LEGAL STANDING ANGGOTA DPR DALAM PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG DI MAHKAMAH KOSTITUSI (STUDI TERHADAP BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Oleh
130200275
WITA ROHANA PANDIANGAN
DEPARTEMEN HUKUM TATANEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
LEGAL STANDING ANGGOTA DPR DALAM PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI TERHADAP BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Oleh
130200275
WITA ROHANA PANDIANGAN
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Tata Negara
NIP. 195909211987031002
Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Drs. Nazaruddin, SH.,M.A
NIP. 195506111980031004 NIP.
197506122002121002
Yusrin, SH.,M.Hum
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skrisi ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhu syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gerlar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah:
“Legal Standing Anggota DPR dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (Studi Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi)”. Skripsi ini membahas tentang kedudukan hukum seorang Anggota DPR RI didalam pengujian undang-undang yang mana di lihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jau dari sempurna, dikarenakan berbagai keterbatasan penulis, baik pengetahuan pengalaman dalam menulis karya tulis ilmiah, maupun ketersediaan literatur. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Teristimewa kepada Ayahanda tercinta D. Pandiangan dan ibunda tercinta M. Sinaga selaku orangtua penulis yang tiada hentinya mendo’akan, menyayagi, mendidik, memberi dukungan serta membimbing penulis dari lahir hingga saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. O.K. Saidin, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara.
7. Dr. Afnila S.H., M.H., selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara.
8. Drs. Nazaruddin, S.H.,M.A., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.
9. Yusrin, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.
10. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.
11. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama delapan semester dalam menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
12. Kepada keluarga tercinta abang Hotben, abang Manto, Abang Jantho, Abang Herlianto, kakak Nurhaida, kakak Imelda, kakak Bernita, kakak Michio. Kepada kakak ipar kakak Rika, kakak Masda, kakak Erna dan
kakak Rega. Kepada kedua abang ipar penulis abang Elimson dan abang Dolis, serta keponakan tersayang Donni, Revando, Yose, Imanuel, Zio, Chelsea, Emji, Iren, Cintia, Junior,Sanita, Adi, Oktri yang selalu memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Kepada Alia, S.H.,M.H selaku pembimbing magang, yang selalu memberi motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
14. Kepada Ken Hasibuan, yang memberi dukungan serta menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
15. Kepada Sahabat tersayang Yuliana Sibarani dan Agnes Ketaren yang selalu bersama dengan penulis baik di waktu susah maupun senang, selalu memotivasi dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
16. Kepada teman-teman Gembel 2013 Hendra, Defin, Lauren, Sarai, Mipa, Coya, Mulandar, Yogi, Minar, Dian, Sarah, Dedek, Melva, Renni, Amanda, Ana, dan Jimmy.
17. Kepada abang kakak Gembel kak Paskah, kak Olin, kak Betrik, kak Hana, kak Ivo, kak Riska, kak Tere,kak Tina, bang Alboin,bang Kastro, bang Poltak, bang Samuel Simanjuntak, bang Samuel Marpaung, bang Eko, bang Sapta, bang Alex, bang Ricat, bang Boby, bang Jack, bang John, bang Wilfrid, bang Adi.
18. Kepada adik-adik tersayang Gembel David, Elisabet, Tio, Teo, Yunita, Doli, Iwan, Indra, Elia, Modi, Fani, Laora, Maria, Yosafat, Frans, Elis, Kiki, Penita, Teti, Zairin, Biva, Dewi, Daniel, Juniansen, Bintar, Olip, Sarah, Krismo, Bunga, Gled, Sania, Windy, Theresia, Marshaulina, Lusy, Jampi, Febri, Maruli.
19. Kepada keluarga locot bang Ivan, bang Rafly, kak Putri, kak Sisil, Meildita, Vincent.
20. Kepada KMK St. Fidelis Fakultas Hukum Billy, Franklin, Prima, Mona, bang Parade, bang Ricat, bang Teguh, bang Charles, bang Tito, kk Anggi, kak Agnes, kak Dema, kak Nova, kak Nadet, bang Rio, bang Jigo, bang Bosco, bang Jannes, Mikael, Perdana, Olivia, Roy, Duma, Sahat, Elizabet, Lija.
21. Kepada KMK St. Albertus Magnus Universitas Sumatera Utara Arta, Irut, Josefa, Vina, Ella, bang Frans Pinem, bang Jimmy, Rori, Hery, Sonni.
22. Kepada teman-teman LDK Magnus Mey, Arka, Ronsen, Ribas, Niko, Antonio, Donta, Paul, Rini, Sanna, Debby, Lucia, Sahat Marbun, Pemere, Reni.
23. Kepada teman-teman seperjuangan Rahmat, Fitra, Delima, Jun, Ferli, Intan, Nikolaus, bang Paska, Lisa, Onny, Oktri, Vina Zega, Roni, Bobtian, Arvin, Dermawan, Egrita, Desi.
24. Kepada teman-teman magang Mahkamah Konstitusi 2016 Ecut, Aya, Sanina, Dina, Fia, Deni, Ahmad, Ainul, Alif, Alwhy, Irma, Chew, Ibas, Marna, Ichsan, Arief, Irham, Nardo, Nining, Dani, Roffi, Fahrul, Satria.
