• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREHOSPITAL INSULT DAN NISS > 50 MEMPENGARUHI MORTALITAS PASIEN TRAUMA TUMPUL ABDOMEN DI RUMAH SAKIT SANGLAH PERIODE TAHUN 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREHOSPITAL INSULT DAN NISS > 50 MEMPENGARUHI MORTALITAS PASIEN TRAUMA TUMPUL ABDOMEN DI RUMAH SAKIT SANGLAH PERIODE TAHUN 2015"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

PREHOSPITAL INSULT DAN NISS > 50

MEMPENGARUHI MORTALITAS PASIEN TRAUMA

TUMPUL ABDOMEN DI RUMAH SAKIT SANGLAH

PERIODE TAHUN 2015

REZA HALIM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(2)

i

PREHOSPITAL INSULT DAN NISS > 50

MEMPENGARUHI MORTALITAS PASIEN TRAUMA

TUMPUL ABDOMEN DI RUMAH SAKIT SANGLAH

PERIODE TAHUN 2015

REZA HALIM NIM 1114028106

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

PERIODE TAHUN 2015

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

REZA HALIM NIM 1114028106

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 20 APRIL 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma Dr.dr.Nyoman Golden,Sp.BS (K)

NIP 196809252005011001 NIP 196203071989031001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc.Sp.GK Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, SpS(K)

(5)

iv

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana

pada Tanggal 26 April 2016

Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 3043/UN14.4/HK/2016

Tertanggal : 28 Juni 2016

Penguji :

1. dr. I Ketut Wiargitha, SpB (K) Trauma 2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K)

3. dr. I Nengah Wiadnyana Steven Christian, Sp.B (K) Onk 4. dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Prehospital Insult dan NISS > 50 Mempengaruhi Mortalitas Pasien Trauma Tumpul Abdomen di Rumah Sakit Sanglah Periode Tahun 2015”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi – tingginya penulis haturkan kepada :

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD–KEMD, selaku rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti pendidikan combined degree di program yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Pendidikan Spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.

(7)

vii

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah memberikan kesempatan mengikuti program Combined Degree.

dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin.

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) selaku pembimbing metodologi dan statistik dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS(K) selaku Kepala Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum.

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B(K)Onk. sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

(8)

viii

dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B–KBD dan Seluruh Staf Pengajar Departemen / SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan penulis yang dengan penuh dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Orang tua penulis, Harianto Halim dan Liliana Sidik serta adik tercinta Rio Dwi Eko Nyoto Halim dan Roy Dwi Eko Mukso Halim (Alm.) atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama penulis menjalani pendidikan spesialis ini.

Seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerjasama, dukungan dan bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan Bedah, dan staf badan koordinator pendidikan RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat, dan mohon maaf atas segala kekurangan.

Denpasar, April 2016

(9)

ix

ABSTRAK

Prehospital Insult dan NISS > 50 Mempengaruhi Mortalitas Pasien Trauma

Tumpul Abdomen di Rumah Sakit Sanglah Periode Tahun 2015

Latar Belakang : Penelitian menunjukkan mortalitas yang disebabkan trauma tumpul abdomen cukup tinggi berkisar 10-30% dari total kematian yang disebabkan trauma organ lain. Penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor risiko apa yang dinilai berpengaruh menimbulkan mortalitas pada pasien trauma tumpul abdomen.

Metode : Sejumlah 50 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi pasien yang diterima di Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Sanglah selama periode tahun 2015 dikumpulkan untuk kemudian dianalisa faktor risiko yang berpengaruh terhadap mortalitas dari pasien-pasien trauma tumpul abdomen.

Hasil : Hasil penelusuran pada sampel didapatkan median usia 27 tahun (22) dengan mayoritas jenis kelamin laki-laki mencapai 86%. Analisa data menunjukkan faktor risiko yang berpengaruh secara statistik terhadap mortalitas pasien trauma tumpul abdomen adalah prehospital insult, RR ∞ (95% CI = -, p < 0,001), New Injury Severity Score (NISS) > 50, RR 5 (95% CI = 2,578-9,699, p < 0,001), syok hipovolemik, RR 2,1 (95%CI = 0,986-4,453, p = 0,035), koagulopati, RR 2,1, (95% CI = 1,058-4,338, p = 0,023), dan durasi operasi > 90 menit, RR 2,0 (95% CI = 1,130-3,431, p = 0,062) sedangkan faktor risiko lain seperti transport time > 60 menit dan jumlah pendarahan durante operasi > 1500cc tidak berpengaruh secara statistik. Setelah dianalisa secara multivariat didapatkan prehospital insult dan NISS > 50, RR 4,1 (95% CI = 2,027-8,228, p < 0,001) merupakan faktor risiko dominan yang berpengaruh terhadap mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

Kesimpulan : Prehospital insult meliputi resusitasi saat pasien mengalami kejadian trauma dan NISS merupakan cerminan keparahan organ tubuh yang terkena trauma. Kedua hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut untuk menekan mortalitas pada pasien trauma tumpul abdomen.

(10)

x

ABSTRACT

Prehospital Insult and NISS > 50 influence Blunt Abdominal Trauma Patients Mortality in Sanglah Hospital in 2015

Background : This study show mortality caused by blunt abdominal trauma was high, approximately about 10-30% from total mortality caused by other trauma. Our objective is to find which risk factor influence mortality in abdominal blunt trauma patients.

Method : As many as 50 sample meet inclusion criteria for patients admitted in emergency room Sanglah Hospital in 2015, collected then analyzed risk factors influence mortality caused by abdominal blunt trauma.

Result : The patient characteristics show that median age for the patient was 27 years (22). Majority gender was male 86%. Data analyze show that risk factor statistically significant influence mortality was prehospital insult, RR ∞ (95% CI = -, p < 0,001), New Injury Severity Score (NISS) > 50, RR 5 (95% CI = 2,578-9,699, p < 0,001), hypovolemic shock, RR 2,1 (95%CI = 0,986-4,453, p = 0,035), coagulopathy, RR 2,1, (95% CI = 1,058-4,338, p = 0,023), and duration of surgery > 90 minutes, RR 2,0 (95% CI = 1,130-3,431, p = 0,062), the other risk factors like transport time > 60 minutes and blood loss during surgery > 1500cc was not statistically significant. After multivariat analyze, the result show that prehospital insult and NISS > 50, RR 4,1 (95% CI = 2,027-8,228, p < 0,001) were dominant risk factor influence mortality in blunt abdominal trauma.

Conclusion : Prehospital insult consists of resuscitation at the location in which the incident happened and NISS covers the severity of body organ injury. This two factor need special attention to reduce mortality in blunt abdominal trauma patient.

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR BUKTI UJI TESIS ... iv

LEMBAR BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SINGKATAN………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ..……….. xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.3.1 Tujuan Umum ... 4 1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

(12)

xii

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Akademis ... 5

1.4.2 Manfaat Klinis ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Trauma Abdomen... 6

2.1.1 Anatomi Abdomen ... 6

2.1.2 Mechanism of Injury ... 7

2.1.3 Penanganan Fase Prehospital, Standar Assessment dan Resusitasi pada Pasien Trauma Abdomen ... 8

2.1.3.1 Penanganan Primary Survey dan Resusitasi ... 10

2.1.3.2 Penanganan Secondary Survey (Head to Toe Examination) ... 16

2.1.3.3 Investigasi ... 17

2.1.4 Penatalaksanaan Damage Control Surgery ... 18

2.1.5 Mortalitas pada Trauma Abdomen ... 20

2.2 Penggunaan Sistem Skoring NISS pada pasien trauma abdomen ... 23

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESA PENELITIAN ... 30

3.1 Kerangka berpikir ... 30

(13)

xiii

3.3 Hipotesa Penelitian ... 33

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 34

4.1 Rancangan Penelitian ... 34

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

4.3 Sumber Data ... 35

4.3.1 Populasi ... 35

4.3.2 Kriteria Inklusi ... 35

4.3.3 Kriteria Eksklusi... 36

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel... 36

4.3.5 Besar Sampel ... 36

4.4 Variabel Penelitian ... 37

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel ... 37

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 37

4.5 Instrumen Penelitian... 40 4.6 Prosedur Penelitian... 40 4.6.1 Tahap Persiapan ... 40 4.6.2 Pelaksanaan Penelitian ... 40 4.7 Alur penelitian ... 42 4.8 Analisis Data ... 43

