• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003-Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003-Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia

(Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun

2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Oleh :

DIKI ALTRIKA NIM : 040200071

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia

(Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun

2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Oleh :

DIKI ALTRIKA NIM : 040200071

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

disetujui oleh : Ketua

Departemen Hukum Tata Negara

Armansyah, S.H,M.Hum

NIP : 131569409

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(3)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Syukur kehadirat Allah SWT penggegam kehidupan dan

pemberi segala kenikmatan dan kemudahan, atas karunia dan

anugerah-Nya lah penulis dapat melaksanakan aktifitas sehari-hari

terkhusus dalam menelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas serta

syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum yang merupakan kewajiban

bagi setiap mahasiswa/I yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah “Legal

Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah

Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian

Undang-Undang).

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan penulis serta referensi yang berkaitan dengan masalah

dalam skripsi ini.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan

dam bimbingan dari berbagai piak. Oleh karena itu pada kesempata ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

(4)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

2.

Bapak Armansyah, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen

Hukum Tata Negara sekaligus sebagai dosen pembimbing I

penulis (terima kasih banyak atas bimbingan serta pinjaman

referensinya)

3.

Bapak

Drs.Nazarudin,SH.M.Hum

selaku sekretaris

Departemen Hukum Tata Negara.

4.

Bapak Yusrin Nazief , SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing

II (terima kasih banyak atas masukan serta referensinya),

5.

Ibu Yefrizawaty,SH.M.Hum, selaku dosen wali penulis.

6.

Teristimewa kepada penyangga hidupku, orangtua tercinta,

ayahanda Timbul Supangat serta Ibunda Poniem (semoga

keringat ayahanda dan Ibu terbalaskan surga olehNya kelak),

7.

Kepada Kak Nining, bang Didik, kak Yuni thank’s ya nasehat

dan omelannya serta Devi my little sister wish you got better

than me. For all my best friend ikhwa wa akhwat fillah in

KAMMI USU,KAM RABBANI USU, BTM FH USU serta

rekan-rekan di PEMA USU.

8.

Terkhusus kepada Fauzi, Praya, Eko, Rizki, Firdaus, erwan.

Untuk adik-adik mentoring tetap semangat ya, get your spirit

for the brigt of Islam.

9.

And all people I can’t say one by one. Thamk’s all ot of for

every conttibuted.

Medan, 16 Juli 2008

(5)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Pengumpulan Data ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II : KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR ... 23

A. Kewenangan Menguji Terhadap Peraturan Perundangan-undangan di Indonesia... 23

B. Proses Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar ... 32

BAB III : LEGAL STANDING DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ... 42

(6)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

B. Legal Standing dalam Perkara Pengujian Undang-Undang di

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ... 49

C. Perbandingan Legal Standing di Beberapa Negara Dalam Pengujian Undang-Undang ... 65

BAB IV : PERKEMBANGAN LEGAL STANDING DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (STUDI TERHADAP PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TAHUN 2003-2007) ... 69

A. Intrepretasi Hakim Tentang Hak Konstitusional ... 69

B. Putusan Perkara Permohonan yang Diajukan Oleh Perorangan Warga Negara Indonesia ... 77

C. Putusan Perkara Permohonan yang Diajukan Oleh Badan Hukum Publik atau Privat ... 79

D. Putusan Perkara Permohonan yang Diajukan Oleh Lembaga Negara... 81

BAB IV : PENUTUP ... 84

A.Kesimpulan ... 84

B.Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 90

(7)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

2.Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 06/ PMK/2005

Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian

(8)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan Undang - Undang Dasar 1945 telah melahirkan sebuah lembaga

baru bernama Mahkamah Konstitusi.1 Kehadiran Mahkamah Konstitusi di

Indonesia menambah jumlah lembaga negara di bidang peradilan selain

Mahkamah Agung dan juga Komisi Yudisial (KY) yang juga hadir pasca

perubahan UUD 1945. Kelahiran Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban atas

keinginan agar lembaga yudisial dapat melakukan pengujian atas undang-undang

terhadap undang-undang dasar yang sebelumnya sama sekali tidak dapat

dilakukan.2

Secara umum pasca amandemen, UUD 1945 memberikan kesempatan

kepada masyarakat untuk mengajukan judicial review

3

1

Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2

Sebelum terbentuknya MK pelaksanaan pengujian Undang terhadap Undang-Undang Dasar diserahkan kepada MPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000. Namun selain hal itu bukan merupakan pengujian oleh lembaga yudisial yang dapat menggambarkan Checks and balances, sejalan dengan tata hukum baru yang tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, maka pembentukan MK merupakan pilihan yang rasional. Moh. Mahfud MD., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007,hal.71.

3

Judicial Review atau Uji Materiil merupakan proses pengujian atas peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan di atasnya atau terhadap undang-undang dasar yang dilakukan oleh lembaga peradilan; istilah Judicial Review akan dipergunakan lebih lanjut dalam tulisan ini yang pembahasannya lebih lanjut terdapat dalam tinjauan pustaka.

(uji materiil) melalui dua

jalur. Pertama, judicial review terhadap peraturan di bawah undang-undang yang

(9)

undang-Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

undang terhadap Undang-Undang Dasar yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi

(MK). Meskipun demikian idealnya, menurut Moh.Mahfud MD kekuasaan

kehakiman yang berpuncak pada dua lembaga negara yaitu Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi harus dipilah secara tegas wewenang antara keduanya.