25. Kepada PERMATA Fakultas Hukum Riskar, Fitty, Irvin, Iqbal, Juniarti, bang Edy, Acha, Dana, Zulfan, Sutan.
26. Rekan-rekan Panitia Natal 2016 Fakultas Hukum secara khusus kepada Sie. Acara.
27. Kepada seluruh piak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materil yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semogga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Medan, Juli 2017
Penulis
WITA ROHANA PANDIANGAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... viii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 10
C. Tujuan Penulisan ... 11
D. Manfaat Penulisan ... 11
E. Keaslian Penulisan ... 12
F. Tinjauan Kepustakaan ... 12
G. Metode Penelitian ... 23
H. Sistematikan penulisan ... 25
BAB II : LEGAL STANDING PEMOHON DALAM HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI ... 29
A. Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia ... 29
B. Pemohon Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi ... 40
C. Legal Standing Pemohon dalam Hukum Acara Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi ... 54
BAB III : KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) ANGGOTA DPR SEBAGAI PEMOHON DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG- UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI ... 63
A. Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang DPR RI ... 63
B. Hak dan Kewajiban Anggota DPR RI ... 71
C. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Anggota DPR sebagai Pemohon dalam Pengujian Undang-undang ... 77
BAB VI : PERTIMBANGAN MAHKAMAH TERHADAP LEGAL STANDING ANGGOTA DPR DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI ( STUDI TERHADAP BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI) ... 89
A. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Terhadap Legal Standing Angota DPR dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ( Permohonan Tidak Diterima/ Niet Ontvankelijk Verklaard) ... 89
1. Putusan Nomor 20/PUU-V/2007 ... 89
2. Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009 ... 123
B. Pertimbangan Hukum Mahkamah Terhadap Legal Standing Anggota DPR dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ( Permohonan Diterima/ Diterima Sebagian) ... 127
1. Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 ... 127
2. Putusan Nomor 38/PUU-VIII/2010 ... 134
3. Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan Putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016 ... 138
BAB V : PENUTUP ... 153
A. Kesimpulan ... 153
B. Saran ... 154 DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
WITA ROHANA PANDIANGAN * YUSRIN **
NAZARUDDIN***
Pengujian undang-undang yang merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat diajukan oleh pemohon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi, yang di tegaskan kembali dalam putusan-putusan Mahkamah terkait legal standing pemohon dalam pengujian undang-undang. Legal standing merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pengkajian lebih lanjut, termasuk diantaranya pemohon perseorangan dan kesatuan masyarakat hukum adat. Terkait legal standing pemohon yang mana pemohon perseorangan warga negara Indonesia yang berstatus sebagai Anggota DPR-RI, Mahkamah telah memutus beberapa permohonan terkait legal standing Anggota DPR-RI namun dalam beberapa putusan yang telah di putus oleh Mahkamah terdapat perbedaan pemberian legal standing kepada para pemohon yang berstatus sebagai Anggota DPR-RI. Oleh karena itu, permasalah dalam penelitian ini adalah : bagaimana pengaturan tentang legal standing pemohon dalam hukum acara pengujian undang-undang, bagaimanakah kedudukan hukum (Legal Standing) Anggota DPR-RI sebagai pemohon dalam perkara pengujian undang-undang, dan bagaimana pendapat Mahkamah dalam putusan-putusan nya terkait legal standing Anggota DPR-RI sebagai pemohon perkara pengujian undang-undang.
Untuk menjawab hal tersebut, metode yang digunakan adalah metode metode yuridis normatif dengan sifat penulisan deskriptif analisis, data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier. Kemudian data yang didapat dianalisis secara kualitatif.
Kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini adalah Ketentuan pasal 51 undang-undang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa dalam pengujian undang-undang yang dapat bertindak sebagai pemohon adalah pihak yang dapat menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.Perseorangan warga negara Indonesia yang berstatus sebagai Anggota DPR RI juga memiliki legal standing dalam pengujian undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 namun hanya dalam hal-hal yang sangat khusus. Dan menurut Mahkamah dalam beberapa putusan nya, perseorangan warga negara Indonesia yang berstatus sebagai anggota DPR-RI akan dipertimbangkan tersendiri terhadap kedudukan hukumnya sesuai dengan kerugian konstitusional yang didalilkan.
Kata kunci : Legal standing, Anggota DPR-RI, Pengujian Undang-undang, Mahkamah Konsitusi.
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Agar ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( yang selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945)sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaanya, maka diperlukan organ yang memiliki tugas untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Menurut Hans Kelsen, organ tersebut harus berbeda dan terpisah dari organ legislatif yang membuat undang-undang, dimana tugas yang dimiliki oleh organ tersebut disertai wewenang untuk tidak memberlakukan produk hukum yang dinyatakan tidak konstitusional.1 Organ inilah yang disebut dengan Mahkamah Konstitusi ( yang selanjutnya disebut MK).2
Pembentukan MK merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan.
Di negara-negara yang tengah mengalami perubahan dari otoritan menuju demokrasi, gagasan pembentukan MK dinilai cukup populer. Bahkan, menjadi sesuatu yang urgen karena ingin mengubah atau memperbaiki sistem kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan pengujian konstitusional terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi negara.3
Gagasan pembentukan MK ini merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.
Menurut Jimly Asshiddiqie, gagasan pembentukan MK oleh suatu negara
1 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, hlm. 33.
2Ibid.
3 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian UU Terhadap UUD, Raih Asa Sukses, Jakarta 2015, hlm. 74
umumnya dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman pernah mengalami krisis konstitusional dan baru keluar dari sistem pemerintahan yang otoriter.4
Ide pembentukan MKini telah diadopsi ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 yang meletakkanMK sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman disamping Mahkamah Agung (yang selanjutnya disebut MA).
Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dan dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Permasalahan
5
Kehadiran MK tersebut ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut Solly Lubis, pada hakikatnya adalah dalam rangka reformasi kehidupan ketatanegaraan yang menuntut penegakan hukum secara adil.6
Kedua lembaga yudisial yang dimaksud dibebankan tugas dan tanggungjawab sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yangdiatur berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimilikinya. Oleh karena itu, kehadiran MK tidak saja membuktikan bahwa Indonesia menganut kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, tetapi sekaligus merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum yang demokratis sebagai suatu konsep negara hukum yang dianut di Indonesia.
4 Achmmad Sukarti, Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Ditinjau dari Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman, dan Thailand), Jurna Equality, Vol. 11, No. 1, Februari 201, hlm. 59.
5 Lihat Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945.
6 Lihat Solly Lubis, MK dan Putusannya: Antara Harapan dan Kenyataan, Jurnal Konstitusi, Vol. 3 No. 4, Desember 2006, hlm. 58
undang,sedangkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945.7
Pengujian undang-undangterhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam pandangan Moh. Mahfud MD adalah penting karena Undang-undang merupakan produk politik, sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan, baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar8
Adanya mekanismepengujian undang-undang dapat meminimalisir keberadaan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Konstitusi.
Sebagaimana pendapatI Gde Pantja Astawa yang dikutip oleh Efik Yusdiansyah menyatakan bahwa:
.
9
1. Melindungi kepentingan rakyat banyak dari tindakan sewenang-wenang pembentuk undang-undang sekaligus mencegah agar keberlakuan suatu undang-undang tidak berlawanan dengan UUD;
“pranata Judicial Review mempunyai tempat yang strategis dalam kehidupan ketatanegaraan yang berbingkaikan semangat konstitusionalisme, dengan tujuan:
2. Menjaga kewibawaan UUD sebagai Hukum Dasar tertinggi dalam negara (Supreme law of the land); untuk itu harus ada institusi yang bertindak sebagai pengawal (guarantor) konstitusi.”
7 Sebelum terbentuknya MK pelaksanaan pengujian Undang-undang terhadap UUD tahun 1945 diserahkan kepada MPR berdasarkan TAP MPR Nomo III/MPR/2000. Namun selain hal itu bukan merupakan pengujian oleh lembaga yudisial yang dapat menggambarkan checks and balances, sejalan dengan tata hukum baru yang tidak lagi mengenal TAP MPR sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, maka pembentukan MK merupakan pilihan yang rasional. Moh.
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Hukum Negaraa Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES.
Jakarta 2007, hlm.71
8 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cet.2., Rajawali Press, Jakarta 2009, hlm. 5
9Efik Yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pembentukan Hukum Nasional Dalam Kerangka Negara Hukum, Lubuk Agung,Bandung, 2010, hlm. 4.
Kewenangan pengujian konstitusional yang dimiliki oleh MK tersebut pada dasarnya merupakan bentuk pengejawantahan prinsip checks and balances yang mulai diadopsi dalam UUD NRI Tahun 1945. Prinsip tersebut bermakna bahwa setiap lembaga negara memiliki kedudukan yang setara, sehingga terdapat pengawasan dan keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.10
Kewenangan konstitusional MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian diejawantahkan ke dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Dengan demikian MK memberikan ruang yang lebih luas untuk memperbaiki konsepsi pembentukan hukum di Indonesia melalui perlindungan konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
11
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( yang selanjutnya disebut undang-undang MK),12
10 Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, dan Mohammad Mahrus Ali, “Model dan Impelementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)”, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013, hlm. 4, dalam
serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/Model%20Implem entasi%20Putusan%20MK.pdf diakses pada tanggal 21 Juni 2017
11Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.
12Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, untuk selanjutnya disebut dengan UU MK.
Kehakiman13
Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut Undang-undang untuk mengajukan permohonan kepada MK. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing
.Teknis pelaksanaannya selanjutnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
MKbaru akan melaksanakan pengujian undang-undang apabila terdapat permohonan pengujian undang-undang terhadap suatu undang-undang yang diduga bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pengujian undang-undang ini disebut sebagai perkara permohonan, bukan gugatan, karena hakikat perkara konstitusi di MK tidaklah bersifat adversarial atau contentious yang berkenaan dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara Pengujian Undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. Undang-undang yang digugat adalah yang mengikat terhadap segenap warga negara. Oleh sebab itu, perkara yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permohonan.
Maka, subjek hukum yang mengajukannya disebut sebagai pemohon, bukan penggugat.
14
13Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, untuk selanjutnya disebut dengan UU 48/2009.
14 Pengertian kedudukan hukim atau legal standing dikemukakan oleh Harjono, legal standing adalah kedaan dimana seorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara didepan MK. Ajie Ramdan, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi., Jurnal Konstitusi, Volume 11 Nomor 4, Desember 2014, hlm.740
suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara Pengujian undang-undang. Dengan perkataan
lain, pemohon diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki legal standing atau kedudukan hukum, sehingga permohonan yang diajukan dapat diperiksa, diadili dan diputus sebagaimana mestinya oleh MK.
Persyaratan legal standing dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang, maupun syarat materil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya Undang-undang yang sedang dipersoalkan. Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pemohon sebagai pihak yang telah diatur dalam ketentuan pasal 51 ayat (1) UU MK sebagaimana dijabarkan dalam pasal 3 Peraturan MK No. 06/PMK/2005, sebagai berikut:15
Pemohon adalah para pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:16
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara.”