(14)

xiv

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

5.1 Data Karakteristik Sampel Penelitian ... 45

5.2 Analisis Faktor-Faktor Risiko yang menyebabkan Mortalitas Pasien Trauma Tumpul Abdomen ... 47

5.3 Pembahasan ... 49

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 54

6.1 Simpulan ... 54

6.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi abdomen ... 7

Gambar 2.2. “The Bloody Vicious Cycle” ... 21

Gambar 2.3. Komponen AIS ... 26

Gambar 2.4. Contoh Perbedaan Penghitungan ISS vs NISS ... 28

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Parameter Kehilangan Darah Pasien saat Presentasi Awal di UGD ... 13

Tabel 2.2. Respon terhadap Awal Pemberian Resusitasi Cairan ... 14

Tabel 2.3. Klasifikasi Skoring Sistem ... 24

Tabel 2.4. Sistem Skoring Trauma berdasarkan Penggunaannya ... 29

Tabel 5.1. Karakteristik Sampel Penelitian ... 46

Tabel 5.2. Analisis Bivariat Faktor-Faktor Risiko yang menyebabkan Mortalitas Pasien Trauma Tumpul Abdomen ... 48

Tabel 5.3. Analisis Multivariat Faktor-Faktor Risiko yang menyebabkan Mortalitas Pasien Trauma Tumpul Abdomen……… 49

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN AIS : Abbreviated Injury Scores

APACHE : Acute Physiology and Chronic Health Evaluation APTT : Activated Partial Thromboplastin Time

ALS : Advanced Life Support

ATLS : Advanced Trauma Life Support BLS : Basic Life Support

BUN : Blood Urea Nitrogen CT : Computed Tomography EMS : Emergency Medical Service

FAST : Focused Assessment Sonograpy on Trauma FFP : Fresh Frozen Plasma

GCS : Glasgow Coma Scale IGD : Instalasi Gawat Darurat ISS : Injury Severity Score NISS : New Injury Severity Score PRC : Packed Red Cell

RTS : Revised Trauma Score PT : Prothrombin Time

INR : International Normalized Ratio SC : Serum Creatinin

TRISS : Trauma and Injury Severity Score WSD : Water-Seal Drainage

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Surat Kelaikan Etik ... 61

LAMPIRAN 2. Surat Ijin Penelitian ... 62

LAMPIRAN 3. Data Subyek Penelitian ... 63

LAMPIRAN 4. Hasil Analisis Data ... 65

LAMPIRAN 5. Lembar Pengumpulan Data ... 86

LAMPIRAN 6. Persetujuan Penelitian ... 87

LAMPIRAN 7. Skor AIS sebagai dasar penghitungan skor NISS Regio Abdomen ... 89

LAMPIRAN 8. Abbreviated Injury Scale (AIS) 1985 revisi untuk trauma tumpul ... 96

LAMPIRAN 9. Abbreviated Injury Scale (AIS) 1985 revisi untuk trauma penetrasi ... 97

(19)

1 1.1 Latar Belakang

Data sepanjang tahun 2013 di Indonesia menyatakan sekitar 239.257 buah kendaraan bermotor terlibat kecelakaan, total kerugian materiil ditaksir mencapai 255.864 Milyar Rupiah dengan angka morbiditas mencapai 139.898 jiwa dan mortalitas sebesar 26.146 jiwa sepanjang tahun 2013. Dimana rentang usia produktif 16-40 tahun mencapai 62% dari seluruh populasi (Staf Direktur Jenderal Perhubungan Darat, 2014). Kematian akibat trauma selama tahun 2000 Di Rumah Sakit Sanglah tercatat 125 pasien (15,8%) dari total pasien yang mengalami trauma dan 25 pasien (20%) dari total pasien trauma yang meninggal disebabkan oleh trauma abdomen (Widodo, dan Budha 2002). Data tahun 2015 menyatakan dari total 2755 tindakan di ruang operasi IRD RS Sanglah, 720 kasus berkaitan cedera kepala, 455 kasus berkaitan dengan fraktur ekstremitas, 64 kasus berkaitan trauma abdomen sisanya berkaitan dengan kegawatdaruratan bedah non trauma (Anonim, 2015).

Seringkali pasien multipel trauma yang diterima di UGD RS disertai dengan trauma abdomen. Trauma abdomen dapat dikendalikan supaya tidak terjadi mortalitas, dengan cara mengidentifikasi dan mengendalikan sedini mungkin faktor-faktor risiko yang ada dengan penatalaksanaan yang tepat. Apapun jenis trauma

(20)

bermanifestasi pada 2 hal yang mengancam nyawa yaitu pendarahan dan infeksi. Pendarahan harus segera diatasi sehingga pemeriksa wajib meng-asses gejala dan tanda syok yang muncul pada pasien trauma abdomen. (White dan Yancey, 2011).

Pengalaman penulis selama menjalani tugas di RS Sanglah seringkali pasien-pasien dirujuk dari tempat kejadian dalam keadaan tidak teresusitasi dengan baik, seringkali pula di transportasikan dalam waktu yang lama ke RS Sanglah. Saat diterima di ruang resusitasi RS Sanglah beberapa pasien jatuh dalam kondisi syok berkepanjangan bahkan beberapa datang dalam keadaan koagulopati, kemudian beberapa pasien trauma abdomen dengan hemodinamik tidak stabil akan diputuskan mendapatkan penanganan surgical resuscitation yaitu damage control surgery dan diberikan transfusi darah untuk mengganti darah yang hilang akibat syok. Selain itu ada beberapa faktor risiko lain pula yang berperan seperti tipe kendaraan bermotor, perangkat keselamatan kendaraan bermotor, response time, kualifikasi tenaga medis penolong, kondisi saat pasien ditemukan, kendaraan yang dipakai transpor ke rumah sakit, jarak tempuh, resusitasi cairan, kebutuhan transfusi masif PRC, tipe kuman, hipotermia dan asidosis, tetapi karena keterbatasan alat ukur dan bervariasinya kondisi tersebut maka dipilih beberapa faktor risiko saja yang diamati yang mana faktor-faktor risiko tersebut mengakibatkan meningkatnya mortalitas pasien.

Tentunya assessment dan prioritas penatalaksanaan pada pasien trauma abdomen dipermudah dengan penggunaan sistem skoring trauma seperti Revised Trauma Score (RTS), Abbreviated Injury Scores (AIS), Injury Severity Score (ISS),

(21)

Trauma and Injury Severity Score (TRISS), Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) dan salah satunya New Injury Severity Score (NISS), sehingga prioritas pasien trauma abdomen dapat terkelola dengan baik. Penelitian menunjukkan bahwa NISS lebih akurat daripada ISS sebagai prediktor mortalitas pada trauma khususnya pada kasus trauma tajam. NISS memiliki akurasi yang lebih tinggi daripada ISS dalam menilai beratnya trauma jaringan sebagai prediktor adanya kegagalan multi organ pada post trauma. (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah prehospital insult merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen?

2. Apakah transport time > 60 menit merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen?

3. Apakah NISS > 50 merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen?

4. Apakah syok hipovolemik merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen?

(22)

5. Apakah koagulopati merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen?

6. Apakah durasi operasi > 90 menit merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen?

7. Apakah jumlah pendarahan durante operasi > 1500 cc merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi mortalitas pasien trauma tumpul abdomen di Rumah Sakit Sanglah.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Prehospital insult merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

2. Mengetahui transport time > 60 menit merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

3. Mengetahui NISS > 50 merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

4. Mengetahui syok hipovolemik merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

(23)

5. Mengetahui koagulopati merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

6. Mengetahui durasi operasi > 90 menit merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

7. Mengetahui jumlah pendarahan durante operasi > 1500cc merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis

Memberikan masukan kepada pihak pemerintah dan rumah sakit dalam memperbaiki penatalaksanaan prehospital dan intrahospital terkait pasien trauma tumpul abdomen.

1.4.2 Manfaat Klinis

Memperkenalkan metode skoring menggunakan NISS untuk membantu prioritas penatalaksanaan pasien trauma tumpul abdomen di rumah sakit.

