• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN PENAGIHAN PAJAK

E. Penagihan Pajak

1. Pengertian Penagihan Pajak

Pasal 1 UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sttdd UU No.19 Tahun 2000 (UU PPSP) menyebutkan penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita.

2. Penagihan Pasif dan Penagihan Aktif

Penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penagihan pasif dan penagihan aktif adalah sebagai berikut:

2.1. Penagihan Pasif

Penagihan pasif dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No.28 Tahun 2007 Pasal 9 Ayat (3), Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Dan pada pasal 9 ayat (3a)

dijelaskan Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2.2. Penagihan Aktif

Penagihan pajak aktif atau penagihan pajak dengan Surat Paksa dilakukan diatur dalam Undang-Undang No.19 tahun 1997 sebagaimana yang telah di ubah dengan Undang-Undang No.19 tahun 2000. Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam upaya penagihan ini Fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak, tetapi akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.

3. Surat Teguran

3.1. Defenisi dan Tujuan Surat Teguran

Langkah awal dalam tindakan penagihan adalah penerbitan surat teguran. Surat teguran atau dapat juga disebut surat perigatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Langkah ini diambil sebagai peringatan agar penanggung pajak segera melunasi utang pajaknya untuk menghindari dilakukannya tindakan penagihan.

Tindakan penagihan pajak dimulai dengan penerbitan surat teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis apabila sampai dengan jatuh tempo pembayaran penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya. Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000 menyebutkan surat teguran diterbitkan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran, dan tidak diterbitkan terhadap persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000 juga menyebutkan surat teguran tidak diterbitkan pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus.

3.2. Penentuan Jatuh Tempo

Pasal 4 s.d. 10 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 sttdd No. 85/PMK.03/2010 menyebutkan tanggal jatuh tempo diatur sebagai berikut:

a. Dalam hal wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan dan wajib pajak tidak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar (SKPKB) atau Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada wajib pajak disampaikan surat teguran, setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.

b. Dalam hal wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan, dan wajib pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan

dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar (SKPKB) atau Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada wajib pajak disampaikan surat teguran, setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding.

c. Dalam hal wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan, dan wajib pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar (SKPKB) atau Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada wajib pajak disampaikan surat teguran, setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan putusan banding.

d. Dalam hal wajib pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan, kepada wajib pajak disampaikan surat teguran, setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan.

e. Dalam hal wajib pajak mencabut pengajuan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar (SKPKB) atau Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh Wajib Pajak, kepada wajib pajak disampaikan surat teguran , setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut.

f. Surat teguran dalam rangka penagihan pajak atas utang Pajak Bumi dan Bangunan dan/atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan sebagaimana tercantum dalam STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB, atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, disampaikan kepada wajib pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan.

Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 sttdd No. 85/PMK.03/2010 menyebutkan penyampaian surat teguran dapat dilakukan secara langsung melalui pos, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

4. Surat Paksa

4.1. Defenisi dan Tujuan Surat Paksa

Sesuai pasal 1 angka 12 Undang – Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Pasal 8 Undang – Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyebutkan surat paksa diterbitkan apabila:

a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;

b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau

c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Pasal 12 Peraturan Menteri keuangan No. 24/PMK.03/2008 sttdd No.85/PMK.03/2010 menyebutkan surat paksa diterbitkan oleh pejabat setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak penyampaian surat teguran, dan diberitahukan secara langsung oleh jurusita kepada penanggung pajak.

Gugatan hanya dapat dilakukan atas prosedur penerbitan dan pelaksanaan surat paksa. Penanggung pajak yang merasa hak dan kepentingannya dilanggar atas pelaksanaan surat paksa dapat mengajukan gugatan hanya kepada pengadian pajak. Jadi, yang digugat hanya prosedur pelaksanaan surat paksa, bukan pada materi yang ada pada surat paksa. Dalam surat paksa sekurang – kurangnya harus memuat:

a. nama wajib pajak, atau nama wajib pajak dan penanggung pajak; b. dasar penaghihan;

d. perintah untuk membayar. 4.2. Pemberitahuan Surat Paksa

Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KPM.04/2000 menyebutkan surat paksa dilakukan oleh jurusita dengan pernyataan dan penyerahan surat paksa kepada penanggung pajak.

