta membesarkan ananda sehingga sampai sekarag ini.

Akhirnya kepada Allah jualah penulis serahkan seluruh jiwa dan raga, semoga bantuan dan dorongan yang telah diberikan oleh segenap pihak dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.

Semoga skiripsi yang jauh dari kesempurnaan ini menjadi setitik sumbangan bagi perkembangan Ilmu yang sungguh sangat luas ini, dan mudah-mudahan ini dicatat sebagai sebuah kebajikan yang melapangkan penulis masuk kedalam barisan orang-orang yang diridhoi-Nya. Amin

Jakarta, 31 Juli 2008

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEMOKRASI A. Defenisi Demokrasi... 17

B. Sejarah Perkembangan Demokrasi... 19

C. Prinsip-Prinsip Demokrasi ... 22

D. Sistem Pemerintahan ... 26

BAB III KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... 31

B. Latar Belakang Lahirnya Pemikiran ‘Ashabiyah ... 35

C. Peran ‘Ashabiyah Dalam Sosial Politik ... 40

(6)

D. Peranan ‘Ashabiyah Dalam Agama ... 45

1. ’Ashabiyah Menopang Agama... 47

E. Dalil al-Qur’an dan al-Hadits Dalam Konsep ‘Ashabiyah ... 50

BAB IV ANALISIS IDE DOMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH IBN KHALDUN A. Konsep ’Ashabiyah Sebagai Dasar Pembentukan Negara dan Pemerintahan ... 53

1. Negara dan Pemimpin (Kepala Negara) ... 55

2. Bentuk-Bentuk Pemerintahan ... 57

B....Im plikasi Konsep ‘Ashabiyah Bagi Negara dan Masyarakat... 59

1....Per kembangan dan Runtuhnya Negara ... 61

a. Tahap Pendirian Negara ... 62

b. Tahap Pemusatan Kekuasaan... 63

c. Tahap Kekosongan dan Kesantaian ... 65

d. Tahap Ketundukan dan Kemalasan... 66

e. Tahap Keruntuhan Kekuasaan ... 67

C. Hubungan Prinsip Demokrasi Dalam Konsep ’Ashabiyah Ibn Khaldun... 70

1. Supremasi Hukum... 71

2. Persamaan Hak... 73

(7)

BAB V PENUTUP

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umat manusia secara alamiah adalah kelompok sosial dan cenderung untuk hidup bersama. Ini dikarenakan, kapasitas individu yang tidak memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasarnya atau bahkan untuk mempertahankan diri manusia sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dengan yang lain, tetapi manusia tidak dapat hidup bersama dan bekerjasama dalam suasana konflik, permusuhan ('udwan), dan ketidakadilan (zhalim). Hal-hal tersebut akan membuat kehidupan sosial tidak mungkin diwujudkan. Untuk itulah diperlukan 'ashabiyah (group feeling) dan wazi' (kekuatan pengendalian atau pemerintah) untuk mencegah konflik dan ketidakadilan dan untuk menjaga kebersamaan masyarakat.1

Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Adanya dukungan dan rasa kebersamaan yang terbentuk inilah seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal,

1

(9)

perdana menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk).2

Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Pemikirannya bukan hal baru, meskipun Ibn Khaldun sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Perbedaannya terletak pada teori ’ashabiyahnya yang dijadikan dasar pembentukan negara dan menjadi sistem alternatif dalam tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara. Teori ’ashabiyah bukan sekedar kajian filosofis, melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan indrawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya. Teorinya tentang al-‘Ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya.

Al-’Ashabiyah secara harfiah jika diterjemakhkan kedalam bahasa Indonesia berarti rasa satu kelompok atau solidaritas sosial.3 ’Ashabiyah juga mengandung makna group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil

2

Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.139.

3

(10)

atau disakiti. Untuk bertahan hidup masyarakat harus memiliki sentimen kelompok (’ashabiyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri.4 ‘Ashabiyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan keTuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan dinasti. Sebab menurutnya, bangsa Arab adalah bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyah yang ada hanya ‘ashabiyah

kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan.5 Namun menurutnya pula, bahwa motivasi agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-motivasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar agama.6

4

Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.120.

5

Ibid., h.151

6

(11)

Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara.7

Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup

7

(12)

memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan. Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya.8

Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan.9

Negara--dalam prinsip-prinsipnya yang modern, dipahami sebagai sebuah consensus, di mana sejumlah warga dalam satu teritori tertentu membentuk kesepakatan bersama untuk mengasosiasikan diri dalam asosiasi kepentingan bernama negara. Negara sendiri dibentuk dengan maksud mewujudkan tujuan-tujuan dasar berlandaskan kehendak kolektif warganya (Volone Generale, J.J Rousseau, 1712-1778).

Tujuan dari negara adalah untuk menjalankan ketertiban dan keamanan, mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Timbulnya suatu

8

Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.156-157

9

(13)

negara tidak akan terlepas dari teori Contract Social yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes, John Locke dan JJ Rousseau .10

Kontrak Sosial merupakan perjanjian antara masyarakat yang ingin membentuk suatu negara, suatu pemerintahan bersama yang melayani mereka (anggapan Hobbes, Locke dan Rousseau yang mendasarkan pembentukan negara atas suatu perjanjian antara anggota masyarakat biasanya disebut teori perjanjian masyarakat). Kemudian rakyat ini menyerahkan kedaulatannya kepada suatu lembaga, person ataupun sekelompok orang yang mendapat amanat untuk menjalankan kedaulatan tersebut.

Menurut Utrecht tentang perbandingan antara Thomas Hobbes, Jean Jacqueas Rousseau dan John Locke bahwa walaupun tak berlainan masing-masing Hobbes, Locke dan Rosseau, mereka mempunyai anggapan tentang pembentukan negara dan adanya negara itu. Menurut anggapan ketiga ahli tersebut pembentukan adanya negara itu disusun atas suatu perjanjian sosial, kesimpulan-kesimpulan yang mereka tarik tentang sifat negara sangat berlainan. Menurut Hobbes negara itu bersifat totaliter, negara itu diberi kekuatan tidak terbatas (absolut). Menurut Locke negara itu selayaknya bersifat kerajaan konstitusionil yang memberi jaminan mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan pokok manusia (ingat: life, liberty, healthy dan property). Rousseau

10

(14)

beranggapan bahwa negara bersifat suatu perwakilan rakyat, dan negara itu selayaknya negara demokrasi yakni yang berdaulat adalah rakyat.11

Atas dasar tersebut maka lahirlah teori demokrasi representatif12. Karena pada saat ini tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk menentukan keinginannya setiap saat. Direct democracy adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur-prosedur mayoritas. Karena faktor populasi penduduk yang terus bertambah maka tidak memungkinkan dilakukan pada satu tempat dan pada suatu saat, sehingga harus dicari pemecahan masalahnya. Dan muncullah konsep demokrasi Perwakilan Rakyat atau yang sering lebih disebut sebagai Demokrasi Representatif. Akhirnya Demokrasi Representatif ini hampir dilakukan disetiap negara modern pada saat ini.

Berhubungan dengan ide demokrasi, Ibn Khaldun mengakui bahwa terdapat banyak negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, akan tetapi negara itu dapat mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negara, bahkan dapat berkembang dan jaya.13

11

Solly, Ilmu Negara, h.35.

