Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pada kelompok musim kemarau dan musim hujan dengan faktor perlakuan yaitu cara pemipilan (manual, power thresher multiguna dan cornsheller). Model umum dari rancangan percobaan ini dapat dilihat pada persamaan (4).
� = � + + + � ………. (4)
Keterangan :
Yij = Pengamatan pada perlakuan α ke-i dan kelompok β ke-j µ = Rataan umum
αi = Pengaruh perlakuan α ke-i βj = Pengaruh kelompok β ke-j
εij = Pengaruh acak perlakuan ke-i dan kelompok ke-j i = Banyaknya perlakuan
14
Analisis Penentuan Sarana Pascapanen yang dapat Menurunkan Susut Kuantitas
Penelitian dan pengumpulan data dilaksanakan mulai September 2014 sampai dengan Januari 2015 bertempat di Bogor, Jakarta, dan Provinsi Banten. Analisis prioritas sarana pascapanen jagung untuk menekan susut hasil kuantitatif menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Tahapan analisis
Mengidentifikasi tujuan, kriteria, subkriteria dan alternatif
Menyusun kuesioner
Menyebar kuesioner kepada pakar/responden
Memasukan data dari kuesioner
Menghitung rata-rata geometris Mulai
Menghitung bobot pada setiap elemen hirarki
Selesai Konsisten
Melakukan perhitungan konsistensi Menentukan beberapa pilihan calon
pakar/responden
Ya
Tidak
15
menggunakan metode AHP dapat dilihat pada Gambar 6. Berikut langkah-langkah analisis menggunakan metode AHP :
1. Menentukan beberapa pilihan sebagai calon pakar/responden potensial
Langkah ini dilakukan dengan wawancara, calon yang cocok akan dijadikan alternatif untuk pembobotan kriteria, subkriteria, dan alternatif. 2. Menentukan kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif
Kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif dilakukan dengan diskusi langsung dan pengamatan di lapangan, sarana pascapanen apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh petani jagung untuk menurunkan susut kuantitas pascapanen. Kriteria dan subkriteria tersebut muncul dari kebutuhan sistem agar petani memperoleh sarana pascapanen yang tepat guna. Kemudian kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif dibuat bagan hierarkinya seperti pada Gambar 7.
3. Penyusunan kuesioner
Setelah menentukan kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif untuk bahan pertimbangan penentuan sarana pascapanen yang dapat menurunkan susut kuantitas, kemudian melakukan pembuatan kuesioner. Penyusunan kuesioner dibuat berdasarkan metode perbandingan berpasangan untuk mengetahui tingkat bobot dari setiap kriteria, subkriteria dan alternatif. Nilai bobot tersebut menggunakan skala 1-9 seperti pada Tabel 5.
4. Penyebaran kuesioner kepada pakar/responden
Kuesioner yang sudah disusun tersebut, disebarkan kepada para pengambil keputusan dalam hal ini pakar atau responden yang terlibat dalam pencapaian tujuan.
5. Memasukan data dari kuesioner
Hasil kuesioner yang diperoleh akan dikumpulkan dan dianalisis menggunakan software Expert Choice.
Gambar 7 Struktur Hirarki dalam AHP Goal Kriteria 1 Alternatif A Alternatif B Kriteria 2 Alternatif A Alternatif B Kriteria 3 Alternatif A Alternatif B
Tabel 5 Skala perbandingan
Nilai Keterangan
1 Faktor Vertikal sama penting dengan Faktor Horizontal 3 Faktor Vertikal lebih penting dengan Faktor Horizontal 5 Faktor Vertikal jelas lebih penting dengan Faktor Horizontal 7 Faktor Vertikal sangat jelas lebih penting penting dengan Faktor
Horizontal
9 Faktor Vertikal mutlak lebih penting dengan Faktor Horizontal 2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai elemen yang berdekatan 1/(2-9) Kebalikan dari keterangan nilai 2-9
16
6. Menghitung rata-rata geometris
Data hasil kuesioner tiap responden akan digabungkan menjadi satu nilai dengan perhitungan rata-rata geometris.
7. Melakukan perhitungan pembobotan pada kriteria, subkriteria dan alternatif pada tiap tingkat hierarki
Perhitungan ini akan menghasilkan tingkat bobot kepentingan tiap kriteria, subkriteria dan alternatif.