a. Wajib Pajak Orang Pribadi

Terhadap wajib pajak orang pribadi surat paksa diberitahukan kepada:

1. Penanggung pajak di tempat tinggal, tempat usaha, ataudi tempat lain yang memungkinkan;

2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;

3. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisa belum dibagi;

4. Para ahli waris, apabila penanggung pajak telah meninggal dunia dan harta warisa telah dibagi.

b. Wajib Pajak Badan

Terhadap wajib pajak badan surat paksa diberitahukan kepada:

1. Pengurus, pemegang saham, dan pemilik modal baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau

2. Pegawai tingkat pimpinan di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila jurusita tidak dapat menjumpai salah seorang tersebut diatas. c. Wajib Pajak Pailit

Apabila wajib pajak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, surat paksa diberitahukan kepada Kurator atau Balai Harta Peninggalan dan Hakim Pengawas yang ditetapkan. Sedangkan terhadap wajib pajak badan yang dinyataan bubar atau dalam likuidasi, surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melaukan pemberesan, atau likuidator, atau penerima kuasa.

d. Keadaaan Khusus

Apabila surat paksa tidak dapat diberitahukan kepada wajib pajak orang pribadi atau badan penanggung pajak, Surat paksa disampaikan melalui aparat pemda sekurang – kuragnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa di mana wajib pajak bertempat tinggal atau melakukan kegiatan usahanya.

Apabila wajib pajak atau penanggung pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, atau tempat kedudukannya, pemberitahuan surat paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan surat paksa pada papan pengumuman di kantor pajak yang menerbitkannya dan/atau mengumumkan surat paksa tersebut melalui media masa. e. Wajib Pajak/Penanggung Pajak di Luar Wilayah Kerja Pejabat

1. Pejabat yang menerbitkan surat paksa mengirimkan permintaan bantuan pelaksanaan surat paksa disertai salinan surat paksa dan informasi mengenai wajib pajak/penanggung pajak kepada pejabat lokasi pelaksanaan surat paksa;

2. Pejabat lokasi pelaksanaan surat paksa memberitahukan surat paksa kepada wajib pajak/penanggung pajak dimaksud sesuai prosedur baku, dan selanjutnya memberitahukan tindakan yang telah dilakukan disertai salinan atau fotokopi Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa dan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa.

Dalam kondisi – kondisi tertentu, pemberitahuan surat paksa adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal wajibpajak dinyatakan pailit, surat paksa diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas atau balai harta peningggalan, dan dalam hal wajib pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang ditugaskan untuk melakukan pemberesan, atau likuidator.

2. Dalam hal wajib pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, surat paksa dapat diberitahukan kepada penerima penguasa tersebut. Penerima surat kuasa khusus dapat berupa orang pribadi atau badan.

3. Apabila pemberitahuan surat paksa kepada penanggung pajak orang pribadi atau penanggung pajak badan tidak dapat dilaksanakan karena penanggung pajaknya tidak bisa ditemukan keberadaannya, maka surat paksa disampaikan melalui pemerintah daerah setempat. Aparat pemerintah daerah serempat sekurang – kurangnya setingkat sekretaris kelurahan atau sekretaris desa dengan membuat berita acara, yang selanjutnya salinan surat paksa dimaksud akan segera diserahkan kepada penanggung pajak yang bersangkutan.

4. Dalam hal wajib pajak atau penanggung pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian surat paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan surat paksa pada papan pengumuman kantor pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan oleh menteri atau kepala daerah.

5. Dalam hal penanggung pajak menolak menerima surat paksa dengan berbagai alasan, misalnya karena wajib pajak sedang mengajukan keberatan, salinan surat paksa dimaksud ditinggalkan ditempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukan penanggung pajak dan dicatat dalam berita acara bahwa penanggung

pajak tidak mau atau menolak menerima salinan surat paksa. Dengan demikian, surat paksa dianggap telah diberitahukan.

