• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler

Dalam dokumen NI WAYAN ARMERINAYANTI NIM (Halaman 64-74)

KAJIAN PUSTAKA

2.9 Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler

Penanganan pasien dengan KTP secara umum terdiri dari empat komponen utama diantaranya ekstirpasi pembedahan yang adekuat, ablasi RAI (Radioactive Iodine) tambahan pada kasus tertentu, supresi TSH, dan surveillance. Keseluruhan strategi terapi tergantung pada temuan preoperatif dan intraoperatif sesuai klasifikasi TNM serta evaluasi postoperatif yang berkaitan dengan perangai biologis tumor (Cooper et

al., 2006; NCCN, 2012). Penelitan sebelumnya menunjukkan perangai KTPVF

varian encapsulated berbeda dengan KTP klasik, terkait tingkat mutasi BRAF V600E

dan metastasis KGB yang lebih rendah. Berbeda dengan KTPVF non encapsulated yang perangai biologisnya menyerupai KTP klasik, dengan tingkat mutasi BRAF V600E dan metastasis KGB yang secara signifikan lebih tinggi. Namun penelitian terbaru menemukan bahwa perangai kedua varian KTPVF ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, sehingga penentuan agresivitas kasus KTPVF dari berbagai aspek sangat penting untuk ketegasan penentuan terapi karena kasus yang agresif memerlukan tiroidektomi total, radical neck dissection (RND) dan ablasi RAI (Constantine et al., 2007; Chang et al., 2006; Xing et al., 2005)

Pilihan terapi untuk reseksi tumor primer tiroid sering diperdebatkan, apakah harus memilih lobektomi atau tiroidektomi total atau near-total (mendekati total). Hingga saat ini masih diperdebatkan luas tiroidektomi yang harus dilakukan, terutama untuk KTP yang berukuran kecil, intratiroid, berisiko rendah dan berdiferensiasi baik. Beberapa memaparkan bahwa terapi lobektomi tidak memberikan keuntungan harapan hidup dibandingkan tiroidektomi yang lebih luas namun bisa mengurangi risiko terjadinya komplikasi cedera RLN (Recurrent

Laryngeal Nerve) dan hipoparatiroidisme permanen (Cooper et al., 2006; Bilimoria et al., 2007)

Pendapat yang mendukung tiroidektomi total meliputi laporan bahwa tiroidektomi yang lebih luas mengurangi risiko kekambuhan dan memberikan keuntungan untuk harapan hidup dibandingkan lobektomi. Demikian pula di tangan ahli bedah endokrin yang berpengalaman, tingkat komplikasi antara tiroidektomi total sebanding dengan lobektomi. KTP bersifat multifokal pada 80% kasus dan bilateral pada 60% kasus, dan pilihan untuk menghilangkan seluruh kelenjar tiroid memfasilitasi kegunaan RAI postoperatif untuk menangani sisa tumor yang tampak secara mikroskopik atau lesi metastatik, serta mendukung kegunaan tiroglobulin (Tg) postoperatif sebagai marker sensitif dalam mengetahui kekambuhan. Pedoman konsensus menganjurkan tiroidektomi total atau yang mendekati total sebagai pilihan terapi awal pada pasien KTP dengan indikasi absolut meliputi riwayat paparan radiasi, kanker tiroid familial, tumor ukuran lebih dari 4 cm, adanya perluasan ekstratiroid, adanya metastasis

limfonodi atau metastasis jauh, atau varian histologis KTP bersifat agresif (Toniato et

al., 2008; Haigh et al., 2005)

Metastasis KGB pada kasus KTP sering ditemukan, melalui tindakan diseksi leher propilaktik didapatkan prevalensi 33-63% untuk metastasis KGB leher sentral (pre-atau paratrakea/ level VI), dan prevalensi 57-64% untuk metastasis KGB leher lateral (level II, III, dan IV) yang sebelumnya tidak terdeteksi melalui pemeriksaan ultrasonografi preoperatif. Diseksi limfonodi yang berorientasi pada terapeutik kompartemen diindikasikan bagi metastasis limfonodi servikal yang sudah diketahui. Meskipun jumlah ini tinggi, namun arti pentingnya metastasis limfonodi masih belum jelas karena beberapa studi menunjukkan bahwa metastasis limfonodi tidak berpengaruh pada keseluruhan harapan hidup, terutama pada pasien yang berusia dibawah 45 tahun (Shindo et al., 2006; Ito et al., 2006; Pereira et al., 2005)

