• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Abdomen

2.1.3 Penanganan Fase Prehospital, Standar Assessment dan Resusitasi pada

Pasien Trauma Abdomen Fase Prehospital intinya memberikan penanganan cepat pada pasien

sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre. Negara maju mengenal sistem EMS yang di organisasi pemerintah lokal, terdiri atas personel kesehatan yang telah tersertifikasi kursus bantuan hidup dasar, akan memberikan pertolongan darurat dahulu bagi pasien (seperti menjaga patensi airway, kontrol

pendarahan eksternal) setelah pasien stabil akan di transportasikan secepatnya dengan mobil ambulans menuju ke rumah sakit terdekat (biasanya menuju rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre dan terlebih dahulu sudah dihubungi tentang rencana dan kondisi pasien trauma yang akan dirujuk) untuk diberikan penatalaksanaan definitif (Blackwell, dan Kaufman, 2002; Pons, Haukoos, Bludworth, 2005; American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008; Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015). Pasien yang diberikan resusitasi cairan prehospital mampu memberikan angka survival yang baik (National Institute for Health and Care Excellence, 2004).

Batasan waktu fase prehospital diistilahkan dengan “Golden Hour” yang mana jangka waktunya 60 menit dari pasien ditemukan di tempat kecelakaan dan di tranportasikan ke rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre. (Samplais, Lavoie, dan Williams, 1993; Lerner, dan Moscati, 2001). Kecepatan ambulans menjangkau pasien di tempat kecelakaan (Ambulance Response Time) dapat memperbaiki outcome klinis pasien, standar waktu ditentukan 8 menit atau kurang di negara maju (Pons, Markovchick, 2002; Peleg, 2004; Carlowe, 2012; Do, Foo, Ng, dan Ong, 2012). Singapura bahkan memangkas waktu menjadi kisaran 7,5 menit (Lim, dan Anantharaman, 1999; Do, Foo, Ng, dan Ong, 2012). Angka mortalitas meningkat tiga kali lipat setiap 30 menit dari saat pasien kecelakaan sampai mendapatkan penanganan definitif. (Cowley, Hudson, dan Scanlan, 1973). Secara spesifik untuk kasus pasien trauma abdomen pemendekan waktu prehospital memberikan outcome

yang baik bagi pasien (Clarke, Trooskin, dan Doshi, 2002; Spahn, Bouillon, Cerny, Coats, Duranteau, Fernández-Mondéjar, dkk, 2013).

Beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta memiliki ambulans 118 tetapi respon time nya jauh dibawah standar negara lain dikarenakan ketidaksepadanan jumlah ambulans dengan luas cakupan wilayah (luas wilayah Jakarta (661m2), populasi 10-12 juta penduduk dengan ambulans 26 buah yang diletakkan di titik strategis Jakarta Utara dan Pusat) dan kemacetan lalu lintas. Sedangkan di Yogyakarta memiliki respon time 10 menit karena ditunjang populasi 425.000 dan lalu lintas yang tidak macet (Pusponegoro, dan Pitt, 2004).

Assessment pasien trauma terbaik menggunakan sistem ATLS seperti dirumuskan American College of Surgeons Committee on Trauma tahun 2008. Saat pasien datang di terima tim Trauma RS yang kemudian menjalankan protokol : primary survey (ABCDE), resusitasi, secondary survey (Head to Toe Examination), Investigasi dan penanganan definitif.

2.1.3.1 Penanganan Primary Survey dan Resusitasi

Primary survey dan resusitasi terdiri atas Pemeriksaan Airway (with C-spine Protection), Breathing, Circulation, Disability (Neurologic Evaluation), Exposure/Environmental Control. Pemeriksaan ABC didahulukan sesuai dengan urutan penyebab kematian yang tercepat yaitu Airway disusul Breathing dan Circulation (syok terutama syok hipovolemik). Kemudian ditambahkan Disability