Mahkamah Agung seharusnya terfokus untuk menangani peradilan konvensional

(antarorang dan atau lembaga), sedangkan Mahkamah Konstitusi menangani

peradilan berkenaan dengan konflik peraturan perundang-undangan.4

Dari ketentuan tersebut, dibedakan antara pengujian undang-undang

terhadap undang-undang dasar yang merupakan kewenangan Mahkamah

Konstitusi dengan pengujian peraturan perundangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang-undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah

Agung. Dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang demikian, Jimly

Asshiddiqie memberi istilah bahwa Mahkamah Konstitusi adalah pengawal UUD 1945 memberikan pembedaan secara tegas dalam hal pengujian

undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (1), “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…”.

Sedangkan dalam Pasal 24 C ayat (1) dikatakan, “ Mahkamah Agung berwenang

mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang,…”.

4

(10)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

undang-undang dasar (the Guardian of Constitution), sedangkan Mahkamah

Agung disebut sebagai pengawal undang-undang (the Guardian of the Law).5

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ;

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan telah mengklasifikasikan jenis peraturan

perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan itu mencakup

bentuk-bentuk peraturan yang tersusun secara hirarki sebagai berikut :

2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ;

3. Peraturan pemerintah ;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui hirarki peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu undang-undang / Peraturan Pengganti

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan

Daerah. Peraturan-peraturan inilah yang menjadi objek kewenangan Mahkamah

Agung untuk melakukan judicial review terhadapnya.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, UUD 1945 telah memberikan

kewenangan judicial review atas undang-undang terhadap undang-undang dasar

kepada Mahkamah Konstitusi. Semua perkara konstitusi yang masuk ke

Mahkamah Konstitusi disebut sebagai perkara permohonan, bukan gugatan.

Alasannya adalah bahwa perkara di Mahkamah Konstitusi tidak bersifat

5

(11)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

contentious atau adversarial.6 Kepentingan yang sedang digugat dalam pengujian

undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kehidupan semua

orang dalam hidup bersama.7

Subjek hukum yang mengajukan disebut pemohon bukan penggugat.

Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang adalah pihak yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang.

Undang-undang yang digugat adalah undang-undang

yang mengikat umum semua warga negara. Oleh karena itu, perkara pengujian

undang-undang disebut dengan permohonan bukan gugatan.

8

Pemenuhan syarat-syarat sebagai pemohon sebagaimana dimaksud oleh

undang-undang menentukan kedudukan hukum atau Legal Standing

Undang-undang menentukan beberapa syarat untuk

dapat menjadi pemohon dan perkara Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.

9

Kedudukan hukum atau Legal Standing pemohon merupakan salah satu

unsur yang turut diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi selain pokok perkara yang

dimohonkan. Tidak terpenuhinya atau tidak dapat dibuktikannya bahwa pemohon

memiliki Legal Standing dalam perkara yang dimohonkan menyebabkan pemohon.

Dengan perkataan lain, pemohon harus dapat membuktikan bahwa ia atau mereka

memiliki Legal Standing atau kedudukan hukum sesuai yang disyaratkan oleh

undang-undang, sehingga perkara yang dimohonkan pengujiannya dapat

diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi.

6

Gugatan contentious adalah gugatan perkara yang melibatkan pihak-pihak yang bertabrakan kepentingan seperti dalam perkara perdata atau tata usaha Negara.

7

Jimly Asshidique.,Op cit.,hal.61

8

Pasal 51 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316)

9

(12)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

permohonan perkara tersebut tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk

Verklaard/NO) meskipun secara substansial pokok perkara yang dimohonkan

menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Persyaratan Legal Standing dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi

khususnya dalam pengujian undang-undang tergolong hal baru di tengah

masyarakat Indonesia sejalan pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi yang

juga baru dituangkan dalam konstitusi Republik Indonesia. Menurut Maruarar

Siahaan :

“tampaknya Legal Standing yang ada di dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi lebih sederhana tetapi dalam praktik tidak mudah sehingga interpretasi hakim akan dapat menyebabkan akses tersebut menjadi luas atau boleh jadi menyempit. Kita dapat melihat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkan Legal Standing tersebut.”10

Senada dengan hal tersebut Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa “dalam

pelaksanaannya kriteria Legal Standing yang dimaksud oleh undang-undang

masih bersifat abstrak. Bagaimana penilaiannya oleh hakim sangat bergantung

kepada kasus konkretnya di lapangan.”11

Secara empiris dalam memeriksa apakah pemohon memiliki Legal

Standing atau tidak para hakim konstitusi terkadang baru dapat menarik

kesimpulan setelah proses pembuktian, bahkan seringkali tidak atau belum dapat

dibuktikan sebelum pemeriksaan dilakukan terhadap pokok permohonan seperti

halnya perkara pengujian undang-undang nomor 061/PUU-II/2004.12

10

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal.83.

11

Jimly Asshiddiqie., Op cit., hal 63.

12

(13)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Selain itu, sampai dengan 3 September 2007 ada 174 perkara yang masuk

ke Mahkamah Konstitusi dan 112 perkara yang telah diputus. Dari 112 putusan

tersebut ada 35 perkara yang diputus tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk

Verklaard).13 Namun, apabila dibandingkan dengan putusan perkara pengujian

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung

tercatat dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2005 terdapat 40 putusan dan hanya

5 perkara yang diputus tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk Verklaard).14

Data tersebut menunjukkan bahwa sejak keberadaannya, Mahkamah

Konstitusi disambut baik oleh kalangan masyarakat dalam hal pengujian

undang-undang. Hal ini terbukti dengan jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah

Konstitusi dalam kurun waktu kurang lebih hanya 5 tahun jauh lebih banyak

dibandingkan jumlah perkara yang masuk dan diputus oleh Mahkamah Agung

dalam kurun waktu 14 tahun. Namun, sambutan dan perhatian masyarakat dalam

hal mengajukan permohonan judicial review tersebut banyak yang harus kandas

sebab terhalang persoalan Legal Standing atau kedudukan hukum pemohon

sebelum pokok perkara diperiksa. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan

ada 35 perkara yang diputus tidak dapat diterima, yang juga dapat diartikan bahwa

pemohon dianggap tidak memiliki Legal Standing atau kedudukan hukum dalam

permohonan pengujian undang-undang yang diajukan. Amar putusan yang berisi

“tidak dapat diterima” sebagaimana dimaksud dal pasal 56 ayat (1) UU No.24

13

Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2003 s/d 3 September 2007, http : // www.mahkamahkonstitusi.go.id (akses tanggal 10 oktober 2007)

14

(14)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Tahun 2003 yaitu mengenai syarat Legal Standing atau kedudukan hukum

pemohon merupakan konsekuensi dari tidak terpenuhinya syarat sebagai

pemohon.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa masalah

sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi faktor penyebab para hakim Mahkamah konstitusi

berpendapat bahwa pemohon memiliki atau tidak memiliki Legal

Standing dalam permohonan pengujian undang-undang ?

2. Bagaimana para hakim Mahkamah Konstitusi menerapkan kriteria Legal

Standing dalam pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar ?

3. Bagaimana perkembangan Legal Standing para pemohon dalam

putusan-putusan Mahkamah Konstitusi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sehubungan dengan perumusan masalah di atas maka penulisan skripsi ini

bertujuan untuk :

1. Mengetahui faktor-faktor penyebab para hakim Mahkamah Konstitusi

menerima atau menolak alasan bahwa pemohon memiliki Legal Standing

(15)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

2. Mengetahui sejauh mana penerapan kriteria Legal Standing oleh para

hakim Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

3. Mengetahui perkembangan Legal Standing dalam putusan-putusan

Mahkamah Konstitusi.

Dari hasil penulisan diharapkan dapat memberikan manfaat yang jelas, antara

lain :

1. Manfaat teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sedikit

sumbangan pengetahuan tentang Legal Standing dalam permohonan

pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.

2. Manfaat praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sedikit

sumbangan pemikiran yuridis yang berkaitan dengan penerapan

syarat-syarat Legal Standing dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Legal Standing

dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

dan data yang diperoleh dari perpustakaan, judul ini belum pernah ditulis sebagai

skripsi.

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin

dicapai dalam penulisan ini, maka dapat di katakan bahwa skripsi ini merupakan

(16)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

E. Tinjauan Kepustakaan

E. 1. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945

Keberadaan konstitusi merupakan konsekuensi atas diterimanya konsep

negara hukum (rechtstaat) sebagai sistem yang mengatur berjalannya organisasi

pemerintahan atau negara, dimana norma hukum diletakkan pada posisi yang

supreme (tertinggi) dan menjadi panduan atau pedoman tertinggi suatu negara.

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (Constituer) yang berarti

membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan

suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.15 Selain istilah

konstitusi dikenal pula istilah “konstitusional” dan “konstitusionalisme”. Secara

etimologis antara ketiga kata tersebut inti maknanya sama, namun

penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala

ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dsb),

atau undang-undang dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau

prilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yan tidak didasarkan atau

menyimpang dari konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak

konstitusional.16 Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham

mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.17

Sedangkan istilah undang-undang dasar merupakan terjemahan dari istilah

Grondwet yang berasal dari bahasa Belanda. Kata “wet” diterjemahkan sebagai

15

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta, 2003, hal. 7.

16

Ibid. hal 1.

17

(17)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

undang-undang dan “grond” berarti tanah/dasar dalam bahasa Indonesia.

Selain itu dikenal pula istilah constitution yang dipakai di negara-negara yang

menggunakan bahasa Inggris. Di dalam Praktik, pengertian konstitusi dapat

berarti lebih luas dari pada undang-undang dasar dan adapula yang menyamakan

pengertiannya dengan undang-undang dasar.18

Penyamaan pengertian antara konstitusi dengan undang-undang dasar,

sebenarnya sudah dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik

Inggris 1649-1660) yang menamakan undang-undang dasar itu sebagai

Instrument of government, yaitu bahwa Undang-Undang Dasar dibuat sebagai

pegangan untuk memerintah dan disinilah timbul identfikasi dari pengertian

Konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Herman Heller membagi pengertian

konstitusi menjadi tiga, yaitu :19

18

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Op. Cit, hal. 8.

19

Ibid. hal 11.

1. Die Politische als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah

mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu

kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.

2. Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu

kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung

pengertinan yuridis.

3. Die geshereiben Verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah

(18)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika

pengertian undang-undang dasar itu harus dihubungkan dengan pengertian

konstitusi, maka artinya undang-undang dasar itu baru merupakan sebagian dari

pengertian konstitusi yaitu konstitusi yang tertulis saja. Disamping itu konstitusi

itu tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis

dan politis. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mahfud M.D yang menyatakan

“ Ilmu konstitusi menorehkan catatan tegas bahwa konstitusi itu adalah resultante dari keadaan politik, ekonomi,sosial, dan budaya ketika konstitusi itu dibuat. Oleh sebab itu, konstitusi menggambarkan kebutuhan dan jawaban atas persoalan yang dihadapi ketika itu. Mengingat masyarakat selalu berubah dan mengikuti tantangan yang selalu berubah pula, maka sebagai resultante poleksosbud tertentu konstitusi juga harus membuka kemungkinan untuk diubah.” 20

E.1.1. Materi dan Muatan Kontitusi

A.A. H Struycken berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar (grondwet)

sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formil berisi :21

1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;

2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;

3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu

sekarang maupun untuk masa yang akan datang;

4. Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan

bangsa hendak dipimpin.

20

Moh. Mahfud. M.D, Op. Cit, hal 20.