8. Pengujian konsistensi
Pengujian konsistensi merupakan tahap akhir yang dilakukan pada setiap kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif sehingga data-data yang diperoleh layak untuk digunakan dan diterapkan. Jika hasil uji yang diperoleh tidak konsisten maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah mengulang lagi tahap awal, yakni menentukan kembali calon pakar atau responden.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Panen Jagung
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Provinsi Banten merupakan sentra pabrik pakan ternak sehingga permintaan akan jagung pada wilayah ini sangat tinggi. Kabupaten Serang merupakan salah satu penerima bantuan sosial sarana pascapanen Kementerian Pertanian.
Kelompok tani (poktan) jagung di Kabupaten Serang melakukan kegiatan pemanenan dengan cara memetik tongkolan jagung dan langsung dimasukan kedalam karung. Beberapa hari sebelum panen, bagian atas tanaman jagung dipotong setelah kelobot mulai mengering untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, kemudian jika musim kemarau kelobot jagung dibuka untuk mempercepat pengeringan tongkol namun pada saat musim hujan tongkolan dipanen beserta kelobotnya yang kemudian akan dikupas. Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung panen dilakukan dengan menyabit batang tanaman jagung, tongkolan jagung dipetik, dikumpulkan dan dikupas kelobotnya.
Percobaan dilakukan pada lahan tanaman jagung milik ketua poktan karya tani. Varietas jagung yang digunakan poktan ini adalah Bisma 19. Varietas ini merupakan jagung komposit dengan umur panen sekitar 96 hari. Bentuk tongkol besar dan silindris yang terletak di tengah-tengah batang tanaman. Kelobot tertutup baik dengan biji berwarna kuning berbentuk semi mutiara. Barisan biji pada tongkol lurus dan rapat dan potensi hasil sekitar 5.7 ton/ha.
Susut kuantitas
Pemanenan yang dilakukan pada umur panen yang tepat akan menurunkan susut (World Bank et al. 2011). Petani setempat melakukan pemanenan pada jagung dengan umur panen 120 hari dimana lebih lama dari umur panen varietas bisma yang berdasarkan literatur. World Bank et al. (2011) juga menyatakan bahwa pemanenan yang terlalu awal menyebabkan kadar air tinggi dan biji jagung tidak padat. Sedangkan pemanenan yang tertunda terutama masuk di awal musim hujan akan menyebabkan kelembaban tinggi dan jagung tidak cukup kering.
17
Dari hasil susut kuantitas panen yang diperoleh, terlihat bahwa setiap perlakuan pada setiap musim menghasilkan susut yang berbeda dan dapat dilihat pada Gambar 8. Pada percobaan pertama, susut panen dipetik pada musim kemarau 1.33%, sedangkan panen disabit 0.89%, susut panen dipetik dan disabit pada musim hujan berturut-turut 1.17% dan 0.88%. Pada percobaan kedua, susut panen dipetik pada musim kemarau 0.86% sedangkan panen disabit 0.66%, susut panen dipetik dan disabit pada musim hujan berturut-turut 1.167% dan 0.85%.
Analisis sidik ragam untuk susut panen menunjukan nilai signifikansi ≥ 5% sehingga perlakuan panen dipetik dan disabit pada kelompok musim kemarau dan musim hujan tidak berpengaruh nyata terhadap susut. Hal ini berarti panen jagung baik dilakukan dengan dipetik maupun disabit menghasilkan susut yang sama dan tidak berbeda nyata. Namun, pemanenan jagung dengan menebas tanaman sangat menguntungkan ketika musim hujan karena pada waktu hujan melakukan panen akan menyebabkan tergesa-gesanya pelaksanaan panen dan pengangkutan hasil panen tersebut. Hal ini dapat menyebabkan jagung yang dipanen sebagian akan tercecer/terbuang ke hamparan tanah dan susut yang dihasilkan lebih banyak daripada panen saat musim kemarau. Ditambah lagi dengan keterbatasan tenaga kerja yang menyebabkan penundaan panen sehingga akan mengakibatkan kehilangan hasil secara signifikan (World Bank et al. 2011).
Titik kritis kehilangan hasil saat panen adalah pelaku panen yang terkesan terburu-buru dan tidak hati-hati. Cara panen manual dengan langsung melakukan pemetikan pada pangkal buah menghasilkan banyak butiran yang tertinggal pada kelobot dan jatuh di lokasi panen. Jagung yang masih berkelobot dapat menghindari tercecernya biji di lapangan. Namun, tercecer akan banyak terjadi di penumpukan sementara ketika jagung dikupas kelobotnya. Penggunaan alas tempat pengumpulan sementara dan pengupasan kelobot harus selebar mungkin sehingga jagung dapat tertampung dan jagung yang tercecer di alas dapat disortasi dari kotoran seperti rambut jagung.