dan Exposure/Environmental Control untuk membantu evaluasi awal pasien. Kesemuanya dilakukan secara berurutan dan simultan (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Airway (with C-spine Protection) prinsipnya membebaskan jalan nafas dari sumbatan seperti darah, muntahan, gigi, patahan tulang rahang atau pembengkakan jaringan lunak. Sekusensial memproteksi C-spine dengan menjaga posisi leher tetap lurus dan dipasang Collar Brace, sambil mengerjakan manuver : Head tilt (memiringkan kepala pasien ke salah satu sisi; boleh dilakukan hanya pada pasien yang sudah disingkirkan kemungkinan lesi cervical) atau Chin lift dan Jaw Thrust. Kemudian memasang alat bantu memastikan patensi airway seperti OroTracheal Tube (OTT) atau bisa mengerjakan cricothyroidotomy dan intubasi endotracheal, dilanjutkan dengan pemberian bantuan oksigen (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Breathing di-asses setelah airway bersih, ekspos dada pasien, inspeksi kedua sisi dada dipastikan pergerakan dinding dada simetris, palpasi mencari adanya kemungkinan fraktur costae, segmen flail chest dan emfisema subkutis. Kemudian dilakukan auskultasi untuk menyingkirkan kelainan nafas seperti tension pneumothoraks, pneumothoraks spontan atau hematothoraks. Untuk penatalaksanaan emergency dilakukan needle thoracocentesis, untuk definitifnya dilakukan pemasangan Thoracostomy WSD (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Masalah Circulation adalah masalah yang ditangani selanjutnya, beberapa parameter yang bisa dipakai adalah penilaian terhadap tingkat kesadaran, denyut nadi,

detak jantung, tekanan darah, warna kulit, produksi urin, dan base deficit (dari analisis gas darah). Jenis syok yang paling sering terjadi pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Abdomen secara khusus dievaluasi dikarenakan terdapat organ yang rentan akibat trauma seperti hepar dan lien (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Patofisiologi syok hipovolemik yaitu hilangnya darah dari pembuluh darah sehingga respon tubuh mengompensasinya dengan melakukan vasokonstriksi pembuluh darah pada kutis, otot dan organ sehingga aliran darah ke otak, jantung dan ginjal terjaga. Selain itu terjadi kenaikan denyut jantung untuk menjaga cardiac output terjaga. Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan perifer sehingga mampu meningkatkan tekanan darah sistolik dan mereduksi tekanan nadi. Selain itu juga dilepaskan beberapa hormon seperti histamin, bradikinin, β-endorfin dan kaskade prostanoid dan sitokin lainnya untuk mempertahankan permeabilitas vaskular dan mikrosirkulasi. Di tingkat seluler akan terjadi pergeseran ke metabolisme anaerob dimana akan menghasilkan asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolik, seringkali disertai penurunan kompensasi tubuh untuk mempertahankan suhunya sehingga akan jatuh dalam kondisi hipotermia yang akan berlanjut menuju kondisi koagulopati yang menyebabkan mortalitas. Tanda-tanda klinis syok hipovolemik adalah akral dingin (suhu tubuh < 35°C), takikardia (pada orang dewasa apabila nadi > 100 kali/menit), produksi urin < 0,5-1 cc/Kg berat badan per jam Penatalaksanaan syok hipovolemik pada prinsipnya untuk mengontrol pendarahan dan merestorasi volume cairan yang bersirkulasi (Brzozowski, dan Hans,

2012). Berikut ini disajikan tabel 2.1. untuk memperkirakan kehilangan darah pasien pada saat presentasi awal di UGD.

Tabel 2.1. Parameter Kehilangan Darah Pasien saat Presentasi Awal di UGD (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008)

Parameter yang dipakai untuk menilai keadekuatan resusitasi cairan bisa dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Respon terhadap Awal Pemberian Resusitasi Cairan (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008)

Dissability dinilai dari tingkat kesadaran pasien saat diterima di UGD. Dinilai berdasarkan parameter yang disingkat AVPU : Alert, respon pasien terhadap stimulasi Verbal, respon pasien terhadap stimulasi nyeri (Pain), dan Unresponssive. Bisa pula menggunakan skor Glasgow Coma Scale yang mengamati status neurologi pasien berdasarkan mata, verbal dan motorik (Reiff, Rue III, 2009). Selanjutnya Exposure/Environment Control dilakukan dengan mengekspos seluruh tubuh pasien kemudian pasien di Log Roll untuk mengevaluasi bagian belakang tubuh pasien

dengan memperhatikan C-spine Protection. Pasien diperiksa dalam lingkungan bersuhu hangat dan kering (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Resusitasi cairan dimulai dengan pemberian cairan kristaloid isotonik hangat (37°C-40°C) sebanyak 1-2 liter melalui pemasangan dua buah kateter intravena dengan diameter besar. Saat pemasangan kateter sekaligus diambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium serta crossmatch sebagai persiapan apabila pasien membutuhkan transfusi darah. Apabila tubuh pasien tidak merespon dengan pemberian cairan per intravena maka diberikan transfusi darah (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008; Reiff, Rue III, 2009). Target resusitasi cairan adalah hemodinamik normal, produksi urine 0,5-1cc/Kg berat badan per jam, koreksi defisit basa, mengembalikan kadar laktat 0,5-1 mmol/L, dan kadar Hb 7-9 gr/dl (Reiff, Rue III, 2009; Spahn, Bouillon, Cerny, Coats, Duranteau, Fernández-Mondéjar, dkk, 2013).

Transfusi darah berfungsi merestorasi kapasitas pengangkutan oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan dan organ. Pemberian transfusi diawali dengan pemberian PRC akan tetapi saat terjadi transfusi darah masif (pemberian 10 atau lebih unit PRC) perlu diingat untuk mencegah dan memberhentikan proses koagulopati. Cara pencegahan koagulopati dengan pemberian transfusi platelet dan FFP. Patokannya platelet diberikan bila jumlah platelet pasien dibawah 50.000 sel/ml atau bila ditemukan suspek disfungsi platelet. Apabila pendarahan masih berlanjut (nilai INR atau APTT meningkat), diberikan FFP.

Cryoprecipitate diberikan apabila konsentrasi fibrinogen kurang dari 80 mg/dl (Cryer, 2009).

Protokol transfusi masif diberlakukan apabila volume kehilangan darah pasien mencapai 70ml/Kg, dimana untuk setiap pemberian 1 unit PRC diberikan pula 1 unit FFP secara bersamaaan begitu pula diberikan 6 pak platelet untuk setiap pemberian 6 unit PRC. Saat pasien sudah selesai menjalani pembedahan dan dirawat di ruangan intensif maka target kadar Hb disesuaikan menjadi 8,5-10 gr/dl, target ini diberlakukan universal untuk pasien trauma baik pada pasien geriatri, memiliki komorbid gangguan saraf pusat, COPD ataupun gangguan ginjal (Cryer, 2009).

2.1.3.2 Secondary Survey (Head to Toe Examination)

Pemeriksaan ini dilakukan setelah primary survey selesai, tujuannya mengidentifikasi lesi mayor yang terdapat pada pasien. Termasuk dikerjakan “finger and tubes in every orifices”, pemeriksaan fisik yang dimulai dari ujang kepala sampai kaki, pengambilan sampel darah (hematologi rutin, elektrolit, BUN/SC, PT/APTT dan INR, Lipase, level alkohol dan beberapa tes lainnya, termasuk crossmatch untuk persiapan transfusi. Selain itu juga penunjang lainnya seperti rontgen dan ultrasonografi turut dikerjakan. Semua dikerjakan secara simultan (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Fokus pemeriksaan secondary survey pada penelitian ini ditekankan pada pemeriksaan abdomen karena abdomen seringkali menjadi tempat mengumpulnya

darah akibat ruptur nya organ atau pembuluh darah organ abdomen akibat trauma. Dikerjakan pemeriksaan fisik yang lebih cermat meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi abdomen, untuk mengetahui tanda-tanda peritonitis. Dikerjakan pula pemeriksaan rectal tussae untuk mendapatkan informasi adanya pendarahan saluran cerna bagian bawah, posisi prostat, integritas rektum dan tonus spinkter ani. Pada pasien perempuan, pertimbangkan pemeriksaan bimanual atau spekulum untuk mendeteksi adanya trauma pelvis (Brzozowski, dan Hans, 2012).

2.1.3.3 Investigasi

Pasien dengan distensi abdomen yang progresif, hemodinamik yang tidak stabil (dengan kecurigaan dikarenakan trauma abdomen), Pemeriksaan penunjang seperti FAST (secara simultan selama secondary survey, sensitivitasnya mencapai 95%) untuk mendeteksi adanya cairan bebas pada splenorenal space (lien; sebanyak 50% kasus) atau Morisson’s Pouch (hepar; sebanyak 40% kasus). Pasien kategori ini termasuk indikasi dikerjakan laparotomi eksplorasi. Sedangkan pasien dengan tanpa indikasi laparotomi, penggunaan FAST dan atau CT abdomen adalah untuk menyingkirkan injury di organ lain (Mac Kinnon D, 2012; Brzozowski, dan Hans, 2012). FAST yang sensitif bisa mendeteksi sampai 200cc cairan bebas intraperitoneal, sehingga saat ini diagnostik menggunakan Diagnostic Peritoneal Lavage di Trauma Centre modern fungsinya terbatas karena sudah digantikan oleh FAST dan atau CT (Reiff, Rue III, 2009).

Dokumen terkait