(24)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Abdomen

Organ abdomen merupakan rongga terbesar di tubuh yang mampu menampung cairan dalam jumlah besar. Organ abdomen lebih rentan daripada organ rongga thoraks, dikarenakan organ abdomen tidak terlindungi oleh tulang sternum dan costae. (Esposito dan Brasel, 2013). Penyebab kematian utama segera pada trauma adalah perdarahan. Sekitar 25% kasus kematian tersebut adalah adanya perdarahan yang tidak terkontrol. (Thorsen, Ringdal, Strand, Soreide, Hagemo, dan Soreide, 2011) Perdarahan menempati urutan kedua setelah trauma sistem saraf pusat sebagai penyebab kematian dengan kisaran 30-40%. (Brandon, Holcom, dan Schreiber, 2007).

2.1.1 Anatomi Abdomen

Abdomen terbagi menjadi 3 bagian yaitu intrathoracic abdomen, true abdomen dan retroperitoneal abdomen. Bagian thoracic dari abdomen terletak dibawah selembar otot tipis diafragma dan terlindungi tulang costae bawah. Bagian ini terdiri atas hepar, kantung empedu, lien, gaster dan kolon transversum. True abdomen terdiri atas usus halus dan besar, sebagian hepar dan kantung kemih. Pada perempuan, uterus, tuba fallopi dan ovarium merupakan bagian pelvis dari true abdomen. Retroperitoneal abdomen terletak dibalik thoracic dan

(25)

true abdomen. Bagian ini dipisahkan oleh membran retroperitoneal dari organ abdomen lainnya. Bagian ini terdiri atas ginjal, ureter, pankreas, duodenum posterior, kolon ascenden dan descenden, aorta abdominalis, dan vena cava inferior. (White dan Yancey, 2011; Emery 2014).

Gambar 2.1. Kiri : intrathoracic abdomen. Tengah : true abdomen. Kanan : retroperitoneal abdomen.

(diambil dari : White dan Yancey, 2011)

2.1.2 Mechanism of Injury

Trauma tumpul abdomen sering terjadi dengan laju mortalitas yang tinggi, seringkali terkait dengan cedera penyerta seperti injury pada kepala, thoraks, pelvis dan atau ekstremitas pada sebanyak 70% korban kecelakaan kendaraan bermotor (White dan Yancey, 2011; Emery, 2014).

Pola injury pada trauma tumpul abdomen disebabkan kecelakaan antara kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan pemukulan dengan benda tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi langsung abdomen dengan objek padat sehingga mengakibatkan

(26)

robeknya atau hematoma subscapular organ padat (hepar atau lien), contohnya pada pasien kecelakaan kendaraan bermotor yang tidak memakai sabuk pengaman dan terluka akibat benturan dari arah depan seperti kaca depan, setir, dashboard ataau floorboard sehingga kemungkinan organ padat yang terlibat adalah lien, hepar, ginjal dan retroperitoneum. Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya organ dan pembuluh darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hepar atau arteri renalis), contohnya pada pengendara kendaraan bermotor yang memakai sabuk pengaman akan mengakibatkan deselerasi akibat sabuk pengaman terutama pada organ usus halus dan besar, robekan mesenterik. Atau bisa karena peningkatan intraluminal yang menyebabkan rupturnya organ berongga (usus halus) (White dan Yancey, 2011; Emery, 2014 ; Peitzman dan Piper, 2014). Trauma tumpul abdomen yang mayoritas sering mengenai organ lien sekitar 40% - 55%, hepar 35% - 45% dan usus halus 5%-10% (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008)

2.1.3 Penanganan Fase Prehospital, Standar Assessment dan Resusitasi pada

Pasien Trauma Abdomen Fase Prehospital intinya memberikan penanganan cepat pada pasien

sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre. Negara maju mengenal sistem EMS yang di organisasi pemerintah lokal, terdiri atas personel kesehatan yang telah tersertifikasi kursus bantuan hidup dasar, akan memberikan pertolongan darurat dahulu bagi pasien (seperti menjaga patensi airway, kontrol

(27)

pendarahan eksternal) setelah pasien stabil akan di transportasikan secepatnya dengan mobil ambulans menuju ke rumah sakit terdekat (biasanya menuju rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre dan terlebih dahulu sudah dihubungi tentang rencana dan kondisi pasien trauma yang akan dirujuk) untuk diberikan penatalaksanaan definitif (Blackwell, dan Kaufman, 2002; Pons, Haukoos, Bludworth, 2005; American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008; Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015). Pasien yang diberikan resusitasi cairan prehospital mampu memberikan angka survival yang baik (National Institute for Health and Care Excellence, 2004).

Batasan waktu fase prehospital diistilahkan dengan “Golden Hour” yang mana jangka waktunya 60 menit dari pasien ditemukan di tempat kecelakaan dan di tranportasikan ke rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre. (Samplais, Lavoie, dan Williams, 1993; Lerner, dan Moscati, 2001). Kecepatan ambulans menjangkau pasien di tempat kecelakaan (Ambulance Response Time) dapat memperbaiki outcome klinis pasien, standar waktu ditentukan 8 menit atau kurang di negara maju (Pons, Markovchick, 2002; Peleg, 2004; Carlowe, 2012; Do, Foo, Ng, dan Ong, 2012). Singapura bahkan memangkas waktu menjadi kisaran 7,5 menit (Lim, dan Anantharaman, 1999; Do, Foo, Ng, dan Ong, 2012). Angka mortalitas meningkat tiga kali lipat setiap 30 menit dari saat pasien kecelakaan sampai mendapatkan penanganan definitif. (Cowley, Hudson, dan Scanlan, 1973). Secara spesifik untuk kasus pasien trauma abdomen pemendekan waktu prehospital memberikan outcome

(28)

yang baik bagi pasien (Clarke, Trooskin, dan Doshi, 2002; Spahn, Bouillon, Cerny, Coats, Duranteau, Fernández-Mondéjar, dkk, 2013).

Beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta memiliki ambulans 118 tetapi respon time nya jauh dibawah standar negara lain dikarenakan ketidaksepadanan jumlah ambulans dengan luas cakupan wilayah (luas wilayah Jakarta (661m2), populasi 10-12 juta penduduk dengan ambulans 26 buah yang diletakkan di titik strategis Jakarta Utara dan Pusat) dan kemacetan lalu lintas. Sedangkan di Yogyakarta memiliki respon time 10 menit karena ditunjang populasi 425.000 dan lalu lintas yang tidak macet (Pusponegoro, dan Pitt, 2004).

Assessment pasien trauma terbaik menggunakan sistem ATLS seperti dirumuskan American College of Surgeons Committee on Trauma tahun 2008. Saat pasien datang di terima tim Trauma RS yang kemudian menjalankan protokol : primary survey (ABCDE), resusitasi, secondary survey (Head to Toe Examination), Investigasi dan penanganan definitif.

2.1.3.1 Penanganan Primary Survey dan Resusitasi

Primary survey dan resusitasi terdiri atas Pemeriksaan Airway (with C-spine Protection), Breathing, Circulation, Disability (Neurologic Evaluation), Exposure/Environmental Control. Pemeriksaan ABC didahulukan sesuai dengan urutan penyebab kematian yang tercepat yaitu Airway disusul Breathing dan Circulation (syok terutama syok hipovolemik). Kemudian ditambahkan Disability

(29)

dan Exposure/Environmental Control untuk membantu evaluasi awal pasien. Kesemuanya dilakukan secara berurutan dan simultan (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Airway (with C-spine Protection) prinsipnya membebaskan jalan nafas dari sumbatan seperti darah, muntahan, gigi, patahan tulang rahang atau pembengkakan jaringan lunak. Sekusensial memproteksi C-spine dengan menjaga posisi leher tetap lurus dan dipasang Collar Brace, sambil mengerjakan manuver : Head tilt (memiringkan kepala pasien ke salah satu sisi; boleh dilakukan hanya pada pasien yang sudah disingkirkan kemungkinan lesi cervical) atau Chin lift dan Jaw Thrust. Kemudian memasang alat bantu memastikan patensi airway seperti OroTracheal Tube (OTT) atau bisa mengerjakan cricothyroidotomy dan intubasi endotracheal, dilanjutkan dengan pemberian bantuan oksigen (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Breathing di-asses setelah airway bersih, ekspos dada pasien, inspeksi kedua sisi dada dipastikan pergerakan dinding dada simetris, palpasi mencari adanya kemungkinan fraktur costae, segmen flail chest dan emfisema subkutis. Kemudian dilakukan auskultasi untuk menyingkirkan kelainan nafas seperti tension pneumothoraks, pneumothoraks spontan atau hematothoraks. Untuk penatalaksanaan emergency dilakukan needle thoracocentesis, untuk definitifnya dilakukan pemasangan Thoracostomy WSD (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Masalah Circulation adalah masalah yang ditangani selanjutnya, beberapa parameter yang bisa dipakai adalah penilaian terhadap tingkat kesadaran, denyut nadi,

