BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
B. Pemohon dalam Perkara Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi
Ketentuan pasal 51 undang-undang No.24 tahun 2003 yang menegaskan bahwa dalam pengujian undang-undang yang dapat bertindak sebagai pemohon adalah pihak yang dapat menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Kerugian konstitusional itu merupakan syarat untuk dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian undang-undang (legal standing). Didalam praktik MK menetapkan rincian ketentuan dimaksud dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-undang Dasar Tahun 1945;
b. Bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. Bahwa kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Tentang yang dimaksud dengan pihak itu siapa, pasal 51 undang-undang No. 24 tahun 2003 merincinya secara limitatif, sebagai berikut:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara.
Khusus tentang perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a tersebut, MK dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tersebut menambahkan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
Dengan adanya ketentuan mengenai syarat-syarat tersebut, maka didalam permohonannya pemohon mesti menguraikan secara rinci dan jelas tentang kategori atau kualifikasi sebagai pihak. Misalnya, sebagai perorangan atau sekelompok orang, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau sebagai lembaga negara. Setelah itu baru diuraikan dengan jelas kerugian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
a. Perorangan Warga Negara Indonesia
Dari pasal 51 ayat (1) undang-undang No. 24 tahun 2003 beserta penjelasannya dapat diketahui bahwa perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan yang sama dapat tampil menjadi pemohon, asalkan dapat membuktikan dirinya
sendiri-sendiri atau bersama-sama memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk menjadi pemohon dalam perkara pengujian undang-undang di MK.
Pemohon dalam pengujian undang-undang adalah orang sebagai subjek hukum.72 Subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum terbagi menjadi 2 (dua) yaitu orang (natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon).73 Pada dasarnya setiap orang boleh berperkara di depan pengadilan, kecuali orang yang belum dewasa, orang yang sakit ingatan atau orang yang menurut hukum tidak cakap bertindak di hadapan pengadilan atau orang-orang yang berada dibawah pengampuan. Mereka tidak boleh berperkara sendiri, melainkan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya, dan bagi yang sakit ingatan oleh pengampunya.74
Di dalam undang-undang No. 24 Tahun 2003, tidak mengatur tentang pembatasan umur terhadap warga negara yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Apakah setiap orang atau warga negara dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang? Merujuk pada aturan hukum yang telah ada khususnya di bidang hukum tata negara ( undang-undang pemilihan umum No. 12 tahun 2008, undang-undang Partai Politik No. 10 tahun 2008, dan undang-undang tentang Pemilihan Presiden No. 48 tahun 2008), maka
72 Himawan Estu Bagijo, Negara Hukum & Mahkamah Konstitusi, Perwujudan Negara Hukum Yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-undang, Laksa Grafika, Surabaya 2013, hlm. 213
73 Cahidir Ali, Badan Hukum, Cet. Ke-2, Alumni, Bandung 1999, hlm. 11
74 R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-9, Pradnya Paramita, Jakarta 1985, pasal 330.
warga negara yang dapat mengajukan mengajukan permohonan pengujian undang-undang berdasarkan umur adalah warga negara yang telah genap berusia 17 (tujuhbelas) tahun atau telah pernah kawin.
Orang atau warga negara yang belum mencapai umur 17 tahun bukan berarti tidak memiliki hak konstitusional. Mereka tetap memiliki hak konstitusional. Apabila hak konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang, mereka tidak dapat bertindak di depan MK secara pribadi tapi harus diwakili oleh walinya.75
Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga negara itu. Undang-undang No.
Perwalian diatur dalam pasal 331 samapi dengan pasal 418 KUHPerdata.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah setiap orang secara individu warga negara Indonesia yang menganggap konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang secara otomatis memiliki legal standing menjadi Pemohon pengujian undang-undang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu akan dijelaskan apakah yang dimaksud dengan warga negara Indonesia itu melalui ketentuan dalam pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945:
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.”