5. Penyitaan

5.1. Defenisi dan Tujuan Penyitaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan arti dari kata penyitaan, yaitu sebagai proses, perbuatan, cara menyita, pembeslahan, pengambilan milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Berdasarkan pasal 1 angka 12 PP No. 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, diatur bahwa penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Tujuan dari tindakan penyitaan sesungguhnya tidak untuk melakukan penjualan barang milik penanggung pajak, melainkan hanya untuk menguasai barang penanggung pajak sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Akibat hukum dari penyitaan adalah beralihnya hak kepemilikan atas barang penanggung pajak kepada negara, sehingga selama dalam masa penyitaan hak – hak kepemilikan barang penanggung pajak menjadi hilang.

5.2. Pemberitahuan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP)

Pemberitahuan SPMP dapat dilakukan oleh pejabat yang menerbitkan surat paksa ataupun pejabat yang berada di luar wilayah objek sita, yaitu:

a. Dilakukan Oleh Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa:

Pasal 2 PP No. 135 Tahun 2000 menyebutkan apabila utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 X 24 jam terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada wajib pajak / penanggung pajak.

b. Dilakukan Oleh Pejabat Lainnya:

1. Dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, pejabat tersebut meminta bantuan kepada pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat/lokasi objek sita untuk menerbitkan SPMP terhadap objek sita dimaksud.

2. Apabila objek sita letaknya berjauhan dengan tempat kedudukan pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, tetapi masih dalam wilayah kerjanya maka pejabat dimaksud dapat meminta bantuan kepada pejabat yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan SPMP.

5.3. Ketentuan Umum Pelaksanaan Penyitaan

Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 135 Tahun 2000 menyebutkan: a. Dalam melaksanakan penyitaan, jurusita pajak harus:

1. memperlihatkan kartu tanda pengenal jurusita pajak; 2. memperlihatkan SPMP;

3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.

b. Barang milik penanggung pajak yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain, termasuk yang penguasaaanya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berupa:

1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan / atau

2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.

c. Penyitaan dilakasanakan dengan mendahulukan barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak.

d. pelaksanaan penyitaan dilakukan oleh jurusita pajak yang disaksikan oleh sekurang – kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal jurusita pajak dan dapat dipercaya.

e. Setiap pelaksanaan jurusita harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh jurusita, penanggung pajak, dan saksi – saksi.

f. Dalam hal penanggung pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita, jurusita harus mencantumkan penolakan tersebut dalam berita acara pelaksanaan sita yang selanjutnya ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi – saksi sehingga Berita Acara dimaksud tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.

g. Penyitaan tetap dapat dilaksanakan sekalipun penanggung pajak tidak hadir, sepanjang terdapat seorang saksi berasal dari Pemda setempat, sekurang – kurangnya setingkat kepala kelurahan atau kepala desa

h. Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita ditempelkan pada barang bergerak dan / atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat baarng bergerak dan / atau barang todak bergerak yang disita berada, atau ditempat – tempat umum.

i. Jurusita tidak dapat melaksanakan penyitaaan terhadap barang – barang penanggung pajak yang terlebih dahulu disista oleh Pengadilan Negeri, Kejaksaan, Kepolisian, atau instansi lain yang telah lebih dahulu melakukan penyitaan. Surat

paksa disampaikan kepada instansi yang bersangkutan, dan instansi tersebut menjadikan barang sitaan tersebut menjadi jaminan pelunasan utang pajak.

5.4. Barang yang Dikecualikan dari Penyitaan

Pasal 15 UU PPSP menyebutkan barang – barang yang dikecualikan dari penyitaan, yaitu:

a. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;

b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan masak yang berada di rumah;

c. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara; d. Buku – buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan

alat – alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;

e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari – hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah); dan

f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

6. Lelang

6.1. Pengumuman Lelang

Pasal 26 s.d. Pasal 28 UU PPSP menyebutkan:

a. Kepala kantor mengumumkan lelang paling singkat 14 hari setelah penyitaan, melalui surat kabar harian, selebaran atau tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan / atau media elektronik termasuk internet di wilayah kerja Kantor Lelang tempat barang yang akan dijual

b. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali.