(30)

detak jantung, tekanan darah, warna kulit, produksi urin, dan base deficit (dari analisis gas darah). Jenis syok yang paling sering terjadi pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Abdomen secara khusus dievaluasi dikarenakan terdapat organ yang rentan akibat trauma seperti hepar dan lien (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Patofisiologi syok hipovolemik yaitu hilangnya darah dari pembuluh darah sehingga respon tubuh mengompensasinya dengan melakukan vasokonstriksi pembuluh darah pada kutis, otot dan organ sehingga aliran darah ke otak, jantung dan ginjal terjaga. Selain itu terjadi kenaikan denyut jantung untuk menjaga cardiac output terjaga. Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan perifer sehingga mampu meningkatkan tekanan darah sistolik dan mereduksi tekanan nadi. Selain itu juga dilepaskan beberapa hormon seperti histamin, bradikinin, β-endorfin dan kaskade prostanoid dan sitokin lainnya untuk mempertahankan permeabilitas vaskular dan mikrosirkulasi. Di tingkat seluler akan terjadi pergeseran ke metabolisme anaerob dimana akan menghasilkan asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolik, seringkali disertai penurunan kompensasi tubuh untuk mempertahankan suhunya sehingga akan jatuh dalam kondisi hipotermia yang akan berlanjut menuju kondisi koagulopati yang menyebabkan mortalitas. Tanda-tanda klinis syok hipovolemik adalah akral dingin (suhu tubuh < 35°C), takikardia (pada orang dewasa apabila nadi > 100 kali/menit), produksi urin < 0,5-1 cc/Kg berat badan per jam Penatalaksanaan syok hipovolemik pada prinsipnya untuk mengontrol pendarahan dan merestorasi volume cairan yang bersirkulasi (Brzozowski, dan Hans,

(31)

2012). Berikut ini disajikan tabel 2.1. untuk memperkirakan kehilangan darah pasien pada saat presentasi awal di UGD.

Tabel 2.1. Parameter Kehilangan Darah Pasien saat Presentasi Awal di UGD (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008)

Parameter yang dipakai untuk menilai keadekuatan resusitasi cairan bisa dilihat pada tabel 2.2.

(32)

Tabel 2.2. Respon terhadap Awal Pemberian Resusitasi Cairan (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008)

Dissability dinilai dari tingkat kesadaran pasien saat diterima di UGD. Dinilai berdasarkan parameter yang disingkat AVPU : Alert, respon pasien terhadap stimulasi Verbal, respon pasien terhadap stimulasi nyeri (Pain), dan Unresponssive. Bisa pula menggunakan skor Glasgow Coma Scale yang mengamati status neurologi pasien berdasarkan mata, verbal dan motorik (Reiff, Rue III, 2009). Selanjutnya Exposure/Environment Control dilakukan dengan mengekspos seluruh tubuh pasien kemudian pasien di Log Roll untuk mengevaluasi bagian belakang tubuh pasien

(33)

dengan memperhatikan C-spine Protection. Pasien diperiksa dalam lingkungan bersuhu hangat dan kering (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Resusitasi cairan dimulai dengan pemberian cairan kristaloid isotonik hangat (37°C-40°C) sebanyak 1-2 liter melalui pemasangan dua buah kateter intravena dengan diameter besar. Saat pemasangan kateter sekaligus diambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium serta crossmatch sebagai persiapan apabila pasien membutuhkan transfusi darah. Apabila tubuh pasien tidak merespon dengan pemberian cairan per intravena maka diberikan transfusi darah (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008; Reiff, Rue III, 2009). Target resusitasi cairan adalah hemodinamik normal, produksi urine 0,5-1cc/Kg berat badan per jam, koreksi defisit basa, mengembalikan kadar laktat 0,5-1 mmol/L, dan kadar Hb 7-9 gr/dl (Reiff, Rue III, 2009; Spahn, Bouillon, Cerny, Coats, Duranteau, Fernández-Mondéjar, dkk, 2013).

Transfusi darah berfungsi merestorasi kapasitas pengangkutan oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan dan organ. Pemberian transfusi diawali dengan pemberian PRC akan tetapi saat terjadi transfusi darah masif (pemberian 10 atau lebih unit PRC) perlu diingat untuk mencegah dan memberhentikan proses koagulopati. Cara pencegahan koagulopati dengan pemberian transfusi platelet dan FFP. Patokannya platelet diberikan bila jumlah platelet pasien dibawah 50.000 sel/ml atau bila ditemukan suspek disfungsi platelet. Apabila pendarahan masih berlanjut (nilai INR atau APTT meningkat), diberikan FFP.

(34)

Cryoprecipitate diberikan apabila konsentrasi fibrinogen kurang dari 80 mg/dl (Cryer, 2009).

Protokol transfusi masif diberlakukan apabila volume kehilangan darah pasien mencapai 70ml/Kg, dimana untuk setiap pemberian 1 unit PRC diberikan pula 1 unit FFP secara bersamaaan begitu pula diberikan 6 pak platelet untuk setiap pemberian 6 unit PRC. Saat pasien sudah selesai menjalani pembedahan dan dirawat di ruangan intensif maka target kadar Hb disesuaikan menjadi 8,5-10 gr/dl, target ini diberlakukan universal untuk pasien trauma baik pada pasien geriatri, memiliki komorbid gangguan saraf pusat, COPD ataupun gangguan ginjal (Cryer, 2009).

2.1.3.2 Secondary Survey (Head to Toe Examination)

Pemeriksaan ini dilakukan setelah primary survey selesai, tujuannya mengidentifikasi lesi mayor yang terdapat pada pasien. Termasuk dikerjakan “finger and tubes in every orifices”, pemeriksaan fisik yang dimulai dari ujang kepala sampai kaki, pengambilan sampel darah (hematologi rutin, elektrolit, BUN/SC, PT/APTT dan INR, Lipase, level alkohol dan beberapa tes lainnya, termasuk crossmatch untuk persiapan transfusi. Selain itu juga penunjang lainnya seperti rontgen dan ultrasonografi turut dikerjakan. Semua dikerjakan secara simultan (Brzozowski, dan Hans, 2012).

Fokus pemeriksaan secondary survey pada penelitian ini ditekankan pada pemeriksaan abdomen karena abdomen seringkali menjadi tempat mengumpulnya

(35)

darah akibat ruptur nya organ atau pembuluh darah organ abdomen akibat trauma. Dikerjakan pemeriksaan fisik yang lebih cermat meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi abdomen, untuk mengetahui tanda-tanda peritonitis. Dikerjakan pula pemeriksaan rectal tussae untuk mendapatkan informasi adanya pendarahan saluran cerna bagian bawah, posisi prostat, integritas rektum dan tonus spinkter ani. Pada pasien perempuan, pertimbangkan pemeriksaan bimanual atau spekulum untuk mendeteksi adanya trauma pelvis (Brzozowski, dan Hans, 2012).

2.1.3.3 Investigasi

Pasien dengan distensi abdomen yang progresif, hemodinamik yang tidak stabil (dengan kecurigaan dikarenakan trauma abdomen), Pemeriksaan penunjang seperti FAST (secara simultan selama secondary survey, sensitivitasnya mencapai 95%) untuk mendeteksi adanya cairan bebas pada splenorenal space (lien; sebanyak 50% kasus) atau Morisson’s Pouch (hepar; sebanyak 40% kasus). Pasien kategori ini termasuk indikasi dikerjakan laparotomi eksplorasi. Sedangkan pasien dengan tanpa indikasi laparotomi, penggunaan FAST dan atau CT abdomen adalah untuk menyingkirkan injury di organ lain (Mac Kinnon D, 2012; Brzozowski, dan Hans, 2012). FAST yang sensitif bisa mendeteksi sampai 200cc cairan bebas intraperitoneal, sehingga saat ini diagnostik menggunakan Diagnostic Peritoneal Lavage di Trauma Centre modern fungsinya terbatas karena sudah digantikan oleh FAST dan atau CT (Reiff, Rue III, 2009).