21

(19)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Menurut J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri dalam

disertasinya menggambarkan secara lebih jelas apa yang sebenarnya menjadi isi

dari konstitusi. Pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu :22

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar

memuat ketentuan-ketentuan mengenai :

pertama, adanya hak-hak asasi manusia dan warga negaranya; kedua,

ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; ketiga, adanya

pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat

fundamental. Dengan demikian apa yang diatur dalam setiap konstitusi

merupakan penjabaran dari ketiga masalah pokok tersebut.

23

1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,

eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal

dan pemerintah negara bagian; prosedur penyelesaian masalah

pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.

2. Hak-hak asasi manusia.

3. Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar.

4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari

Undang-Undang Dasar.

Apabila kita bandingkan pendapat A.A. H Struycken, Steenbeek dan Miriam

Budiadjo, maka pendapat Miriam Budiardjo ini lebih luas cakupannya, yaitu

menyangkut perubahan Undang-Undang Dasar.

22

Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2007, hal. 2.

23

(20)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia pernah digantikan oleh

Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, yang berlaku antara 27 Desember

1949 sampai 17 Agustus 1950 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang

berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 saat pemberlakuan

kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah pemberlakuan

kembali UUD 1945 tampaknya tidak ada keinginan masyarakat untuk

merubahnya lagi, namun ketika tuntutan reformasi bergulir salah satu di antara

tuntutan reformasi adalah perubahan terhadap UUD 1945 yang kemudian dapat

terealisasi pada tahun 1999 sampai tahun 2002. Perubahan tersebut yang kini

dikenal dengan amandemen UUD 1945. Suatu UUD dimungkinkan untuk diubah,

menurut Sri Soemantri :

“perubahan UUD pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan karena, pertama generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang, kedua hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tata negara, ketiga ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar selalu dapat diubah.” 24

Di antara beberapa substansi baru dari amandemen UUD 1945, perubahan

yang signifikan adalah perubahan terhadap fungsi kekuasaan kehakiman di

Amandemen UUD 1945 memberikan dampak terhadap perubahan

ketatanegaraan yang cukup signifikan. Ada substansi baru yang menjadi bagian

dalam perubahan konstitusi tersebut yang meliputi bentuk dan kedaulatan

negara, sistem pemerintahan, tercantumnya secara tegas hak asasi manusia

(HAM), pemilihan umum, dan kekuasaan kehakiman.

(21)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui amandemen ketiga

UUD 194525 telah membentuk lembaga baru dalam kekuasaan kehakiman yaitu

Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan,

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

E.2. Pelembagaan Mahkamah Konstitusi

Berdirinya Mahkamah konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah

dari Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi

yang dapat ditelusuri jauh sebelum keberadaan negara kebangsaan yang modern

(modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum

yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern

Judicial review dapat dilihat sebagai perkembangan yang berlangsung selama 250

tahun sebagai ciri utama Mahkamah Konstitusi, dengan rasa kebencian sampai

dengan penerimaan yang luas.26

25

Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan 7B 26

Maruarar Siahaan, Op. Cit. hal 5.

Revolusi Perancis dan konsep pemisahan

kekuasaan (Separation of Power) dari Roussue dan Montesquieu merupakan titik

perkembangan judicial review ke depan, dan keberhasilan awal tentara Napoleon

serta pengaruh yang berkelanjutan dari budaya dan hukum Perancis, membawa

(22)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

berbeda.27

Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan

judicial review menyebar ke seluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah

Konstitusi terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi Perancis mengadopsi

konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Constituional Council (Council Tetapi lain halnya dengan Amerika Serikat, pemikiran tentang judicial

review bermula setelah kasus Marbury v.s Madison (1803) dan kasus Dred Scott

yang menyebabkan para pembaharu di benua Eropa mulai berpikir mungkin sudah

saatnya lembaga semacam itu dibutuhkan juga di Eropa.

Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad

ke-20 diminta untuk menyusun konstitusi bagi sebuah Republik Austrtia yang

baru yang muncul dari puing kekaisaran Austro Hungarian tahun 1919.

Sependapat dengan Marshall, Kelsen juga mempercayai bahwa konstitusi harus

diperlakukan sebagai norma paling tinggi dan diletakkan sebagai seperangkat

hukum yang superior dari undang-undang biasa. Kelsen mengakui adanya

ketidakpercayaan terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas

penegakan konstitusi yang demikian. Untuk itu ia merancang sebuah mahkamah

khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan

membatalkannya jika bertentangan dengan undang-undang dasar.

Untuk pertama kali pada bulan Februari 1920 Cekoslowakia mendirikan

Mahkamah Konstitusi berdasar model yang dirancang oleh Kelsen. Meski

awalnya Kelsen merancang model tersebut untuk Austria yang baru terwujud pada

Oktober 1920.

27

(23)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Constitutionel). Ketika Uni Soviet runtuh, bekas negara-negara komunis di Eropa

Timur semuanya mereformasi dirinya, dari negara otoriter manjadi demokrasi

konstitusional yang liberal. Maka dilakukanlah revisi terhadap konstitusi dan di

dalam proses tersebut dibentuklah satu lembaga baru yaitu suatu mahkamah yang

terdiri dari pejabat-pejabat kekuasaan kehakiman dengan kewenangan untuk

membatalkan undang-undang dan peraturan lain yang jika ditemukan ternyata

bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yaitu konstitusi. Selain itu, dalam

penyebarannya dan perkembangannya, gagasan pembentukan Mahkamah

Konstitusi diterapkan di berbagai negara dengan model yang berbeda. Secara

umum Jimly Asshidiqqie, membagi perbedaan bentuk pengorganisasian fungsi

Mahkamah Konstitusi ke dalam 6 (enam) kelompok yaitu :28

28

Nurudin Hadi, Op. Cit, hal.13.