12

.Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.70

13

(15)

Atas dasar pemikiran inilah membuat penulis tertarik untuk melakukan analisis yang lebih mendalam dan komprehensif dalam penelitian skripsi dengan judul “IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, penulis perlu melakukan pembatasan masalah agar penelitian ini lebih terarah. Pembahasan dalam tulisan ini ini terfokus pada sejauhmana ide demokrasi yang ada dalamkonsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun.

Berdasarkan pembatasan pokok masalah di atas, penulis dapat merumuskan poin-poin yang akan dikaji dalam tulisan ini sebagai berikut :

1. Apakah prinsip konsep ‘ashabiyah sejalan dengan ide demokrasi dalam pengelolaan hidup bernegara dan bermasyarakat?

2. Sejauhmana cakupan konsep ’ashabiyah terhadap nilai dan prosedur demokrasi?

3. Bagaimana implementasi ide demokrasi dalam konsep ’ashabiyah Ibn Khaldun?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(16)

1. Untuk mengetahui konsep ‘ashabiyah sebagai sebuah konsep yang relevan untuk diterapkan di negara modern.

2. Untuk mengetahui prinsip dan nilai demokratis dalam konsep ‘ashabiyah. 3. Untuk mengetahui konsep ‘ashabiyah sebagai suatu sistem alternatif dalam

tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara. Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan Program Studi Siyasah Syar’iyyah.

2. Menambah wacana ilmu pengetahuan dan penelitian dalam konsep

‘ashabiyah Ibn Khaldun dalam tinjauan konsep demokrasi untuk diteruskan dalam penelitian lainnya yang relevan.

3. Sebagai sumbangan pemikiran dan sekaligus pengembangan khazanah keilmuan dibidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan Islam.

4. Memberikan pemahaman/informasi terhadap masyarakat dunia bahwa konsep

‘ashabiyah dapat diterima sebagai sebuah konsep demokratis yang masih relevan untuk diterapkan hingga saat ini.

D. Tinjauan Pustaka

(17)

Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut:

Buku pertama, Ibn Khaldun Ter. Ahmadie Thaha, “Muqaddimah” . Ia menguraikan masalah sosial dan sejarah dan beliau hanya satu-satunya intelektual muslim yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris). Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah teori ‘ashabiyah (solidaritas sosial) sebagai landasan terbentuknya sebuah negara atau dinasti. Konsep

’ashabiyah inilah yang menurut penulis sesuai dengan ide demokrasi. Karena itulah penulis akan menganalisa sejauh mana relevansi ide demokrasi dalam konsep ’ashabiyah Ibn Khaldun.

Buku kedua, karya A. Eugene Myers, “Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri. Buku ini menguraikan tentang kesuksesan Islam dalam hal menjalankan pemerintahan atau kekuasaan dalam bentuk khilafah atau dinasti yang membuat dunia Barat banyak merujuk dan mempelajari ilmu tersebut. Salah seorang pemikir Islam yang hingga saat ini pemikirannya masih dikaji oleh Barat ialah Ibn Khaldun, utamanya dalam teori ’ashabiyahnya.

(18)

orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, karenanya kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat al-Mawardi dan Abi Rabi’. Buku ini menguraikan juga konsep ’ashabiyah dalam muqaddimah Ibn Khaldun. Utamanya dalam proses pembentukan negara.

Buku keempat, yang ditulis oleh Munawir Sjadzali, “Islam dan Tatanegara: Ajaran, sejarah dan pemikiran”. menguraikan pokok-pokok pemikiran politik Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Dalam salah satu subbabnya ia menjabarkan pemikiran Ibn Khaldun tentang konsep ‘ashabiyahnya dalam pembentukan sebuah negara. Namun dalam buku ini tidak menjelaskan secara rinci ataupun detail mengenai konsep ‘ashabiyah baik itu yang hubungannya dengan politik atau agama, akan tetapi buku ini lebih kepada poin inti yang merangkum seluruh bahasan konsep ‘ashabiyah.

Buku kelima, yang ditulis oleh Zainab Khudhairi, “Filasafat Sejarah Ibn Khaldun”, alih bahasa Ahmad Rafi’. Dalam salah satu babnya terdapat pandangan Ibn Khaldun mengenai masyarakat nomad (primitive) dan masyarakat beradab (kota), yang diukur dengan áshabiyah. Buku ini dalam subbanya membahas konsep ’ashabiyah, namun dalam hal ini penulis hanya menganalisa dan membandingkannya dengan Ide demokrasi.

(19)

negara atau pemerintahan. Dalam Buku ini juga menyinggung konsep ’ashabiyah

namun lebih kepada pemikiran Ibn Khaldun secara keseluruhan.

Buku ketujuh, Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun. Buku ini menguraikan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai generik term dan pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi. Dalam buku ini juga menguraikan konsep ‘ashabiyah khususnya dalam hal perkembangan dan runtuhnya sebuah negara.

Skripsi, Haerussalam, Negara dan Agama: Sebuah Kajian Atas Pemikiran Ibn Khaldun (2007). Dalam salah satu babnya menguraikan tahapan terbentuknya negara serta keruntuhannya. Skiripsi ini tidak membahas konsep ’ashabiyah

sebagai landasan pembentukan negara, utamanya dalam proses memperoleh kekuasaan.

(20)

Oleh karena absennya pembahasan konsep ‘ashabiyah yang hubungannya dengan ide demokrasi utamanya dalam hal kekuasaan dan pemerintahan, maka sangatlah relevan dan signifikan jika penulis melakukan analisis ide demokrasi dalam konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skiripsi.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian analitis deskriptif. Artinya metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan secara obyektif materi yang akan dibahas. Metode analitis di gunakan untuk mendapat dan mengetahui implikasi dari ide demokrasi yang ada dalam konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian ini lebih menuntut kejelasan peneliti serta sangat menekankan terhadap aspek analisa dan kajian teks, terutama dalam mencari informasi dan data yang memiliki hubungan dengan obyek penelitian.

2. Pendekatan Penelitian

(21)

mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.14

3. Sumber Data.

Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam mengumpulan data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder15. Adapun rincian masing-masing sumber adalah:

a) Data Primer disandarkan pada literatur klasik Muqaddimah Ibn Khaldun yang secara akademis telah dipandang otoritatif.

b) Data Sekunder merupakan sumber pendukung dari sumber primer yang berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini di dasarkan pada riset pustaka

(Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data dan informasi diperoleh

14

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.73.

15

(22)

berdasarkan bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa arsip, dokumen, majalah maupun lainnya.16

5. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah penelitian, terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan dan menguraikan pokok-pokok permasalahan secara menyeluruh; komparatif yaitu sebuah metode perbandingan dengan cara menganalisa data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang padu.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skiripsi ini di bagi atas (5) lima bab bahasan, dengan perincian sebagai berikut :

16

(23)

BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Membahas ide demokrasi secara umum. Defenisi demokrasi, sejarah perkembangan demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi dan sistem pemerintahan.

BAB III : Memaparkan konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun, yang terdiri dari, biografi dan setting sosial Ibn Khaldun, Latar belakang lahiranya pemikiran

‘ashabiyah. Peran ‘ashabiyah dalam sosial politik terdiri dari, ’ashabiyah dan kekuasaan, ’ashabiyah sebagai fondasi kekuasaan dan kedaulatan. Peranan ‘ashabiyah dalam agama, dan ashabiyah

menopang Agama (syariat).

