• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PERKEMBANGAN LEGAL STANDING DALAM PUTUSAN-

A. Intrepretasi Hakim Tentang Hak Konstitusional

Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pemeriksaan permohonan pengujian undang-undang selalu terlebih dahulu memeriksa apakah permohonan tersebut adalah benar merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, dan kemudian dilanjutkan dengan memeriksa legal standing pemohon.

Pemeriksaan legal standing pemohon selalu didasari oleh Pasal 51 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa yang dapat

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

menjadi pemohon adalah para pihak yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang, dimana para pemohon dimaksud merupakan perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik dan privat, atau lembaga negara. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menguraikan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Hak tersebut timbul oleh karena Undang- Undang Dasar, yang disebut sebagai hak dasar. Lebih lanjut mengenai hak dasar ini dikemukakan oleh Ronald Dowrkin ( yang dikutip dari salah satu putusan MKRI) :

Bahwa mengenai hak konstitusional ini, patut disimak pendapat Ronald Dworkin (1978 : 191) “…constitutional rights that we call fundamental

like the right of free speech, are suppose to represent rights against the government in the strong sense; that is the point of the boast that our legal system respects the fundamental rights of citizen”. Ditambahkan

oleh Dworkin (1985 : 300) “Every citizen has a constitutional rights that

he not suffer disadvantage, at least in the competition for any public benefit, because the race or religion or sect or region or other natural artificial group to which he belongs is the object of prejudice or contempt”. Juga dikemukakan oleh Dworkin (1985 : 395), “The constitution, as a whole, defines as well as commands the conditions under which citizens live in a just society, and it makes central to these conditions that each citizen be able to vote and participate in the politic as the equal any other. Free speech is essential to equal participation, but so is the right of each citizen that others, whose access to information may be superior to his, not be prevented from speaking to him”.101

101

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

Pasal 51 tersebut telah mensyaratkan bahwa para pihak yang merasa hak konstitusionalnya dirugikanlah yang dapat menjadi pemohon. Dalam menentukan apakah satu pihak telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya suatu undang-undang, hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat berbeda tentang hal ini dalam tiap putusannya bergantung kepada permohonan yang sedang diperiksa sebab kerugian hak konstitusional yang didalilkan dari undang- undang yang dimohonkan untuk diuji harus dijabarkan menurut hak konstitusional yang telah ditentukan dalam UUD 1945. Oleh karena setiap putusan merupakan penjabaran dari pemeriksaan pengujian undang-undang yang berbeda, maka menghasilkan penafsiran dan interpretasi hakim yang berbeda pula dalam tiap putusannya. Sebagai contoh dalam Putusan MK No. 001/PUU- II/2004102

“Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai para Pemohon untuk mengajukan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 karena tidak terbukti bahwasannya hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya Pasal 4 , Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Para Pemohon secara tegas telah

menyatakan dalam permohonannya bahwa mereka adalah calon pemilih dan bukan pimpinan partai politik ataupun calon Presiden

, Mahkamah Konstitusi berpendapat :

102

Pengujian Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum tahun 2004. Dengan demikian, kerugian hak konstitusional para Pemohon tidak terbukti, sehingga para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan”

Demikian pula halnya dengan Putusan MK No. 008/PUU-II/2004103

“bahwa Para Pemohon tidak memiliki legal standing, karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2003. Suku kata “nya” dalam anak kalimat “...yang menganggap kewenangan konstitusionalnya” yang tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) undang-undang aquo, mengandung arti bahwa kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik dan merupakan kerugian aktual atau potensial yang mempunyai kaitan yang cukup jelas dengan

, dengan KH.Abdurrahman Wahid sebagai pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat :

“Bahwa para Pemohon menganggap hak konstitusional mereka dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 6 huruf d dan s Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003;

Pemohon I, K.H. Abdurrahman Wahid, sebagai perorangan warga negara Indonesia yang diusulkan sebagai calon Presiden oleh Partai Kebangkitan Bangsa maupun sebagai Ketua Umum Dewan Syuro Partai

Kebangkitan Bangsa, memiliki kedudukan hukum (legal standing) guna mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 6 huruf d, atau keseluruhan Pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden”

pendapat dua hakim yang berbeda (dissenting Opinion) dalam Putusan MK No. 003/PUU-I/2003 yang merupakan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara menyatakan pula :

