UU perlindungan anak Nomor 23 Tahun 2002, pasal 1 ayat 15 menyebutkan perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolir, anak yang di eksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Program untuk anak yang membutuhkan perlindungan mencakup :
1. Program dan pelayanan langsung untuk anak yang membutuhkan perlindungan khusus
a. Penarikan (removal) anak- anak dalam situasi sulit yang menyebabkan mereka membutuhkan perlindungan khusus. Penarikan ini dapat dilakukan dengan cara pendekatan manusiawi maupun dengan tindakan hukum oleh lembaga yang berwenang.
b. Perlindungan sementara bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus baik karena situasi darurat maupun setelah dilepaskan dari situasi tereksploitasi
c. Penyembuhan dan pemulihan (rehabilitasi) untuk mengembalikan keberfungsian sosial anak yang hilang dalam masa berada dalam situasi sulit. Rehabilitasi mencakup kegiatan pelayanan penyembuhan dan pemulihan fisik, mental, dan sosialisasinya melalui check kesehatan, konseling, dan berbagai teknik lainnya.
d. Pembelaan kepada anak-anak yang mengalami eksploitasi atau konflikdengan hukum, sehingga dalam prosesnya mereka tetap memperoleh hak–haknya dan diperlakukan sesuai dengan hak-haknya.
Pembelaan dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan dan proses sesudahnya.
e. Penyatuan kembali (reintegrasi/reunifikasi) anak dengan keluargaya baik keluarga asli maupun keluarga pengganti jika keluarga aslinya tidak ada. Pelayanan penguatan dalam bentuk bimbingan sosial maupun bantuan permodalan diperlukan bagi keluarga yang telah menerima anaknya lagi. Sedangkan anak yang masuk panti memperoleh pelayanan yang biasa dalam panti tersebut. Jika diperlukan dapat dikembangkan panti khusus untuk menampung dan menangani anak- anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
f. Tidak lanjut, yaitu pelayanan lanjutan untuk memperkuat atau mempertahankan kondisi yang telah dicapai anak dalam situasi atau lingkungan barunya, baik keluarga maupun panti. Tindak lanjut dilakukan dengan cara pemantauan rutin.
2. Program–program tidak langsung
a. Penyediaan perangkat-perangkat hukum yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan perlindungan anak, seperti :
1. Penyusunan berbagai Peraturan Pemerintah atau Keppres yang menjabarkan perangkat-perangkat Undang-Undang yang telah dimiliki
2. Peraturan–peraturan daerah yang dapat mencegah, melindungi, dan mempromosikan anak–anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
b. Penegakkan hukum oleh aparat penegakan hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran anak dan perlindungan bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang bersumber pada peraturan perundangan yang berlaku dan relevan dengan masalah anak.
c. Advokasi mengenai perubahan-perubahan kebijakan dan program yang mendukung bagi upaya pencegahan dan perlindungan anak anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Advokasi dilakukan kepada semua pengambil keputusan pada sektor- sektor pemerintah yang terkait dengan permasalahan ini.
d. Pengembangan sistem informasi yang menyediakan berbagai data informasi perlindungan anak yang terus-menerus di pengaruhi dan berbagai laporan-laporan kasus pelanggaran hak anak.
e. Perlatihan dan pengembangan kapasitas bagi para penyedia pelayanan perlindungan anak, baik para pekerja LSM, aparatur penegak hukum, dan birokasi pemerintah terkait. Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi berbagai permasalahan perlindungan anak.
f. Penyadaran masyarakat agar mereka mempunyai daya tangkap dan tindakan dalam upaya mencegahanak yang membutuhkan
perlindungan khusus. Penyadaran masyarakat dilakukan melalui sosialisasi dan kampanye.
g. Pendidikan orangtua melalui penyuluhan, bimbingan, maupun pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dalam memenuhi hak – hak anak dan mempunyai daya tanggkap terhadap keadaan lingkungan sekitarnya.
h. Pengembangan jaringan kerja, dengan berbagai lembaga pemerintahan, LSM, maupun perguruan tinggi yang mempunyai tanggung jawab dan peran dalam perlindungan anak- anak yang membutuhkan perlindungan khusus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Penanganan yang berkaitan dengan kekerasan seksual maka Waskito dalam (Noviana, 2015) menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi keluarga terhadap pengalaman kekerasan seksual yang menimpa anaknya, diantaranya :
1. Dukungan sosial dan emosional yang membuat setiap keluarga merasa disayangi, dicintai, didukung, dihargai, dipercaya dan menjadi bagian dari keluarga
2. Kelekatan/ ikatan emosional yang memiliki satu sama lain dalam keluarga dikarenakan adanya keterbukaan dimana setiap anggota keluarga saling berbagi perasaan, jujur dan terbuka satu sama lain.