BAB IV : Berisikan analisis tentang ide demokrasi dalam konsep ’ashabiyah Ibn Khaldun. Pembahasannya meliputi ide demokrasi dalam konsep

’ashabiyah sebagai dasar pembentukan negara dan pemerintahan, negara dan pemimpin, bentuk-bentuk pemerintahan. Implikasi konsep

‘ashabiyah bagi negara dan masyarakat, perkembangan dan runtuhnya negara, tahap pendirian negara, tahap pemusatan kekuasaan, tahap kekosongan dan kesantaian, tahap ketundukan dan kemalasan, tahap keruntuhan kekuasaan. Hubungan prinsip demokrasi dalam konsep

(24)
(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM DEMOKRASI

A. Pengertian Demokrasi

Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” atau “Kratein” berarti kekuasaan atau berkuasa, jadi demokrasi menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”.17 Dengan kata lain demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat; atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat.18

Secara terminologis, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk menyampaikan keputusan politik individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atau suara rakyat. Sidney Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat yang sudah dewasa. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn menegaskan bahwa demokrasi

17

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.XIX. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.50.

18

(26)

merupakan suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara langsung, melalui para wakil mereka yang terpilih. Menurut Hendry B. Mayo, demokrasi merupakan sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik.19

Menurut Robert A. Dahl dalam buku Democracy and Its Crities, seperti dikutip Syamsuddin Haris, demokrasi merupakan sarana, bukan tujuan utama, untuk mencapai persamaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan manusia (baik secara individu maupun kolektif), perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia.20 Sementara bagi Willy Eichler, esensi demokrasi adalah proses, karenanya ia merupakan sistem yang dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan yang sedang dialami masyrakat (negara), atau sebelumnya.21

Maka makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai

19

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan

Masyarakat Madani, (Jakarta: Renada Media, 2003), h.110.

20

Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, cet.I. (Jakarta: LP3ES, 1995), h.5

21

(27)

kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.22

B. Sejarah Perkembangan Demokrasi

Demokrasi dalam sejarah, mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui proses-proses historis yang sangat panjang dan komplek. Ide demokrasi bukanlah ide yang mudah dipahami, sebab ia memiliki konotasi makna, variatif, evolutif dan dinamis. Untuk keperluan dan memudahkan proses penulisan skripsi ini. Penulis tidak menjabarkan secara mendetail dan menyeluruh, melainkan hanya membaginya dalam babakan-babakan yang berdasarkan periode.

Pertama, pada masa Yunani Kuno, abad ke-6 sM sampai ke-4 M. Pada masa ini, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung (direct demokracy), artinya rakyat membuat keputusan-keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara. Di mana warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, merumuskan undang-undang, dan tidak diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara.23 Praktek

22

Tim ICCE, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,

h.111

23

(28)

demokrasi langsung untuk pertama kalinya diterapkan di negara- kota (city-state) Athena, Yunani Kuno. Praktik demokrasi inilah yang menjadi salah satu faktor bagi munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan negara-kota Athena dari Sparta. Yaitu, negara kesejahteraan (walfare state), yang digagas oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323 sM), M. Tullius Cicera (106-43 sM), dan lainnya.

Kedua, abad pertengahan (600-1400 M). Masa ini ditandai oleh pola kehidupan negara yang bersifat feodalistik dan mengagung-agungkan bangsawan, gereja sebagai lembaga agama di bawah kepemimpinan Paus memainkan peran sangat besar, bahkan gereja membawahi negara. Pada masa ini pula, banyak terjadi perebutan kekuasaan untuk mempengaruhi raja yang dilakukan oleh para bangsawan, dan munculnya konsep demokrasi melalui Magna Charter (Piagam Besar) diakhir abad pertengahan sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi. Piagam ini berintikan perjanjian antara kaum bangsawan dan raja John di Inggris, untuk mengakui dan menjamin hak-hak (privileges) rakyat sebagai imbalan bagi penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya.24 Selain itu, piagam ini juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan negara.25

24

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.XXVII, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.54.

25

(29)

Ketiga, abad renaisance (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M). Renaisance adalah ajaran yang ingin menghidupkan kembali minat pada kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan disisihkan. Sedangkan reformasi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat yang berkembang menjadi azaz-azaz protestanisme, seperti perjuangan menentang kekuasaan sewenang-wenang atas nama agama, desakralisasi kekuasaan gereja, memperjuangkan kebebasan beragama, kebebasan berfikir, kebebasan mengemukakan pendapat. Dan pemisahan secara tegas antara wilayah agama (gereja) dan negara. Dua kejadian ini telah mempersiapkan Eropa masuk kedalam Aufklarung (abad pemikiran) dan rasionalisme yang ditandai oleh merebaknya gagasan-gagasan demokrasi yang menjadi perhatian khusus banyak pemikir seperti Nicollo Machiavelli (1469-1527 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M), John Locke (1632-1704 M), Montesquieu (1689-1755 M) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M).26 Mereka inilah para kampiun gagasan demokrasi Barat, dan telah mendorong bagi lahirnya Revolusi Amerika (1774-1783 M) dan Revolusi Prancis (1786 M).

Di abad modern, mulai pada abad ke-19, muncul pola pikir dan inspirasi baru bagi gerakan politik yaitu, demokrasi menjadi model yang diakui secara luas untuk pengorganisasian secara mandiri. Demokrasi muncul untuk mengatasi masalah-masalah terutama terkait dengan, bagaimana masyarakat dapat mencapai

26

(30)

kesepakatan untuk mengatur tata tertib kehidupan bersama meski sistem nilai dan agamanya berbeda? Bagaimana cara menata kekuasaan politik agar selaras dengan kepentingan nilai dan aspirasi rakyat, serta bertindak atas nama mereka? Bagaimana menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi martabat manusia? Demokrasi akhirnya menemukan jati dirinya dalam kehidupan modern, yaitu membangun pemerintahan melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan terhadap penguasa, serta pemisahan pusat-pusat kekuasaan.27

C. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Berdasarkan defenisi demokrasi di atas dapat diambil pengertian bahwa demokrasi mengandung unsur-unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan bertanggungjawab. Hal ini berarti bahwa dalam penggunaan istilahnya, demokrasi didefenisikan dalam pengertian yang lebih filosofis, yakni ide kedaulatan rakyat sebagai lawan dari ide kedaulatan monarki. Di samping defenisi-defenisi tersebut, ada juga konsep demokrasi yang diajukan oleh negara-negara komunis dan negara-negara dunia ketiga, termasuk negara Muslim.

Kesemua konsep-konsep ini dimaksudkan untuk membenarkan kebijakan pemerintah, juga untuk menyesuaikan konsep demokrasi dengan

27

(31)

nilai dan budaya bangsa tertentu. Meskipun demikian ada tiga prinsip demokrasi yang harus dipenuhi oleh sebuah sistem yang demokratis, yaitu sebagai berikut: 1. Prinsip demokrasi yang pertama adalah kebebasan. Demokrasi tidak mengenal

kamus pemaksaan, tetapi setiap individu dan kelompok mempunyai kebebasan masing-masing.

