• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses pemurnian merupakan langkah yang perlu dilakukan dalam produksi

edible oil dan produk berbasis lemak. Tujuan dari proses ini adalah untuk menghilangkan pengotor dan komponen lain yang akan mempengaruhi kualitas dari produk akhir/jadi. Kualitas produk akhir yang perlu diawasi adalah bau, stabilitas daya simpan, dan warna produk.

Dalam sudut pandang industri, tujuan utama dari pemurnian adalah untuk merubah minyak kasar/mentah menjadi edible oil yang berkualitas dengan cara menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan sampai level yang diinginkan dengan cara yang paling efisien. Pengotor tersebut mungkin diperoleh selama proses hulu, yaitu ekstraksi, penyimpanan atau transportasi dari minyak kasar/mentah dari lapangan ke pabrik.

Proses pemurnian yang tepat sangat penting dilakukan dalam rangka untuk memproduksi produk akhir yang berkualitas tinggi dalam rentang spesifikasi yang telah ditentukan dan sesuai keinginan pelanggan. Ada dua tipe dasar teknologi pemurnian yang tersedia untuk minyak:

(i) Pemurnian secara kimia (alkali)

(ii) Pemurnian secara fisik

Perbedaan diantara kedua tipe tersebut didasarkan pada jenis bahan kimia yang digunakan dan cara penghilangan asam lemak bebas. Pemurnian secara fisik tampaknya pada prakteknya menggantikan penggunaan teknik pemurnian menggunakan bahan kimia (alkali) karena tingginya asam lemak bebas pada

12

minyak yang dimurnikan dengan cara kimia. Proses deasidifikasi (deodorisasi)

pada proses pemurnian secara fisik mampu mengatasi masalah tersebut.

Terpisah dari hal tersebut, menurut literatur, metode ini disarankan karena diketahui cocok untuk minyak tumbuhan dengan kadar fosfat yang rendah seperti minyak sawit. Dengan demikian, pemurnian secara fisik terbukti memiliki efisiensi yang lebih tinggi, kehilangan yang lebih sedikit (Nilai Pemurnian < 1.3), biaya operasi yang lebih rendah, modal yang lebih rendah dan lebih sedikit bahan untuk ditangani. Nilai pemurnian (NP) adalah parameter yang digunakan untuk memperkirakan berbagai tahap pada proses pemurnian. Faktor ini tergantung pada hasil produk dan kualitas dari input yang dihitung seperti berikut ini :

Nilai Pemurnian = %

NP biasanya dikuantifikasi untuk berbagai tahap dalam proses pemurnian secara sendiri-sendiri dan pengawasan NP dalam pemurnian biasanya berdasarkan berat yang dihitung dari pengukuran volumetrik yang disesuaikan dengan suhu atau menggunakanaccurate cross-checked flow meters.

Secara umum, pemurnian secara kimia memerlukan tahap proses, peralatan dan bahan kimia yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pemurnian secara fisik. Diagram proses untuk proses pemurnian secara kimia dan secara fisik digambarkan pada Gambar 2.1 (Hui, 1996).

14

Tindakan fosfat pengemulsi adalah penyebab utama yang menyebabkan ketidakstabilan oksidatif dari minyak sawit mentah (CPO). Dalam hal ini, minyak sawit mentah yang masuk pertama kali dipanaskan sampai suhu sekitar 90 ºC-110 ºC sebelum diberikan asam fosfat. Kadar asam fosfat biasa digunakan adalah dalam kisaran 0,05-0,1% minyak berat dengan konsentrasi asam sekitar 80-85%. Hal ini dimaksudkan untuk menguraikan fosfatida non-hydratable serta mengentalkan fosfat dan membuat larut dengan demikian mudah dihilangkan pada saat pemucatan. Jumlah asam fosfat yang berlebihan perlu dihindari karena dapat menyebabkan kenaikan asam fosfat dan mungkin akan sulit untuk dihapus pada saat proses pemurnian selanjutnya.

Selama proses pemucatan di kilang minyak sawit, minyak degummed diperlakukan dengan menggunakan bleaching earth dan dipanaskan sampai suhu sekitar 100 ºC sebelum memasuki vakum bleaching. Dosis lempung aktif asam yang digunakan biasanya dalam kisaran 0,5-2,0% berat dari minyak dan waktu kontak dengan agitasi kontinyu adalah sekitar 30 menit.