Pemohon juga harus menguraikan dengan jelas hak dan kewenangan konstitusional yang dirugikan. Dalam permohonan, ada dua kriteria yang harus diuraikan dengan jelas yaitu:17
1. Kualifikasi pemohon apakah sebagai; (i) Perorangan warga negara Indonesia; (ii) Kesatuan masyarakat hukum adat pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) Badan hukum publik atau privat; atau (iv)Lembaga negara.
15 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Makamah Konstitusi Republik Indonesia,Edisi Revisi, Skretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta 2006, hlm. 94
16Ibid
17Ibid., hlm. 95-96
2. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya undang-undang tersebut.
MK dalam putusan perkara No. 006/PUU-III/2005 dan putusan perkara No. 11/PUU-V/2007 merumuskan secara lebih ketat adanya persyaratan legal standing berdasar hak konstitusional pemohon yaitu:18
1. Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;
2. Bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
3. Bahwa kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusioanla yang dilalilkan tidak akan atau tidak lagi tejadi.
Apabila Permohonan pemohon tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 ayat (1) undang-undang MK yang telah dijabarkan dalam pasal 3 Peraturan MK No. 06/PMK/2005, kemudian dirumuskan kembali dalam ptusan MK perkara No. 006/PUU-III/2005 dan putusan perkara No. 11/PUU-V/2007, maka Mahkamah akan menyatakan dalam putusannya bahwa permohonan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk Verklaard) yang artinya permohonan tidak berdasarkan hukum.
Abdul Mukhtie Fadjar mengemukakan keduukan hukum pemohon (legal standing) merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pengkajian lebih lanjut, termasuk diantaranya pemohon perseorangan dan kesatuan masyarakat
18Ibid., hlm. 96-97
hukum adat.19
Pengujian undang-undang Nomor 20/PUU-V/2007 yang dimohonkan pengujiannya oleh Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur Sapto Edy. Para pemohon merupaka perseorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok yang memiliki kepentingan yang sama) yang menyandang status sebagai Anggota DPR-RI. MK dalam amar putusannya menyatakan permohonan pemohon tidak Pada tahun 2007 MK mendapat permohonan pengujian undang- undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang diregistrasi perkara Nomor 20/PUU-V/2007. Tahun 2009 permohonan pengujian undang- undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang diregistrasi perkara Nomor 151/PUU-VII/2009. Tahun 2010 permohonan pengujian undang- undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang diresgitrasi perkara Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 dan perkara Nomor 38/PUU-VIII/2010. Dan pada tahun 2016 MK kembali mendapat permohonan pengujian undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, permohonan pengujian undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi, yang diregistrasi perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016, yang mana seluruh perkara tersebut dimohonkan oleh perseorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok yang memiliki kepentingan yang sama) yang menyandang status sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ( yang selanjutnya disebut Anggota DPR-RI).
19 Adjie Ramdan, Problemtika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Mahkamah Konstitusi RI, Edisi ke-2, Jakarta, November 2014
diterima karena para pemohon tidak memiliki legal standing untuk melakukan pengujian undang-undang, menurut Mahkamah perseorangan warga negara Indonesia tidak sama dengan perseorangan warga negara Indonesia yang menyandang status sebagai Anggota DPR-RI. Dalam pengujian undang-undang Nomor 151/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh Hj. Lily Chadidjah Wahid yang mana Pemohon adalah warga negara Indonesia yang berstatusAnggota DPR- RI, anggota/kader, dan juga fungsionaris Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP-PKB). MK dalam amar putusannya kembali menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak diterima karena pemohon tidak memiliki legal standing untuk melakukan pengujian undang-undang, menurut Mahkamah perseorangan warga negara Indonesia tidak sama dengan perseorangan warga negara Indonesia yang menyandang status sebagai Anggota DPR-RI.
Namun, dalam pengujian undang-undang perkara Nomor 23-26/PUU- VIII/2010 yang dimohonkan oleh M. Farhat Abas, Hj. Lily Chadidjah, Bambang Soesatyo dan Akbar Faisal yang berstatus sebagai Anggota DPR-RI, pengujian undang-undang perkara Nomor 38/PUU-VIII/2010 yang dimohonkan oleh Hj.
Lily Chadidjah selaku Anggota DPR-RI, anggota/kader, dan juga fungsionaris Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP-PKB) dan pengujian undang-undang pekara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan Nomor 21/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan oleh Setya Novanto yang juga berstatus sebagai Anggota DPR- RI. Dalam amar putusannya terhadap beberapa putusan tersebut, MK menyatakan bahwa para pemohon perseorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok yang memiliki kepentingan yang sama) yang menyandang status sebagai Anggota
DPR-RI dalam hal ini memiliki legal standing untuk melalukan pengujian terhadap undang-undang a quo sehingga permohonan para pemohon dinyatakan dikabulkan.
Dari penjelasan tersebut, timbul pertanyaan mengenai pertimbangan apa yang mendasari para pemohon diberikan legal standinga dan tidak diberikan legal standing untuk melakukan pengujian undang-undang oleh MK?
Kejelasan mengenai legal standing yang rumit memang memerlukan pengkajian lebih lanjut, khususnya ketika pemohon menyandang status sebagai Anggota DPR-RI, yang telah diketahui bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan lembaga tersebut. Oleh karena itu, penulis mengangkat skripsi dengan judul “LEGAL STANDING ANGGOTA DPR-RI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 DI MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI TERHADAP BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
B. Rumusan Masalah
Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang senyatanya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara harapan dengan capaian atau singkatnya antara das sollen dengan das sein.20
1. Bagaimana pengaturan tentang legal standing pemohon dalam hukum acara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi RI?