(36)

2.1.4 Penatalaksanaan Damage Control Surgery

Penanganan pasien dengan trauma tusuk abdomen yang menunjukkan tanda-tanda peritonitis harus dikerjakan laparotomi eksplorasi di kamar operasi karena sekitar 1 dari 3 pasien tersebut mengalami pendarahan intraabdomen (White dan Yancey, 2011; Emery 2014).

Protokol yang penanganan trauma abdomen adalah Damage Control Surgery, secara khusus dikerjakan Damage Control Laparotomy. Pembedahan dan ekspos cavum abdomen dalam durasi lama, memperburuk kondisi fisiologis pasien menyebabkan peningkatan morbitas dan mortalitas pasien. Karena itu pembedahan awal dipersingkat sehingga penatalaksanaan pasien trauma berat terbagi atas tiga fase, yaitu : kontrol pendarahan dan kontaminasi, resusitasi dan reekplorasi terencana untuk penanganan pembedahan definitif (Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015).

Indikasi nya berupa instabilitas hemodinamik, koagulopati, asidosis (pH < 7.2), hipotermia (temperatur core < 35°C), injury pada multipel cavum tubuh, perkiraan durasi operasi lama, dan keperluan transfusi masif. Apabila protokol ini dikerjakan, saat pendarahan dan kontaminasi telah terkontrol maka penutupan sementara cavum abdomen (dengan memperhatikan sterilitas, melindungi saluran cerna, mencegah eviserasi dan adhesi, traksi dinding abdomen secukupnya untuk mencegah sindrom kompartemen abdomen) dikerjakan. Hal ini dimaksudkan untuk mengumpulkan, memindahkan, dan mengkuantifikasi drainage cairan abdomen (Spahn, Bouillon, Cerny, Coats, Duranteau, Fernández-Mondéjar, dkk, 2013;

(37)

Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015). Tahap kontrol pendarahan dan kontaminasi harus selesai dalam 60-90 menit (Germanos, Gourgiotis, Villias, Bertucci, Dimopoulos, dan Salemis, 2008).

Teknik yang dikerjakan vacuum-assisted abdominal dressings dan the Bogota bag, dilanjutkan tahap resusitasi yang bertujuan untuk membalikkan proses asidosis dengan merestorasi volume darah sirkulasi dengan cairan hangat dan selimut hangat, memberikan ventilasi dengan udara hangat. Bukti klinis tercapainya keseimbangan fisiologis adalah tekanan darah, dentak jantung dan temperatur tubuh normal, produksi urine adekuat, klirens peningkatan kadar laktat, serta normalisasi profil koagulasi dan Hb. Semua ini harus tercapai sebelum berlanjut ke tahap operasi definitif (Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015).

Tahap operasi definitif dimulai dengan menginspeksi traktus saluran cerna mulai dari diaphragmatic hiatus sampai ke refleksi peritoneum di sekitar distal rektum, sekaligus memastikan posisi Nasogastric Tube. Dikerjakan pula inspeksi dan palpasi seluruh organ padat abdomen, memeriksa apakah ditemukan hematom retroperitoneum, dan inspeksi lesser sac (Kobayashi, Coimbra, dan Hoyt, 2015). Tahap ini dikerjakan 24-72 jam setelah pasien mengalami trauma (Keel, Labler, dan Trentz, 2005).

(38)

2.1.5 Mortalitas pada Trauma Tumpul Abdomen

Mortalitas akibat trauma tumpul abdomen cukup tinggi, berkisar 10%-30%, sedangkan mortalitas akibat luka tembak berkisar 5% - 15% (White dan Yancey, 2011). Morbiditas dan mortalitas yang disebabkan pendarahan intraperitoneal akan meningkat dengan seiringnya penundaan kontrol pendarahan (Peitzman dan Piper, 2014). Mortalitas dini pada pasien trauma tumpul abdomen batasannya adalah 5 hari (Negoi, I., Paun, S., Hostiuc, S., Stoica, B., Tanase, I., Negoi, R.N, 2015).

Penundaan kontrol pendarahan pada pasien trauma terutama trauma abdomen akan menyebabkan pasien akan jatuh pada kondisi bloody vicious cycle yaitu hipotermia, asidosis dan koagulopati. Seperti nampak pada gambar 2.3.

(39)

Gambar 2.3. “The Bloody Vicious Cycle” (Kashuk, 2008).

Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh dibawah suhu 35°C. pada suhu ini, banyak kompensasi fisiologis untuk mengonservasi panas tubuh yang gagal (Danzl, 2008). Hipotermia pada pasien trauma abdomen terjadi karena paparan lingkungan, perdarahan dengan hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan proses termoregulasi, saat meresusitasi pasien dengan cairan cairan dingin dan masif, serta saat pasien menjalani pembedahan dalam kamar operasi yang dingin (Eldar dan Charles, 2004). Hipotermia dapat mempengaruhi koagulasi darah pada setiap tahap mayor proses clotting, yaitu: vaskuler, platelet dan aktivasi faktor clotting.

(40)

Hipotermia menghambat aktivitas protease dan fungsi trombosit. Aktivitas kompleks faktor jaringan menurun seiring dengan penurunan suhu tubuh dan 50% tidak bekerja pada suhu 28oC. Pada akhirnya hipotermia dapat menyebabkan koagulopati yang meningkatkan mortalitas pada pasien trauma (Ahrenholz, D.H. 2013).

Asidosis pada pasien trauma abdomen terjadi karena syok dan kelebihan ion klorida pada resusitasi. Asidosis yang sering terjadi pada kasus ini adalah asidosis metabolik. Meng dan kawan-kawan menyebutkan bahwa ketika pH turun dari 7,4 menjadi 7,0, aktivitas faktor VIIa menurun sebesar 90%, faktor jaringan sebesar 55% dan rata-rata aktivasi protrombin oleh faktor Xa/faktor Va kompleks menurun sebesar 70%. Martini dan kawan-kawan menyatakan bahwa asidosis (pH 7,1) dan apabila dikombinasikan dengan hipotermia (t = 32°C) akan meningkatkan waktu pendarahan lien sebanyak 72%. (Tieu, Holcom, dan Schreiber, 2007)

Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan pada sistem koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time (BT) atau peningkatan waktu pembekuan darah. Trauma menyebabkan adanya perdarahan sehingga membutuhkan resusitasi. Resusitasi menyebabkan terjadinya hemodilusi dan hipotermia sehingga terjadi koagulopati dan kembali menyebabkan perdarahan. Syok yang terjadi akibat perdarahan menyebabkan terjadinya asidosis dan hipotermia yang merangsang koagulopati dan kembali lagi terjadi perdarahan dan hal ini dikenal dengan trias kematian pada trauma. Trauma dan syok berhubungan dengan konsumsi faktor-faktor koagulasi dan fibrinolisis yang berakhir pada koagulopati. Selain itu, koagulopati

(41)

yang terjadi pada trauma dipengaruhi oleh inflamasi, genetik, medikasi dan penyakit lain. (John, Brohi, Dutton, Hauser, Holcomb, dan Kluger, 2008)

Koagulopati akut pada trauma didefinisikan sebagai nilai INR > 1,2. Pada trauma, nilai INR >1,2 menunjukkan suatu keadaan klinis yang berhubungan erat dengan risiko yang signifikan terjadinya kematian dan kebutuhan transfusi. (Davenport, 2011; Hagemo dkk, 2015)

2.2 Penggunaan Sistem Skoring NISS pada pasien trauma abdomen

Sistem skoring trauma dikembangkan dan digunakan di banyak negara untuk memperkirakan beratnya trauma dan kerusakan jaringan, secara umum memiliki fungsi untuk :

1. Memprediksi outcome trauma 2. Membandingkan metode terapeutik

3. Alat untuk men-triage pre dan inter-hospital

4. Alat untuk memperbaiki kualitas dan program prevensi 5. Alat untuk penelitian dibidang trauma

Dimana sistem skoring ini mengkonversikan berat ringannya trauma sehingga dapat dihomogenkan untuk membantu petugas medis berkomunikasi secara universal. Sistem trauma terbagi menjadi seperti yang dilihat pada tabel 2.3 dan penggunaan skoring trauma nampak pada tabel 2.4. (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004).