c. Pengumuman lelang barang tidak bergerak dilakukan 2 kali. Jangka waktu pengumuman pertama dengan kedua sekurang – kurangnya 15 hari. Pengumuman lelang pertama diperkenankan tidak melalui surat kabar harian, tetapi dengan cara melalui selebaran, tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan / atau media elektronik termasuk internet. Pengumuman kedua harus dilakukan melalui surat kabar harian dan dilakukan sekurang – kurangnya 14 hari sebelum pelaksanaan lelang

d. Pengumuman lelang barang tidak bergerak yang akan dilelang bersama – sama dengan barang bergerak, maka pengumumannya dilakukan sebagai berikut:

1. Pengumuman pertama dilakukan untuk barang bergerak dan barang tidak bergerak;

2. Pengumuman kedua dilakukan hanya untuk barang tidak bergerak;

3. Pengumuman lelang untuk barang dengan nilai paling banyak Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa, tetapi dapat melalui selebaran atau pengumuman yang ditempelkan di tempat umum misalnya di kantor kelurahan atau di papan pengumuman di kantor pajak. 6.2. Pelaksanaan Pelelangan

Kepala Kantor Pemohon Lelang harus hadir dalam pelaksanaan lelang dan setidak – tidaknya menugaskan bawahannya untuk mewakili. Prosedur yang dilakukan saat pelaksanaan lelang adalah sebagai berikut:

a. Kepala kantor menentukan nilai limit dan diserahkan kepada pejabat lelang selambat – lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang. Harga limit dalam lelang eksekusi pajak dapat bersifat terbuka / tidak rahasia dan dapat diumumkan dalam pengumuman lelang.

b. Kepala kantor atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk:

1. Menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang apabila harga penawaran yang diajukan oleh calon pembeli lebih rendah dari harga limit yang ditentukan;

2. Menghentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup untuk melunasi utang pajak dan / atau biaya penagihan pajak;

3. Menandatangani asli risalah lelang.

c. Kepala kantor, kepala seksi penagihan, dan jurusita pajak, termasuk istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.

d. Lelang tetap dapat dilaksanakan, meskipun:

1. Wajib pajak sedang mengajukan keberatan dan belum memperoleh keputusan keberatan;

2. Wajib pajak / penanggung pajak tidak hadir. e. Lelang tidak dilaksanakan dalam hal:

1. Wajib pajak / penanggung pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;

2. Terdapat putusan pengadilan; 3. Objek lelang musnah.

f. Pejabat harus menghentikan pelaksanaan lelang meskipun barang yang akan dilelang masih ada apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Sisa barang dan kelebihan hasil lelang harus dikembalikan kepada penanggung pajak paling lambat 3 hari setelah

pelaksanaan lelang. Penggunaan hasil lelang terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak dan sisanya untuk membayar utang pajak.

g. Biaya penagihan pajak ditambah 1% dari:

1. Hasil penjualan barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang; 2. Pokok lelang dari penjualan secara lelang.

6.3. Penyelesaian Lelang

Menurut Ida Zuraida & L.Y. Hari Sih Advianto dalam bukunya Penagihan Pajak (2011:130), yaitu:

a. Hak penanggung pajak atas barang yang dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan risalah lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.

b. Apabila setelah lelang wajib pajak memperoleh keputusan keberatan atau putusan banding yang menyebabkan utang pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang.

c. Kepala kantor mengembalikan kelebihan pembayaran pajak dalam bentuk uang d. Risalah lelang dibuat oleh pejabat lelang membuat risalah lelang, setelah barang

bukti otentik dari peralihan hak atas barang dari pemohon lelang kepada pemenang lelang. Penandatanganan risalah lelang dilakukan oleh pejabat lelang dan penjual / kuasa penjual.

7. Penagihan Seketika dan Sekaligus

Pasal 20 ayat 2 UU KUP dan pasal 6 UU PPSP memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan seketika dan sekaligus yaitu tindakan penagihan tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Penagihan Seketika dan Sekaligus dilakukan apabila:

a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama – lamanya atau berniat untuk itu;

b. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

c. Terdapat tanda – tanda bahwa penanggung pajak akan membuarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda – tanda kepailitan.

8. Daluwarsa Penagihan Pajak

Pasal 22 UU KUP menegaskan hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan:

a. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

Dokumen terkait