Kegunaan limfadenektomi propilaktik dalam terapi kasus KTP masih kontroversi. Kelompok pendukung RND berpendapat bahwa metastasis limfonodi regional sering terjadi dan berkaitan dengan tingginya tingkat kekambuhan dan kematian. Sedangkan kelompok yang menetang berpendapat bahwa metastasis limfonodi tidak berpengaruh pada keseluruhan harapan hidup, dan prosedur ini justru meningkatkan risiko komplikasi dengan dilaporkannya 2-7% kasus paralisis vocal cord sementara, 14-60% hipoparatiroidisme sementara dan 2-5% hipoparatiroidisme permanen. American

Thyroid Association Guidelines (ATA) 2009 memberi rekomendasi untuk tindakan

primer bersifat lanjut (T3 atau T4) meskipun secara klinis tidak ditemukan keterlibatan limfonodi sentral leher (Ito et al., 2012).Disisi lainnya, pedoman NCCN (National Comprehensive Cancer Network) tidak menganjurkan tindakan diseksi leher sentral rutin, kecuali jika pada pemeriksaan palpasi atau biopsi limfonodi positif menunjukkan lesi metastasis (Ito et al., 2012; Pereira et al., 2005).

Komponen kedua pada strategi penanganan global pasien KTP adalah ablasi RAI yang diberikan pada 4-12 minggu setelah tindakan pembedahan, bertujuan untuk menghancurkan sisa jaringan tiroid setelah tiroidektomi dan menangani lesi metastasis yang masih tersembunyi ataupun telah diketahui. Kontroversi tindakan ablasi RAI timbul karena meskipun dapat mengurangi tingkat kekambuhan dan mortalitas, beberapa studi justru menunjukkan tidak ada keuntungan, terutama bagi pasien yang masuk dalam kelompok risiko rendah. Baik pedoman ATA maupun NCCN menganjurkan ablasi RAI untuk seluruh pasien KTP kecuali pasien stadium 1 yang memiliki risiko kekambuhan sangat rendah (pasien dengan diferensiasi baik, unifokal, tumor berukuran lebih kecil dari 1 cm, tanpa perluasan ekstratirod atau invasi vaskuler, dan tanpa metastasis limfonodi maupun jauh (Sawka et al., 2004).

Komponen ketiga untuk strategi penanganan global kasus KTP adalah pemberian hormon tiroid dosis suprafisiologis dalam bentuk levotiroksin (LT4) dengan harapan dapat menekan TSH yang diketahui menjadi stimulator proliferasi sel tiroid. Penelitian retrospektif maupun prospektif menunjukkan bahwa pasien dengan terapi LT4 mengalami penurunan risiko efek samping klinis mayor terutama pada kelompok

pasien risiko tinggi. Pedoman ATA menganjurkan penekanan TSH dibawah 0.1 mIU/mL untuk kelompok risiko tinggi dan antara 0.1-0.5 mIU/mL untuk kelompok risiko rendah (McGriff et al., 2004).

Komponen terakhir pada strategi penanganan global kasus KTP adalah surveilens. Lonjakan terjadinya tumor dipantau secara periodik oleh klinisi yang berpengalaman. Pengukuran TSH, Tg dan anti-TG serum, USG servikal dan scan RAI sensitif untuk adanya lesi sisa atau kekambuhan (Cooper et al., 2006).

Terapi terbaru untuk pasien dengan KTP lanjut dan metastatik meliputi pemberian agen rediferensiasi, dimana agen tersebut memiliki target pada jalur RAS, BRAF, VEGF dan reseptornya, jalur reseptor EGF dan jalur angiogenik lain dengan agen seperti thalidomide dan proteasome (Xing et al., 2005; Ito et al., 2007).