103

Pengujian Pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

berlakunya undang-undang tersebut. Dalam kaitan ini kerugian yang dialami oleh Pemohon a quo tidak spesifik dan tidak cukup jelas kaitannya dengan berlakunya undang-undang tersebut, karena kerugian tersebut bersifat umum yang dialami oleh semua pembayar pajak, sementara itu kaitan antara pajak yang dibayar oleh Pemohon a quo dengan legalisasi surat utang negara tidak menunjukkan kaitan yang cukup (sufficient). Lagipula kerugian yang mungkin dialami oleh Pemohon a quo bukanlah kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud oleh Penjelasan Pasal 51 ayat (1), melainkan kerugian sebagai akibat dari adanya kebijakan pemulihan perekonomian nasional, sebagaimana akan diuraikan dalam Pokok Perkara”

Begitu pula halnya dengan pendapat yang berbeda dari salah satu hakim Mahkamah Konstitusi H.A.S.Natabaya dalam Putusan MK No. 011/PUU-III/2005 yang merupakan pengujian terhadap Pasal 17 ayat (1), (2) dan Pasal 49 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional :

”Memperhatikan Pasal 49 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 dan penjelasan Pasal 49 ayat (1), yang berbunyi “Dana pendidikan selain gaji pendidik

dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD, (Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap)”. Dengan

adanya penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003, tidaklah melahirkan kerugian hak konstitusional Pemohon yang diatur oleh UUD 1945, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU MK. Jikapun dianggap adanya kerugian hak konstitusional Pemohon, namun kerugian Pemohon bukan lahir dari adanya undang-undang yang dimohonkan. Dengan kata lain tidak ada sebab akibat (causal verband) antara kerugian Pemohon dengan berlakunya undang-undang a quo”

Lain halnya pendapat H.A.S.Natabaya dibandingkan dengan pendapat mayoritas hakim sebagai berikut :

”bahwa para Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional itu adalah spesifik dan faktual, karena telah dialami oleh para Pemohon sebagai wali murid, guru, dosen, pelajar dan mahasiswa, antara lain berupa:

a. Wajib belajar yang seharusnya dibiayai oleh negara dan tidak boleh memungut biaya pada kenyataannya belum sepenuhnya dibiayai oleh negara dan tetap saja memungut biaya dari siswa/wali murid;

b. Tenaga kependidikan dan pendidik yang seharusnya berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesehatan yang pantas dan memadai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas,

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

pada kenyataannya masih banyak mendapat penghasilan jauh di bawah upah minimun regional/Kabupaten/Kota;

c. Sarana dan prasarana sekolah masih belum bisa terpenuhi di daerah-daerah yang tergolong kurang mampu;

d. Subsidi pemerintah terhadap lembaga pendidikan swasta masih sangat rendah, termasuk pada sekolah swasta yang menyelenggarakan program wajib belajar;

e. Sumbangan dana pemerintah terhadap pendidikan formal dan non formal dan pendidikan yang berbasis kemasyarakatan juga masih sangat rendah; … Menimbang bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas, mayoritas Hakim Konstitusi berpendapat para Pemohon memiliki legal standing sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK.”

Sejak Putusan MK No.006/PUU-III/2005 dan 010/PUU-III/2005, Mahkamah Konstitusi telah merumuskan secara lebih ketat persyaratan kerugian konstitusional pemohon yaitu :

a. Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. Bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan suatu Undang-undang yang diuji;

c. Bahwa kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

Dengan ditetapkannya 5 (lima) syarat tambahan tersebut tidak serta merta membuat hakim Mahkamah Konstitusi menerapkan kelima syarat tersebut secara kaku atau bersifat kumulatif secara mutlak bahwa untuk dapat dinyatakan pemohon mengalami kerugian konstitusional harus memenuhi semua unsur yang telah ditetapkan tersebut. Namun, bagaimana penilaian hakim sangat bergantung

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

kepada kasus konkritnya di lapangan. Berikut ini substansi beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menggambarkan penilaian hakim dalam menerapkan kelima syarat tersebut.

Para Pemohon I dalam Putusan MK No.011-017/PUU-I/2003104, 018/PUU-III/2005105, 009/PUU-IV/2006106

“…bahwa walaupun benar Pemohon mempunyai kepentingan tetapi kerugian yang didalilkan bukan merupakan kerugian akibat berlakunya

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002, melainkan akibat keputusan

yang diambil oleh Departemen Kehakiman dan HAM RI, sehingga tidak harus dinyatakan tidak memiliki legal

standing sebab hakim MK menganggap bahwa pemohon tidak memiliki

keterkaitan langsung ataupun hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang. Untuk lebih rinci berikut Putusan MK No.011-017/PUU-I/2003 :