2. Prinsip yang kedua dari demokrasi hendaknya kebebasan individu yang satu tidak mengganggu kebebasan yang lain. Artinya, semua orang mempunyai kebebasan, tetapi karena setiap orang mempunyai kebebasan, maka akan terjadi benturan kebebasan denga orang lain. Bila ini dibiarkan, akan terjadi anarki. Padahal demokrasi berbeda dengan anarki. Demokrasi yang tanpa aturan akan menjadi anarki, karena kekuatan yang besar bisa menjadi ancaman bagi keadilan dan hak orang lain. Karena itu demokrasi sangat menganjurkan pentingnya aturan hukum maupun bentuk pengaturan yang lain, agar berbeda dengan anarkisme.

3. Prinsip demokrasi yang ketiga adalah keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan pemerintah, keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan sangatlah penting, karena disitulah intinya.28

Keterlibatan atau partisipasi rakyat adalah hal yang paling mendasar dalam demokrasi, karena demokrasi bukan hanya berkaitan dengan tujuan sebuah

28

(32)

ketetapan yang dihasilkan oleh suatu pemerintahan, tetapi juga berkaitan dengan seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri.

Oleh karena itu, demokrasi mengandung elemen-elemen mendasar yang perlu diperhatikan dan dipahami. Elemen-elemen itu adalah:

1. Demokrasi mengakui kesetaraan setiap individu. Artinya setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang tinggi atau yang rendah itu adalah elemen mendasar yang merupakan inti dari demokrasi.

2. nilai-nilai yang ada pada setiap individu mengatasi nilai-nilai yang ada pada demokrasi. Maknanya adalah demokrasi tidak merupakan nilai kosong, tetapi sangat ditentukan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya.

3. Pemerintah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, karena dalam demokrasi, pemerintah merupakan pelayan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan kekuasaan yang sejati.

4. Toleransi dari yang mayoritas kepada yang minoritas. Di sini tercermin pula saling melindungi, saling menghargai dan yang besar mengayomi yang kecil. 5. Adanya musyawarah dalam memutuskan setiap persoalan, bukan ditentukan

sendiri oleh kelompok yang mayoritas, karena akan berubah menjadi tirani mayoritas.

(33)

7. Adanya cara untuk mencapai tujuan bersama, apakah itu prosedur atau mekanisme maupun tata caranya. Semuanya harus mengikuti kaidah-kaidah demokrasi. Demokrasi yang baik harus pula dilakukan dengan cara yang baik.29

Sekarang ini istilah demokrasi bagi banyak orang dianggap sebagai kata yang mengimplikasikan nilai-nilai perjuangan untuk kebebasan dan jalan hidup yang lebih baik. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan mayoritas melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan, kebebasan dan pluralisme, walaupun konsep-konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi budaya negara tertentu.

Menurut Thomas R. Dye dan Harmon Zeilgler, ide dasar dari demokrasi merefleksikan empat hal. Pertama, merupakan partisipasi rakyat di dalam keputusan yang membentuk kehidupan individu-individu dalam suatu masyarakat. Kedua, merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas dengan pengakuan hak-hak minoritas, yaitu hak kebebasan berbicara, berserikat, berkumpul, mendapatkan informasi, menciptakan partai oposisi, dan menjalankan jabatan-jabatan public. Ketiga, merupakan komitmen untuk menghargai individu dan menjamin nilai-nilai kehidupan yaitu, kebebasan dan kepemilikan. Dan

29

(34)

Keempat, suatu komitmen untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengembangkan kemampuan dirinya.30

Eksistensi demokrasi juga berkaitan dengan hak asasi manusia. Philippe C. Schimtter dan Tery Lyn Karl bahkan mengkarakterisasikan demokrasi bukan sebagai kekuasaan “otokrasi, otoritarian, zalim, dictator, tirani, totalitarian, absolute, tradisional, monarki, oligarki, plutokrasi, aristokrasi, dan kesultanan”.31 Hal ini juga berarti bahwa demokrasi tidak hanya berhubungan dengan institusi formal, tetapi juga dengan eksistensi nilai-nilai dalam kehidupan sosial politik.

D. Sistem Pemerintahan

Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinyu, Quo dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktekkan sistem pemerintahan itu. Secara sempit, sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna

30

Djiwandono, Demos Kratos-Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, h.10

31

(35)

menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya prilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.32

Filsafat politik yang mendasari sistem pemerintahan pada prinsipnya bersifat universal dan dapat diterapkan pada semua lapisan masyarakat dewasa ini. Sebaiknya sistem pemerintahan yang berkembang di berbagai negara dalam berbagai era sangat bervareasi. Dalam negara demokrasi modern dapat dijalankan dengan berbagai sistem pemerintahan. Dua model sistem pemerintahan yang utama adalah sistem pemerintahan parlementer dan presidensil. Kedua sistem itu di banyak negara kemudian mengalami banyak penyesuaian dengan keadaan dan dinamika sosial, politik, budaya dan ekonomi masing-masing negara tersebut, sehingga tidak ada lagi negara yang dapat dikatakan merupakan penjelmaan dari kedua sistem tersebut secara murni. Perbedaan utama di antara keduanya adalah:

Sistem presidensial merupakan tatanan negara yang berdasarkan pada konsep trias politika yang dijadikan pedoman bagaimana lembaga-negara harus bekerja; sedangkan sistem parlementer terjadi sebagai hasil perkembangan sejarah negara yang bersangkutan. Kata Hans Kelsen, jika ingin melihat bagaimana negara menjalankan sistem pemerintahannya cukup dilihat pada Undang-Undang

32

(36)

Dasar (UUD) nya, sebab dari Undang-undang-nyalah segala sesuatu berkaitan dengan negara akan terlihat.33

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kedudukan yang kuat dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik yang kuat pula. Kekuasaan politik presiden seringkali disejajarkan dengan parlemen atau bahkan lebih kuat dari parlemen. Sebaliknya dalam sistem parlementer, parlemen merupakan satu-satunya lembaga perwakilan tertinggi untuk pengambilan keputusan. Peranan presiden dalam kasus ini terbatas hanya pada tugas-tugas mewakili negara dan penengah dalam situasi konflik. Dalam sistem parlementer, kekuasaan pengambilan keputusan politik dijalankan oleh wakil-wakil rakyat sesuai dengan hasil pemilihan umum. Sebaliknya dalam sistem presidensial, kepala negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kekuasaan mandiri baik kekuasaan dalam membentuk pemerintahan maupun dalam penyusunan undang-undang.34

Sistem presidensial, memiliki keuntungan karena dapat menciptakan unsur kesinambungan dan stabilitas dalam proses politik. Hal ini berlaku jika kelompok-kelompok di parlemen jumlahnya banyak dan heterogen, sehingga kecil kemungkinan tercapainya konsesus di antara mereka untuk menggoyahkan kedudukan pemerintah. Walaupun demikian, sistem presidensial memiliki batasan kepala negara yang jelas, untuk menghindari terjadinya konsentrasi kekuasaan

33

Sulardi, ”Sistem Presidensial”, artikel diakses pada 19 April 2008 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0208/29/opini/pusa04.htm

34

(37)

yang hampir menyerupai kediktatoran. Jika lembaga-lembaga penyeimbang seperti parlemen, pemerintah, partai, masyarakat sipil lemah, maka mutu demokrasi presidensial dapat merosot secara tidak terkendali bahkan menciptakan kediktatoran.

