• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

F. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

2. Pemisahan yang optimal dalam kromatografi

Tujuan umum pada kromatografi adalah pemisahan suatu campuran yang akan dianalisis. Kualitas pemisahan dengan kromatografi ini dapat dilihat dari 2 parameter. Parameter pertama adalah resolusi yaitu tingkat pemisahan puncak-puncak analit yang saling berdekatan. Parameter yang kedua adalah efisiensi yaitu ukuran banyaknya pelebaran puncak dari masing-masing puncak zat analit. Efisiensi pemisahan suatu kolom terdiri dari dua teori yaitu teori lempeng, teori laju.

i. Teori Lempeng

Salah satu yang menjadi ukuran efisiensi dari suatu kolom adalah jumlah lempeng atau plate number (N) yang didasarkan pada konsep lempeng teoritis. Efisiensi kolom dalam kromatografi secara umum juga berkaitan dengan waktu retensi, yakni lamanya waktu komponen atau molekul yang akan dianalisis berada di dalam kolom (Ganjar dan Rohman, 2007).

Dalam teori lempeng dinyatakan bahwa kolom kromatografi digambarkan sebagai seri lapisan tipis horizontal yang disebut lempeng teoritis. Zat analit akan mengalami distribusi pada fase diam dan fase gerak. Pemisahan akan semakin baik jika terjadi distribusi yang merata dan berkali-kali dalam jumlah tinggi, jika ini terjadi maka jumlah lempeng teoritis juga semakin tinggi (Noegrohati,1994). Dengan begitu, jumlah lempeng teoritis juga menjadi ukuran efisiensi pemisahan pada kolom. Semakin tinggi jumlah lempeng teoritis pada suatu pemisahan,

semakin baik pula efisiensi kolom, dan sebaliknya jika nilai lempeng teoritis yang didapatkan kecil, maka efisiensi kolom juga menurun.

Dengan menganggap profil puncak kromatogram (gambar 6) adalah sesuai kurva Gaussian, maka N didefinisikan:

= (

) (1)

Keterangan:

tR: waktu retensi solut

t: standar deviasi lebar puncak

Dalam prakteknya, lebih mudah untuk mengukur baik lebar puncak (Wb) atau tinggi puncak (Wh/2) dan 2 persamaan berikut diturunkan dari persamaan (1):

N = 16 ( ) (2)

N = 5,54(

) (3)

Gambar 6. Pengukuran efeisiensi Kromatografi dari puncak Gaussian (Gandjar dan Rohman, 2007)

Satuan ukuran alternatif (yang tergantung pada panjang kolom kromatografi) adalah tinggi lempeng (H) atau juga biasa disebut dengan tinggi pelat teori (HETP=Height Equivalent Theoretical Plate). Tinggi setara pelat teori atau HETP dalam kolom kromatogafi yang menggunakan kolom (KCKT dan Kromatografi Gas) merupakan panjang kolom kromatografi (dalam mm) yang

diperlukan sampai terjadinya satu kali keseimbangan molekul solut dalam fase gerak dan fase diam. Hubungan antara HETP dan jumlah lempeng (N) serta panjang kolom (L) dirumuskan dengan:

H = (4)

(Ganjar dan Rohman, 2007) HETP dapat digunakan untuk membandingkan efisiensi kolom dengan panjang kolom yang berbeda, karena pada pengukuran HETP ini, panjang kolom yang bervariasi dibandingkan dengan jumlah lempeng teoritis masing-masing kolom sehingga perbandingannya tidak berdasarkan masing-masing panjang kolom.

Nilai HETP berbanding terbalik dengan jumlah lempeng teoritis (N). Dengan begitu, semakin tinggi nilai N, semakin kecil nilai HETP dan semakin efisien kolom yang digunakan (Ganjar dan Rohman, 2007).

ii. Teori Laju

Teori lempeng hanya menggambarkan laju migrasi secara kuantitatif, tetapi tidak dapat menggambarkan pengaruh variabel-variabel lain yang menyebabkan terjadinya pelebaranpeak, oleh karena itu perlu diketahui teori laju. Pada waktu migrasi, zat analit mengalami transfer dalam fase diam dan fase gerak berkali-kali. Zat analit hanya dapat bergerak jika berada dalam fase gerak sehingga migrasi di dalam kolom juga tidak teratur dan mengakibatkan laju rata-rata analit relatif terhadap fase gerak juga sangat bervariasi, sehingga terjadi pelebaranpeakanalit (Noegrohati, 1994).