Waktu proses
Proses panen jagung di Indonesia masih dilakukan secara manual. Berdasarkan World Bank et al. (2011), pada petani jagung dengan luas lahan yang kecil, panen dengan mekanis bukanlah pilihan karena skala luasan yang tidak tepat serta biaya yang tidak terbayarkan.
Gambar 8 Susut kuantitas panen jagung 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 dipetik disabit Su su t (%) musim kemarau musim hujan
18
Proses panen pada penelitian ini dilakukan oleh dua orang petani yang biasa melakukan pemanenan jagung. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa cara panen dengan sabit mengkonsumsi waktu lebih lama dibandingkan panen dengan cara dipetik dan hasil analisis sidik ragam menunjukan nilai sig. < 5% sehingga waktu proses pada setiap perlakuan cara panen berbeda nyata. Namun, faktor musim tidak menghasilkan perbedaan waktu proses yang berbeda nyata.
Waktu pemanenan dengan cara dipetik pada musim hujan lebih lama dibandingkan pada musim kemarau karena pada musim hujan tongkolan jagung tidak dibuka kelobotnya sebelum pemanenan sebagaimana yang terjadi pada tanaman jagung di musim kemarau. Sehingga, ada tambahan waktu untuk melakukan pelepasan kelobot dari jagung tongkolan.
Tahapan panen dengan cara disabit lebih panjang daripada dipetik karena tanaman ditebas, dikumpulkan, dan kelobot dibuka. Sedangkan cara panen disabit tanaman langsung dimasukan kedalam karung dan khusus musim hujan ditambah proses pengupasan kelobot. Walaupun demikian, cara panen disabit tidak menyisakan sisa tanaman jagung di lahan dan lahan langsung dapat diolah. Berbeda halnya dengan cara panen dipetik dimana diperlukan tambahan waktu untuk penebasan bagian atas tanaman (pembukaan kelobot khusus musim kering) dan pembersihan lahan dari sisa tanaman jagung.
Kadar Air
Kadar air jagung yang dipanen pada musim kemarau adalah sebesar 24.9% ± 1.8 dan pada musim hujan 28.7% ± 1.1. Hasil analisis uji T didapatkan bahwa ternyata ada pengaruh kadar air panen pada musim kemarau dan musim hujan karena Sig. < 5%. Menurut Swastika et al. (2004), kadar air jagung menjadi tidak menentu dan tidak dapat diprediksi pada saat musim hujan. Salah satu penyebab kehilangan hasil adalah kadar air (World Bank et al. 2011). Setiap proses pascapanen membutuhkan persyaratan kadar air optimum, misalnya pada proses pemipilan dimana jagung yang akan dipipil harus dikeringkan terlebih dahulu sampai dibawah 14% (Nkakini, 2007).
Pada musim kemarau sistem panen dengan cara perebahan tanaman melalui tebasan menggunakan sabit dan cara panen dipetik dengan membuka kelobot dapat diterapkan sebagai fungsi pengeringan awal. Panen di musim hujan, petani dihadapkan pada kendala pengeringan. Penundaan panen sampai datangnya musim kemarau akan mengakibatkan rusaknya jagung. Sedangkan panen tepat waktu di
Gambar 9 Waktu proses panen jagung 0 50 100 150 200 250 dipetik disabit W ak tu P ro ses (j am /Ha) musim kemarau musim hujan
19
musim hujan, petani sulit untuk menurunkan kadar air sebelum dilakukan proses pemipilan. Sehingga, sangat penting untuk memperhatikan pola tanam untuk memastikan panen dapat tepat di musim kemarau atau diperlukan sarana pascapanen pengering untuk mendukung penurunan kadar air jagung panen.
Pemipilan Jagung
Kegiatan pemipilan jagung meliputi kegiatan melepas biji dari tongkol, memisahkan kotoran dan mengangkut jagung pipilan kering ke tempat proses selanjutnya. Penelitian ini juga dilakukan di poktan karya tani. Perlakuan pemipilan terdiri dari pemipilan dengan tenaga manusia dan mekanis. Pemipilan secara tradisional di poktan ini menggunakan alat sederhana yang terbuat dari tongkol jagung yang dibalut dengan karet ban. Pemipil mekanis yang digunakan pada percobaan adalah mesin pemipil jagung bantuan sosial sarana pascapanen Kementan yaitu corn sheller dan mesin pemipil yang biasa digunakan petani setempat yaitu power thresher multiguna (Gambar 10).
