• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemurnian N-Asetil glukosamin

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL (Halaman 47-55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Pemurnian N-Asetil glukosamin

Hasil degradasi secara enzimatis kitin jenis amorf untuk membentuk N-Asetil glukosamin masih menunjukkan adanya senyawa yang lain pada kromatogram HPLC. Untuk memperoleh N-Asetil glukosamin dengan tingkat kemurnian yang tinggi, maka perlu dilakukan pemurnian. Pada penelitian ini akan dilakukan pemurnian dengan menggunakan beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Pelarut yang digunakan untuk pemurnian N-Asetil glukosamin berdasarkan urutan kepolaran adalah : aseton, etanol, metanol dan asetonitril.

Produksi N-Asetil gllukosamin dilakukan pada kondisi optimum, yaitu pada konsentrasi substrat 1,2 % , konsentrasi enzim sekitar 1 U/mL dan waktu inkubasi 8 jam. Hasil yang diperoleh pada filtrat selanjutnyaa masing-masing dimurnikan dengan menambahkan pelarut metanol, etanol, aseton, dan asetonitril. Setelah ditambahkan pelarut tersebut masing-masing filtrat membentuk endapan, dan diduga pada endapan tersebut diduga salah satunya merupakan N-Asetil glukosamin. Hal ini telah dibuktikan setelah dilakukan pengujian terhadap filtrat tidak menunjukkan adanya puncak dari N-Asetil glukosamin (Gambar 5.11).

36 Adapun endapan yang diperoleh tersebut selanjutnya dilarutkan dengan aquades untuk dianalisis kandungan N-Asetil glukosamin seperti pada Gambar 5.12 – 5.14. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa masih terdapat banyak sekali senyawa-senyawa yang lain, sehingga perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut dengan melakukan variasi pelarut.

Gambar 5.13 Hasil analisis bagian endapan pada tahap pemurnian untuk aseton (A), etanol (B), dan asetonitril (C)

C B A

37 Gambar 5.14 Hasil analisis bagian endapan pada tahap pemurnian untuk metanol Selanjutnya dilakukan pemurnian dengan variasi pelarut dengan asetonitril sebagai pelarut utamanya, hal ini dikarenakan asetonitril mempunyai kepolaran yang lebih tinggi dan dapat menunjukkan puncak N-Asetil glukosamin lebih baik dibandingkan pelarut yang lain. Hasil pemurnian dengan menggunakan metanol yang dilanjutkan dengan asetonitril pada masing-masing tahapan seperti pada Gambar 5.15 (Tahapan pemurnian bertingkat selengkapnya seperti pada Lampiran 9). Filtrat yang ditambahkan dengan metanol membentuk endapan dan filtrat. Endapan yang diperoleh diduga mengandung N-Asetil glukosamin selanjutnya di larutkan dengan aquades dan semua endapan larut sempurna kemudian ditambahkan kembali asetonitril. Hal ini bertujuan untuk memisahkan kembali N-Asetil glukosamin dengan pelarut yang lebih polar. Setelah ditambahkan asetonitril ternyata diperoleh kembali endapan dan filtrat yang terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan bawah diperkirakan merupakan asetonitril yang hanya sedikit atau bahkan tidak mengandung N-Asetil glukosamin (Gambar 5.15 D). Lapisan atas merupakan air selanjutnya ditambahkan kembali asetonitril dan membentuk endapan dan filtrat yang masih mengandung N-Asetil glukosamin dalam air (Gambar 5.15B). Endapan yang terbentuk selanjutnya dilarutkan aquades dan ditambahkan asetonitril tetapi sudah tidak membentuk endapan. Diperkirakan pada larutan tersebut diperoleh N-Asetil glukosamin yang tinggi seperti ditunjukkan pada Gambar 5.15C (hasil selengkapnya di Lampiran 10).