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas, maka penulis mengangkat rumusan masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:
20 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997, hlm. 105
2. Bagaimanakah kedudukan hukum (Legal Standing) Anggota DPR-RI sebagai pemohon dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi RI?
3. Bagaimana pendapat Mahkamah terkait legal standing Anggota DPR-RI sebagai pemohon perkara pengujian undang-undang dalam putusan- putusan Mahkamah Konstitusi RI?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui proses beracara di Mahkamah Konstitusi, proses PUU terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan legal standing pemohon dalam PUU terhadap UUD NRI Tahun 1945, serta pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan legal standing yang mana para pemohon menyandang statusanggota DPR RI dalam PUU terhadap UUD NRI Tahun 1945 dikaji terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikab secara teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.
2. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti di dalam skripsi.
3. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum berkaitan dengan kajian mengenai legal standing anggota DPR RI dalam pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945.
4. Bagi pembaca dan pihak lainnya, dapat menjadi referensi dan sumber informasi yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan dibidang hukum secara umum dan secara khusus dibidang hukum tata negara yang berkaitan dengan legal standing pengujian undang-undang yang mana pemohon menyandang status anggota DPR RI.
E. Keaslian Penulis
Keaslian penelitian skripsi ini benar merupakan hasil dari pemikiran sendiri dengan mengambil panduan dari buku-buku dan sumber lain yang berkaitan dengan judul skripsi “Legal Standing Anggota DPR Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Studi Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi)”. Judul dari skripsi ini telah diperiksa bagian kepustakaan dan dapat dipertanggungjwabkan secara moral dan akademik.hal ini merupkan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjwabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk dikritisi yang sifatnya membangun. Dalam penulisan ini ditekankan adalah Legal standing Anggota DPR Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Studi Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi).
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Konsepsi Negara Hukum
Istilah rechtsstaat yang diterjemahkan sebagai Negara hukum menurut Philipus M.Hadjon mulai populer di Eropa sejak abad ke-19, meski pemikiran
tentang hal itu telah lama ada21. Pengertian pokok daripada negara hukum ialah bahwa kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, jadi bukan didasarkan atas kekuasaan belaka22. Adapun yang menjadi tujuan pembatasan kekuasaan negara oleh hukum ini adalah agar kepentingan rakyatnya yaitu hak-hak dasar dapat terjamin daripada tindakan yang sewenang-wenang dari penguasanya. Untuk itu tindakan penguasa harus dibatasai ole hukum yang berlaku. Negara yang menganut prinsip inilah yang disebut dengan negara hukum (Rechtstaat).23
Selain daripada itu kita tidak hanya cukup mengenal pengertian pokok serta tujuan daripada negara hukum ini, tetapi lebih daripada itu harus mengenal pula tentang elemen-elemen daripada negara hukum. Elemen-elemen ini justru yang harus ada dan merupakan ciri dari negara hukum. Oleh karena itu untuk mengkualifikasi apakah suatu negara itu merupakan negara hukum atau bukan belum cukup kalau didalam Undang-Undang Dasarnya dinyatakan bahwa negaranya adalah negara hukum. Tetapi masih harus diselidiki apakah hal itu dilaksanakan dalam praktik atau tidak. Suatu pernyataan didalam Undang-Undang Dasar atau peraturan lainnya masih baru merupakan pengakuan saja atau dengan perkataan lainnya baru hanya sebagai cita-citanya saja. Sedangkan sebaliknya walaupun didalam UUD atau peraturan lainnya tidak ada suatu pernyataan bahwa negaranya adalah negara hukum beserta dengan elemen-elemennya, tetapi jika dalam praktinya ternyata ada pembatasan kekuasaan daripada penguasa serta elemen-elemen yang merupakan ciri dari negara hukum itu dilaksanakan sehingga
21Philipus.M.Hadjon,Kedaulatan Rakyat,Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia,Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo,Media Pratama,Jakarta,1996,hal.72
22 Joeniarto, Negara Hukum, Gadjah Mada Jogjakarta, 1968, hlm. 7
23Ibid., hlm. 8
benar-benar kepentingan yang berupa hak-hak dasar daripada rakyatnya itu terjamin bebas dari tindakan sewenang-wenangnya penguasa, maka pada hakekatnya negaranya adalah negara hukum. 24
Sejak Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah mengklaim dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).25 Hingga sampai saat ini Indonesia yang telah beberapa kali melakukan perubahan terhadap konstitusi negaranya pun tetap konsisten menyatakan dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum.26
Dalam bukunya Nomoi, Plato mulai memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum.
Sebagai negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum, maka menjadi hal yang mutlak apabila pemerintah yang berkuasa bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur masyarakat dan untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Sejarah timbulnya pemikiran atau cita negara hukum itu sendiri sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara atapun Ilmu Kenegaraan. Cita negara hukum itu untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Pato dan kemudian pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles.
27
24Ibid
25Uraian lebih lanjut dapat dilihat dalam Penjelasan UUD NRI Tahun 1945..
26 Lihat Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
27 Plato, Republik, The Modern Library, New York, Hal: 70. Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Yogyakarta 2010, hlm. 91
Cita Plato tersebut diteruskan oleh muridnya
bernama Aristoteles. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. 28
Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersikap adil. Apabila keadan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.29
Adapun yang menjadi yang menjadi ciri-ciri rechtstaat yakni:
Jadi, kedailan lah yang memerintah dalam kehidupan bernegara. Agar manusia yang bersikap adil itu dapat terjelma dalam kehidupan bernegara, maka manusia harus dididik menjadi warga yang baik dan bersusila.