2.10 Struktur, Jenis dan Fungsi Umum Matriks Metalloproteinase (MMP)

MMP merupakan famili endopeptida yang tergantung pada zinc. MMP sering disebut sebagai kelompok protease metzincin karena selalu menyediakan corak pengikat zinc yang tersimpan ada bagian katalitik aktifnya. MMP pertama kali ditemukan oleh Jerome Gross dan Charles Lapiere pada tahun 1962 ketika mengetahui adnya aktivitas enzimatik selama metamorfosis ekor kecebong. Mereka menemukan bahwa triple helix kolagen didegradasi jika ekor kecebong ditempatkan pada matriks kolagen kecebong yang bermetamorfosis (Ansari et al., 2013; Loffek et al., 2011).

MMP dilepaskan sebagai proenzim yang tidak aktif, tetapi selanjutnya diaktifkan oleh berbagai faktor yang dikendalikan oleh TIMP (tissue inhibitors of matrix

metalloproteinases). Kelompok/ famili TIMP dibentuk oleh empat enzim. Kondisi

patologis akan timbul jika terjadi ketidakseimbangan tingkat MMP dan TIMP. Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan ekspresi MMP memicu berbagai penyakit inflamasi, keganasan dan degeneratif. Disinilah pentingnya aktivitas penghambat MMP dalam terapi (Ansari et al., 2013). Seperti yang tampak pada gambar 2.13, MMP memiliki tiga domain utama, yaitu:

1) Pro-peptida yang berperan menjaga enzim dalam bentuk tidak aktif. Domain ini mengandung “Cystein switch” yakni residu cystein unik dan selalu terjaga, yang berinteraksi dengan zinc pada bagian aktif. Saat aktivasi enzim, bagian ini akan dipecah secara proteolitik oleh furin secara intraseluler atau MMP lainnya dan protease serin secara ekstraseluler.

2) Domain katalitik yang menjadi penanda struktural corak pengikat zinc. Ion Zn2+, diikat oleh tiga residu histidin membentuk area aktif. Area aktif ini berjalan secara horizontal melewati molekul sebagai celah dangkal dan berikatan dengan substrat.

3) Bagian penghubung (hinge region) merupakan sebuah jembatan lentur atau bagian penghubung yang terbuat dari 75 rantai asam amino berfungsi untuk menghubungkan domain katalitik dengan domain terminal-C. Bagian ini sangat penting untuk menjaga stabilitas enzim.

4) Domain terminal-C yang menyerupai hemopexin merupakan domain yang rangkaiannya menyerupai protein serum hemopexin. Rantai polipeptida domain ini tersusun dalam empat lembaran β yang simetris. Permukaan datar yang disediakan oleh struktur ini dipercaya terlibat dalam interaksi antar protein dan merupakan penentu spesifisitas substrat, contohnya: TIMP berinteraksi pada area ini.

Gambar 2.13

Struktur Matriks Metaloproteinase (MMP) (Ansari et al., 2013)

Kemampuan MMP dalam menghancurkan berbagai komponen matriks ekstraseluler (ECM) menunjukkan bahwa berperan utama dalam remodeling ECM yang signifikan selama perkembangan embryogenik karena remodeling ECM merupakan bagian penting dalam pertumbuhan dan morfogenesis jaringan. Ini juga didukung oleh penelitian terbaru yang menunjukkan peranan penting MMP sebagai jaringan sinyal pengatur komponen ekstraseluler yang mempengaruhi kondisi seluler

(Loffek et al., 2011). Secara sistematis, beberapa fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal, yaitu (sesuai gambar 2.15) (Ansari et al., 2013):

1) Membantu migrasi sel melalui degradasi molekul ECM

2) Mengubah perangai seluler dengan mengubah lingkungan mikro ECM

3) Membantu aktivitas molekul aktif secara biologis dengan pemecahan langsung, pelepasan dari simpanan, atau memodulasi aktivitas penghambatnya.

Gambar 2.14

Fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal.

Berdasarkan spesifisitas MMP terhadap komponen ECM, MMP dibagi menjadi kelompok kolagenase, gelatinase, stromelysin dan matrilysin. Sedangkan diantara

delapan kelas struktural MMP, 5 disekresikan dan 3 lainnya merupakan MMP tipe membran (MT-MMP) (Ansari et al., 2013).