38 Gambar 5.15 Hasil N-Asetil glukosamin pada pemurnian bertahap untuk NAG standar (A),

filtrat pada tahap akhir (B), endapan pada tahap akhir (C) dan filtrat pada asetonitril (D) A

D C B

39 Pemurnian dengan metanol yang dilanjutkan dengan asetonitril memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemurnian sebelumnya yang ditunjukkan dengan adanya puncak dengan waktu retensi yang sama dengan waktu retensi N-Asetil glukosamin standar (Gambar 5.15 A,B dan C). N-Asetil glukosamin standar menunjukkan dua puncak, dimungkinkan adanya senyawa lain dikarenakan N-Asetil glukosamin yang terhidrolisis dalam selang waktu tertentu. Pada bagian B dan C muncul puncak lain pada waktu retensi sekitar 2,7 menit diperkirakan puncak tersebut merupakan oligomer dari N-Asetil glukosamin yang terdegradasi dari kitin. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sashiwa et al (2002) yang menyebutkan bahwa degradasi polimer kitin secara enzimatis dengan endokitinase secara perlahan akan dihasilkan oligosakarida dan selanjutnya dengan eksokitinase akan dihasilkan N-Asetil glukosamin. Penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa pola degradasi hidrolisis kitin memberikan kromatogram dari oligomer N-Asetil glukosamin selain monomernya (Chang et al, 2000).

Pemurnian terhadap N-Asetil glukosamin juga telah dilakukan dengan pelarut aseton, asetonitril dan etanol yang kemudian dilanjutkan dengan asetonitril. Dilakukan tahapan yang sama seperti halnya pada pemurnian di atas, filtrat pertama setelah ditambahkan pertama kali dengan pelarut diperoleh puncak-puncak yang masih sangat banyak seperti pada Gambar 5.16.

40 Salah satu dari puncak yang mempunyai luas area tertinggi tersebut dimungkinkan bukan merupakan Asetil glukosamin dikarenakan waktu retensinya lebih jauh dari N-Asetil glukosamin standar. Filtrat pada tahap kedua dari masing-masing pelarut memberikan pola yang hampir sama seperti pada Gambar 5.17 tetapi masih terdapat puncak-puncak yang lainnya.

Gambar 5.17 Hasil pemurnian N-Asetil glukosamin tahap kedua dengan variasi pelarut menggunakan aseton (A), etanol (B), dan asetonitril (C)

C B A

41 Puncak yang muncul sangat banyak di pemurnian tahap kedua (Gambar 5.16) sudah banyak yang hilang setelah dilakukan pemurnian kembali dengan variasi pelarut menggunakan asetonitril (Gambar 5.18).

Gambar 5.18 Hasil pemurnian N-Asetil glukosamin tahap ketiga dengan variasi pelarut menggunakan aseton (A), etanol (B), dan asetonitril (C)

42 Pemisahan dua atau lebih substansi tersebut didasarkan pada perbedaan koefisien distribusinya. Apabila satu zat terlarut mempunyai nilai K lebih besar dari 1 dan yang lainnya lebih kecil dari 1, maka dengan ekstraksi tunggal dapat dipisahkan. Akan tetapi apabila dua substansi mempunyai kesamaan tetapi tidak identik koefisien distribusinya, maka pemisahan hanya akan memisahkan secara parsial, sehingga perlu ditambahkan pelarut yang lain dengan menggunakan metode Lyman Craig seperti yang telah dilakukan di atas (Pecsok et al, 1976). Apabila diamati pada keempat jenis pelarut tersebut menunjukkan pola yang hampir sama, dimana puncak yang diduga merupakan N-Asetil glukosamin telah terpisah dengan baik meskipun masih terdapat 1 puncak lainnya yang belum terpisah dan diduga sebagai oligomer N-Asetil glukosamin. Belum dilakukan perhitungan pada pelarut mana yang mempunyai rendemen tinggi dari N-Asetil glukosamin sehingga selanjutnya dapat ditentukan pelarut mana yang terbaik untuk mendapatkan N-Asetil glukosamin. Hal ini berarti masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan jenis pemurnian terbaik untuk mendapatkan N-Asetil glukosamin berdasarkan puncak yang teridentifikasi dan jumlah rendemen tertinggi. Jumlah rendemen N-Asetil glukosamin pada masing-masing pelarut yang belum terselesaikan pada Tahun – 1 dan karakterisasi dari N-Asetil glukosamin yang diperoleh akan dilakukan pada Tahun – 2.

43 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL (Halaman 47-55)

Dokumen terkait