(38)

Perbedaan-perbedaan yang dikemukakan di atas tentunya tidak merupakan kriteria-kriteria yang pasti berlaku dalam negara-negara yang menganut masing-masing sistem. Sebagian negara-negara modern bahkan menggunakan sistem-sistem utama tersebut dengan berbagai modifikasi dan variasi. Hal ini dikarenakan kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, selain itu keduanya tidak serta merta dapat diadopsi utuh tanpa mempertimbangkan sistem politik, ekonomi dan sosial-budaya masing-masing negara.35

35

(39)

BAB III

TINJAUAN KONSEP ‘ASHABIYAH IBN KHALDUN

A. Biografi dan Setting Sosial Ibn Khaldun

Ibn Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibn Khaldun. Bani Khaldun ini tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol), selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.

(40)

timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik dan ulama yang hijrah ke Andalusia. 36

Ibn Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai hidup dan karir Ibn Khaldun.37

Ibn Khaldun meniti karirnya dibidang pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha yang lain pada dinasti yang sama.38 Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350 M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari dinasti Hafs, tetapi ia kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibn

36

Rahman Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet.II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.274.

37

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1993), h.90-91

38

(41)

Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/ 1354 ia diangkat menjadi anggota majelis ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat wazir Usman bin Abdullah marah kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.

Ketika hubungannya dengan sultan mengalami keretakan, ia berpindah haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian mengangkatnya sebagai perdana mentri merangkap khatib negara, sampai Bijayah jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad.39 Pada masa ini, Ibn Khaldun di angkat lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibn Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibn Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.40

39

Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II, h.274.

40

(42)

Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibn Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik.41 Sekalipun usahanya tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti sejarah dan menulis Muqaddimah.42

Pada tahun 780 H/1378 M, Ibn Khaldun kembali ketanah airnya Tunisia, disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M ia berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibn Khaldun mengambil jalur di dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena sosial. Ibn Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim, dan dimakamkan dikawasan pemakaman orang sufi di Kairo (Mesir).43

41

Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.29.

42

Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmad Rafi’ (Bandung: Pustaka, 1995), h.15.

43

(43)

B. Latar Belakang Lahirnya Pemikiran ’Ashabiyah

‘Ashabiyah secara etimologis berasal dari kata “ashabah” yang berarti mengikat kesukuan atau kelompok solidaritas untuk menghadapi pihak luar.44 Penulis menerjemahkan ‘ashabiyah dengan keluarga, kelompok para sahabat, semangat ras kelompok, patriotisme, nasionalisme, semangat nasional, dan partai. Adapun ‘ashabiyah adalah rasa solidaritas social atau solidaritas kesukuan.

Secara terminologis, menurut Oesman Raliby (Cendekiawan Muslim Indonesia) mengartikan ‘ashabiyah dengan rasa golongan, Muhsin Mahdi (sejahrawan dan pengamat politik Islam) mengartikannya sebagai social Solidarity (solidaritas sosial), Frans Roshental (Orentalis/sejahrawan) menerjemahkannya menjadi group feeling (perasaan golongan), Charles Issawi (orentalis), mengalihbahasakannya dengan solidarity (solidaritas) dan Philip K. Hitti (orentalis) mengartikannya sebagai tribal spirit (semangat kesukuan) atau

the spirit of the clan (semangat suku atau kaum).45

Menurut Abd. al-Raziq al-Makki, dalam karyanya al-Fikr al-Falsafi‘inda Ibn Khaldun, kata ‘ashabiyah erat kaitannya dengan kata ‘ashab yang berarti hubungan dan kata ‘ishabah yang berarti ikatan. Awalnya kata ‘ashabiyah berarti ikatan mental, yang menghubungkan orang-orang yang mempunyai hubungan

44

Cyril Glase, Ensiklopedi Islam (ringkas), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h.117

45

(44)

kekeluargaan. Ini sesuai dengan perkataan orang Arab yang menyebut keluarga dengan kata ‘ashabah.46

‘Ashabiyah tidak ada kecuali dikalangan orang-orang desa, sementara bagi kalangan orang-orang kota kadar ‘ashabiyah telah berkurang, sekalipun solidaritas sosial masih kita temukan di kota. Mengapa demikian? Karena kehidupan kota telah melemahkan ‘ashabiyah, akibat terbuai dengan kemewahan dan kelezatan hidup. Sementara di desa dengan kesederhanaannya ia akan tetap memelihara kekuatan ‘ashabiyah, dengan demikian syarat pertama adalah adanya struktur kesukuan.47

’Ashabiyah itu sendiri ialah kemampuan seseorang untuk membela dan mempertahankan keluarganya serta orang-orang yang tergabung didalamnya dengan sekuat mungkin. Keluarga yang dimaksud adalah orang yang berasal dari garis keturunan ayahnya, sebab mereka inilah yang akan membela Klanya.

‘Ashabiyah dalam pengertian demikian adalah terpuji. Sedangkan ‘ashabiyah

yang tidak terpuji adalah ‘ashabiyah atau solidaritas orang-orang sesuku untuk melawan suku-suku yang lain tanpa landasan agama, terlepas orang-orang tersebut termasuk penindas atau yang tertindas. Dalam Fatawa al Khairiyyah di uraikan bahwa di antara larangan untuk menerima persaksian adalah ‘ashabiyah,

yakni seseorang membenci seseorang yang lain karena orang tersebut masuk

46

Abd. al-Raziq al-Makki, al-Fikr al-Falsafi’ Inda Ibn Khaldun (Iskandaria: Mu’assasah al-Tsaqafah al-Jami’iyyah, 1970), h.155.

47

(45)

dalam suku X atau suku Y. Perbuatan seperti ini sangat diharamkan, sejalan dengan ini Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang menyeru pada ‘ashabiyah tidak termasuk kita”. Oleh karena itu perbuatan ini tidak dibenarkan dan persaksian pelakunya tidak dapat diterima.48

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ‘ashabiyah yang baik adalah ‘ashabiyah yang meliputi satu keluarga dengan perasaan solidaritas yang berlandaskan agama. Atau dengan kata lain agamalah yang menjadi motivasi satu-satunya yang mendorong suatu suku memerangi suku lainnya.49 Ini disebabkan karena hubungan darah memiliki kekuatan yang mengikat pada manusia setiap ummat manusia, yang membuat mereka ikut merasakan akan setiap penderitaan yang menimpa kaumnya.

Sudah merupakan kodrat setiap manusia untuk membenci penindasan dan menolak penderitaan yang mungkin menimpa kaumnya. Adanya hubungan kekeluargaan antara dua orang yang saling bantu membantu, lebih disebabkan karena adanya hubungan nashab (ikatan darah), dan inilah bentuk ’ashabiyah

yang sesungguhnya. Apabila tingkat kekeluargaan itu jauh maka ikatan darah akan sedikit melemah, maka sebagai gantinya timbullah perasaan kefamilian yang didasarkan pada pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan. Sungguhpun demikian, setiap orang ingin membantu orang lain (family) sebab ia khawatir

48

Abd. al-Rahman Ibnu Khaldun, Al-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatu Gharban wa Syarqan

(Kairo: Lajnah al-Ta’rif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1951), h.27.