Tabel 2.6

Jenis Matriks Metaloproteinase (Ansari et al., 2013)

Jenis MMP Kelas struktural Nama umum

MMP-1 Simple hemopexin domain Kolagenase-1, interstitial Kolagenase, fibroblast kolagenase, tissue kolagenase

MMP-2 Gelatin-binding Gelatinase A, 72-kDa gelatinase, 72-kDa typeIV kolagenase, neutrophil gelatinase

MMP-3 Simple hemopexin domain Stromelysin-1, transin-1, proteoglikanase, protein pengaktivasi prokolagenase

MMP-7 Minimal domain Matrilysin, matrin, PUMP1, small uterine metalloproteinase

MMP-8 Simple hemopexin domain Kolagenase-2, kolagenase neutrophil, kolagenase PMN, kolagenase granulosit

MMP-9 Gelatin-binding Gelatinase B, gelatinase kDa, kolagenase 92-kDa tipe IV

MMP-10 Simple hemopexin domain Stromelysin-2, transin-2 MMP-11 Furin-activated dan Stromelysin-3

MMP-12 Simple hemopexin domain Metalloelastase, elastase makrofag, metalloelastase makrofag

MMP-13 Simple hemopexin domain Kolagenase-3

MMP-14 Transmembrane MT1-MMP, MT-MMP1 MMP-15 Transmembrane MT2-MMP, MT-MMP2 MMP-16 Transmembrane MT3-MMP, MT-MMP3 MMP-17 GPI-linked MT4-MMP, MT-MMP4 MMP-18 Simple hemopexin domain Kolagenase-4 (Xenopus) MMP-19 Simple hemopexin domain RASI-1, MMP-18 MMP-20 Simple hemopexin domain Enamelysin

MMP-21 Vitronectin-like insert Homolog dari Xenopus XMMP MMP-22 Simple hemopexin domain CMMP (pada ayam)

MMP-23 Type II transmembrane Cysteine array MMP (CA-MMP), femalysin, MIFR,MMP-21/MMP-22

MMP-24 Transmembrane MT5-MMP, MT-MMP5

MMP-25 GPI-linked MT6-MMP, MT-MMP6, leukolysin MMP-26 Minimal domain Endometase, matrilysin-2

MMP-27 Simple hemopexin domain

MMP-28 Furin-activated and secreted Epilysin

Tanpa nama Simple hemopexin domain Mcol-A (pada tikus) Tanpa nama Simple hemopexin domain Mcol-B (pada tikus)

Dalam proses keganasan, peranan MMP juga menyerupai yang terjadi dalam proses fisiologis namun terjadi ketidakseimbangan dengan aktivitas penghambatnya. Terjadi degradasi komponen ECM pada membran basalis dan jaringan ikat interstisial yang tersusun atas kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Suatu karsinoma pertama-tama harus menembus membran basalis dibawahnya, kemudian melintasi jaringan ikat, dan secara cepat mencapai sirkulasi dengan cara menembus membran basalis pembuluh darah. Proses ini berulang lagi jika emboli sel tumor mengalami ekstravasasi ke tempat jauh. Invasi melalui ECM mengawali kaskade metastasis dan merupakan proses aktif yang melibatkan beberapa tahap, diantaranya perubahan interaksi antara sel tumor dengan sel, degradasi ECM, perlekatan ke komponen terbaru ECM dan migrasi sel tumor (Kumar et al., 2010).

MMP terlibat dalam tahap kedua proses invasi yaitu degradasi lokal membran basalis dan jaringan ikat interstisial. Sekresi MMP tersebut dapat berasal langsung dari sel tumor atau dari induksi terhadap sel stroma (seperti fibroblast dan sel inflamasi). Protease lain yang juga disekresikan yaitu cathepsin D dan urokinase

plasminogen activator. MMP mengatur invasi tumor tidak hanya dengan cara

mengubah komponen yang tidak larut pada membran basalis dan matriks interstisial, tetapi juga dengan pelepasan growth factor yang disimpan ECM (Kumar et al., 2010; Bouchet et al., 2014).

Dalam dokumen NI WAYAN ARMERINAYANTI NIM (Halaman 64-74)