75 Himawan Estu Bagijo, Op.Cit, hlm. 216
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, mengatur pengertian penduduk, Warga Negara sebagai berikut:
Pasal 1 angka 20
“Penduduk adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di luar negeri.”
Pasal 1 angka 21
“Warga Negara Indonesia adalah orang-rang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-unang sebagai warga negara.”
Dari ketentuan tersebut diatas, maka pemohon yang dapat mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945adalah warga negara dan/atau penduduk Indonesia yang berdomisili di dalam maupun di luar negeri, dan bukan warga negara asing. Namun dalam praktiknya pernah terjadi permohonan pengujian undang-undang oleh 3 warga negara asing yaitu dalam putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh ketiga warga negara asing tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).76
b. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
76 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD NRI Tahun 1945, hlm.
429.
Pasal 51 ayat (1) huruf b undang-undang No. 24 tahun 2003, menentukan bahwa “masyarakat hukum adat” dapat menjadi pemohon pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Pembahasan tentang “Masyarakat Hukum Adat” dikaji melalui dua hal pokok, yaitu “hukum adat” dan “masyarakat”. Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hkum Islam. Hukum adat itupun mencakup hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berakar pada budaya tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.77
“Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai suatu community atau society, sedangkan kesatuan masyarakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan perkataan lain masyarakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat itu haruslah dibedakan dari masyarakat hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu”.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan perbedaan antara masyarakat hukum adat dan kesatuan masyarakat hukum adat adalah sebagai berikut:
78
Menurut Terhaar, ciri-ciri dari Masyarakat Hukum Adat yaitu: 1) kesatuan manusia yang teratur; 2) menetap disuatu daerah tertentu; 3) mempunyai penguasa-penguasa; dan 4) mempunyai kekayaan yang berwujud
77 R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Cet. Ke-16
78Jimly Asshiddiqie, Hukum acara Pengujian Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta 2010., hlm. 77
maupun yang tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dimasyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantar para anggota itu mempunya pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya daam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.79
Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sesudah perubahan UUD NKRI Tahun 1945, juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pada level pemerintahan daerah juga dibentuk berbagai peraturan daerah (Perda) dan keputusan kepala daerah yang mengakui keberadaan desa adat, diantaranya: di Provinsi Sumatera Barat dengan Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari yang diubah dengan Perda Nomor 2
Sesudah perubahan UUD NKRI Tahun 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat diatur selanjutnya dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan Kedua UUD NKRI Tahun 1945, yang mengatur sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”
79Ibid, hlm. 20-21
Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, di Provinsi Bali dengan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003, dan Keputusan Bupati Tana Toraja Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang.80
1. sepanjang masih hidup;
Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan menyebabkan salah satu syarat formal permohonan pengujian UU adalah kesatuan masyarakat hukum adat dengan berbagai kualifikasi yang telah diatur dalam UUD NKRI Tahun 1945, yaitu:
2. sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, terdapat beberapa persyaratan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara, yaitu:81
1. sepanjang menurut kenyataan masih ada;
2. sesuai dengan kepentingan nasional, dan
3. tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
80 Nurul Elmiyah, et al., sebagaimana dikutip dalam Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara., Op.Cit, hlm. 103-104
81Undang-Undang Pokok Agraria, UU Nomor 5, LN No. 104, LN Tahun 1960, TLN No.
2043, ps. 3. Dalam Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 diatur serbagai berikut: “...pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyatanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diperoleh klasifikasi dari perwakilan dari kesatuan masyarakat hukum adat dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Kompetensi perwakilan dari kesatuan masyarakat hukum adat
No SUBJEK HUKUM YANG
Tetua adat bertindak untuk dan atas nama kepentingan masyarakatnya ( catatan:
bukun kepentingan pribadi)
2 Organisasi atau kumpulan orang yang memiliki perhtian/concern tentang masalah masyarakat hukum adat
Pemberian surat kuasa khusus dari Kepala Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Pendamping selain kuasa hukum pemohon harus dilengkapi dengan surat keterangan khusus.
c. Badan Hukum Publik atau Privat
Di dalam ketentuan pasal 51 ayat (1) huruf c undang-undang No. 24 tahun 2003 juga menentukan bahwa badan hukum publik atau privat dapat menjadi
pemohon pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Syarat utama nya adalah apabila badan hukum tersebut menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.
Dalam bahasa asing, istilah badan hukum disebut rechtspersoon (Belanda). Sampai tahun 1976 hukum NV (Perseroan Terbatas) dn BV (Perseroan Tertutup) diatur dalam W.v.K ( KUH Dagang, Pasal 36-58 g) dan dengan telah berlakunya Buku II KUH Perdata pada tahun 1976, maka peraturan NV dan BV dialihkan dalam KUH Perdata tersebut. Dalam Buku II itu tidak dimuat tentang batasan apa badan hukum (rechtspersoon) itu, tetapi dalam pasal 1 sampai dengan pasal 3 disebutkan uraian tentang badan-badan apa saja yang menurut hukum Belanda merupakan badan hukum dalam pengertian hukum perdata. Dalam undang-undang itu disebutkan pula badan hukum publik (publiekjrechtelijk rechtspersonen, pasal 3). Dalam KUH Perdata tidak terdapat peraturan umum yang mengatur tentang rechtspersoon secara lengkap. Juga tidak dijumpai kata rechtspersoon itu dalam Bab IX Buku III KUH Pedata, meskipun maksudnya yaitu antara lain mengatur rechtspersoonlijkheid (kepribadian hukum) yaitu badan hukum itu memiliki kedudukan sebagai subjek hukum.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian badan hukum, yaitu:
“badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.”82
82Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip dalam Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung:
Alumni, 1991, hlm 20.
Pengertian badan hukum juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu:83
Badan hukum dapat dibagi berdasarkan penggolongan hukum, yaitu golongan hukum publik dan hukum perdata, sehingga badan hukum dapat dibagi ke dalam badan hukum publik dan badan hukum perdata.
...subjek badan-hukum yang tidak lain adalah badan atau organisasi yang berisi sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama dan dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan yang sama, melalui mana hak dan kewajiban mereka sebagai pribadi untuk hal-hal yang tertentu diserahkan sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban badan hukum yang bersangkutan.
84Menurut Van der Grinten, badan hukum publik (publiekrechterlijke rechtspersonen) adalah badan hukum yang organisasi dan strukturnya dikuasai oleh hukum publik, yaitu hukum tata negara dan hukum administrasi negara, tetapi kebadanan hukumnya pada prinsipnya juga berlaku hukum perdata, kecuali UU menentukan lain, dalam hal ini ialah apabila badan-badan hukum publik itu menjalankan tindakan dalam rangka kepentingan umum.85 Badan hukum privat (privaatrechterlijke rechtspersonen) menurut Van der Grinten adalah apabila badan hukum itu organisasi dan strukturnya dikuasai oleh hukum perdata.86
Perbedaan antara badan hukum publik dan badan hukum privat dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu terletak pada kepentingan yang diwakilinya dan pada aktivitas yang dijalankan oleh badan hukum tersebut,
83Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara…, op cit., hlm. 87.