49

(46)

akan kehinaan yang mungkin timbul apabila ia gagal dalam kewajibannya melindungi seseorang yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa ia ada hubungan keluarga dengannya.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pelajarilah silsilah keturunanmu untuk mengetahui siapa saudaramu sedarah yang dekat”, yang berarti bahwa persaudaraan hanyalah berarti apabila pertalian darah itu membawa pada kerjasama yang sebenarnya dan bantu membantu pada saat kesusahan. Kenyatannya ialah bahwa hubungan yang demikian itu lebih bersifat emosional dan tidak memiliki realitas. Dalam arti bahwa hubungan itu hanya berguna untuk mendekatkan hati dan kecintaan orang. Apabila persaudaraan terlihat nyata, maka ia akan berguna sebagai pendorong yang wajar kearah ‘ashabiyah. Jika

‘ashabiyah didasarkan pada sekedar pengetahuan tentang keturunan dari nenek moyang yang sama, maka ia akan lemah dan mempunyai pengaruh yang rendah terhadap perasaan, oleh karena itu ‘ashabiyah hanya mempunyai sedikit dampak yang nyata.50

Dengan demikian ‘ashabiyah menurut Ibn Khaldun tidak hanya meliputi satu keluarga saja, yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh tali kekeluargaan, tetapi juga meliputi hubungan yang timbul akibat terjadinya persekutuan. Dalam muqaddimah Ibn Khaldun dijelaskan bahwa ‘ashabiyah juga

50

(47)

meliputi hubungan yang timbul akibat perbudakan dan penyewaan tentara, sedangkan kegunaan silsilah kekeluargaan adalah yang ditimbulkannya.51

Perbedaan hal ikhwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara mereka memperoleh penghidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak lain hanyalah untuk saling membantu dalam memperoleh penghidupan, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sederhana sebelum mereka mencari kehidupan yang lebih tinggi.52

Di antara mereka ada yanga hidup bertani, adapula yang hidup beternak untuk dikembangbiakkan atau diambil hasilnya. Kehidupan mereka bermasyarakat dan saling membantu didalam memenuhi kebutuhan hidup dan peradaban, seperti makanan, perlindungan, dan panas, mereka tidak gentar untuk memperolehnya lebih dari batas kebutuhan guna melangsungkan kehidupan menurut batas kebutuhan hidup. Tak lebih dari itu, sebab mereka tidak mampu memperoleh lebih. Kemudian, apabila kondisi mereka semakin nyaman dan memperoleh kekayaan dan kemewahan diatas batas yang dibutuhkan, mereka hidup tenang. Dengan demikian mereka akan saling bantu membantu dalam memperoleh sesuatu diatas batas kebutuhan. Mereka mempergunakan banyak makanan, pakaian, dan berbangga diri dengan itu semua. Selanjutnya mereka pun membangun rumah-rumah besar dan mempercantik kota untuk tempat berlindung.

51

Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.143.

52

(48)

Inilah yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Ibn Khaldun tentang ‘ashabiyah, sebagaimana yang diuraikan diatas- rasa solidaritas atau saling tolong menolong terhadap sesama untuk tujuan-tujuan bersama.

C. Peran ‘Ashabiyah Dalam Sosial Politik

‘Ashabiyah merupakan kekuatan politik yang mendorong pembentukan negara atau dinasti. ‘Ashabiyah mensyaratkan adanya pemimpin, yakni seorang tokoh yang mendapat dukungan dari keluarganya dan pengikutnya. ‘Ashabiyah

merupakan kekuatan politik yang mendorong pembentukan negara atau dinasti.

‘Ashabiyah mensyaratkan adanya pemimpin, yakni seorang tokoh yang mendapat dukungan dari keluarga dan pengikutnya. Dalam konsep ’ashabiyah tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, sebab pimpinan diperoleh dengan kemenangan, oleh karena itu ’ashabiyah pimpinan harus lebih kuat daripada ’ashabiyah-ashabiyah lain agar kemenangan tersebut dapat terwujud.53

Menurut Ibn Khaldun kepemimpinan bukan merupakan kekuasaan “de jure” tetapi merupakan kekuasaan “de facto” dan kepemimpinan diperoleh dengan kemenangan, yakni dengan penggunaan kekuatan. Dengan demikian kepemimpinan terpusatkan pada salah satu cabang ‘ashabiyah yang paling kuat.

‘Ashabiyah sendiri merupakan suatu bentuk khusus organisasi politik dengan puncaknya suatu aritokrasi kesukuan yang memerintah dalam suasana demokrasi

53

(49)

yang bebas. Jadi apabila di antara anggota-anggota suku terjadi persamaan, maka tidaklah demikian dalam hubungan mereka dengan para pemegang kepemimpinan. Masyarakat desa merupakan syarat primer adanya ‘ashabiyah, dibalik itu ada sebagian suku-suku tidak memiliki ‘ashabiyah, yaitu suku-suku yang tunduk kepada suku lain. Atau suku tersebut tidak dapat mempertahankan dirinya sendiri, dan harus membayar pajak, maka pimpinannya tidak dapat memerintah sesuai dengan kehendaknya sendiri.54

1. ’Ashabiyah dan Kekuasaan

Adapun tujuan yang hendak dicapai ‘ashabiyah adalah kekuasaan. Menurut Ibn Khaldun mengenai hal ini: “Bahwa kemenangan terdapat di pihak yang mempunyai solidaritas yang lebih kuat, dan anggota-anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati guna kepentingan bersama.” Kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang terhormat dan diperebutkan, karena kedudukan memberikan kepada pemeganya segala kekayaan duniawi dan juga kepuasan lahir batin. Karena itulah kekuasaan menjadi sasaran perebutan dan jarang sekali di lepaskan dengan suka rela kecuali dibawah paksaan. Perebutan menimbulkan perjuangan dan peperangan dan runtuhnya singgasana-singgasana.

54

(50)

Semuanya itu tidaklah dapat terjadi kecuali dengan ‘ashabiyah atau solidaritas social.55

Tetapi bila kekuasaan telah berdiri teguh dan mereka yang dikuasai telah pula terbiasa dengan kekuasaan yang ada, maka menurut Ibn Khaldun, alat-alat kekuasaan kurang memegang peranan, termasuk ‘ashabiyah, seperti yang terdapat pada waktu menegakkan kekuasaan semula. Dalam keadaan demikian penguasa dan orang-orang yang telah membantunya menegakkan kekuasaan itu mulai melihat kepada hal-hal lain yang dirasakan menarik, terutama pada kemewahan yang datang tanpa dicapai. Karena pada dasarnya, dan menjadi tabiatnya pula bahwa kekuasaan itu di iringi dengan kemewahan. Tetapi kemewahan ini hanya mula-mula saja akan menambah kekuatan penguasa, namun akhirnya kekuatan ini akan melemah karena kemewahan itu mengandung sifat yang merusakkan manusia, yaitu pada ahlaknya. Ia akan melupakan seseorang tentang kewajiban-kewajibannya yang sesuai dan harus dipenuhi sebagai seorang penguasa. Ini akan melemahkan ‘ashabiyah tadi, dan dalam keadaan demikian seorang penguasa akan mendasarkan kekuasaannya pada serdadu upahan atau tentara bayaran. Bila ini terjadi sekurang-kurangnya untuk sementara perkembangan akan menuju kepada pemusatan kekuasaan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak oleh golongan yang mula-mula menegakkan daulah. Pemusatan kekuasaan itu tidak dibenarkan, ‘ashabiyah pada awalnya akan menyuruh orang untuk membagi

55

(51)

kemenangan dan kemegahan yang diperoleh secara bersama-sama. Bila timbul juga pemusatan kekuasaan, maka rasa golongan itu akan hancur.56 Menurut Ibn Khaldun bila mana suatu ‘ashabiyah dalam keadaan kuat ia akan menaklukkan

‘ashabiyah-‘ashabiyah lainnya yang lebih lemah, keadaan yang demikian ini berlangsung sampai ‘ashabiyah tersebut memperoleh kesempatan untuk menguasai Negara.