Selama tahap ini, mengidentifikasi logam kompleks seperti besi dan tembaga, pigmen, fosfat, dan produk oksidasi dihapus oleh efek serap dari bleaching earth. Setiap sisa dari asam fosfat dikeluarkan selama tahap ini juga. Minyak dipucatkan kemudian disaring pada filter industri seperti piringan dan bingkai saringan tekan atau vakum filter daun. (Leong,1992)

15

2.5. Karotenoid

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga serta larut dalam minyak. Karena itulah, karotenoid sering dibuat menjadi konsentrat yang dimanfaatkan sebagai pewarna makanan yang aman dan alami sekaligus menjadi suplemen provitamin A.

Karotenoid terdapat dalam kloroplas (0.5%) bersama-sama dengan klorofil (9.3%) terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel

palisade. (Winarno, 1997)

Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430–480 nm.

(Schwartz dan Elbe, 1996) Komponen karotenoid memiliki sifat penyerapan panjang gelombang tertentu. Pada pelarut yang berbeda, karotenoid akan menyerap panjang gelombang yang berbeda secara maksimum. Sifat penyerapan ini dijadikan dasar untuk menentukan jumlah karotenoid secara spektrofotometri.

(Simpson et al., 1987) PORIM (1995) telah menguji bahwa karotenoid minyak sawit yang dilarutkan pada heksana mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 446 nm. Menurut Meyer (1966), karotenoid dibagi atas empat golongan, yaitu: 1) karotenoid hidrokarbon, C40H56 seperti α, β, dan γ karoten dan likopen; 2)

xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil antara lain kriptosantin, C40H55OH dan lutein, C40H54(OH)2; 3) asam karotenoid yang

16

mengandung gugus karboksil; dan 4) ester xantofil asam lemak, misalnya zeasantin.

Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air (Ranganna, 1979). Menurut Meyer (1966) sifat fisika dan kimia karotenoid adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzena, karbon disulfida dan petroleum eter, tidak larut dalam dalam etanol dan metanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, dan mempunyai ciri khas absorpsi cahaya. Reaksi oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna karotenoid dalam makanan.

(Schwartz dan Elbe, 1996)

Reaksi oksidasi karotenoid juga dipicu oleh suhu yang relatif tinggi. Karotenoid mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu di atas 60oC (Naibahi, 1983). Ikatan ganda pada karotenoid menyebabkan percepatan laju oksidasi karena sinar dan katalis logam, seperti tembaga, besi dan mangan

(Walfford, 1980)

Karotenoid lebih tahan disimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh, karena asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas dibandingkan dengan karotenoid. Sehingga apabila ada faktor yang menyebabkan oksidasi, asam lemak akan teroksidasi terlebih dahulu dan karotenoid akan terlindungi lebih lama.

17

(Chichester et al., 1970)

β-karoten sering juga disebut anti xerophtalmia karena defisiensi β

-karoten dapat menimbulkan gejala rabun mata. β-karoten dalam minyak sawit selain merupakan provitamin A juga dapat mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini, meningkatkan imunitas tubuh, dan mengurangi terjadinya penyakit degenerative (Muhilal 1991)

Tubuh manusia mempunyai kemampuan mengubah sejumlah besar β

-karoten menjadi vitamin A (retinal), sehingga β-karoten ini disebut provitamin A.

Mengkonsumsi β-karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi β-karoten dosis tinggi

dilakukan pada diet intake. (Winarno, 1997)

Menurut Gross (1991), belum terdapat metode standar untuk ekstraksi karotenoid. Namun untuk mendapatkan hasil yang optimal,sebaiknya digunakan bahan yang segar, tidak rusak, dan contoh yang digunakan harus terwakili. Selain itu, ekstraksi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kerusakan akibat oksidasi. Karena itulah dicoba dilakukan ekstraksi sederhana dengan menggunakan teknik fraksinasi. Banyak metode lain yang sudah dilakukan untuk memperoleh konsentrat karotenoid dari minyak kelapa sawit.

18

2.6. Spektrofotometri

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intesitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbansi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energy secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang.

Kelebihan spektrofotometer dibandingkan dengan fotometer adalah panjang gelombang sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating ataupun celah optis. Pada fotometer filter, sinar dengan panjang gelombang yang diinginkan diperoleh dengan berbagai filter dari berbagai warna yang mempunyai spesifikasi melewatkan trayek panjang

gelombang tertentu. (Khopkar S.M., 1984).

Spekrofotometri UV-Visibe adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190 - 380 nm) dan sinar tampak (380–780 nm) dengan memakai instrumen spektrofometer.

Radiasi ultraviolet jauh (100 – 190 nm) tidak dipakai, sebab pada daerah radiasi tersebut diabsorbansi oleh udara. Adakalanya spektofotometer UV-Visible yang beredar diperdagangan memberikan rentangan pengukuran panjang gelombang 780 nm merupakan daerah radiasi inframerah. Oleh sebab itu pengukuran diatas panjang gelombang 780 nm harus dipakai detektor dengan kualitas sensitif terhadap radiasi inframerah.

19

Spektrofometer UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisa kuantitatif dibanding kualitatif.

Spkektofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang berupa larutan gas atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan harus diperhatikan beberapa persyaratan pelarut yang dipakai antara lain :

• Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna

• Tidak terjadi interaksi molekul dengan senyawa yang dianalisis • Kemurniannya harus tinggi

Pada umumnya pelarut yang digunakan dalam analisi spektrofotometer UV-Vis adalah air, etanol, sikloheksana, isopropanol. Namun demikian perlu diperhatikan absorbsi pelarut yang dipakai daerah UV-Vis yaitu polaritas pelarut yang dipakai, karena akan sangat berpengaruh terhadap pergeseran spektrum molekul yang dianalisis.

Panjang gelombang dimana akan terjadi eksitasi elektronik memberikan absorben yang maksimum sebagai panjang gelombang maksimum. Penentuan panjang gelombang maksimum yang tetap dapat dipakai untuk identifikasi molekul bersifat karakteristik sebagai data sekunder. Dengan demikian spektrum UV-Vis dapat dipakai untuk tujuan kualitatif (data sekunder) dan kuantitatif.

20

Analisis dengan spektofotometer UV-Vis selalu melibatkan pembacaan absorban radiasi elektromagnetik yang diteruskan. Keduanya dikenal sebagai absorben tanpa satuan dan ditransmisikan dalam satuan persen (Mulya, M, 1995).

Panjang gelombang cahaya UV atau cahaya tampak bergantung pada promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap cahaya dalam daerah tampak yakni (senyawa bewarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan daripada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang UV

yang lebih pendek. (Fessenden, 1986)

Pada kenyataan, spektrum UV-Visible yang merupakan korelasi antara absorbansi (sebagai ordinat) dan panjang gelombang (sebagai absis) bukan merupakan suatu pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum UV-Vis tersebut disebabkan oleh terjadinya eksitasi elektronik lebih dari suatu macam pada gugus molekul yang sangat kompleks. (Ibnu ghalib dan Abdul, R,. 2007)

Hukum yang mendasari spektrofotometri adalah hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer adalah gabungan antara Hukum Lambert dan Beer.

Hukum Lambert : log = ( )

Hukum Beer : log = ( )

Subtitusikan hubungan-hubungan dasar ini kedalam hukum Lambert dan Beer menghasilkan :

21

log = ( ) dan log = ( )

(Lambert) (Beer) T = P/Po = -abc A = Po/P = abc Dimana : T = Transmitansi A = Absorbansi b = Panjang Larutan c = Konsentrasi Larutan a = Serapan Molar

Berdasarkan persamaan diatas maka diperoleh gabungan hukum yaitu :

-log T = A = abc

Karena dari hukum Beer, absorbansi adalah berbanding langsung terhadap konsentrasi, maka log T harus digambarkan terhadap c untuk memperoleh suatu grafik linier.

-log T =ɛ bc dan A =ɛ bc

Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditansmisikan atau yang diabsorbansi. (Underwood, A.L., 1981)

Bab 3

Dokumen terkait