Pemikiran negara hukum timbul sebagai reaksi atas konsep negara polisi (polizei staat). Dengan mengikuti Hans Nawiasky, polizei terdiri atas dua hal, yaitu Sicherheit Polizei yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan, dan Verwaltung Polizei atau Whlfart Polizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warga negara. Karena itu polizei staat artinya negara yang menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta menyelenggarakan semua kebutuhan hidup warga negaranya.
30
28 Aristoteles, Politica, Benyamin J., trans, Modern Library Book, New York, hlmm. 70., Ibid
29 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1983, hlm.109
30 Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm.93
(1) adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang
hubungan antara penguasa dan rakyat. (2) adanya pembagian kekuasaan negara.
(3) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat
Ciri-ciri di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ide sentral daripada rechtstaat adalah pengakuan an perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan, berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan.
Menurut Arif Sidharta sebagaimana dikutip oleh Rachmat Trijono, unsur- unsur dan asas-asas Negara Hukum meliputi 5 (lima) hal, yakni:31
1. Pengakuan, penghormatan, perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (Human Dignity).
2. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat
‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas UU menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintah;
c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat UU harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
d. Asas peradilan bebas, independent, impartial, dan objektif, rasional, adil, dan manusiawi;
e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD.
3. Berlakunya Persamaan (Similia Similus atau Equality Before the Law).
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau
31 Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2013., hlm. 22.
kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung adanya (a) jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:
a. Adanya mekanisme pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala;
b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertangunggjawaban oleh badan perwakilan rakyat;
c. Semua warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah;
d. Semua tindakan pemerintah terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak;
e. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
f. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif;
5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:
a. Asas-asas umum pemerintahan yang layak;
b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi;
c. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakan-tindakan, memiliki tujuan yang jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat 12 (dua belas) prinsip pokok Negara Hukum (Rechsstaat) yang merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yang terdiri dariSupremasi Hukum, Persamaan dalam Hukum (Equality Before the Law), Asas Legalitas (Due Process of Law), Pembatasan Kekuasaan, Organ-Organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), Perlindungan Hak Asasi Manusia,
Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara, dan Transparansi dan Kontrol Sosial.32
2. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan penjelasan negara hukum diatas dapat disimpulkan bahwa di dalam negara hukum segala aspek kehidupan harus dijalankan seturut dengan kemauan dan kehendak hukum.
kegiatan bernegara pertama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama- tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu33
1. Pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara;
:
2. Pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara;
dan
3. Pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelneggara negara. Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Oleh karena itu, yang biasa disebut sebagai fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. Dalam bentuk konkretnya, fungsi pengaturan (regelende functie) ini terwujud dalam fungsi pembentukan Undang-undang (wetgevende functie atau law making function).
Namun, fungsi pembuatan Undang-undang ini pada hakikatnya adalah fungsi pengaturan (regelende functie). Fungsi pengaturan (regelende functie) ini
32Uraian masing-masing prinsip negara hukum menurut Jimly Asshiddiqie lihatJimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Op.cit., hlm. 124-130.
33Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Rajagrafindo Persada, Jakarta 2009, hlm. 299
berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Dengan demikian, kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum dimaksud sebab cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat. Maka, peraturn yang paling tinggi dibawah UUD NRI Tahun 1945 haruslah dibuat dan ditetapkaan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif. 34
Semua peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR-RI bersama dengan Presiden harus berdasarkan dan bersesuaian dengan ketentuan norma-norma yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky, yang menyatakan norma- norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma
Dalam sistem UUD NRI Tahun 1945, peraturan inilah yang dinamakan Undang-undang yang dibentuk oleh DPR-RI atas persetujuan bersama dengan Presiden. Di Amerika Serikat, Undang-undang itu disebut law atau legislative act, di Belanda disebut wet, sedangkan di Jerman disebut gesetz.
34Ibid
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara atau yang disebut sebagai Staatsfundamentalnorm.35
Di dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma Fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-Undang (formell Gezets) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung
& Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otonomi lainnya.36
Pembentukan Peraturan Perundang-undanganadalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Dengan demikian segala bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk haruslah berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz).
37
35 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan. Kanisius, Yogyakarta 2007, hlm.
57.
36Ibid.
37 Pasal 1 angka 1 undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Semua peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk harus sesuai dengan Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara dan UUD NRI 1945 yang merupakan aturan dasar.
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan diatur di dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undanga
3. Pengujian Konstitusionalitas Undang-undang
Pengujian peraturan perundang-undangan pada hakikatnya inberen dengan kekuasaan kehakiman dan merupakan sifat pembawaan dari tugas hakim dalam menjalankan tugas mengadili. Menurut Harun Alrasyid, selama tidak diingkari, hak pengujian itu dimiliki oleh hakim, yang bukan saja menrupakan hak tetap juga merupakan kewajiaban.38 Sementara itu, menurut Moh. Koesno, kekuasaan kehakiman itu bukan sekedar mempertahankan berlakunya UU, melainkan mempetahankan dan mewujudkan hukum dasar.39
Moh. Mahfud MD sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra menegaskan, hukum merupakan produk politik, terlebih jika diletakkan dalam bingkai Undang- undang, penegasan Mahfud tersebut tidak terlepas dari lahirnya Undang- undangsebagai hasil dari lahirnya Undang-undang sebagai hasil dari sebuah
Hal ini mengandung makna bahwa pengujian peraturan perundang- undangan merupakan suatu mekanisme yang dapat memastikan suatu produk perundang-undangan tidak bertentangan dengan norma hukum dasar dan tidak merugikan hak-hak warga negara yang telah dijamin norma hukum dasar tersebut.