Susut kuantitas
Proses pemipilan dan bahan yang digunakan mengikuti kebiasaan petani setempat. Hasil analisis sidik ragam didapatkan adanya pengaruh perlakuan pemipilan terhadap kehilangan hasil karena Sig. < 5%, namun tidak ada pengaruh nyata untuk kelompok musim (Sig. ≥ 5%). Analisis lanjut LSD didapatkan bahwa pemipilan secara manual menghasilkan susut kuantitas yang memberikan perbedaan jelas terhadap pemipilan mekanis baik menggunakan corn sheller maupun power thresher multiguna. Sedangkan antara corn sheller dan power thresher multiguna tidak memiliki perbedaan susut kuantitas yang signifikan.
Pemipilan menggunakan power thresher multiguna menghasilkan jagung pipil yang banyak terikut kotoran. Berbeda dengan corn sheller dimana kotoran
Gambar 10 Alat pemipil: (a) tradisional; (b) corn sheller; (c) power thresher multiguna
Gambar 11 Silinder pemipil: (a) corn sheller; (b) power thresher multiguna
20
terpisahkan dari jagung pipil. Bentuk kontruksi silinder pemipil sangat berbeda untuk kedua mesin yang dapat dilihat pada Gambar 11. Tidak terdapatnya pengarah dan sarangan pada power thresher multiguna menyebabkan jagung banyak tertinggal pada junggelnya sehingga pemipilan harus dilakukan 3 sampai 4 kali pengulangan.
Mesin pemipil mekanis sangat sederhana, sehingga dapat dibuat oleh semua bengkel alsin pertanian. Permintaan harga yang murah terkadang mengabaikan kualitas bahan yang digunakan untuk membuat mesin tersebut. Kemampuan kerja mesin pemipil bijian sangat tergantung dari parameter kerja mesin tersebut, semakin tinggi kecepatan putar silinder maka semakin kecil kehilangan hasil (Osuke 2013). Standar Nasional Indonesia (SNI) 7428:2008 dan SNI 7866:2013 dapat menjadi acuan bagi petani untuk lebih kritis dalam membeli mesin pemipil jagung.
Apabila dilakukan perbandingan antara SNI dan spesifikasi mesin pemipil yang disajikan pada Tabel 6, corn sheller tidak memenuhi SNI untuk putaran silinder dan kapasitas kerja. Sedangkan untuk power thresher multiguna, keempat parameter tersebut memenuhi SNI. Kecepatan putaran silinder corn sheller lebih rendah dari pada power thresher multiguna. Operator sarana corn sheller menghindari kecepatan yang tinggi karena mesin akan macet. Kecepatan tersebut merupakan kecepatan yang menjadi patokan petani ketika melakukan pemipilan. Meskipun spesifikasi power thresher multiguna sudah sesuai SNI, namun hasil pipilan harus dilakukan proses pengayakan karena banyaknya kotoran yang terikut. Sehingga, perlu dilakukan pengukuran parameter lain terhadap sarana power thresher multiguna untuk mengurangi susut kuantitas.
Ergonomik kerja power thresher multiguna untuk kegiatan pemipilan jagung sangat tidak aman bila dibandingkan dengan corn sheller. Hal ini disebabkan desain hopper yang tidak cocok untuk jagung sehingga tangan yang mendorong jagung untuk masuk kedalam hopper terlalu dekat dengan silider pemipil. Mesin perontok buatan lokal secara umum dioperasikan secara manual, desain perontok yang ergonomis akan menyebabkan proses kegiatan akan berlangsung dengan aman (Kumar et al. 2002).