“Bahwa Para Pemohon I … , tidak memiliki kedudukan hukum (legal

standing) guna tampil selaku para pemohon pengujian undang-undang

karena tidak terbukti terdapat adanya keterkaitan sebab akibat

(causal verband) yang menunjukkan bahwasannya hak konstitusional

mereka dirugikan oleh berlakunya Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Para Pemohon dimaksud bukan bekas Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk organisasi massanya, dan bukan pula orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G.30.S./PKI serta bukan bekas anggota organisasi terlarang lainnya. Oleh karena itu, mereka tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga permohonannya tidak dipertimbangkan”

Begitu pula halnya dengan putusan MK No. 003/PUU-II/2004 :

104

Pengujian Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

105

Pengujian Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

106

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

memenuhi pengertian kerugian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003…”

Adapula beberapa putusan MK yang menyatakan bahwa pemohon memiliki

legal standing disebabkan oleh kerugian yang dimaksud dalam perkara a quo

bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, misalnya dalam putusan MK No. 009-014/PUU-III/2005107

Begitu pula halnya dengan Putusan MK 021/PUU-III/2005

dengan kutipan putusan sebagai berikut :

“Pemohon mendalilkan bahwa kerugian konstitusional itu adalah spesifik, yaitu hanya berlaku bagi Notaris dan telah terjadi (faktual) antara lain dengan ditolaknya permohonan para Pemohon untuk mendaftarkan HNI sebagai badan hukum oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan (sekarang Departemen Hukum dan HAM), dan penolakan itu potensial akan dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM terhadap permohonan serupa yang diajukan oleh organisasi Notaris selain HNI. Seandainya permohonan para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah, maka kerugian yang dialami dan diperkirakan oleh para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi.”

108

Dalam Putusan MK No.020/PUU-IV/2006

:

“Menimbang bahwa hak konstitusional Pemohon sebagai Penerima Fidusia yang berupa hak milik atas barang yang dijaminkan fidusia telah dianggap dirugikan oleh berlakunya dan diterapkannya UU Kehutanan, khususnya Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya yang berakibat barang-barang dimaksud dirampas untuk negara, yang berarti telah jelas ada hubungan kausal antara hak konstitusional Pemohon dan berlakunya Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan, serta telah nyata pula bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon bersifat spesifik dan aktual yang apabila permohonan dikabulkan diyakini kerugian tersebut tidak akan terjadi.”

109

107Pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

108 Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah diubah berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang.

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

”Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berarti diakui bahwa sebelum diundangkannya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM) tanggal 23 November 2000, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum jelas kapan dan di mana terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut, sehingga belum jelas pula siapa-siapa pelaku dan siapa-siapa yang menjadi korbannya. Oleh karenanya tidak menutup kemungkinan para Pemohon adalah korban atau malah justru dapat pula disangka sebagai pelakunya. Dengan demikian para Pemohon secara potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan mengalami kerugian hak konstitusional dengan berlakunya UU KKR. Atas dasar pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat, kalau sekiranya nanti ternyata peristiwa G30S/PKI seperti yang didalilkan oleh para Pemohon ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian terhadap undang-undang a

quo”

Selain kelima syarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.006/PUU-III/2005 dan 010/PUU-III/2005 tersebut, ada hal lain yang juga sering dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi untuk menerima legal standing pemohon yaitu pertimbangan bahwa warga negara sebagai pembayar pajak (tax payers) dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 ayat (1) undang-undang nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 sebagai berikut :

“…Kerugian hak konstitusional tidak selalu harus bersifat aktual, tetapi bisa bersifat potensial. Bahkan sesungguhnya, setiap warga negara

pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan

setiap undang-undang yang terkait dengan bidang perekonomian yang mempengaruhi kesejahteraannya.”

dan putusan MK No.003/PUU-I/2003

109Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Diki Altrika : Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 - Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang), 2008.

USU Repository © 2009

“…bahwa Para Pemohon a quo adalah warga masyarakat pembayar

pajak (tax payers), sehingga dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal

51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal dimaksud sesuai dengan adagium no taxation without participation dan sebaliknya no participation

without tax, sehingga hak dan kepentingan mereka terpaut pula dengan

pinjaman (loan) yang dibuat negara cq pemerintah dengan pihak lain yang akan membebani warga negara sebagai pembayar pajak…”

Disamping unsur kerugian konstitusional, kualifikasi kelompok para pihak yang berhak mengajukan permohonan juga sangat memengaruhi hakim dalam menentukan untuk menerima atau menolak legal standing yang didalilkan pemohon. Interpretasi hakim dalam menilai kualifikasi pemohon apakah termasuk dalam kualifikasi yang ditentukan Pasal 51 ayat (1) UU MK bergantung kepada alasan yang didalilkan pemohon serta kasusnya di lapangan.

B. Putusan Perkara Permohonan yang Diajukan Oleh Perorangan Warga

Dokumen terkait