Pertama, model

Jerman, yang memiliki Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi

(MK) sebagai dua organ yang sederajat dan terpisah. Kedua, model Perancis,

yang menyebutnya dengan Dewan konstitusi dengan struktur tersendiri di

samping Mahkamah Agung. Ketiga, model Belgia, yang menggunakan istilah

Constitutional Arbitrage, berada di samping Mahkamah Agung yang tersendiri.

Keempat, model Venezuela dimana Mahkamah Konstitusi dilembagakan dalam

struktur Mahkamah Agung. Kelima, model Amerika Serikat yang tidak

memiliki Mahkamah Konstitusi tetapi fungsinya dijalankan oleh Mahkamah

Agung. Keenam, model negara-negara yang menganut sistem supremasi

parlemen yang sama sekali tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi dan

(24)

Undang-Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Undang yang diakui sebagai fungsi pokok terpenting yang menyebabkan

Mahkamah Konstitusi harus ada.

Riwayat pendirian Mahkamah Konstitusi di Indonesia berasal dari

amandemen UUD 1945. Namun, jauh sebelum itu, desakan terhadap keinginan

agar Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk dapat melakukan pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang merupakan kewenangan

Mahkamah Konstitusi telah banyak diperjuangkan oleh ikatan hakim Indonesia.29

Sebenarnya ide agar Mahkamah Agung diberikan tambahan wewenang

untuk dapat melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar merupakan gagasan yang berasal dari pemikiran Muhammad Yamin ketika

sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945. Tetapi ide Yamin itu ditolak oleh

Soepomo yang berpendapat bahwa konsepsi dasar Undang-Undang Dasar 1945

yang sudah disepakati sampai pada tanggal 18 Juli 1945 itu menentukan bahwa

yang dianut itu adalah pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasan. Oleh

karena itu, bangsa kita tidak dapat menrapkan fungsi pengujian undang-undang

karena terkait sekali dengan prinsip supremasi MPR. Selain itu, pengujian

undang-undang juga dianggap “tabu” untuk ditetapkan, karena tugas hakim adalah

menerapkan undang-undang dan bukan menilai atau menguji undang-undang

produk legislatif.30

29

Maruarar Siahaan, Op . Cit, hal 7. 30

Jimly Asshidiqqie, Setahun Mahkamah Konstitusi :Refleksi Gagasan dan Penyelenggaraan, serta Harapan , (dalam) Refly Harun, ed., Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, hal. 5.

Mengenai pandangan atas penolakan Soepomo tersebut, Jimly

(25)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

“…doktrin ini diwarisi atas pengaruh Belanda karena dalam sistem hukum Belanda ada doktrin bahwa undang-undang memang tidak dapat diganggu gugat. Atas dasar itulah, maka Soepomo tidak menerima ide untuk menguji undang-undang oleh Mahkamah Agung. Tetapi, pendapat Yamin juga mempunyai catatan tersendiri, Yamin belum mengemukakan pandangan tentang perlunya dibentuk sebuah mahkamah yang berdiri sendiri sederajat dan di luar Mahkamah Agung. Dia hanya menyebut fungsi untuk menguji ndang-undang itu dan bukan pada institusi baru. Untuk hal itu, dalam pandangan saya pendapat Yamin itu sangat berkaitan dengan pandangan George Jellineck pada penghujung abad 19 yang mengusulkan ide yang sama, agar Mahkamah Agung Austria diberi kewenangan menguji undang-undang meneruskan tradisi yang dibangun dalam tradisi Amerika Serikat sejak John Marshall menjadi ketua Mahkamah Agung di sana. Akan tetapi George Jellineck sendiri pun belum memikirkan mengenai pelembagaan yang berdiri sendiri, yaitu sebuah Mahkamah Konstitusi.”31

Sejak tahun 2000, memang telah ada sebuah Tap MPR No. III/MPR/2000

yang menyerahkan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar

kepada MPR. Namun, selain hal itu bukan merupakan pengujian oleh lembaga

yudisial yang dapat menggambarkan checks and balances, sejalan dengan hukum

baru yang tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai bagian dari peraturan

perundang-undangan, maka pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan pilihan yang

rasional.32

Jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (presiden) pada awal era

reformasi yang tidak terjadi secara mulus melalui proses konstitusional

merupakan kondisi sosial politik yang telah mendorong lahirnya Mahkamah

Konstitusi di Indonesia pada waktu itu.33

31

Ibid

32

Moh. Mahfud. M.D, Loc. Cit. hal 71.

33

Maruarar Siahaan, Op. Cit. hal 9.

Perubahan ketiga UUD 1945 mengdopsi

(26)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

disamping Mahkamah Agung yang kewenangannya diuraikan pasal 24C ayat (1)

dan (2) sebagai berikut :

(1) Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili pada tingkat pertma dan terakhir yang putusannya besiat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, yang kemudian dilanjutkan

pada tanggal 16 Agusuts 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja

secara efektif pada tanggal 19 Agusutus 2003 maka resmilah Indonesia sebagai

Negara ke-79 yang memiliki Mahkamah Konstitusi terpisah dari Mahkamah

Agung.

E. 3. Judicial Review sebagai ciri utama Mahkamah Konstitusi

Judicial review merupakan kewenangan yang identik melekat pada

Mahkamah Konstitusi di beberapa negara termasuk Indonesia. Walaupun di

beberapa negara kewenangan judicial review masih menjadi kewenangan

Mahkamah Agung.

Judicial review merupakan pengujian yang dilakukan terhadap norma

hukum yang dilakukan oleh lembaga yudisial.34

34

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Op. Cit hal .1.