(42)

Tabel 2.3. Klasifikasi Skoring Sistem (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004)

Pembahasan skoring trauma di fokuskan pada NISS yang terbentuk karena sering ditemukan kelemahan pada skoring trauma lainnya seperti (Tohira, Jacobs, Mountain, Gibson, dan Yeo, 2012) :

1. RTS (1980)

merupakan skor fisiologi yang paling sering digunakan, menghitung tiga parameter fisiologi yaitu GCS, tekanan darah sistemik dan respirasi. Kelemahannya, skor ini tidak praktis digunakan pada kasus trauma, tidak dapat digunakan pada pasien-pasien dalam kondisi

(43)

terintubasi dan menggunakan ventilator karena kesulitan dalam menghitung GCS. Perubahan yang cepat pada fisiologi pasien misalnya akibat respon resusitasi menyebabkan bias pada penghitungan RTS. Skor ini jarang dipakai. (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004).

2. APACHE

Sering digunakan dalam perawatan intensif. Evaluasi ini meliputi evaluasi penyakit kronis yang menjadi komorbiditas dan skor fisiologi akut. Kelemahan skor ini adalah kurang mencerminkan kondisi kelainan di ekstrakranial dan faktor komorbiditas banyak menimbulkan bias (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004).

3. AIS (1971, revisi 1985, revisi 1990)

Merupakan skoring trauma berdasarkan anatomis, mengklasifikasikan basis regio tubuh yang terluka dan derajat keparahan regio tubuh yang terluka. terdiri atas enam derajat keparahan trauma, yaitu :

(44)

Gambar 2.4. Komponen AIS

Dimana semakin tinggi skala yang diberikan mengindikasikan luka yang semakin parah. Skala ini skala subyektif, pedoman yang dipakai para ahli untuk menentukan skala pada AIS, berdasarkan empat kriteria, yaitu : mengancam nyawa, kecacatan permanen, jangka waktu perawatan, dan energy dissipation. Sehingga AIS memiliki kelemahan yaitu tidak bisa menghitung injury multipel pada regio tubuh yang sama, dan korelasi yang minim antara skala AIS dengan survival (O’Keefe, dan Jurkovich, 2001).

4. ISS (1974)

Merupakan skoring trauma berdasarkan anatomis, dimana sistem ini dirumuskan : ISS = AIS2 + AIS2 + AIS2. AIS dihitung pada tiga regio tubuh yang terdampak trauma yang terparah tetapi tidak boleh memasukkan regio tubuh yang sama. Skor nya berkisar dari 1-75

(45)

dimana semakin besar skor berarti semakin fatal injury yang diterima pasien. Sehingga AIS memiliki kelemahan tidak bisa menghitung multipel injury pada satu regio tubuh dan menyamaratakan keparahan setiap regio tubuh efeknya terjadi underscooring bila terjadi multipel injury pada regio tubuh yang sama (O’Keefe, dan Jurkovich, 2001; Becher, Meredith,dan Kilgo, 2013).

5. TRISS

Merupakan kombinasi ISS dan RTS, yang dipergunakan untuk memprediksi survival pasien. Sehingga sistem skor ini memiliki kelemahan yang sama pada ISS dan RTS (O’Keefe, dan Jurkovich, 2001).

NISS dikembangkan Osler dan kawan-kawan dirumuskan berdasarkan penghitungan tiga organ tubuh yang mengalami trauma berat (dilihat dari AIS tertinggi, tanpa memperdulikan organ yang terkena itu dalam satu regio tubuh atau bukan) lalu di pangkatkan dua dan dijumlahkan. Sehingga NISS dapat memprediksi outcome lebih akurat pada pasien trauma multipel pada satu regio tubuh seperti contohnya trauma abdomen, dan dapat dipergunakan sebagai sebagai prediktor adanya kegagalan multi organ pada post trauma, dipakai patokan skala NISS > 50 dinyatakan pasien mengalami mortalitas (Yose, Wiargitha, dan Mahadewa, 2015) seperti nampak pada

(46)

gambar 2.5. Kisaran skor ini antara 1-75. Dengan skala 1 trauma minor dan 75 terberat (O’Keefe, dan Jurkovich, 2001).

Gambar 2.5. Contoh Perbedaan Penghitungan ISS vs NISS (O’Keefe, dan Jurkovich, 2001)

(47)

Tabel 2.4 Sistem Skoring Trauma berdasarkan Penggunaannya (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004)

(48)

30 BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

3.1 Kerangka berpikir

Trauma tumpul abdomen adalah lesi yang diakibatkan penekanan langsung pada area abdomen yang menimbulkan kerusakan organ abdomen dengan mekanisme penekanan organ abdomen dengan tulang belakang atau teregang paling sering diakibatkan kecelakaan kendaraan bermotor, yang menyebabkan pasien membutuhkan resusitasi dan penatalaksanaan lebih lanjut di rumah sakit. Pasien yang diberikan pertolongan darurat di lokasi kejadian diberikan resusitasi cairan untuk menekan angka mortalitas pasien tersebut (National Institute for Health and Care Excellence, 2004) kemudian akan ditransportasikan ke rumah sakit Sanglah, dihitung berdasarkan waktu kurang dari 60 menit. Saat pasien diterima di IRD rumah sakit dapat dinilai skoring trauma berdasarkan NISS untuk menentukan nilai > 50 menunjukkan pasien akan berisiko mengalami mortalitas (Yose, Wiargitha, dan Mahadewa, 2015).

Kondisi pasien trauma abdomen yang dibawa dalam keadaan syok kelas 2 dengan kondisi akral dingin dengan suhu < 35°C dan denyut nadi > 120 kali permenit menunjukkan pasien membutuhkan resusitasi dengan cairan kristalloid dan pemberian transfusi darah (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

(49)

Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan pada sistem koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time (BT) atau peningkatan waktu pembekuan darah. Trauma menyebabkan adanya perdarahan sehingga membutuhkan resusitasi. Resusitasi menyebabkan terjadinya hemodilusi dan hipotermia sehingga terjadi koagulopati dan kembali menyebabkan perdarahan. Syok yang terjadi akibat perdarahan menyebabkan terjadinya asidosis dan hipotermia yang merangsang koagulopati dan kembali lagi terjadi perdarahan dan hal ini dikenal dengan trias kematian pada trauma. Koagulopati akut pada trauma didefinisikan sebagai nilai INR > 1,2. Pada trauma, nilai INR > 1,2 menunjukkan suatu keadaan klinis yang berhubungan erat dengan risiko yang signifikan terjadinya kematian dan kebutuhan transfusi (Davenport, 2011; Hagemo dkk, 2015). Pasien yang membutuhkan pembedahan akan menjalani protokol Damage Control Laparotomy khusus untuk pasien trauma tumpul abdomen dengan ketidakstabilan hemodinamik, dimana durasi operasi < 90 menit, penanganan > 90 menit berpotensi meningkatkan mortalitas pasien (Germanos, Gourgiotis, Villias, Bertucci, Dimopoulos, dan Salemis, 2008). Pada prosedur abdomen yang dikerjakan > 2 jam dengan pendarahan durante operasi > 1500 cc berpotensi meningkatkan koagulopati yang pada akhirnya meningkatkan mortalitas (Kozek-Langenecker, S.A., Afshari, A., Albaladejo, P., Santullano, C.A.A., Robertis, E., Filipescu, D.C., et al, 2013).

(50)

3.2 Konsep Penelitian Penanganan pasien di IGD rumah sakit Pasien Trauma Tumpul Abdomen Outcome pasien Penanganan di kamar operasi rumah sakit  Prehospital insult Transport time Durasi operasi Damage Control Surgery  Jumlah pendarahan durante operasi  Koagulopati Hidup Mati  NISS  Syok hipovolemik

(51)

3.3 Hipotesa Penelitian

a. Prehospital insult merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

b. Transport time > 60 menit merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

c. NISS > 50 merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen. d. Syok hipovolemik merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul

abdomen.

e. Koagulopati ditandai INR > 1,2 merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

f. Durasi operasi > 90 menit merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

g. Jumlah pendarahan durante operasi > 1500 cc merupakan faktor risiko mortalitas pasien trauma tumpul abdomen.