Ibn Khaldun membedakan antara ‘ashabiyah dan kedaulatan dan antara pimpinan ‘ashabiyah dan raja. Menurut Ibn Khaldun dalam hal ini: “Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap masyarakat manusia membutuhkan kekuatan pencegahan dan seorang pemimpin yang mampu mencegah manusia dari saling sakit menyakiti, pemimpin seperti itu harus memiliki kekuatan pembantu di tangannya, sebab jika tidak ia tidak dapat menjalankan tugas itu. Kekuasaan yang dimilikinya adalah kedaulatan yang melebihi kekuasaan seorang kepala suku. Sebaliknya kedaulatan adalah memerintah dengan paksa melalui alat kekuasaan yang ada ditangan orang yang memerintah tersebut. Orang-orang yang memerintah selalu berupaya meningkatkan kekuasaannya, karena itu seorang pemimpin yang mendapat pengikut tidak akan mensia-siakan kesempatan mengubah kekuasaannya itu menjadi kedaulatan (dinasti) bila ia bisa. Sebab kekuasaan adalah keinginan jiwa manusia, dan kedaulatan hanya bisa didapat dengan bantuan para pengikut, orang yang berkuasa itu tergantung kepada

56

(52)

persetujuan rakyatnya. Dan tujuan terakhir dari ’ashabiyah adalah kedaulatan atau kerajaan. 57

Dengan demikian seorang pemimpin ’ashabiyah atau suku merasa cukup dengan kekuasaan mental atas anggota-anggota sukunya. Sementara seorang raja tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali lewat ‘ashabiyah maka kekuasaannya adalah mutlak sampai ke peringkat intimidasi dan dominasi mutlak. Hal ini karena kedaulatan kerajaan, seperti yang di ungkapkan Ibn Khaldun dalam teks diatas, merupakan salah satu fase kekuasaan bila mana kondisi-kondisi yang ada menopang, namun asas keduanya adalah ‘ashabiyah.

2. ’Ashabiyah Fondasi Kekuasaan dan Kedaulatan

‘Ashabiyah adalah kekuatan penggerak negara dan merupakan landasan tegaknya suatu negara atau dinasti. ’Ashabiyah juga merupakan kekuatan pemersatu dan mampu melindungi kelompok dan mempercepat kemenangan kelompok itu atas ‘ashabiyah-‘ashabiyah lainnya serta sebagai peredam pertentangan-pertentangan dalam tubuh sendiri. Lebih jauh lagi ‘ashabiyah selalu membuat terjadinya perubahan yang mengakibatkan terwujudnya kehidupan yang lebih baik. Dan ‘ashabiyah juga merupakan struktur sosio-politik yang membuat terjadinya peralihan dari masyarakat tanpa kelas menjadi masyarakat berkelas. Pada permulaannya aristokrasi kesukuan didasarkan pada struktur sosio-politik

57

(53)

yang berlandaskan persamaan. Dan setiap kali aristokrasi itu semakin kuat ia akan semakin tanpak sebagai suatu kelas yang kepentingannya bertentangan dengan kepentingan anggota-anggota suku lain, akibatnya goncanglah struktur kesukuan yang pada dasarnya di dasarkan pada persamaan. Namun kegoncangan ini pada batas tertentu dapat di pandang progresif, sebab ia merupakan permulaan peralihan menuju sistem produksi yang lebih efektif.

‘Ashabiyah juga mempunyai peran yang besar perluasan negara setelah sebelumnya ia merupakan landasan tegaknya negara tersebut. Jadi bilamana

‘ashabiyah itu kuat maka negara yang muncul pun akan luas pula. Sebaliknya jika

‘ashabiyah itu lemah maka luas negara yang muncul relatif terbatas. Menurut Ibn Khaldun mengenai hal ini: “kekuasaan akan muncul bersama-sama ‘ashabiyah

dan anggota-anggota ‘ashabiyah adalah pelindung yang akan terpencar di seluruh penjuru negara. Jadi apabila ‘ashabiyah tersebut kuat maka negara tersebut akan lebih kuat dan luas. 58

D. Peranan ‘Ashabiyah Dalam Agama

Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana agama mengontrol diri manusia, sehingga mereka dengan mudah tunduk, patuh dan berkumpul (membentuk kesatuan sosial). Agama dapat melenyapkan sifat kasar dan bengga diri, serta

58

(54)

melatih untuk menghilangkan perasaan iri dan cemburu.59 Agama yang dimaksud Ibn Khaldun pada pembahasan ini mempunyai pengertian al-Din, yang erat kaitannya dengan syariat. Ini juga mempunyai konotasi hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT.

Penyebaran agama pada mulanya memberi kepada dinasti kekuatan lain disamping solidaritas sosial yang dimiliki sebagai cermin dari jumlah penyokongnya. Ini disebabkan karena corak agama yang menghilangkan rasa saling cemburu dan iri yang terjadi, sehingga dengan pertolongan Allah bisa dihadirkan rasa kebersamaan dan mewujudkan pada konsentrasi kebenaran. Ibn Khaldun mengutip sebuah ayat yang berbunyi:

أ

ﻬ ﻮ

ﱠأو

ﱠ ﻜـ و

ﻬ ﻮ

ﱠأ

ﺎﱠ

ضرﻷا

ا

ﺰ ﺰ

ﱠإ

ﱠأ

.

Artinya: Dan yang mempersatukan hati mereka walaupun kamu membelanjakan semua yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 63)

Jadi, persatuan itu bukan merupakan hasil usaha atau rekayasa manusia, tetapi taufiq atau perkenaan dari Allah.

Dalam hubungan antara ‘ashabiyah dan agama, menurut Ibn Khaldun terdapat dampak timbal balik di antara keduanya. Dalam sebuah pasal dengan judul “Agama memperkokoh kekuatan ‘ashabiyah yang telah dipupuk negara dan

59

(55)

jumlah penduduknya”. Ia berkata sebagai berikut: “semangat agama dapat meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari kelompok itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka kearah kebenaran. Perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran maka tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi mereka. Sebab pandangan mereka adalah sama dan tujuan yang mereka kejar pun serupa dan satu untuk mereka, dan mereka bersedia berjuang sampai mati.60

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa agama dapat mengikat hati manusia menjadi satu, sehingga dapat mewujudkan segala sesuatu yang dikehendaki oleh ummat atau masyarakat, termasuk untuk mendirikan sebuah negara ataupun dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian dan untuk melindungi masyarakat atau ummat dari serangan-serangan yang datang dari luar.61

1. Ashabiyah Menopang Agama (Syariat)

Menurut Ibn Khaldun agama tidak akan berhasil tanpa dukungan

’ashabiyah (solidaritas sosial), sesuai dengan Hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa: “Allah tidak mengutus seorang nabi kecuali bila mana ia mendapatkan dukungan dari kaumnya”. (H.R. Ahmad)

60

Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.138.