Jika pengujian itu dilakukan oleh

(27)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

pengujian itu dilakukan bukan oleh lembaga peradilan, maka proses pengujiannya

tidak dapat disebut sebagai judicial review. Sebutannya bergantung pada lembaga

mana yang melaksanakan proses pengujian tersebut. Jika pengujian dilakukan

oleh lembaga parlemen maka disebut dengan istilah Legislative review. Jika

pengujiannya dilakukan oleh lembaga eksekutif maka disebut dengan istilah

executive review.35

“Pengujian konstituionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil ataupun materiil. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas.”

Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai lembaga yang

mempunyai kewenangan melakukan judicial review, Indonesia telah memiliki

Mahkamah Agung yang juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun,

judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah judicial

review terhadap peraturan perundangan yang berada di bawah

undang-undang. Sedangkan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

adalah judicial review atas undang-undang terhadap undang-undang dasar atau

dikenal juga dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Jimly

Asshiddiqie menjelaskan bahwa :

36

Dalam rangka pengujian peraturan perundangan di bawah

undang-undang, alat pengukur untuk menilai atau dalam menjalankan kegiatan pengujian

35

Ibid, hal 2.

36

(28)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

itu adalah undang-undang, bukan undang-undang dasar, seperti Mahkamah

Konstitusi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pengujian yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung itu adalah pengujian legalitas berdasarkan undang-undang,

bukan pengujian konstitusionalitas menurut UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan suatu cara yang digunakan dalam mencapai suatu

tujuan untuk menunjang dalam usaha penyusunan dan pembahasan skripsi.

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

Penelitian Kepustakaan (Library Research), dilakukan dengan penelusuran

bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan-bahan hukum primer yang diteliti

adalah berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari undang-undang dasar

dan peraturan perundang-undangan lain yang pernah dan/atau masih diberlakukan

di Indonesia serta putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian

undang-undang. Bahan hukum sekunder yang diteliti adalah berupa karya ilmiah

seperti bahan pustaka, jurnal dan sebagainya.

G. Sistematika Penulisan.

Dalam menguraikan pembahasan, dan untuk dapat lebih dipahami

penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab dan sub-sub bab sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, menguraikan tentang Latar Belakang,

(29)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode

Pengumpulan Data dan Sistematika Penulisan.

BAB II : menguraikan tentang KEWENANGAN

MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR yang terbagi dalam dua sub bab

yaitu a) kewenangan manguji terhadap peraturan

perundang-undangan di Indonesia, b) proses menguji

undang-undang terhadap undang-undang dasar.

BAB III : LEGAL STANDING DALAM PERKARA

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG terbagi dalam tiga

sub bab yaitu a) perkembangan legal standing dalam

hukum acara Indonesia, b) legal standing dalam perkara

pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, c) perbandingan legal standing di

bebebrapa Negara dalam pengujian undang-undang.

BAB IV : PERKEMBANGAN LEGAL STANDING DALAM

PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (STUDI

TERHADAP PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI TAHUN 2003-JANUARI 2007), terbagi

dalam tiga sub bab yaitu a) Intrepretasi hakim tentang hak

(30)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

perorangan warga negara Indonesia, c) Putusan perkara

permohonan yang diajukan oleh badan hukum publik atau

privat, d) Putusan perkara permohonan yang diajukan oleh

lembaga negara.

BAB V : PENUTUP yang memuat kesimpulan dan saran dalam

dua sub bab tersendiri.

BAB II

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

A.Kewenangan Menguji terhadap Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan

perundang-undangan di Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, sebab sebelum lahirnya MK

Indonesia telah memiliki sebuah lembaga peradilan yaitu Mahkamah Agung yang

mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian terhadap peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Kewenangan tersebut berpedoman pada UU

No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 14

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Implementasi dari kedua UU ini

(31)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Tentang Gugatan Uji Materiil.37

Seperti diketahui, Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk

mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat

terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung, melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan

dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan

undang-undang, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang, menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang

berlaku.

Perma tersebut telah menentukan sekaligus

memberi batasan kepada Mahkamah Agung peraturan perundang-undangan mana

yang boleh diuji oleh Mahkamah Agung sebagai wilayah kewenangannya.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi wilayah pengujian Mahkamah

Agung adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seperti

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.

38

Selain kewenangan menguji peraturan perundang-undangan yang dimiliki

Mahkamah Agung tersebut, di Indonesia juga dikenal wilayah lain dalam hal

kewenangan menguji peraturan-perundang-undangan yaitu kewenangan menguji

37

Perma No.1 Tahun 1993 ini diperbaharui oleh Perma No. 1 Tahun 1999 dan terakhir digantikan oleh Perma No. 1 Tahun 2004.

38

(32)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

undang-undang terhadap undang-undang dasar yang merupakan kewenangan

Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945.

Kewenangan menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar yang

dimiliki Mahkamah Konstitusi tersebut bukanlah tanpa batasan, sebab

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi memberi batasan

kepada Mahkamah Konstitusi bahwa undang-undang yang boleh diuji adalah

undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar

1945. Itu berarti Mahkamah Konstitusi tidak berhak untuk menguji

undang-undang yang diundang-undangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945.39

Pada awalnya perkara permohonan pengujian undang-undang

No.004/PPU-I/2003 diajukan untuk menguji Undang-Undang Nomor. 14 Tahun

1985 Tentang Mahkamah Agung yang mendalilkan bahwa pasal 7 ayat (1) huruf Pembatasan yang diberikan oleh pasal 50 Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi tersebut ternyata tidak bertahan lama, melalui putusan MK dalam

perkara permohonan pengujian undang-undang Nomor 004/PUU-I/2003,

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 50 Undang-Undang No.24 Tahun

2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tersebut dikesampingkan dalam pemeriksaan

perkara dimaksud dan Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak terikat dengan

keberadaan pasal tersebut, walaupun pasal 50 Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi tersebut tidak turut dimintakan untuk diuji.