84 Chidir Ali,Badan Hukum..., Op.cit, hlm. 57
85 Van der Griten, sebagaimana dikutip dalam Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi., Op.cit, hlm. 107.
86Ibid
apakah berkaitan dengan hubungan hukum yang bersifat publik atau bersifat perdata.87
Dalam Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas terhadap UUD NKRI Tahun 1945,88 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa untuk menentukan jenis badan hukum Pemohon adalah berdasarkan Anggaran Dasar perkumpulan yang mengajukan permohonan, jika tujuan perkumpulan tersebut adalah untuk memperjuangkan kepentingan umum, maka dikategorikan sebagai badan hukum publik. Berkaitan dengan putusan perkara tersebut, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyatakan bahwa: “Tetapi pemberian legal standing terhadap LSM yang bergerak di bidang Public Interest Advocacy tersebut merupakan kemajuan yang cukup jauh terutama dalam pengujian undang-undang yang sarat dengan kepentingan umum dan HAM, standing Pemohon harus diperkenankan secara luas.”89
Dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan terhadap perkara yang pemohonnya merupakan badan hukum publik maupun badan hukum perdata. Perkara yang pemohonnya merupakan badan hukum perdata dapat dilihat dalam Putusan Nomor 8/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, di mana pemohon pada perkara tersebut
87Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara…, op cit., hal. 87.
88 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pengujian UU Nmor 22 Tahun 2001 tentang Mnyak dan Gas Bumi terhadap UUD NKRI Tahun 1945, Nomor 002/PUU-I/2003, 21 Desember 2004.
89 Maruarar Siahaan, Hukum Acara ....,Op.Cit ., hlm. 92.
adalah Koperasi Ruang Hidup 100 Juta Generasi Muda (Koperasi Proyek ‘RH-100-GM’).90
Perkara yang pemohonnya merupakan badan hukum publik dapat dilihat dalam Putusan Perkara Nomor 031/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, dimana pemohonnya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).91
d. Lembaga Negara
Telah ditentukan dalam pasal 51 ayat (1) huruf d, bahwa salah satu yang dapat menjadi pemohon dalam pengujian undang-undang tehadap UUD NRI Tahun 1945ialah “lembaga negara”. Namun apabila dilihat penjelasan pasal 51 ayat (1) huruf d tersebut dinyatakan ‘cukup jelas’. Lalu lembaga negaa yang manakah yang dapat menjadi pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD. Apabila dicermati UUD NRI Tahun 1945 (perubahan ke-4), maka lembaga negara yang ada/tercantum di dalam UUD NRI Tahun 1945, adalah:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
2. Presiden dan Wakil Presiden;
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
5. Mahkamah Agung (MA);
90Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pengujian Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan AtasUndang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia terhadap UUD NRI Tahun 1945, Nomor 8/PUU-V/2007, Selasa, 29 Mei 2007.
91Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadapUUD NRI Tahun 1945, Nomor 005/PUU-I/2003, Rabu, 28 Juli 2004
6. Mahkamah Konstitusi (MK);
7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
8. Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupatem, dan Kota;
9. Bank Sentral;
10. Komisi Pemilihan Umum (KPU);
11. Komisi Yudisial (KY);
12. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten/Kota;
13. Tentara Nasioanal Inonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).
Lembaga-lembaga Negara sebagaimana tersebut diatas adalah lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945dan kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Di dalam aturan Peralihan Pasal II UUD NRI Tahun 1945disebutkan: “semua lembaga negara yang masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang-Undang-Undang Dasar ini”. Lembaga negara manakah yang berhak atau memiliki legal standing mengajukan permohonan pengujian undang-undang, apakah hanya lembaga negara yang tercantum dan diberi wewenang oleh UUD 19UUD NRI Tahun 1945? Ataukah dapat juga oleh lembaga negara yang tidak tercantum dan kewenangannya tidak diberikan langsung oleh UUD NRI Tahun 1945, melainkan oleh undang-undang, Keputusan Presiden atau peraturn perundang-undangan lainnya?
Mengenai hal ini tidak secara tegas diatur dalam UU MK , namun menurut logika dan analogi hukum karena tidak diatur secara tegas dalam pasal 51 ayat (1)
huruf d disebutkan ‘cukup jelas’, maka lembaga negara yang berhak menjadi pemohon pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945adalah semua lembaga negara yang eksistensinya diakui oleh UUD NRI 1945. Apakah kewenangan tersebut diberikan oleh UUD atau peraturan perundang-undangan dibawah UUD NRI Tahun 1945tidak menjadi soal, karena kriterianya tidak disebutkan secara tegas. Yang terpenting adalah syarat hak dan/atau kewenangan