Menurut teori laju ini, efisiensi kolom dinyatakan dengan persamaan Van Deemter yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Rohman, 2009):

= +

µ+ .µ+ .µatau (5)

=

/ / +

µ+ .µ+ .µ / (6)

Dimana : H = ukuran efisiensi kolom µ = kecepatan alir A = difusi Eddy B = difusi longitudinal

Cs= resistensi terhadap perpindahan atau transfer massa molekul dalam fase diam Cm = resistensi terhadap transfer massa yang disebabkan oleh diameter dan bentuk

partikel fase diam dan kecepatan difusi molekul dalam fase gerak.

Berdasarkan persamaan di atas dapat dilihat terdapat tiga variabel yang mempengaruhi efisiensi kolom, yaitu:

1) Difusi Eddy, yang dinyatakan sebagai A pada persamaan (5). Difusi Eddy menggambarkan ketidakhomogenan kecepatan alir dan panjang lintasan di sekitar partikel yang terpack-ing (Gambar 7). Lintasan alir yang tidak sama pasti ditemukan dalam kolom dimana kerapatan kolom rendah dengan cepat mencapai akhir kolom, khususnya pada kolom dengan diameter kecil. Molekul solut yang melewati bagian tengah kolom akan mencapai akhir kolom lebih lambat. Hal ini menyebabkan perbedaan laju tiap molekul melalui kolom berbeda-beda. Unutk meminimalkan difusi Eddy ini, maka diameter rata-rata partikel dalam kolom harus sekecil mungkin dan seseragam mungkin

(Willard et al., 1988). Difusi Eddy yang terjadi di dalam kolom dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 7. Difusi Eddy (Noegrohati,1994)

2) Difusi longitudinal, Nilai B pada persamaan (5), menyatakan efek difusi longitudinal, pergerakan acak molekul dalam fase gerak. Pengaruh difusi longitudinal terhadap ketinggian lempeng menjadi signifikan hanya pada kecepatan fase gerak yang rendah/lambat. Kecepatan difusi solut yang tinggi pada fase gerak dapat menyebabkan molekul solut terdispersi secara aksial sementara dengan lambat bermigrasi melalui kolom.

3) Transfer massa, Transfer massa dinyatakan dengan Cstasionary dan Cmobile. Cstasionarymerupakan hasil ditahannya analit karena adanya fase diam. Suatu molekul bergerak lambat dalam fase diam, sementara molekul lainnya melaju melalui kolom bersama dengan fase gerak. Untuk mengatasi hal ini diperlukan fase diam yang lebih encer (tidak terlalu kental). Peristiwa ini dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 8):

Cmobilemenggambarkan adanya peristiwa dimana zat analit dalam fase diam bertemu dengan fase gerak yang masih baru. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 9):

Gambar 9. Transfer massa pada fase gerak (Willardet al.,1988)

b. Waktu retensi

Pada pemisahan campuran-campuran dalam kolom, solut-solut dicirikan dengan waktu retensi (tR) dan faktor retensi (k`) yang berbanding lurus dengan nilai perbandingan distribusi (D). Waktu retensi merupakan lamanya waktu yang dibutuhkan solut untuk melewati kolom. Waktu retensi (tR) dan faktor retensi (k`) dihubungkan dengan persamaan:

tR =tm(1 + k`) (7)

tm merupakan waktu yang dibutuhkan solut yang tidak tertahan untuk melewati kolom. Solut yang tidak tertahan akan bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak karena perbandingan distribusi (D) dan faktor retensinya adalah 0; jadi tR– tm= 0 (Gandjar dan Rohman, 2007). Ilutrasi waktu retensi analit pada kromatografi dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Ilustrasi waktu dan volume retensi pada kromatografi (Kuwana, 1980)

c. Resolusi

Faktor resolusi (Rs) adalah ukuran pemisahan dua puncak yang berdekatan (Johnson and Setevenson, 1978). Resolusi menjadi indikator pemisahan pada kromatogram yang dihasilkan dari analit (Kuwana, 1980). Nilai Rs harus mendekati atau lebih dari 1,5 karena akan memberikan pemisahan puncak yang baik (Gandjar dan Rohman, 2007). Pemisahan yang baik menghasilkan nilai Rs > 1,5 (Pescoket al., 1976). Ilustrasi pemisahan puncak yang baik dapat dilihat pada gambar 11. Hubungan waktu retensi (tR) dengan lebar puncak (W) dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

=

( )/ = (8)

Gambar 11. Pemisahan dua semyawa (Johnson dan Stevenson, 1978)

d. Tailing factor

Analisis KCKT mencari kondisi yang menghasilkan puncak yang simetris karena puncak yang asimetris dapat menghasilkan bilangan lempeng teoritik dan

faktor resolusi yang tidak akurat, perhitungan yang tidak teliti, penurunan derajat resolusi dan puncak-puncak minor yang tidak terdeteksi pada ekor puncak, serta waktu retensi yang tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak adalahpeak asymmetry factor(As), yang diukur pada 10 % tinggi puncak (Snyderet al., 1997).

Faktor asimetri juga disebut dengan tailing factor (Tf) yang dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak kromatogram yang menghasilkan nilai Tf = 1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau simetris. Nilai Tf > 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga Tf maka kolom yang digunakan semakin kurang efisien, dengan begitu nilai Tf dapat digunakan untuk melihat efisiensi kolom kromatografi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Jika nilai Tf dan As sama dengan 1, artinya sudah terjadi pemisahan yang baik pada kromatogram. Semakin meningkatnya nilai Tf dan As maka makin buruk pemisahan yang terjadi pada kolom. Nilai Tf yang lebih dari 2 dapat mengganggu analisis analit, sehingga untuk analisis di persyaratkan nilai tailing factoradalah kurang dari 2 (Snyderet al.,2010). Nilai As dan Tf dapat diperoleh menggunakan persamaan seperti pada gambar 12.

Gambar 12. Menghitung besarnya TF pada kromatogram (Snyderet al.,2010). faktor resolusi yang tidak akurat, perhitungan yang tidak teliti, penurunan derajat resolusi dan puncak-puncak minor yang tidak terdeteksi pada ekor puncak, serta waktu retensi yang tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak adalah peak asymmetry factor(As), yang diukur pada 10 % tinggi puncak (Snyderet al., 1997).

Faktor asimetri juga disebut dengan tailing factor (Tf) yang dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak kromatogram yang menghasilkan nilai Tf = 1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau simetris. Nilai Tf > 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga Tf maka kolom yang digunakan semakin kurang efisien, dengan begitu nilai Tf dapat digunakan untuk melihat efisiensi kolom kromatografi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Jika nilai Tf dan As sama dengan 1, artinya sudah terjadi pemisahan yang baik pada kromatogram. Semakin meningkatnya nilai Tf dan As maka makin buruk pemisahan yang terjadi pada kolom. Nilai Tf yang lebih dari 2 dapat mengganggu analisis analit, sehingga untuk analisis di persyaratkan nilai tailing factor adalah kurang dari 2 (Snyderet al.,2010). Nilai As dan Tf dapat diperoleh menggunakan persamaan seperti pada gambar 12.

Gambar 12. Menghitung besarnya TF pada kromatogram (Snyderet al.,2010). faktor resolusi yang tidak akurat, perhitungan yang tidak teliti, penurunan derajat resolusi dan puncak-puncak minor yang tidak terdeteksi pada ekor puncak, serta waktu retensi yang tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak adalah peak asymmetry factor(As), yang diukur pada 10 % tinggi puncak (Snyderet al., 1997).

Faktor asimetri juga disebut dengan tailing factor (Tf) yang dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak kromatogram yang menghasilkan nilai Tf = 1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau simetris. Nilai Tf > 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga Tf maka kolom yang digunakan semakin kurang efisien, dengan begitu nilai Tf dapat digunakan untuk melihat efisiensi kolom kromatografi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Jika nilai Tf dan As sama dengan 1, artinya sudah terjadi pemisahan yang baik pada kromatogram. Semakin meningkatnya nilai Tf dan As maka makin buruk pemisahan yang terjadi pada kolom. Nilai Tf yang lebih dari 2 dapat mengganggu analisis analit, sehingga untuk analisis di persyaratkan nilai tailing factor adalah kurang dari 2 (Snyderet al.,2010). Nilai As dan Tf dapat diperoleh menggunakan persamaan seperti pada gambar 12.

Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam pada saat terjadi tailing dapat dilihat pada gambar 13.

Gambar 13. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam ( Kuwana, 1980)

Dokumen terkait