3. Meningkatkan komunikasi dengan anak. Pola komunikasi yang efektif, terbuka, langsung, terarah, kongruen (sesuai antara verbal dan non verbal).
Dengan cara ini akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa aman pada anak, diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai tindakan ganjil yang dialaminya, seperti mendapat iming- iming, diajak pergi bersama, diancam bahkan diperdaya oleh sesorang.
4. Keterlibatan orangtua terhadap proses penanganan kekerasan seksual yang dialami anaknya baik itu penanganan secara hukum maupun penanganan pemulihan secara psikologis bagi anak maupun bagi orang tua.
5. Pemahaman orang tua terhadap peristiwa kekerasan yang dialami oleh anaknya. Dampak peristiwa tersebut bagi anaknya dan juga dirinya serta bagaimana mengatasi dan memulihkan diri.
6. Spiritualitas dan nilai-nilai yang dimiliki dan dianut dengan baik oleh sebuah keluarga. Keyakinan spiritual ini juga mencakup ritual-ritual agama yang dianggap menguatkan.
7. Sikap positif yang dimiliki keluarga dalam memandang kehidupan termasuk kritis dengan permasalahan yang ada. Cara pandang yang melihat bahwa selalu ada jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi oleh setiap manusia.
8. Keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang dimiliki keluarga terkait dengan perencanaan terhadap masa depan yang dimiliki oleh keluarga dan kendali terhadap permasalahan yang terjadi melalui pelibatan orang tua dalam memutuskan langkah- langkah secara mandiri.
Pengajaran Personal Safety Skills atau keterampilan keselamatan pribadi merupakan seperangkat keterampilan yang perlu dikuasai oleh anak agar dapat menjaga keselamatan dirinya dan terhindar dari tindakan kekerasan seksual.Personal safety skills terdiri dari tiga kompenen yaitu
1. Recognize, yaitu kemampuan anak mengenali ciri-ciri yang berpotensi
melakukan kekerasan seksual. Pada komponen recognize ini, anak diajari untuk mengenali bagian-bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh sembarangan orang, dan bagaimana mengatakan tidak saat orang lain melakukan sentuhan tidak aman (unsafe touch), menyuruh membuka baju atau memperlihatkan bagian tubuh pribadi, menyuruh anak melihat bagian tubuh pribadi sang pelaku dan memperlihatkan konten seksual. Anak diberikan kesadaran atas hak-hak pribadi terhadap tubuhnya, serta bagaimana mereka boleh menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menyentuh bagian tubuhnya, terutama yang sensitive atau yang sangat pribadi. Dengan demikian anak diharapkan dapat membedakan pelaku tindakan kekerasan seksual.
2. Resist yaitu kemampuan anak bertahan dari perlakuan atau tindakan kekerasan seksual, misalnya berteriak minta tolong, memberitahukan orang lain bahwa orang yang menggandengnya bukanlah ayah atau ibunya, dan sebagainya. Pada komponen resist ini anak diajari untuk mengidentifikasi sejumlah tindakan yang dapat ia lakukan ketika berhadapab dengan pelku kekerasan seksual atau ketika berhadapan
dengan pelaku kekerasan seksua atau ketika berada dalam situasi yang memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan seksual. Anak diajari untuk adapat mengabaikan rayuan dan bujukan dari orang yang berpotensi melakukan kekerasan seksual, mengatakan “Tidak atau Stop” dengan lantang dan tegas pada orang yang mencoba melakukan tndak kekerasan seksual pada mereka, melakukan tindakan perlawanan seperti memukul, menggigit, menendang pada pelaku kekerasan seksual, melarikan diri dari pelaku kekerasan seksual dan berteriak meminta pertolongan pada orang sekitar.
3. Report yaitu kemampuan anak melaporkan perilaku kurang
menyenangkan secara seksual yang diterimanya dari orang dewasa, bersikap terbuka kepada orang tua aagar orang tuanya dapat memantau kondisi anak tersebut. Pada komponen report anak diajari agar mampu bersikap terbuka atas tindakan kekerasan seksual yang diterimanya dan mampu melaporkan pelaku pada orang dewsa atau lembaga lain yang berkepentingan dan dipercaya oleh anak untuk membantunya.
Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN AKSA) melalui Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang GN AKSA, presiden menginstruksikan kepada para Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, para kepala lembaga pemerintah non kementerian dan para kepala daerah untuk mengambil langkah– langkah sesuai tugas, fungsi, kewenangan masing–masing untuk mencegah dan memberantas serta mempercepat proses penanganan kejahatan seksual anak dengan
melibatkan seluruh elemen masyarakatdan dunia. Sebagai upaya promotif dan preventif kejahatan seksual anak, GN AKSA dilakukan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.Dilingkungan keluarga, orangtua harus membekali anak dengan informasi dan pengetahuan yang tepat seputar seks.Pendidikan seks diberikan sejak dini dengan cara dan waktu yang tepat sesuai dengan tingkat kematangan anak, dengan demikian anak akan mampu mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman yang merugikan masa depannya. Komunikasi dua arah antara orang tua dan anak juga diperlukan karena anak- anak sekarang lebih rentan dalam menghadapi masalah (Wahyuni, 2014).
Pedoman rujukan kasus kekerasan terhadap anak bagi petugas kesehatan (2007) sistem perlindungan anak merupakan sistem yang kompleks melibatkan berbagai unsur, sehingga perlu di bangun suatu jaringan kerja yang terdiri dari unsur masyarakat, institusi pemerintah dan non pemerintah terkait dalam pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pelayanan hukum dan pendidikan. Penyelenggaraan rujukan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak merupakan proses kerjasama semua unsur terkait dalam sistem jaringan tersebut. Anak korban kekerasan pada umumnya datang ke fasilitas kesehatan di antar oleh orang tua, LSM atau polisi, karena cidera fisik akibat berbagai perlakuan kekerasan yang dialaminya. Penanganan dan rujukan kasus kekerasan terhadap anak perlu tindakan secara cepat dan tepat oleh karena itu dibutuhkan kesiapan, pemahaman dan keterampilan tenaga kesehatan, baik dari aspek medis/ medico-legal dan psikososial.
Puskesmas sebagai saranapelayanan dasar atau primer dapat menerima, menangani kasus kekerasan terhadap anak atau apabila diperlukan merujuk ke Rumah Sakit atau instansi terkait lainnya untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Tindakan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak di tingkat puskesmas diawali dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan pengisian lembar persetujuan pemeriksaan (informed concent). Untuk melakukan rujukan perlu dipersiapkan suratpengantar rujukan, kronologis singkat kasus dan bukti–bukti yang mendukung (pakaian, celana dalam, rambut pubis, kotoran/debris pada kuku, cairan vagina dll).
2. Rumah Sakit
Mekanisme rujukan kasus kekerasan terhadap anak di Rumah Sakit tidak dibedakan menurut kelas Rumah sakit baik kelas C, kelas B atau kelas A, tetapi berdasarkan tersedia atau tidaknya Pusat Krisis Terpadu atau Pusat Pelayanan Terpadu. Pusat Krisis Terpadu (PKT) / Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) adalah pusat pelayanan bagi korban kekerasan pada anak dan perempuan yang memberikan pelayanan komprehensif dan holistik meliputi penanganan medis dan mediko-legal, penanganan psikologis, sosial dan hukum. Rumah sakit yang sudah mempunyai PKT/PPT dapat memberikan pelayanan komprehensif dalam satu atap (one stop sevice) yang mencakup aspek pelayanan medis/mediko-legal, psikologis, sosial dan hukum dan perlu bekerjasama dengan LSM, LBH yang tergabung dalam jaringan kerja penanganan kekerasan terhadap anak.
Kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani Rumah Sakit mulai dari derajat ringan sampai berat sesuai dengan ketersediaan sarana, prasarana serta kemampuan
tenaga di Rumah Sakit. Tindakan dalam penanganan kekerasan terhadap anak diawali dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan pengisian lembar persetujuan pemeriksaan (informed concent). Pada kasus yang memerlukan pendampingan perlindungan, bantuan hukum, dan lain- lain dilakukan rujukan non medis ke institusi terkait lainnya.