(52)

34 BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan cohort untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang menyebabkan mortalitas pasien trauma tumpul abdomen. Penelitian dimulai dengan identifikasi kasus yaitu individu dengan trauma tumpul abdomen sebagai faktor risiko klinis. Selanjutnya dilakukan observasi data secara retrospektif untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berperan terhadap mortalitas pasien. Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Bagan Rancangan Penelitian

Hidup Mati Hidup Mati Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-) Pasien trauma tumpul

(53)

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan melalui pengamatan rekam medis pasien di Instalasi Rekam Medis RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dimulai pada Januari 2015 sampai Desember 2015.

4.3. Sumber Data 4.3.1. Populasi

a. Populasi target (target population) adalah semua pasien dengan trauma tumpul abdomen.

b. Populasi terjangkau (accessible population) adalah semua pasien dengan trauma tumpul abdomen yang diterima di RSUP Sanglah Denpasar sejak kurun waktu terhitung Januari 2015 sampai Desember 2015.

c. Sampel yang diinginkan (intended sample) adalah sampel yang dipilih dengan teknik berurutan (consecutive sampling) dari populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

d. Subyek yang diteliti (actual study subjects) adalah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.2. Kriteria Inklusi

Seluruh penderita berusia lebih dari 16 tahun dan kurang dari 65 tahun yang menderita trauma tumpul abdomen yang datang ke RSUP Sanglah Denpasar dan mendapatkan penatalaksanaan.

(54)

4.3.3. Kriteria Eksklusi

a. Pasien dengan catatan medis tidak lengkap b. Pasien meninggal saat diresusitasi

c. Pasien disertai trauma berat organ lain selain abdomen yang dapat menyebabkan kematian

d. Pasien trauma abdomen selain trauma tumpul abdomen 4.3.4. Teknik Pengambilan Sampel

Pasien yang berobat ke Instalasi Rawat Darurat (IRD) bedah RSUP Sanglah Denpasar dan memenuhi syarat sebagai sampel serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian pada penelitian ini dipilih secara berurutan (consecutive sampling) sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.

4.3.5. Besar Sampel

Besar sampel menggunakan rumus uji hipotesa terhadap Risk Ratio (RR):

( √ ) √

Zα adalah nilai baku untuk kesalahan tipe 1 (α) sebesar 5% (1,96) Zβ adalah nilai baku untuk power penelitian 90% (0,842)

(55)

P2 adalah proporsi dilakukan operasi pada pasien trauma tumpul abdomen. Berdasarkan pengalaman jumlah pasien trauma tumpul abdomen yang datang dan akhirnya mengalami operasi, maka diketahui P2 sebesar 30% (0,3)

RR adalah risiko relative dari yang terpapar faktor risiko untuk terjadinya mortalitas trauma tumpul abdomen dan perlunya tindakan operasi dibandingkan yang tidak terpapar faktor risiko. Diputuskan RR = 2.

P1 adalah proporsi terjadinya trauma tumpul abdomen dan perlunya tindakan operasi pada yang terpapar faktor risiko. Diketahui dengan cara P2 x RR = 0,6.

P adalah P rata-rata, yaitu (P1 + P2)/2 = 0,45. Q adalah 1 – P = 0,55

Berdasarkan rumus diatas didapatkan jumlah sampel total = 50. 4.4. Variabel Penelitian

4.4.1. Klasifikasi dan Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok variabel, yaitu:

a. Variabel bebas adalah prehospital insult, transport time, NISS, syok hipovolemik, koagulopati, durasi operasi, dan jumlah pendarahan durante operasi.

(56)

4.4.2. Definisi Operasional Variabel

Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi operasional dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut :

a. Prehospital insult adalah pasien trauma tumpul abdomen tidak diberikan pertolongan pertama oleh petugas kesehatan yang tersertifikasi sudah pernah mengikuti BLS dan ALS, tidak diberikan resusitasi cairan berupa pemasangan akses intravena dan cairan infus sebelum pasien tersebut di transportasikan ke rumah sakit, dan tidak ditransportasikan dengan ambulans dengan fasilitas life support. (Pusponegoro, 2005)

b. Trauma tumpul abdomen adalah lesi yang diakibatkan penekanan langsung pada area abdomen yang menimbulkan kerusakan organ abdomen dengan mekanisme penekanan organ abdomen dengan tulang belakang atau teregang. (Whitey, dan Yancey, 2011)

c. Transport time adalah waktu yang butuhkan untuk membawa pasien trauma abdomen dari tempat kejadian menuju IRD rumah sakit > 60 menit.

d. AIS adalah deskripsi trauma organ berdasarkan beratnya trauma pada organ tersebut dengan rentang skala 1-6. Skala 1 cedera minor, skala 2 moderate, skala 3 cedera serius, skala 4 cedera berat, skala 5 cedera kritis dan skala 6 cedera yang menyebabkan kematian (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004).

(57)

e. NISS adalah modifikasi dari ISS dimana NISS menghitung jumlah dari kuadrat AIS tiga organ terberat tanpa memperhitungkan bagian tubuh (Chawda, Hildebrand, Pape, dan Giannoudis, 2004).

f. NISS positif menyebabkan mortalitas jika nilainya > 50.

g. Syok hipovolemik adalah kondisi pasien mengalami pendarahan berpatokan pada klinis suhu tubuh < 35°C diukur dengan termometer dan nadi > 120 kali/menit (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). h. Koagulopati pada trauma adalah kerusakan atau gangguan pada sistem

koagulasi darah yang menyebabkan pemanjangan waktu pembekuan darah dengan INR > 1,2. Pada koagulopati akut akibat trauma, nilai INR diperiksa pada saat datang di IRD rumah sakit. (Hagemo, Christian, Stanworth, Brohi, Johanson, dan Goslings, 2015)

i. INR adalah rasio antara protrombin time (PT) dengan Mean Normal Prothrombin Time (MNPT).

j. Prothrombin time adalah waktu yang diperlukan untuk proses pembekuan darah jalur ekstrinsik.

k. Mean Normal Protrombin Time adalah nilai tengah waktu normal dari PT. l. Durasi operasi adalah lama waktu yang dibutuhkan > 90 menit untuk

mengerjakan prosedur damage control surgery yang operatornya residen jaga 2 ke atas atau spesialis bedah.

(58)

m. Jumlah darah yang hilang durante operasi adalah jumlah pendarahan selama prosedur operasi baik yang di gaas, mesin suction maupun estimasi darah yang tercecer di lantai kamar operasi sejumlah > 1500cc.

n. Mortalitas pasien adalah kematian pasien dalam jangka waktu 5 hari setelah pasien mendapatkan penanganan surgical resuscitation (Negoi, I., Paun, S., Hostiuc, S., Stoica, B., Tanase, I., Negoi, R.N, 2015).

4.5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: lembar pengumpul data yang digunakan untuk mengeksplorasi faktor risiko prehospital insult, transport time, NISS, syok hipovolemik, koagulopati, durasi operasi dan jumlah darah yang hilang durante operasi.

4.6. Prosedur Penelitian 4.6.1. Tahap Persiapan

Sampel penderita yang didiagnosis trauma tumpul abdomen dipilih secara berurutan (consecutive). Preparasi penanganan disiapkan sesuai dengan prosedur baku penanganan trauma tumpul abdomen.

(59)

4.6.2. Pelaksanaan Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian, etika penelitian dikonsultasikan dengan Komisi Etika Penelitian Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar guna mendapatkan surat kelaikan etika.

Semua penderita yang didiagnosa trauma tumpul abdomen sejak bulan Januari 2015 sampai dengan Desember 2015, dievaluasi rekam medik dan diambil data yang berhubungan dengan penelitian. Semua penderita trauma abdomen diberikan penanganan medis sesuai prosedur standar operasional RSUP Sanglah.

(60)

4.7. Alur penelitian

POPULASI TARGET : Pasien Trauma Abdomen

SAMPEL

POPULASI TERJANGKAU : Pasien Trauma Abdomen di RSUP Sanglah

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Faktor- faktor risiko :

Prehospital insult

Transport time > 60 menit

 NISS > 50

 Syok hipovolemik

 Koagulopati

 Durasi operasi > 90menit

 Jumlah pendarahan durante operasi > 1500cc

ANALISA

Mati Hidup

(61)

4.8. Analisis Data

Analisis data pada penelitian dilakukan dalam 3 tahap : analisis univariabel, bivariabel dan multivariabel

1. Analisis univariabel, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek dan variabel penelitian. Hasil analisis univariabel ditampilkan dalam tabel distribusi tunggal. Variabel yang berskala data numerik ditampilkan menggunaka mean dan standar deviasi. Sedangkan variabel yang berskala data kategorikal ditampilkan dalam frekuensi relatif.

2. Analisis bivariabel, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel bebas dengan satu variabel tergantung. Analisis ini dilakukan dengan cara membuat tabel silang 2 x 2. Kemudian untuk menilai hubungan, dihitung Risk Ratio (RR). Adapun interpretasi dari RR adalah, jika RR > 1, maka variabel bebas merupakan faktor risiko terjadinya variabel tergantung. Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariabel ini adalah chi square test pada batas kemaknaan 0.05. Penilaian kemaknaan menggunakan 95%CI dari RR dan nilai p.

3. Analisis multivariabel, analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh murni satu variabel bebas terhadap 1 variabel tergantung dengan mengontrol (mengendalikan) variabel bebas lainnya yang juga mempengaruhi variabel tergantung. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan uji regressi poisson, dengan cara memasukkan variabel bebas dengan nilai p < 0,250 berdasarkan

(62)

hasil analisis bivariabel. Semua variabel, dianalisis bersama – sama dan tidak ada yang dieliminasi. Metode ini disebut sebagai metode Enter. Kemaknaan secara statistik dinilai menggunakan 95% CI dari RR dan nilai p.

Keseluruhan tahap analisis data tersebut menggunakan bantuan perangkat lunak statistik SPSS 21.

(63)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Data Karakteristik Sampel Penelitian

Selama tahun 2015 tercatat 252 pasien menderita trauma tumpul abdomen dimana 230 pasien menjalani tindakan pembedahan dan 50 pasien yang memenuhi kriteria penelitian ini. Median usia pasien adalah 27 dengan usia termuda adalah 16 tahun dan usia tertua adalah 65 tahun, serta jenis kelamin laki-laki merupakan mayoritas penderita trauma tumpul abdomen mencapai 86% (Tabel 5.1)

(64)

Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik n (%) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 43 (86) 7 (14) Usia Median (IQR) 27 (22) Prehospital insult Ya Tidak 23 (46) 27 (54) Transport time > 60 menit

Ya Tidak 36 (72) 14 (28) NISS > 50 Ya Tidak 15 (30) 35 (70) Syok Hipovolemik Ya Tidak 28 (56) 22 (44) Koagulopati Ya Tidak 25 (50) 25 (50) Durasi waktu operasi > 90 menit

Ya Tidak

8 (16) 42 (84) Jumlah pendarahan durante operasi

>1500cc Ya Tidak 30 (60) 20 (20) Outcome pasien Hidup Meninggal 28 (56) 22 (44)

(65)

5.2. Analisis Faktor-Faktor Risiko yang menyebabkan Mortalitas Pasien Trauma Tumpul Abdomen

Analisa bivariat menunjukkan faktor-faktor risiko yang menyebabkan mortalitas pada pasien trauma tumpul abdomen adalah Prehospital insult, RR ∞ (95% CI= -, p < 0.001), NISS > 50, RR 5 (95% CI= 2,578-9,699, p < 0.001), Syok hipovolemik, RR 2,1 (95% CI= 0,986-4,453, p = 0,035), dan Koagulopati, RR 2,1 (95% CI= 1,058-4,338, p = 0,023) (Tabel 5.2). Analisa dilanjutkan secara multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko secara utama yang berperan mempengaruhi mortalitas pada pasien trauma tumpul abdomen adalah prehospital insult dan NISS > 50, RR 4,1 (95%CI=2,027-8,228, p<0,001) (Tabel 5.3).

(66)

Tabel 5.2 Analisis Bivariat Faktor-Faktor Risiko yang menyebabkan Mortalitas Pasien Trauma Tumpul Abdomen

Variabel Mortalitas RR 95% CI Nilai p

Ya (n=22) Tidak (n=28) Prehospital Insult* Ya Tidak 22 (95,7) 0 (0,0) 1 (4,3) 27 (100,0) ∞ - < 0.001

Transport time > 60 menit Ya Tidak 18 (50,0) 4 (28,6) 18 (50,0) 10 (71,4) 1,75 0,718-4,263 0,171 NISS > 508 Ya Tidak 15 (100,0) 7 (20,0) 0 (0,0) 28 (80,0) 5 2,578-9,699 < 0,001 Syok Hipovolemik* Ya Tidak 16 (57,1) 6 (27,3) 12 (42,9) 16 (72,7) 2,1 0,986-4,453 0,035 Koagulopati* Ya Tidak 15 (60,0) 7 (28,0) 10 (40,0) 18 (72,0) 2,1 1,058-4,338 0,023 Durasi waktu operasi > 90

menit Ya Tidak 6 (75,0) 16 (38,1) 2 (25,0) 26 (61,9) 2,0 1,130-3,431 0,062 Jumlah pendarahan durante

operasi >1500cc Ya Tidak 16 (53,3) 6 (30,0) 14 (46,7) 14 (70,0) 1,8 0,841-3,758 0,103

(67)

Tabel 5.3 Analisis Multivariat Faktor-Faktor Risiko yang menyebabkan Mortalitas Pasien Trauma Tumpul Abdomen

Variabel RR 95% CI Nilai p

NISS > 50*

4,1 2,027-8,228 < 0,001 Transport time > 60 menit

1,6 0,550-4,529 0,397 Syok Hipovolemik

1,3 0,717-2,348 0,390 Koagulopati

1,4 0,778-2,378 0,280 Durasi waktu operasi > 90

menit 1,7 0,821-3,413 0,156

Jumlah pendarahan durante

operasi >1500cc 0,8 0,382-1,555 0,467

5.3. Pembahasan

Prehospital insult seperti yang disampaikan dalam kajian pustaka sebelumnya, pengertiannya tidak diberikan pertolongan pertama oleh petugas kesehatan yang tersertifikasi sudah pernah mengikuti BLS dan ALS, tidak diberikan resusitasi cairan berupa pemasangan akses intravena dan cairan infus sebelum pasien tersebut di transportasikan ke rumah sakit, dan tidak ditransportasikan dengan ambulans dengan fasilitas life support merupakan faktor risiko utama mempengaruhi mortalitas pada pasien trauma tumpul abdomen, hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Murad et al (2012) selama periode 1997-2006 pada 2788 pasien

Gambar

Gambar 2.1.   Kiri : intrathoracic abdomen. Tengah :  true abdomen.
Tabel 2.1. Parameter Kehilangan Darah Pasien saat Presentasi Awal di UGD  (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008)
Tabel 2.2. Respon terhadap Awal Pemberian Resusitasi Cairan  (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008)
Gambar 2.3. “The Bloody Vicious Cycle” (Kashuk, 2008).
+6

Referensi

Dokumen terkait

bahwa kecilnya nilai NOPAT dipengaruhi oleh laba usaha yang rendah dan pajak usaha yang tinggi dan akan mempengaruhi kecilnya nilai pada EVA. Begitu pula sebaliknya,

Namun, sebaran salinitas secara umum untuk melihat pengaruh air laut terhadap air tanah yang ada di Surabaya Timur, maka metode yang bisa digunakan adalah

Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah lebih singkatnya waktu untuk mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) setempat

Korban penyalahgunaan narkoba (residen/pengguna) dengan pengedar, bandar atau produsen narkoba secara ilegal.Terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba semakin

Meskipun pada dasarnya setiap prosesi dan benda budaya yang digunakan memiliki hakekat dan makna yang positif, namun prosesi tersebut seolah menjadi sesuatu yang wajib

Pengalaman menghidupkan kota Jakarta dengan warna-warni yang cerah serta melihat senyum wajah-wajah ceria yang terpancar dari para peserta berkat dukungan CIMB

Lain halnya dengan organisasi besar yang berbentuk perusahaan, biasanya mereka memanfaatkan semua elemen dari bauran promosi (promotion mix) untuk meningkatkan jumlah

difusibilitas (daya difusi koloid kecil karena ukuran partikelnya sangat besar dibandingkan partikel sejati), sifat penampakan (sistem koloid sering jernih sejernih