Oleh karna itu, hakim sebagai pemangku kekuasaan kehakiman memiliki hak sekaligus kewajiban untuk memastikan dan menjamin agar setiap produk perundang-undangan yang dihasilkan lembaga legislatif tidak bertentangan dengan norma hukum dasar. Lebih dari itu, hakim memastikan perundang- undangan tersebut tidak merugikan hak-hak konstitusional rakyat.
38 Harun Alrasyi, Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek. Jurnal Konstitusi, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004, hlm. 95
39 Moh. Koesno, Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan Kehakiman Meurut UUD NRI Tahun 1945, dalam Zinal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung RI: Tiga Dekade Pengujian Perundang-undangan. Jakarta, RajaGrafindo Persada 2009, hlm. 82-83
proses politik di DPR-RI.40 Karena proses yang demikian, Jimly Asshiddiqie menyebut naskah yang dibahas bersama oleh Pesiden dan DPR-RI sebagai political draft (naskah politis).41 Kemudian Jeremy Waldron dalam “The Dignity of Legislation”yang dikutip oleh Saldi Isra, mengungkapkan kekhawatiran, that legislation and legislatures have a bad name in legal and political philosopy, a name sufficiently disreputable to cast doubt on their credentials as respectable source of law.Tidak hanya kecurigaan terhadap hal tersebut tetapi juga kemungkinan adanya undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.42
Berdasarkan alasan diatas muncul ide untuk melakukan pengujian konstitusionaltias sebuah undang-undang agar materi yang terkandung dalam undang-undang tetap bersesuaian dengan konstitusi dan tetap menjamin kepentingan umum serta kemaslahatan masyarakat bukan kepentingan politik pembentuk undang-undang. Hal ini kemudian dikenal dengan sebutan judicial review. Menurut Hans Kelsen sebagaiman dikutip oleh Saldi Isra menyatakan
“judicial review merupakansebuah kekuatan untuk mengontrol legislasi (an institution with power to control or regulate legislation)”.43
Di dalam penelitian ini juga akan dijelaskan kerangka konseptual yang menurut Soerjono Soekanto44
40 Saldi Isra, 2012. Kata Sambutan untuk buku Munafrizal Manan, Penemuan Hukum Oleh Mahkamah Konstitusi, Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. V.
41Ibid.
42Ibid.
43Ibid.
44 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 132.
diartikan sebagai penggambaran antara konsep- konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. Kerangka konseptual dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Dewan Perwakilan Rakyat Erpublik Indonesia (DPR-RI) adalah lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum yang didasarkan pada undang-undang tentang pemilihan umum.45
b. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.46
c. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atu pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan.47
d. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden.48
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini menggunakan tipe pendekatan yuridis normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan
45 Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD NRI Tahun 1945, Konpress, Jakarta, 2012, hlm. 41.
46 Sirajuddin, Fatkhurohman, dan Zulkarnain, Legislative Drafting: Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Malang, 2015, hlm. 125
47 Pasal 1 angka 2 undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
48 Pasal 1 angka 3 undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.49 Selain itu melihat sinkronisasi suatu aturan hukum dengan aturan lainnya secara hierarki.50
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai objek penelitian dan pelaksanaan hukum di masyarakat yang berkaitan dengan objek penelitian.51
3. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder, yang terdiri dari:52 a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat yakni
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian, seperti:
UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder, yakni diperoleh dari buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah hukum yang berkaitan dengan legal standing Anggota DPR dalam Pengujian Undang-undang Terhadap Undang-Undang Dasar.
c. Bahan Hukum Tertier, yakni penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus dan sebagainya.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Metode Penelitian Kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian
49 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 105.
50Ibid.
51Ibid.
52Ibid., hlm. 106.
kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, pusblikasi, dan hasil penelitian.53
5. Metode Analisis Data
Metode analitis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelenggarakan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.54
H. Sistematika Penulisan
Sistematika disusun dengan tujuan agar pokok-pokok masalah yang dibahas disusun secara urut dan teratur. Penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Materi skripsi ini pada garis besarnya terbagi menjadi lima bab, dimana didalam setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa su bab.
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “ Legal Standing Anggota DPR dalam Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi (Studi Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi)”, sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini membahas mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat, metode penelitian, tinjauan pustaka,
53Ibid., hlm. 107.
54Ibid.
keaslian penulisan, dan sistematika penulisan yang bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap permasalahan yang akan di uraikan.
BAB II : PEMOHON DALAM HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Pada bab ini akan membahas mengenai Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia; menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik;Memutus perselisihan tentang pemilihan umum. Pada bab ini juga akan membahas mengenai Pemohon dalam Perkara Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi; Perseorangan warga negara Indonesia; Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;Badan hukum publik atau privat;
atauLembaga negara. Serta akan membahas mengenai Legal Standing Pemohon dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
BAB III : KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) ANGGOTA DPR REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI PEMOHON DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH REPUBLIK INDONESIA.
Pada bab ini akan dibahas mengenai Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI); Hak dan Kewajiban Anggota DPR RI; Legal Standing Anggota DPR RI Dalam Pengujian Undang-undang Di Mahkamah Konstitusi.
BAB IV : PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH TERHADAP
LEGAL STANDING ANGGOTA DPR RI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945(
STUDI TERHADAP BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI)
Pada bab ini akan dibahas mengenai pertimbangan hukum Mahkamah terhadap legal standing Anggota DPR dalam putusan Mahkamah Konstitusi ( Permohonan Tidak Diterima/ Niet Ontvankelijk Verklaard); Putusan Nomor 20/PUU-V/2007;
Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009. Serta akan dibahas mengenai pertimbangan hukum Mahkamah terhadap legal standing Anggota DPR dalam putusan Mahkamah Konstitusi ( permohonan diterima/ diterima sebagian); Putusan Nomor 23-26/PUU- VIII/2010; Putusan Nomor 38/PUU-VIII/2010; Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan Putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan apa yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya sebagai hasil dari penulisan skripsi.
BAB II
PEMOHON DALAM HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Lahirnya MKmenandai era baru dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Beberapa wilayah yang tadinya tidak tersentuh (untouchable) oleh hukum, seperti masalah judicial review terhadap UU , sekarang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Di samping itu juga kewenangan-kewenangan lainnya yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen. Munculnya MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman diharapkan menjadi entry point yang mendorong terwujudnya sistem kekuasaan kehakiman yang modern di Indonesia.
Berdasarkan pasal 24 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945). Dengan demikian, kedudukan MK adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, disamping MA. MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki.
Menurut Marzuki, MK bukan bagian dari MA dalam makna perkaitan struktur unity jurisdiction, seperti halnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, tetapi
berdiri sndiri serta terpisah dari MA secara duality of jurisdiction.55 MK berkedudukan setara dengan MA. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dapat dikatakan dengan adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945, maka selain MA sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan yang berada dibawahnya, juga terdapat MK yang secara fungsional juga sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman namun tidak mempunyai hubungan struktural dengan MA. Kedua lembaga tersebut adalah memiliki fungsi yang sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun dibedakan dalam yuisdiksi atau kompetensinya.56
Dalam konteks ketatanegaraan MK dikonstruksikan: Pertama,sebagai pengawal konstitusi yang berungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Kedua, MK bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Ketiga, ditengah kelemahan konstitusi yang ada, MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. Keempat, MK juga berfungsi sebagai penegak demokrasi dan penjaga hak asasi manusia.57
55 H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Kreasi Total Media, Yogyakarta 2007, hlm. 64
56 Harjono, Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, (Makalah), disampaikan pada Seminar dan Loka Karya RUU Mahkamah Konstitusi, Fakultas Hukum UNIBRAW, 18-19 Desember 2002
57 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, 2005: UII Press. Yogyakarta . hal: vi.
Keempat fungsi tersebut dilaksanakan melalui pelaksanaan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dapat dipandang sebagai suatu kewenangan sbagaimana ditentukan dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Pada hakikatnya, fungsi utama MK adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitutions) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of constitutions). Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan MK memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal konstitusional atau tidak oleh MK. 58
1) Susunan Keanggotan
Ketentuan umum tentang MK diatur dalam pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.
Didalam MK terdapat tiga pranata (institusi), yaitu hakim konstitusi, sekretariat jendral, dan kepaniteraan. Pasal 7 UU MK menyebutkan: “ untuk kelancaran tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh seorang sekretariat jendral dan kepaniteraan”. Artinya, intitusi utama dari MK adalah sembilan hakim konstitusi yang dalam meaksanakan kewenangan dan kewajiban konstitusionalnya, dibantu dua institusi lainnya, yaitu sekretarian jendral dan kepaniteraan. 59
2) Hakim Konstitusi
58 Mahkamah Konstitusi, Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya. 1994: Erlangga. Jakarta, hlm. 5-6
59 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tatanegara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, 2010: Kencana. Jakarta, hlm. 222
MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan Presiden. Kesembilan hakim tersebut diajukan masing-masing tiga orang dari MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.60
Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dalam bersikap, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatangeraan.
Dan tidak merangkap sebagai pejabat negara.61
Agar dapat diangkat menjadi hakim, seorang calon harus memenuhi syarat : 1) WNI; 2) berpendidikan strata satu (S-1) bidang hukum; 3) berusia sekurang- kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan; 4) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan puusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penajra lima tahun atau lebi; 5) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan 6) mempunyai pengalaman kerja dibidang hukum sekurang-kurangnya sepuluh tahun.
MK terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh anggota hakim konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi, untuk masa jabatan tiga tahun. Untuk melengkapi tatacara pemilihan ketua dan wakil ketua, MK telah mengeluarkan Peraturan MK No. 1/PMK/2003.
62
60 Pasal 24C ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (1) UU no. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
61 Pasal 24C ayat (5) UUD NRI Tahun 1945
62 Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Keberadaan masing-masing hakim konstitusi merupakan institusi yang otonom dan independen, tidak mengenal hierarki dalam pengambilan putusan sebagai pelaksanaan dari kewenangan konstitusionalnya. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara di MK, ketua dan wakil ketua tidak dapat mempengaruhi pendapat para hakim lainnya, begitupun sebaliknya. 63
3) Tugas dan Wewenang
Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan dalam UUD NRI Tahun1945, kewenangan MK juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan MK dai lembaga-lembaga lain.
Wewenang MK secara khusus diatur dalamUUD NRI Tahun 1945 perubahan ketiga pasal 24C ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu:
a. Menguji (judicial riview) undang-undang terhadap UUD;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang pemilihan umum.
Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan erakhir dan putusan MK bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum uantuk mengubahnya. Selain kewenangan itu, berdasarkan pasal 24C ayat (2) jo pasal 7B, MK juga berkewajiban untuk memeriksa,mengadili dan memutus mengenai pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah
63 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit., hal: 223