Waktu proses
Proses pemipilan dilakukan oleh tiga orang petani sebagai operator yang biasa mengoperasikan sarana pemipil yang digunakan pada penelitian ini. Sedangkan pemipilan manual dilakukan oleh lima orang petani. Konsumsi waktu pemipilan
Tabel 6 Spesifikasi sarana pemipil yang digunakan pada percobaan
No Parameter Satuan
Spesifikasi
Corn sheller Power thresher multiguna 1 Daya motor penggerak kW 4 (diesel) 5 (diesel) 2 Dimensi silinder pemipil
a.Panjang mm 700 750
b.Diamater mm 300 350
3 Putaran silinder pemipil
dengan beban kerja rpm 370 620
21
perlu diperhatikan. Waktu proses yang lama mengakibatkan efisiensi pemipilan menurun. Proses pascapanen yang tertunda menyebabkan kerusakan dan memperbesar kehilangan hasil (World Bank et al. 2011). Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pemipilan secara manual menghasilkan susut kuantitas yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan pemipilan yang dilakukan secara mekanis. Namun, waktu yang dihabiskan untuk melakukan kegiatan pemipilan dengan cara manual lebih lama bila dibandingkan dengan mesin. Dari hasil analisis sidik ragam, waktu proses pemipilan manual dan mekanis memiliki perbedaan yang sangat signifikan karena memiliki nilai signifikansi < 5%. Berbeda halnya dengan pemipilan mekanis dimana waktu proses antara corn sheller dan power thresher multiguna tidak memiliki hasil yang mutlak berbeda (Sig. ≥ 5%).
Penggunaan sarana pemipil perlu memperhatikan konstruksi gigi-gigi yang spesifik, agar dapat digunakan untuk menghasilkan jagung pipilan yang berkualitas dan tingkat kehilangan hasil yang rendah (Aqil 2010). Kecepatan putaran silinder pemipil berpengaruh terhadap kapasitas pemipilan.
Kadar air
Kadar air jagung yang dipipil pada musim kemarau adalah sebesar 24.2% ± 0.4 dan pada musim hujan 25.3% ± 0.5. Hasil analisis ujiT menunjukan tidak ada pengaruh kadar air pemipilan pada musim kemarau dan musim hujan karena Sig. ≥ 5%. Jagung seharusnya mempunyai kadar air serendah mungkin sebelum dipipil. Semakin kecil kadar air maka semakin kering jagung sehingga biji jagung mudah lepas dari janggelnya, biji lebih keras, dan kotoran lebih ringan. Panen di musim kemarau seharusnya memberikan keuntungan bagi petani untuk menurunkan kadar air jagung. Pengukuran kadar air berdasarkan kebiasaan petani yaitu dengan cara ditekan atau digigit menyebabkan kadar air tidak terukur secara tepat. Sehingga kadar air jagung yang akan dipipil baik pada musim kemarau maupun musim hujan tidak berbeda nyata.
Kadar air jagung yang tinggi pada proses pemipilan menyebabkan banyaknya jagung yang tidak terpipil terutama pada saat musim hujan. Menurut Osuke (2013), susut perontokan akan menurun apabila kadar air 17% atau di bawahnya dan semakin tinggi kapasitas pemasukan bahan maka semakin banyak bahan yang tidak terpipil.
Tabel 7 Susut kuantitas dan waktu pemipilan Perlakuan
Susut kuantitas (%) Waktu pemipilan (jam/ton) Musim kemarau Musim hujan Musim kemarau Musim hujan Manual 0.08a 0.10a 560a 760a Corn sheller 1.18b 1.84b 2.2b 2.9b
Power thresher multiguna 1.36b 2.02b 1.3b 1.4b
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji LSD).
22
Prioritas Sarana Pascapanen
Sarana pascapanen jagung merupakan sarana yang tidak murah bagi petani. Hasil dari pemanfaatannya diharapkan dapat membantu petani seoptimal mungkin dan memberikan keuntungan maksimal. Peran aktor sangat dibutuhkan sehingga petani jagung bisa mempunyai sarana yang tepat guna. Adapun aktor yang berperan terhadap penentuan sarana yang dapat menurunkan susut kuantitas adalah:
1. Pemerintah
Kontinuitas suplai jagung sangat tergantung dari petani. Keterlibatan pemerintah terhadap penyediaan sarana pascapanen jagung yang tepat guna di tingkat petani akan membantu dalam peningkatan volume produksi melalui penurunan susut kuantitas.
2. Lembaga litbang
Sarana dengan teknologi yang mudah digunakan akan membantu petani dalam pemanfaatannya. Teknologi tersebut juga harus dapat mendukung penurunan susut kuantitas dan menghasilkan output yang dapat menguntungkan petani.
3. Importir/Pabrikan Alsintan
Pelaku usaha sarana pascapanen berskala besar juga melakukan impor sarana pascapanen yang tidak diproduksi di dalam negeri. Terkadang juga ditawarkan sarana impor dengan harga murah walaupun sarana tersebut sudah bisa kita produksi.