39

(33)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

g undang-undang dimaksud yang memuat syarat untuk diangkat menjadi Hakim

Agung dari hakim karir yang dipandang jauh lebih berat dan diskriminatif

ketimbang syarat-syarat bagi calon hakim dari jalur non karir dalam Pasal 7 ayat

(2).

Dalam pasal 50 UU MK ditentukan bahwa UU yang boleh dimohon untuk

diuji Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang yang diundangkan sesudah

perubahan UUD 1945 yaitu tanggal 19 Oktober 1999. Undang-undang yang

dimohon diuji tersebut di atas, diundangkan pada tahun 1985. Pendapat mayoritas

hakim dalam vonis perkara tersebut berbunyi sebagai berikut :

“……..Pasal 24C ini merupakan dasar kompetensi Mahkamah Konstitusi

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, yang sifatnya limitatif dalam arti hanya apa yang disebut dalam pasal ini sajalah yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Terhadap kewenangan dimaksud di satu pihak tidak dapat ditambahkan kewenangan lain, dan di lain pihak tidak dapat dikurangi kecuali karena adanya perubahan terhadap pasal dimaksud yang terjadi dengan jalan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 37.

(34)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

pelaksanaan Undang-Undang Dasar. In casu dalam perkara permohonan ini adanya Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatur pembatasan kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat menghambat pelaksanaan tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi. Untuk melaksanakan ayat (6) dimaksud pembuat undang-undang mempunyai kewenangan untuk menentukan hal yang terbaik dan dianggap tepat, namun pembentuk undang-undang tidak dapat mengubah hal-hal yang secara tegas telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar, apalagi menyangkut kewenangan lembaga negara yang diatur oleh Undang-Undang Dasar. Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bertentangan dengan doktrin hirarki norma hukum yang telah diakui dan diterima secara universal.”40

Ada beberapa alasan lain yang dikemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi

adalah organ konstitusi dan bukan organ undang-undang dan landasan yang

dipakai adalah Undang-Undang Dasar dan bukan undang-undang. Jika seandainya

pasal 50 adalah delegasi wewenang secara sah yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Dasar maka akan terjadi kekosongan lembaga peradilan yang berwenang

menguji undang-undang sebelum perubahan Undang-Undang Dasar. Disamping

itu jika hal itu dibenarkan akan menciptakan berlakunya tolak ukur ganda dalam

sistem hukum Indonesia dengan tetap membiarkan sah dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat undang-undang yang diberlakukan sebelum perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 walaupun bertentangan dengan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar dan

melanggar hak konstitusional seseorang.41

Terlepas dari pro dan kontra terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang

mengenyampingkan ketentuan Pasal 50 UU No.24 Tahun 2003 Tentang

40

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 004/PUU-I/2003. hal 11 41

(35)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Mahkamah Konstitusi serta dianggap sebagai putusan ultra-petita42.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No.24 Tahun

2003 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003 telah

memberikan legitimasi atas wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji

undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar merupakan tugas

yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal ini tampak dari daftar

permohonan yang masuk dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Permohonan pengujian yang dapat diajukan dapat berupa pengujian formil dan

pengujian materiil.

A.1. Pengujian Formil

Pengujian secara formil disebut secara singkat dalam Pasal 51 ayat (3)

huruf a, yang menyatakan bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas

bahwa “pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”. Pengujian secara

formil akan menguji suatu undang-undang yang dimohonkan untuk diuji atas

dasar kewenangan dalam pembentukan UU dan prosedur yang harus ditempuh

dari tahap drafting sampai dengan pengumuman dalam lembaran negara yang

harus menuruti ketentuan yang berlaku untuk itu.

42

(36)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas

suatu undang-undang dari segi formilnya (formil toetsing) adalah sejauh mana

undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh

institusi yang tepat (appropriate institution). Dari ketiga kriteria ini, Jimly

Asshiddiqie menjabarkan bahwa pengujian formil itu dapat mencakup43

(a) pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan

undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan

atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang; :

(b) pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang;

(c) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang

mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan

(d) pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.

Adapun mengenai prosedur dan tata cara pembentukan suatu

undang-undang telah diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sekaligus sebagai alat uji

formil. Alat uji formil itu dapat terlihat dalam pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dikatakan bahwa :

“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan

43

(37)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

g. Keterbukaan.”

Kecuali mengenai asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat dan

asas-asas keterbukaan maka belum jelas apakah kebatalan (null and avoid) akan

merupakan akibat hukum yang timbul jikalau proses pembentukan

undang-undang tidak memenuhi asas yang disebut dalam UU nomor 10 tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.44

Keempat kategori pengujian formil tersebut di atas dapat disederhanakan

dalam dua kelompok, yakni pengujian atas proses pembentukan undang-undang, Mengenai format atau bentuk undang-undang, lembaga yang mengambil

keputusan dalam proses pembentukannya , serta hal-hal lain juga dinilai dengan

menggunakan ukuran UUD beserta UU tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan sebagaimana dimaksud sebelumnya. Jika misalnya , bila

suatu rancangan undang-undang ditetapkan bukan oleh DPR, melainkan DPD,

tentu tidak boleh disahkan oleh Presiden sebagaimana yang dimaksud oleh

Undang-Undang Dasar 1945. Karena DPD tidak berwenang untuk menentukan

telah dicapainya persetujuan bersama antara Presiden dan DPR atas suatu

undang-undang.

Atau, jika suatu undang-undang telah mendapat persetujuan DPR tanpa

melibatkan pemerintah sama sekali, maka rancangan undang-undang itu pun tidak

dapat disahkan oleh Presiden. Semua ini berkaitan dengan permasalahan

pengujian formil (formele toetsing) suatu undang-undang.