61

(56)

Pada pasal berikutnya mengenai dampak áshabiyah atas seruan keagamaan, yaitu dalam sebuah pasal ál-Muqaddimah dengan judul “Seruan keagamaan akan berhasil kecuali bila mempunyai dasar ‘ashabiyah. Sebabnya ialah rakyat hanya dapat digerakkan dan bertindak berkat dorongan ‘ashabiyah.

Agama mempersatukan bahasa, fikiran, tujuan kehidupan mereka. Dengan adanya unsur agama ini, seluruh perhatian ditumpukkan kepada kebenaran saja.62 Dari ucapan Ibn Khaldun di atas dapat disimpulkan bahwa ‘ashabiyah menopang agama. Dan sebagian suku-suku semisal suku arab, tidak akan meraih kekuasaan kecuali atas dasar agama. Sebab ‘ashabiyah mereka yang diwarnai kebiadaban, keliaran, dan kebebasan itu saja tidak cukup. Ibn Khaldun dalam sebuah pasal al-Muqaddimah dengan judul: Bangsa Arab tidak mampu mendirikan suatu kerajaan kecuali atas dasar agama, seperti wahyu seorang nabi atau ajaran seorang wali. Sebabnya ialah karena tabiatnya yang keras, sombong, kasar dan iri hati satu sama lainnya, terutama dalam persoalan-persoalan politik. Semua itu menyebabkan mereka menjadi manusia yang sukar diatur, karena keinginan-keinginannya sukar sekali terpenuhi.63

Tetapi bila mereka memeluk agama yang dibawa seorang nabi atau wali, mereka memiliki prinsip-prinsip batin untuk menguasai hawa nafsu, dan kesombongan sehingga iri hati mereka dapat ditahan, dengan demikian mudahlah

62

A.R. Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.165

63

(57)

menyatukan dan membimbing mereka. Sebab agama meniadakan kekasaran dan kesembongan dan meredakan iri hati dan persaingan.64

Ibn Khaldun berpendapat bahwa suatu gerakan agama tidak akan berhasil apabila tidak disertai rasa golongan atau ‘ashabiyah. Menurutnya, suatu gerakan itu hanya berarti apabila disertai dengan pengikut yang banyak yang mempunyai rasa bersatu dengan adanya rasa ‘ashabiyah. Dan gerakan seperti ini dapat dihadapkan pada penguasa yang tidak disukai. Dengan kata lain, Ibn Khaldun telah mulai melihat factor yang mempengaruhi perkembangan suatu revolusi. Kemelut atau revolusi akan berhasil bila disertai rasa golongan yang kuat.

Masyarakat beragama itu bukan saja memerlukan rasa golongan untuk menghadapi lawan, tetapi untuk terlaksananya hukum-hukum syariat. Tetapi Ibn Khaldun tidak membenarkan bila rasa golongan itu dipergunakan untuk tujuan-tujuan hidup yang berlainan dengan apa yang di kehendaki agama. Untuk menikmati kemenangan, kemewahan yang diperoleh tanpa memperhitungkan batas-batas yang harus dipegang, ini baginya berlawanan dengan apa yang diingatkan Nabi.65

Menurut Ibn Khaldun, selain ’ashabiyah, yang menjadi faktor pendukung bagi tegaknya suatu negara adalah agama (syariat Islam). Karena kekuasaan dan wibawa politis yang sesuai dengan syariat akan mencegah timbulnya

64

Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.132

65

(58)

keburukan serta kejahatan-kejahatan yang mudah muncul bersamaan dengan adanya kekuasaan, misalnya perbuatan sewenang-wenang, ketidak adilan, dan keinginan bermandikan kesenangan lepas dari kepatutan.66

E. Dalil al-Qur’an dan al-Hadits dalam Konsep ’Ashabiyah Ibn Khaldun

Berikut dalil dan sekaligus landasan pemikiran Ibn Khaldun mengenai negara dan pemerintahan serta hubungannya dengan warga negara yang tertuang dalam konsep ’ashabiyah:

1. Al-Qur’an

a. Pemberian kedaulatan

...

ﷲاو

ءﺎ

ﻜـ

ﻰ ﺆ

...

Artinya: “Allah memberikan kerajaanNya kepada siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Baqarah: 247)67

b. Taat kepada pemimpin atau ulil amri

ﻜ ﺮ ﻷا

ﻰ وأو

لﻮ ﺮ ا

اﻮ أو

ﷲا

اﻮ أ

اﻮ اء

ﺬ ا

ﺎﻬ ﺎ

...

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…(QS. An-Nisa: 59)68

66

Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, h.74

67

Di kutip dari, Muqaddimah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmadie Thaha, h. 190

68

(59)

c. Persamaan (kesetaraan status sebagai manusia)

آﺎ

و

ﻰ أو

ﺮآذ

آﺎ ﺧ

نإ

سﺎ اﺎﻬ اﺎ

نإ

،اﻮ رﺎ

ﺋﺎ و

ﺮ ﺧ

ﷲا

نإ

، آﺎ أ

ﷲا

ﻜ ﺮآأ

.

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)69

d. Banyak Tuhan akan terjadi Kekacauan atau Kehancuran

نﺎآ

ﺎ ﺪ

ﷲا

إ

ﺔﻬ اء

ﺎ ﻬ

...

Artinya: ”Sekiranya ada dilangit dan di bumi tuhan-tuhan selain

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi yang dimiliki oleh Kelurahan Pasir Putih dan Kelurahan Sawangan Baru di Depok untuk menjadi desa wisata

Analisa durasi rencana dan evaluasi pelaksanaan jadwal studi kasus dilakukan selama pelaksanaan pekerjaan struktur pada proyek hotel 10 lantai dengan fokus pada

Contoh pergantian gambar ini diukur dalam satuan fps (frame per second). Contoh animasi ini adalah ketika kita membuat rangkaian gambar yang berbeda pada animasi

Tingkat dan Sumber Bunyi pada Skala Kebisingan, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kebisingan di flyover Pasar Rebo dan Bundaran HI sudah berada pada tingkat

Pada pompa yang terbuat dari sebagian bahan tahan karat, rumah pompa dibuat dari bahan yang sesuai untuk keperluaannya, sementara impeller, cincin impeller, dan selongsong poros

Peneliti menyajikan data yang diperoleh dari penyebaran angket tentang pengaruh model pembelajaran visual, auditori, kinestetik (VAK) terhadap kemampuan

Dalam konteks pembelajaran keterampilan berbahasa asing, tujuan yang ingin dicapai melalui pengembangan program pembelajaran berbasis kompetensi tersebut hanya

Di banyak negara juga diberikan kewenangan untuk memutus perkara-perkara pengaduan konstitusional (constitutional complaint), yakni pengaduan atau gugatan yang diajukan