4. Bengkel Alsintan
Teknologi sarana yang sederhana sudah banyak diproduksi di bengkel-bengkel alsintan. Skala usaha bengkel-bengkel alsintan masih kecil dimana produksi berdasarkan pesanan. Petani juga banyak yang melakukan pemesanan dikarenakan dapat meminta spesifikasi sarana dan bahan yang sesuai dengan keinginan petani.
5. Lembaga Keuangan
Seperti halnya di dalam budi daya, petani tidak lepas dari kredit dari lembaga keuangan. Lembaga tersebut membantu petani dalam kepemilikan sarana pascapanen dalam membantu usaha taninya. Kredit tersebut akan mendukung perolehan sarana yang tidak hanya sekedar murah tetapi sarana yang mampu menurunkan susut kuantitas.
Kriteria-kriteria berdasarkan hasil telaah literatur dan wawancara yang dianggap cocok untuk digunakan dalam penentuan sarana pascapanen yang dapat menurunkan susut kuantitas adalah sebagai berikut:
1. Kriteria Kualitas Hasil
Kualitas hasil merupakan salah satu kriteria yang penting dalam pemanfaatan sarana pascapanen. Bagi petani, dengan menggunakan sarana pascapanen tidak hanya mempercepat proses, namun hasilnya diharapkan dapat dijual dengan harga yang menguntungkan. Adapun subkriteria dari kriteria kualitas hasil adalah kesesuaian SNI dan harga jual.
2. Kriteria Teknologi
Teknologi dari sarana pascapanen yang akan digunakan oleh petani diharapkan mampu mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menurunkan susut
23
kuantitas, dengan subkriteria SNI/Test report, suku cadang, dan kelengkapan dokumen.
3. Kriteria Harga
Harga merupakan salah satu faktor penting karena terkait dengan biaya awal yang harus dikeluarkan dalam pembelian sarana dan biaya operasional penggunaan sarana tersebut. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh petani harus sekecil mungkin untuk memperbesar pendapatan. Subkriteria pada faktor ini terdiri dari harga sarana, biaya tetap, dan biaya operasional.
4. Kriteria Manajemen Usaha
Sarana pascapanen jagung yang akan digunakan oleh petani merupakan sarana dengan teknologi tertentu yang membutuhkan pengetahuan dalam pemanfaatannya sehingga sarana tersebut dapat bekerja optimal. Selain itu, supaya hasil pemanfaatannya maksimal maka harus digunakan secara berkelompok. Sehingga, manajemen usaha merupakan salah satu kriteria penting, yang terdiri dari subkriteria kelembagaan dan kualitas SDM.
5. Kriteria Risiko
Dalam melakukan kegiatan ekonomi, petani harus menanggung segala kemungkinan risiko yang akan terjadi. Sarana pascapanen yang akan digunakan adalah sarana dengan risiko terkecil. Risiko keadaan lokasi dan perbedaan varietas menjadi pilihan sebagai subkriteria.
Struktur hirarki kemudian dijadikan dasar dalam pembuatan kuesioner yang dapat dilihat pada Lampiran. Evaluasi dari setiap level pada hirarki menggunakan perbandingan berpasangan. Data yang didapat dari pengisian kuesioner oleh pakar dan responden potensial diolah dengan menggunakan software expert choice 11. Teknik penentuan pakar dan responden potensial dilakukan dengan metode purposive sampling. Adapun pakar/responden potensial yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 9 orang yang terdiri dari pemerintah pusat, Dinas Pertanian Kabupaten Serang, pelaku usaha tani, akademisi, peneliti, dan pelaku usaha sarana pascapanen. Pendapat pakar atau responden potensial yang tidak konsisten dimana nilai inkonsistensi lebih dari 0.10 tidak dapat digunakan untuk pengambilan keputusan (Saaty 1990).
Pendapat yang konsisten kemudian diambil rata-rata geometrisnya sehingga didapatkan satu nilai tingkat kepentingan dari aktor, kriteria, subkriteria, dan alternatif. Kemudian dilakukan pembobotan antar aktor, kriteria, subkriteria, dan alternatif yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Analisis tingkat kepentingan aktor
Analisis pada level kedua struktur hirarki adalah membandingkan peranan aktor dalam pencapaian goal. Aktor yang dipertimbangkan adalah lembaga litbang, pemerintah, importir/pabrikan alsintan, bengkel alsintan, dan lembaga keuangan. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa aktor yang dinilai paling berpengaruh adalah