44

(38)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

dan pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Dalam

Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005, pengertian demikian telah

tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) dengan menyatakan bahwa “Pengujian formil

adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal

lain yang tidak termasuk pengujian materiil”. Dengan demikian, hal-hal yang

berkaitan dengan bentuk yang tepat, institusi yang tepat, atau prosedur yang tepat

seperti tersebut di atas, atau yang berkaitan dengan keempat kemungkinan yang

tersebut di atas, dapat dikatakan sebagai pengujian formil atas suatu

undang-undang.

A.2. Pengujian Materil

Selain pengujian formil, dalam pengujian suatu UU dikenal pengujian

materil yaitu pengujian terhadap isi atau substansi dari suatu UU baik terhadap

ayat, pasal atau bab yang menjadi bagian dari suatu UU maupun terhadap

keseluruhan isi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD.

Uji materil yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap suatu UU dapat

menyatakan satu atau beberapa ayat, pasal atau bab bertentangan dengan UUD

yang karenanya dinyatakan tidak berlaku mengikat melalui putusan Mahkamah

Konstitusi. Ada kalanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materil suatu

UU hanya membatalkan beberapa bagian saja dari keseluruhan isi suatu UU

seperti ayat, pasal atau bab atau juga hanya beberapa kata saja dalam suatu ayat.

Seperti dalam perkara permohonan pengujian undang-undang nomor

(39)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

kalimat “… atau terjadi sanggahan”, Pasal 62 ayat (1) dan (2) untuk bagian anak

kalimat “… KPI bersama …”, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4252) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

Pengujian materil tidak hanya dapat membatalkan beberapa bagian dari isi

suatu undang-undang, bahkan dapat membatalkan suatu undang-undang secara

keseluruhan. Hal tersebut terjadi apabila beberapa pasal yang dinyatakan

bertentangan dengan UUD merupakan pasal-pasal jantung atau jiwa dari

undang-undang dimaksud. Sebab apabila pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan

maka telah merusak seluruh sistem asas undang-undang tersebut dan walaupun

diberlakukan dengan hanya menghilangkan beberapa pasal yang dinyatakan

bertentangan maka dapat dipastikan UU tersebut tidak bisa dijalankan secara

efektif. Hal ini dapat dilihat dalam perkara pengujian undang-undang nomor 20

Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan dimana majelis hakim menyatakan

undang-undang tersebut secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat melalui putusan MK nomor 001-021-022/PUU-I/2003 sebagaimana

dapat dilihat dalam kutipan putusan tersebut sebagai berikut :

(40)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Menimbang bahwa meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68, khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia.”45

(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.

B. Proses Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Dalam BAB V Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi yang memuat ketentuan beracara di Mahkamah Konsttusi

telah merumuskan prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi termasuk di

dalamnya ialah prosedur pengujian undang-undang terhadap undang-undang

dasar.

Pasal 28 UU Mahkamah Konstitusi telah merumuskan ketentuan umum

dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi bagi seluruh perkara di Mahkamah

Konstitusi sebagai berikut :

(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.

(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahka mah Konstitusi. (4) Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah

Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas

45

(41)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.

(5) Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(6) Tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Proses pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar diawali

dengan adanya pengajuan permohonan pengujian undang-undang yang telah

dinyatakan memenuhi kelengkapan permohonan serta telah terdaftar dalam buku

registrasi Mahkamah Konstitusi.46Setelah itu Mahkamah Konstitusi menetapkan

hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja

setelah permohonan dicatat dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi.

Penetapan hari sidang dimaksud diberitahukan kepada pemohon dan diumumkan

kepada masyarakat.47 Pemberitahuan kepada pemohon sekaligus sebagai

panggilan sidang yang harus diterima pemohon paling lambat 3 (tiga) hari

sebelum hari sidang.48

46

Pasal 29,30,31,32 dan Pasal 33 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316)

47

Pasal 34 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316)

48

Pasal 9 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005

Kemudian dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di

persidangan.

(42)

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh panel hakim yang

sekurang-kurang terdiri dari 3 (tiga) orang hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang

terbuka untuk umum. Selain itu pemerksaa pendahuluan dapat pula dilakukan

dalam sidang pleno yang dihadiri 7 (tujuh) orang hakim konstitusi.49

(1) Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan.

Selanjutnya

Pasal 11 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 menentukan beberapa hal yang

harus dilakukan hakim konstitusi dalam pemeriksaan pendahuluan sebagai berikut

:

(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

(3) Nasihat sebagaimana dimaksud ayat (2) juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.

(4) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.

(5) Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim untuk proses selanjutnya.

(6) Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat (5) termasuk pula usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa perkara dalam hal :

a.memiliki kesamaan pokok permohonan; b.memiliki keterkaitan materi permohonan atau; c.pertimbangan atas permintaan Pemohon;

(7) Pemeriksaan penggabun

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan tanah (soil) berarti bahan atau material di permukaan atau di bawah permukaan yang menyusun dan membentuk lahan di permukaan bumi. Berdasarkan pengertian tersebut,

Puji syukur atas karunia yang Allah SWT berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU

Pembuatan dan karakterisasi material magnetik berbasis mill scale limbah industri baja dengan penambahan 1, 3, 5, 7 dan 9% wt FeMo telah dilakukan.

1. Pesan dakwah tentang aqidah dalam tradisi Mappadendang di Desa Kebo Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng. Adalah keimanan kepada Allah yang ditekankan pada sifatnya yang

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan: rangkaian pelaksanaan acara, jenis makanan yang disajikan, alat yang digunakan untuk menghidang dan menyajikan makanan dan

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kemudahan dalam penerapan metoda down-tilting antenna karena dilakukan secara jarak jauh, mengurangi kebutuhan banyak

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan