• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kecamatan Batang Kuis Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kecamatan Batang Kuis Tahun 2016"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep tentang Anak 2.1.1 Pengertian Anak

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita- cita bangsa dan negara di masa mendatang.Agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab itu, maka

mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan

berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual.Mereka perlu

mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan.Karenanya, segala

bentuk tindak kekerasan pada anak perlu dicegah dan di atasi (Huraerah, 2012).

Menurut Undang undang pengertian anak adalah

1. Undang undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak

adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.

2. Undangundang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan

belum menikah.

3. Undang undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, anak

adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapanbelas) tahun dan

(2)

4. Undang undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak disebutkan

anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapanbelas) tahun dan

belum pernah kawin.

5. Convention on the Rights of the Child(1989) yang telah diratifikasi

pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 anak adalah

mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.

6. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0

sampai dengan 18 tahun.

2.1.2 Hak-Hak Anak

Hak anak secara universal telah ditetapkan melalui siding Umum PBB pada

tanggal 20 November 1959 memproklamasikan Deklarasi Hak-Hak Anak, ada 10

prinsip tentang hak anak menurut deklarasi yaitu:

1. Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini

tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi.

2. Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan

kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh peralatan lain, sehingga

mereka mampu berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial

dalam cara yang sehat dan normal.

3. Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan identitas kebangsaan

(3)

5. Setiap anak baik secara fisik, mental, dan social mengalami kecacatan harus

diberikan perlakuan khusus, pendidikan, dan pemeliharaan sesuai dengan

kondisinya.

6. Setiap anak bagi perkembangannya pribadinya secara penuh dan seimbang

memerlukan kasih sayang dan pengertian.

7. Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar

wajib belajar.

8. Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan

yang pertama.

9. Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran, tindakan

kekerasan dan eksploitasi.

10.Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi berdasarkan

rasial, agama, dan bentuk- bentuk lainnya.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) PBB

melalui Keppres Nomor 39 Tahun1990 tentang hak–hak anak yang mencakup empat

bidang:

1. Hak atas kelangsungan hidup, menyangkut hak atas tingkat hidup yang layak

dan pelayanan kesehatan.

2. Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu

luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berpikir, berkeyakinan dan

beragama, serta hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan

(4)

3. Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi,

perlakuan kejam, dan perlakuan sewenang–wenang dalam proses peradilan

pidana.

4. Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul

dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang

menyangkut dirinya.

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak pada

tanggal 22 Oktober 2002 (disetujui DPR RI tanggal 23 September 2002), hak anak

sebagai berikut:

1. Pasal 4 : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Pasal 5 : Setiap anak berhak atas sesuatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan.

3. Pasal 6 : Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan

orangtua.

4. Pasal 7 : (1) Setiap anak berhak mengetahui orangtuanya, dibesarkan, diasuh

oleh orangtuanya sendiri, (2) dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak

dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar,

(5)

angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang

undangannya yang berlaku.

5. Pasal 8 : Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan

sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan social.

6. Pasal 9 : (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran

dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai

minat dan bakatnya. (2) selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh

pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga

berhak mendapat pendidikan khusus.

7. Pasal 10 : Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,

menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat

kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai –

nilai kesusilaan dan kepatutan.

8. Pasal 11 : Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu

luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, berkreasi sesuai

minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri.

9. Pasal 12 : Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh

rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

10.Pasal 13 : (1) setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak

lain manapun bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

(6)

a. Diskriminasi

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual

c. Penelantaran

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan

e. Ketidakadilan

f. Perlakuan salah lainnya

(2) Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman.

11.Pasal 14 : Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali

jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa

pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupaka

pertimbangan terakhir.

12.Pasal 15 : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari :

a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik

b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan

e. Pelibatan dalam peperangan

13.Pasal 16 : (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran

penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi

(7)

Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan

apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir.

14.Pasal 17 : (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:

a. Mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan

dari orang dewasa

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam

setiap tahapan upaya hukum yang berlaku

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang

obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan

15.Pasal 18: Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (UU Perlindungan Anak,

2015).

2.1.3 Kebutuhan Anak

Setiap anak memiliki kebutuhan–kebutuhan dasar yang menuntut untuk

dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan

wajar.Kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orang

tua dan anak yang sehat dimana kebutuhan anak seperti perhatian dan kasih sayang

(8)

orangtua. Sementara itu, Huttman dalam (Huraerah, 2012) merinci kebutuhan anak

adalah :

1. Kasih sayang orangtua

2. Stabilitas emosional

3. Pengertian dan perhatian

4. Pertumbuhan pribadi

5. Dorongan kreatif

6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar

7. Pemeliharaan kesehatan

8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan

memadai

9. Aktivitas rekreasional yang konstuktif dan positif

10.Pemeliharaan, perawatan dan perlindungan.

Anak (0-18 tahun) berada dalam proses tumbuh kembang yang sangat

dipengaruhi oleh 3 kebutuhan dasar yaitu:

1. Fisik–biologis (asuh): meliputi nutrisi, perawatan kesehatan dasar ASI

ekslusif, makanan pendamping ASI, imunisasi lengkap, penimbangan teratur

dan periodik kebersihan badan dan lingkungan, pengobatan, sandang, pangan,

olahraga dan bermain/rekreasi.

2. Emosi dan kasih sayang (asih) merupakan ikatan erat, serasi dan selaras antara

ibu dan anak yang mutlak diperlukan pada tahun-tahun pertama kehidupan

(9)

meliputi: menciptakan rasa aman dan nyaman, dilindungi , diperhatikan

(minat, keinginan, pendapat), diberi contoh (bukan paksaan), dibantu,

didorong, dihargai, penuh kegembiraan, koreksi (bukan ancaman, hukuman).

3. Pemberian stimulasi (asah) merupakan proses pembelajaran, pendidikan dan

pelatihan kepada anak. Hal ini harus dilakukan sedini mungkin dan sangat

penting pada 4 tahun pertama kehidupan. Stimulasi mental secara dini

mengembangkan mental psikososial yaitu kecerdasan, budi luhur, moral dan

etika, kepribadian, keterampilan berbahasa, kemandirian, kreativitas,

produktivitas, dan lain- lain. Kebutuhan akan stimulasi mental dapat diberikan

baik secara formal, informal maupun non formal (UNICEF, 2007).

2.2 Kekerasanpada Anak

2.2.1 Pengertian Kekerasan pada Anak

WHO (1999) dalam (Ghufran, 2015) Kekerasan terhadap anak adalah semua

bentuk tindakan/ perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional,

penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi seksual komersial ataupun

eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan cidera/kerugian nyata ataupun potensial

terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang atau martabat

anak.

Menurut Campbell dan Humphrey dalam penelitianPutri (2012)

mendefinisikan kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang mencelakakan atau

(10)

yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak

tersebut.Barker (Peni, 2013) kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang

berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap yang ketergantungan melalui

desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degrasi dan cemoohan permanen

atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan orang tua atau pihak lain yang seharusnya

merawat anak.

Kekerasan terhadap anak, menurut Soeroso dalam Anggraeni (2013) adalah

setiapperbuatan yang ditujukan pada anak yang berakibat kesengsaraan dan

penderitaan baik fisik maupun psikis baik yang terjadi di depan umum atau dalam

kehidupan pribadi. Tindak kekerasan tidak hanya berupa tindakan fisik melainkan

juga perbuatan non fisik (psikis).Tindakan fisik secara langsung bisa dirasakan

akibatnya langsung bisa dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa

saja, sedangkan non fisik (psikis) yang bisa merasakan langsung hanyalah korban,

karena tindakan tersebut langsung berkaitan menyinggung hati nurani atau perasaan

seseorang.Kekerasan terhadap anak menurut Gelles dalam (Nindya, 2012)

didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya

dilakukan oleh orang- orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan

anak.Tindakan perlukaan tersebut diindikasikan dengan kerugian dan ancaman

terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.

2.2.2 Klasifikasi Kekerasan pada Anak

WHO (1999), membagi kekerasan terhadap anak ke dalam lima bentuk,

(11)

1. Kekerasan fisik, yaitu kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik atau

potensial anak mengalami cedera. Kekerasan ini dilakukan dalam bentuk

memukul/meninju, menampar, menendang, mendorong, menggigit,

membenturkan, membanting, melempar dengan benda, dan sebagainya.

Korban kekerasan fisik dikenali secara langsung pada fisik korban seperti

memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya

lebih berat.

2. Kekerasan psikis atau emosional, yaitu perbuatan terhadap anak yang

mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan

atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Kekerasan psikis

juga meliputi kegagalan menyediakan lingkungan yang memadai bagi

perkembangan anak, termasuk ketersediaan seseorang yang menjadi figure,

sehingga anak dapat berkembang secara stabil dan dengan pencapaian

kemampuan sosial dan emosionalyang diharapkan sesuai dengan potensi

pribadinya dan dalam konteks lingkungannya. Pelaku kekerasan psikis

biasanya menggunakan kata-kata kasar, mempermalukan anak di depan orang

lain, melontarkan ancaman, menakut-nakuti, mengkambing-hitamkan,

mendiskriminasi, mengejek.

3. Kekerasan seksual yaitu pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana anak

sendiri tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan,

atau oleh karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi

(12)

Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau

pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan

kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual,

perabaan (molestation, fondling), memaksa anak untuk memegang kemaluan

orang lain, hubungan seksual, inces (incest), perkosaan dan sodomi.

4. Penelantaran anak (Child neglect), yaitu kegagalandalam penyediaan suatu

untuk tumbuh kembangnya seorang anak, seperti kesehatan, pendidikan,

nutrisi, rumah, perkembangan emosional, dan kondisi hidup yang aman,

dalam konteks sumber daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau

pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan

gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik, mental, spiritual,

moral, dan sosial.

5. Eksploitasi anak (Child exploitation) adalah penggunaan anak dalam

pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang lain, misalnya pekerja

anak dan prostitusi. Kegiatan ini merusak atau merugikan perkembangan fisik

dan mental anak, merugikan perkembangan pendidikan, spiritual, emosional,

moral dan sosial anak.

2.2.3 Kekerasan Seksual pada Anak

Kekerasan seksual (sexual abuse)adalah pelibatan anak dalam kegiatan

seksual, dimana anak tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberikan

persetujuan, atau oleh perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberikan

(13)

pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan pada

anak, stimulasi seksual, perabaan(molestation, fondling), pelecehan seksual lain,

memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, incest,

perkosaan dan sodomi (UNICEF, 2007).

Huraerah (2012) kekerasan seksual artinya praktik hubungan seksual yang

dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran agama serta

melanggar hukum yang berlaku.Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa

pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik, maupun non fisik, dan kekuatannya dapat

dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya itu.

Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan

seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak

mencapai batasan umur tertentu oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang

dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang di anggap memiliki

pengetahuan dari anak memanfaatkan untuk kesenangan seksual (CASAT

Programme, Child Development Institute, Boyscouts of America; Komnas PA)

(Noviana, 2015).

2.2.4 Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut Bagley 1969 dalam penelitian (Mashudi, 2015) melakukan studi

empiris terhadap ratusan kasus kekerasan seksual, dari hasil studi tersebut diperoleh 3

kategori besar kekerasan seksul yaitu:

1. Kekerasan seksual tanpa sentuhan, yaitu pengalaman tidak langsung

(14)

orang lain, dalam hal ini biasanya dilakukan orang dewasa laki- laki pada

anak (ekshibisionisme), dan penunjukkan hal-hal berbau pornografi

maupun aktivitas seksual (termasuk masturbasi) pada anak.

2. Kekerasan seksual dengan sentuhan, yaitu aktivitas seksual yang

melibatkan kontak fisik dengan anak, misalnya memaksa anak menyentuh

organ genital orang dewasa atau anak lain, penestrasi terhadap organ

genital atau anal oleh organ organ dewasa atau objek lain, dan aktivitas

seksual lainnya dengan anak

3. Eksploitasi seksual, yaitu pelibatan anak dengan tujuan prostitusi atau

penggunaan anak untuk syuting atau fotografi yang berbau pornografi.

Menurut Terry E. Lawson (Kusumaningtyas, 2013) mengklasifikasikan

kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk yaitu emotional abuse,

verbal abuse, physical abuse dan sexual abuse.Emotional abuse terjadi ketika orang

tua atau pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta

perhatian, mengabaikan anak itu.Verbal abuse biasanya berupa perilaku verbal

dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-

kata yang melecehkan anak.Physical abuse terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan

pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan

perhatian).Sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan

seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak di sukai, pemaksaan hubungan seksual

(15)

Menurut Advianti (2015) klasifikasi kekerasan seksual berdasarkan dari

kategori pelaku adalah:

1. Pelaku adalah anak dan berjenis kelamin berbeda dengan korban

Kekerasan seksual semacam ini sering terjadi akobat anak mendapatkan

stimulasi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual, biasanya setelah

terpapar oleh konten pornografi atau memperoleh informasi yang salah

dimana kemudian anak pelaku tidak menemukan tempat untuk

mengkonfirmasi kepada orangtua atau pihak yang lebih

bertanggungjawab

2. Pelaku adalah orang dewasa dan berjenis kelamin berbeda dengan

korban

Kejahatan seksual jenis ini pelakunya seringkali adalah orang-orang

yang dikenal oleh korban, bisa keluarga, tetangga, guru atau orang

terdekat dari korban.

3. Pelaku adalah anak dan berjenis kelamin sama dengan korban

Dalam kasus kekerasan seksual semacam ini, anak biasanya telah

mengalami stimultan sebelumnya, apakah hal itu dari film, bacaan,

cerita atau bahkan melihat secara langsung, atau pernah menjadi korban

kekerasan seksual serupa.

4. Pelaku adalah orang dewasa dan berjenis kelamin sama dengan korban

Dalam konteks kejahatan seksual semacam ini sesungguhnya

(16)

posisi menyetujui aktivitas seksual dengan orang dewasa.Seorang

dewasa yang terlibat aktivitas seksual dengan anak bearti melakukan

tindak pidana, tidak bermoral dan tidak bisa dianggap normal secara

sosial.

Komnas Perempuan (PA) mengenali 14 bentuk kekerasan seksual, yaitu

1. Perkosaan

Serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang

dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina),

anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh laiinya yang

bukan organ seksual atau pun benda- benda lainnya. Serangan dilakukan

dengan kekerasan, ancaman kekerasan, ataupun dengan pemaksaan

sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, dibawah paksaan,

penahanan, tekanan psikologis, atau penyalahgunaan kekuasaan atau

dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau

serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan

yang sesungguhnya.

2. Pelecehan seksual

Tindakan seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non

fisik menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang,

termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau

ucapan bernuasa seksual, mempertunjukkan meteri–materi pornografi

(17)

gerakan atau isyarat yang bersifak seksual sehingga mengakibatkan

rasa tidak aman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan

mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

3. Eksploitasi seksual

Aksi atau percobaan penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau

kepercayaaan, untuk tujuan seksual namun tidak terbatas untuk

memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik

dari eksploitasi seksual terhadap orang lain. Termasuk didalamnya

adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh

layanan seksual dari perempuan, yang kerap disebut oleh lembaga

pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan sebagai kasus “

ingkar janji”. Iming–iming ini mnggunakan cara pikir dalam

masyarakat yang mengkaitkan posisi perempuan dengan status

perkawinannya sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya

tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi.

4. Penyiksaan seksual

Perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas

perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan

rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani, maupun

seksual.

(18)

Sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang

melekat pada hak kepemilikan terhadap seseorang, termasuk akses

seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan

seksual.Perbudakan seksual mencakup situasi-situasi dimana

perempuan dewasa daan anak-anak dipaksa untuk menikah,

memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang

akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk perkosaan oleh

penyekapnya.

6. Intimidasi/ serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau

percobaan perkosaan

Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut

atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi

seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui

surat, sms dan lain- lain.

7. Prostitusi paksa

Sitasi dimana perempuan dikondisikan dengan tipu daya, ancaman

maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks.Pengkondisian ini

dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan

tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi,

misalnya dengan penyekapan, penjeratan hutang atau ancaman

(19)

8. Pemaksaan kehamilan

Ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak ia kehendaki

akibat adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.

Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban pemerkosaan

yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya

akibat perkosaan tersebut. Pemaksaan ini berbeda dimensi dengan

kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan.

9. Pemaksaan aborsi

Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan,

ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.

10.Pemaksaan perkawinan

Situasi dimana perempuan terikat perkawinan diluar kehendaknya

sendiri, termasuk didalamnya situasi perempuan merasa tidak

memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orangtuanya agar ia

menikah, sekalipun bukan dengan orang yang ia inginkan atau dengan

orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban ekonomi

keluarga maupun tujuan lainnya.

11.Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual

Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

(20)

penggunaan kekerasan atau penerimaan seseorang dengan ancaman ,

penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau

posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat,

sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali

atau orang lain tersebut.

12.Kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi

perempuan lewat aturan diskriminatif beralasaan moralitas dan agama.

Mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak

langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk

mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana

tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana

atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Termasuk didalamya

adalah kekerasan yang timbul akibat aturan tentang pornografi yang

melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan

seksual.

13.Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual

Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan,

ketakutan atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa termasuk

dalam penyiksaan.

14.Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau

(21)

Kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat, terkadang

ditopang dengan alasan agama dan atau budaya, yang dapat

menimbulkan cidera secara fisik, psikologis, maupun seksual pada

perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan

dalam perspektif yang nerendahkan perempuan.

Secara garis besar, terdapat lima tipe tindak perkosaan

a. Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan

agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati

kesenangan erotis bukan melalui hubungan seksualnya, melainkan

serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.

b. Anger rape, yaitu sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana

menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang

tertahan. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku

memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan

kekecewaan hidupnya.

c. Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku

menunjukkan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap

perempuan dengan tujuan utama penaklukan seksual.

d. Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang

yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban membatasi

keintiman personal, dan sampai batas-batas tertentu bersikap

(22)

melakukan hubungan seksual. Namun karena umumnya pelaku

beranggapan bahwa perempuan umumnya membutuhkan paksaan dan

tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan

e. Exploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena diperolehnya

keuntungan atau situasi dimana perempuan bersangkutan dalam posisi

tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.

2.2.5 Dampak Kekerasan Seksual

Finkelhor dan Browne (Noviana, 2012) mengkategorikan empat jenis dampak

trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:

1. Pengkhianatan (Betrayal) kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban

kekerasan seksual. Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada

orantua dan kepercayaan ini di mengerti dan di pahami. Namun, kepercayaan

anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang megancam anak.

2. Trauma secara seksual (Traumatic sexualization). Russel (Tower, 2002)

menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung

menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya mejadi korban

kekerasan seksual dalam rumah tangga nantinya.

3. Merasa tidak berdaya (powerlessness). Rasa takut menembus kehidupan

korban, mimpi buruk, fobia dan kecemasan dialami oleh korban disertai

dengan rasa sakit, perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa

(23)

4. Stigmatization dimana korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu,

memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu berbentuk akibat

ketidakberdayaan dan merasa gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan

malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak

memiliki kekuatan untuk mengontol dirinya.

Kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar

dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan

anak di kemudian hari, dampak tersebut antara lain:

1. Dampak perilaku

a. Perubahan mendadak pada anak, seperti dari bahagia ke depresi atau

permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikasi ke penuh

rahasia.

b. Perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif dari teman

sebayanya atau dari perilaku anak sebelumnya.

c. Takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang

lama, mimpi buruk.

d. Perilaku regresif, kembali pada perilaku awal perkembangan anak

seperti ngompol, mengisap jempol, dsb.

e. Perilaku anti sosial atau nakal, bermain api, mengganggu anak lain

(24)

f. Takut akan, atau menghindar dari orang tertentu (orangtua, kakak,

saudaralain, tetangga, pemgasuh), lari dari rumah, nakal atau

membolos sekolah.

g. Berbicara, berbahasa atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku

seduktif terhadap anak yang lebih muda.

h. Penyalahgunaan NAPZA, alkohol atau obat terlarang khususnya pada

anak remaja.

i. Merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-

kegiatan berisiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri

j. Rendahnya kepercayaan diri, perasaan tidak berharga

k. Menarik diri, mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau

ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.

l. Depresi, perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan

pernyataan- pernyataan ingin bunuh diri.

m. Ketakutan berlebihan, kecemasan, hilang kepercayaan terhadap orang

lain.

n. Tidak riang seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman

sebayanya.

Menurut Folkman, 1986 dalam (Fuadi, 2011) korban akan meliputi perasaan

dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang

melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain.

(25)

dialami subyek bermacam-macam muncul perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal,

dan bingung hingga rasa tidak berdaya muncul. Subyek berusaha mengevaluasi

sumber stress yang muncul (primary apparsial) dengan menilai apakah suatu situasi

menimbulkan stress pada dirinya.

Menurut Alter-Reid 1986 (Sakalasastra, 2012) dari penelitiannya tentang

dampak pelecehan seksual pada psikososial anak, akan mengakibatkan dampak

negatif seperti perasaan bersalah, rasa takut, depresi, self-esteem yang cenderung

rendah, kemampuan yang rendah dalam bersosialisasi dan lain-lain. Psikososial yang

dimaksud disini adalah suatu dampak dari hubungan yang dinamis dan saling

mempengaruhi yaitu faktor psikologis dan faktor sosial.

2. Dampak Kognisi

a. Sering melamun dan menghayal, fokus perhatian singkat/terpecah

b. Penurunan perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan

sebelumnya

c. Respon /reaksi berlebihan, khususnya terhadap gerakan tiba- tiba dan

orang lain dalam jarak dekat.

3. Dampak Fisik

a. Perasaan sakit yang tidak jelas, mengeluh sakit kepala, sakit perut,

tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara

drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai dan muntah-

(26)

b. Luka-luka pada alat kelaminatau mengidap penyakit kelamin, pada

vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri

atau gatal-gatal di seputar alat kelamin (Huraerah, 2012)

Menurut Orange dan Brodwin dalam (Paramastri, 2010) dampak kekerasan

seksual pada anak dapat berupa fisik, psikologis, maupun sosial.Dampak secara fisik

dapat berupa luka atau robekan pada selaput dara.Dampak psikologis meliputi trauma

mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan bunuh

diri.Dampak sosial misalnya perlakuan sinis dari masyarakat disekelilingnya,

ketakutan terlibat dalam pergaulan dan sebagainya.

4. Dampak Kesehatan Reproduksi

a. Kehamilan tidak diinginkan (KTD)

Kekerasan seksual rentan terhadap komplikasi kehamilan hal ini

dikarenakan organ reproduksi mereka belum sepenuhnya berkembang

sehingga apabila anak mereka lahir akan mengalami kecacatan atau

berat badan lahir rendah (BBLR). Hal ini akan menyebabkan kematian

bagi ibu dan janin karena dalam kondisi yang tidak seha dan

cenderung mengalami infeksi pada rahimnya.

b. Aborsi yang tidak aman

Anak korban kekerasan yang sedang hamil biasanya tidak mempunyai

dukungan (support dari orang- orang terdekat). Mereka tidak memiliki

akses pelayanan kesehatan reproduksi dalam fase kehamilan mereka

(27)

kandungannya, namun aborsi tidak aman ini akan menyebabkan

infeksi, perdarahan yang hebat, rusanya organ reproduksi bahkan

kematian.

c. Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/ AIDS

IMS dan HIV merupakan konsekuensi yang harus diterima akibat

kekerasan seksual dari pelaku kekerasan seksual yang telah terinfeksi.

Risiko terjadinya IMS karena korban berhubungan seksual tidak aman

(unprotected sexual intercourse) dan mungkin saja hal ini terjadi

berulang- ulang pada korban dengan pelaku yang berbeda- beda.

Gejala IMS adalah:

1. Keluarnya cairan berwarna kuning kehijauan dan berbau dari alat

kelamin

2. Keluarnya darah di luar masa haid, hal ini menunjukkan adanya

infeksi di dalam vagina

3. Perih, nyeri atau panas saat kencing atau setelah kencing atau jadi

Gejala IMS adalah

a. Keluarnya cairan berwarna kuning kehijauan dan berbau dari alat kelamin

b. Keluarnya darah diluar masa haid, hal ini menunjukkan adanya infeksi di

dalam vagina

(28)

d. Luka terbuka, luka basah sekitar kemaluan atau sekitar mulut.

e. Sakit di bagian bawah perut yang sering kambuh dan tidak berhubungan

dengan haid.

f. Gatal- gatal di daerah kelamin.

Menurut Robert D. Levitan dalam (Suyanto, 2010) pada anak yang

mengalami sexual abuse bisa mengalami gejala kejiwaan tergantung pada keadaan

anak, cacat yang ditinggalkan dan macam dari penganiayaannya, kronisitas

penganiayaan, usia anak dan hubungan secara menyeluruh antara anak dan pelaku.

Anak yang menjadi korban sexual abuse sering kali menunjukkan keluhan-keluhan

somatic tanpa adanya dasar penyebab organic, kesulitan sekolah atau kesulitan dalam

mengadakan hubungan dengan teman, gelisah, kehilangan kepercayaan diri, tumbuh

rasa tidak percaya pada orang dewasa, phobia, cemas, perasaan terluka yang sifatnya

permanen. Gejala depresi sering dilaporkan terjadi pada anak-anak yang mengalami

sexual abuse dan biasanya disertai dengan rasa malu, bersalah dan perasaan-perasaan

sebagai korban yang mengalami kerusakan yang permanen.Sexual abuse sering juga

merupakan factor predisposisi untuk berkembangnya gangguan dissociative identity

(gangguan kepribadian ganda).Gangguan kepribadian ambang juga dilaporkan pada

beberapa penderita yang mempunyai sejarah pernah mengalami sexual

abuse.Demikian juga, dilaporkan bahwa diantara mereka yang remaja banyak yang

kemudian terlibat pada penggunaan zat.

(29)

Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan berbagai faktor yang

mempengaruhinya:

1. Faktor kelalaian orang tua, kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan

tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi

korban kekerasan seksual. Anak yang kurang bahkan tidak diperhatikan

oleh orang tuanya akan cenderung hidup dalam lingkungan pergaulan

yang bebas, bahkan menyimpang, sehingga tidak jarang terjadi berbagai

kejahatan seperti kejahatan seksual. Begitu juga dengan anak yang tidak

mendapat perlindungan dari keluarga terutama orang tuanya, ia akan

memiliki risiko yang besar menjadi korban kejahatan, termasuk kejahatan

seksual.

2. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan

mentalitas yang tidak dapat tumbuh dengan baik, menjadikan pelaku tidak

dapat mengontrol nafsu dan perilakunya. Orang yang memiliki nafsu seks

yang terlalu tinggi yang tidak terkendali, cenderung akan melakukan

hubungan seks dengan siapa pun, termasuk anak-anak, walau dengan jalan

memaksa atau menyakiti anak. Begitu juga dengan pengidap pedofilia, ia

menjadi terobsesi untuk melakukan hubungan seksual terhadap anak,

sehingga ia terdorong untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak.

3. Faktor ekonomi, ekonomi menjadikan pelaku dengan mudah memuluskan

rencananya dengan memberikan iming-iming kepada korban yang menjadi

(30)

masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara

keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik,

juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti.

Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar

kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota

keluarga. Faktor perekonomian yang miskin juga menjadi sebab terjadinya

kekerasan seksual terhadap anak. Kehidupan seseorang yang berada dalam

kemiskinan bisa membuatnya menghalalkan segala cara untuk

memperoleh uang, termasuk dengan melakukan eksploitasi seksual

terhadap anak, seperti menjadikannya pelacur untuk menghasilkan uang.

4. Teknologi dan Media Massa

Perkembangan teknologi dan media massa selain membawa dampak

positif juga membawa dampak negatif. Salah satu yang menyebabkan

dampak negatif dari teknologi dan media massa adalah banyaknya berita,

tayangan, gambar, maupun video yang menampakkan adegan-adegan atau

hal yang tidak senonoh, khususnya yang melanggar norma-norma

kesusilaan seperti adegan seks, gambar porno, video kejahatan seksual dan

lain sebagainya. Media-media tersebut dapat mempengaruhi seseorang

sehingga ia ingin menirunya. Hal inilah yang mendorongnya untuk

melakukan kejahatan atau pelecehan seksual yang tidak jarang korbannya

adalah anak-anak. Tayangan media massa yang menonjolkan aspek

(31)

barbagai kekerasan seksual yang terjadi pada remaja. Rangsangan kuat

dari luar seperti film–film seks (blue film), sinetron, buku–buku bacaan

dan majalah–majalah bergambar seksi, godaan dan rangsangan dari kaum

pria, serta pengamatan secara langsung terhadap perbuatan seksual tidak

hanya mengakibatkan memuncaknya atau semakin panasnya reaksi–reaksi

seksual tetapi juga mengakibatkan kematangan seksual yang lebih cepat

pada diri anak (Kartono dalam Supriati 2009).

Richard J. Gelles (2004: 4-2) (Humaerah, 2012) mengemukakan

bahwakekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor antara

lain:

1. Pewarisan kekerasan antar generasi

Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika

tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan

kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi

(transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan

bahwa lebih kurang 30 persen anak-anak yang diperlakukan dengan

kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-

anaknya.

2. Stress sosial

Sters yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan

kekerasan terhadap anak. Kondisi–kondisi sosial mencakup :

(32)

buruk (poor housing condition), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a

larger-than-average family size), orang cacat (disabled person) di

rumah, kematian (the death) seseorang anggota keluarga. Sebagian

besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak

berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan

(power).Pengunaan alkohol dan narkoba memperbesar stres dan

merangsang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak

seperti kelemahan mental atau kecacatan perkembangan atau fisik juga

meningkatkan stress dari orangtua dan meningkatkan risiko tindakan

kekerasan.

3. Struktur keluarga

Orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan

kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh.

Keluarga dengan orangtua tunggal biasanya berpendapatan lebih kecil

dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat dikatakan

sebagai penyebab meningkatnya tindakan kekerasan terhadap anak.

2.3 Penanganan Kekerasan Seksual

UU perlindungan anak Nomor 23 Tahun 2002, pasal 1 ayat 15 menyebutkan

perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang

berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolir, anak yang di

(33)

menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban

kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban

perlakuan salah dan penelantaran. Program untuk anak yang membutuhkan

perlindungan mencakup :

1. Program dan pelayanan langsung untuk anak yang membutuhkan

perlindungan khusus

a. Penarikan (removal) anak- anak dalam situasi sulit yang menyebabkan

mereka membutuhkan perlindungan khusus. Penarikan ini dapat

dilakukan dengan cara pendekatan manusiawi maupun dengan

tindakan hukum oleh lembaga yang berwenang.

b. Perlindungan sementara bagi anak-anak yang membutuhkan

perlindungan khusus baik karena situasi darurat maupun setelah

dilepaskan dari situasi tereksploitasi

c. Penyembuhan dan pemulihan (rehabilitasi) untuk mengembalikan

keberfungsian sosial anak yang hilang dalam masa berada dalam

situasi sulit. Rehabilitasi mencakup kegiatan pelayanan penyembuhan

dan pemulihan fisik, mental, dan sosialisasinya melalui check

kesehatan, konseling, dan berbagai teknik lainnya.

d. Pembelaan kepada anak-anak yang mengalami eksploitasi atau

konflikdengan hukum, sehingga dalam prosesnya mereka tetap

(34)

Pembelaan dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan dan proses

sesudahnya.

e. Penyatuan kembali (reintegrasi/reunifikasi) anak dengan keluargaya

baik keluarga asli maupun keluarga pengganti jika keluarga aslinya

tidak ada. Pelayanan penguatan dalam bentuk bimbingan sosial

maupun bantuan permodalan diperlukan bagi keluarga yang telah

menerima anaknya lagi. Sedangkan anak yang masuk panti

memperoleh pelayanan yang biasa dalam panti tersebut. Jika

diperlukan dapat dikembangkan panti khusus untuk menampung dan

menangani anak- anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

f. Tidak lanjut, yaitu pelayanan lanjutan untuk memperkuat atau

mempertahankan kondisi yang telah dicapai anak dalam situasi atau

lingkungan barunya, baik keluarga maupun panti. Tindak lanjut

dilakukan dengan cara pemantauan rutin.

2. Program–program tidak langsung

a. Penyediaan perangkat-perangkat hukum yang diperlukan untuk

mendukung pelaksanaan perlindungan anak, seperti :

1. Penyusunan berbagai Peraturan Pemerintah atau Keppres yang

menjabarkan perangkat-perangkat Undang-Undang yang telah

(35)

2. Peraturan–peraturan daerah yang dapat mencegah, melindungi,

dan mempromosikan anak–anak yang membutuhkan perlindungan

khusus.

b. Penegakkan hukum oleh aparat penegakan hukum terhadap berbagai

kasus pelanggaran anak dan perlindungan bagi anak yang

membutuhkan perlindungan khusus yang bersumber pada peraturan

perundangan yang berlaku dan relevan dengan masalah anak.

c. Advokasi mengenai perubahan-perubahan kebijakan dan program

yang mendukung bagi upaya pencegahan dan perlindungan anak anak

yang membutuhkan perlindungan khusus. Advokasi dilakukan kepada

semua pengambil keputusan pada sektor- sektor pemerintah yang

terkait dengan permasalahan ini.

d. Pengembangan sistem informasi yang menyediakan berbagai data

informasi perlindungan anak yang terus-menerus di pengaruhi dan

berbagai laporan-laporan kasus pelanggaran hak anak.

e. Perlatihan dan pengembangan kapasitas bagi para penyedia pelayanan

perlindungan anak, baik para pekerja LSM, aparatur penegak hukum,

dan birokasi pemerintah terkait. Kegiatan ini ditujukan untuk

meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi berbagai

permasalahan perlindungan anak.

f. Penyadaran masyarakat agar mereka mempunyai daya tangkap dan

(36)

perlindungan khusus. Penyadaran masyarakat dilakukan melalui

sosialisasi dan kampanye.

g. Pendidikan orangtua melalui penyuluhan, bimbingan, maupun

pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dalam

memenuhi hak – hak anak dan mempunyai daya tanggkap terhadap

keadaan lingkungan sekitarnya.

h. Pengembangan jaringan kerja, dengan berbagai lembaga

pemerintahan, LSM, maupun perguruan tinggi yang mempunyai

tanggung jawab dan peran dalam perlindungan anak- anak yang

membutuhkan perlindungan khusus sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya.

Penanganan yang berkaitan dengan kekerasan seksual maka Waskito dalam

(Noviana, 2015) menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi keluarga terhadap

pengalaman kekerasan seksual yang menimpa anaknya, diantaranya :

1. Dukungan sosial dan emosional yang membuat setiap keluarga merasa

disayangi, dicintai, didukung, dihargai, dipercaya dan menjadi bagian dari

keluarga

2. Kelekatan/ ikatan emosional yang memiliki satu sama lain dalam keluarga

dikarenakan adanya keterbukaan dimana setiap anggota keluarga saling

berbagi perasaan, jujur dan terbuka satu sama lain.

3. Meningkatkan komunikasi dengan anak. Pola komunikasi yang efektif,

(37)

Dengan cara ini akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan dan rasa

aman pada anak, diharapkan anak tidak perlu takut menceritakan berbagai

tindakan ganjil yang dialaminya, seperti mendapat iming- iming, diajak

pergi bersama, diancam bahkan diperdaya oleh sesorang.

4. Keterlibatan orangtua terhadap proses penanganan kekerasan seksual yang

dialami anaknya baik itu penanganan secara hukum maupun penanganan

pemulihan secara psikologis bagi anak maupun bagi orang tua.

5. Pemahaman orang tua terhadap peristiwa kekerasan yang dialami oleh

anaknya. Dampak peristiwa tersebut bagi anaknya dan juga dirinya serta

bagaimana mengatasi dan memulihkan diri.

6. Spiritualitas dan nilai-nilai yang dimiliki dan dianut dengan baik oleh

sebuah keluarga. Keyakinan spiritual ini juga mencakup ritual-ritual

agama yang dianggap menguatkan.

7. Sikap positif yang dimiliki keluarga dalam memandang kehidupan

termasuk kritis dengan permasalahan yang ada. Cara pandang yang

melihat bahwa selalu ada jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi oleh

setiap manusia.

8. Keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang

dimiliki keluarga terkait dengan perencanaan terhadap masa depan yang

dimiliki oleh keluarga dan kendali terhadap permasalahan yang terjadi

melalui pelibatan orang tua dalam memutuskan langkah- langkah secara

(38)

Pengajaran Personal Safety Skills atau keterampilan keselamatan pribadi

merupakan seperangkat keterampilan yang perlu dikuasai oleh anak agar dapat

menjaga keselamatan dirinya dan terhindar dari tindakan kekerasan seksual.Personal

safety skills terdiri dari tiga kompenen yaitu

1. Recognize, yaitu kemampuan anak mengenali ciri-ciri yang berpotensi

melakukan kekerasan seksual. Pada komponen recognize ini, anak diajari

untuk mengenali bagian-bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh

sembarangan orang, dan bagaimana mengatakan tidak saat orang lain

melakukan sentuhan tidak aman (unsafe touch), menyuruh membuka baju

atau memperlihatkan bagian tubuh pribadi, menyuruh anak melihat bagian

tubuh pribadi sang pelaku dan memperlihatkan konten seksual. Anak

diberikan kesadaran atas hak-hak pribadi terhadap tubuhnya, serta

bagaimana mereka boleh menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh

menyentuh bagian tubuhnya, terutama yang sensitive atau yang sangat

pribadi. Dengan demikian anak diharapkan dapat membedakan pelaku

tindakan kekerasan seksual.

2. Resist yaitu kemampuan anak bertahan dari perlakuan atau tindakan

kekerasan seksual, misalnya berteriak minta tolong, memberitahukan

orang lain bahwa orang yang menggandengnya bukanlah ayah atau

ibunya, dan sebagainya. Pada komponen resist ini anak diajari untuk

mengidentifikasi sejumlah tindakan yang dapat ia lakukan ketika

(39)

dengan pelaku kekerasan seksua atau ketika berada dalam situasi yang

memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan seksual. Anak diajari untuk

adapat mengabaikan rayuan dan bujukan dari orang yang berpotensi

melakukan kekerasan seksual, mengatakan “Tidak atau Stop” dengan

lantang dan tegas pada orang yang mencoba melakukan tndak kekerasan

seksual pada mereka, melakukan tindakan perlawanan seperti memukul,

menggigit, menendang pada pelaku kekerasan seksual, melarikan diri dari

pelaku kekerasan seksual dan berteriak meminta pertolongan pada orang

sekitar.

3. Report yaitu kemampuan anak melaporkan perilaku kurang

menyenangkan secara seksual yang diterimanya dari orang dewasa,

bersikap terbuka kepada orang tua aagar orang tuanya dapat memantau

kondisi anak tersebut. Pada komponen report anak diajari agar mampu

bersikap terbuka atas tindakan kekerasan seksual yang diterimanya dan

mampu melaporkan pelaku pada orang dewsa atau lembaga lain yang

berkepentingan dan dipercaya oleh anak untuk membantunya.

Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN AKSA)

melalui Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang GN AKSA, presiden

menginstruksikan kepada para Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, para kepala lembaga

pemerintah non kementerian dan para kepala daerah untuk mengambil langkah–

langkah sesuai tugas, fungsi, kewenangan masing–masing untuk mencegah dan

(40)

melibatkan seluruh elemen masyarakatdan dunia. Sebagai upaya promotif dan

preventif kejahatan seksual anak, GN AKSA dilakukan mulai dari lingkungan

keluarga, sekolah dan masyarakat.Dilingkungan keluarga, orangtua harus membekali

anak dengan informasi dan pengetahuan yang tepat seputar seks.Pendidikan seks

diberikan sejak dini dengan cara dan waktu yang tepat sesuai dengan tingkat

kematangan anak, dengan demikian anak akan mampu mempersiapkan diri dalam

menghadapi ancaman yang merugikan masa depannya. Komunikasi dua arah antara

orang tua dan anak juga diperlukan karena anak- anak sekarang lebih rentan dalam

menghadapi masalah (Wahyuni, 2014).

Pedoman rujukan kasus kekerasan terhadap anak bagi petugas kesehatan

(2007) sistem perlindungan anak merupakan sistem yang kompleks melibatkan

berbagai unsur, sehingga perlu di bangun suatu jaringan kerja yang terdiri dari unsur

masyarakat, institusi pemerintah dan non pemerintah terkait dalam pelayanan

kesehatan, pelayanan sosial, pelayanan hukum dan pendidikan. Penyelenggaraan

rujukan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak merupakan proses

kerjasama semua unsur terkait dalam sistem jaringan tersebut. Anak korban

kekerasan pada umumnya datang ke fasilitas kesehatan di antar oleh orang tua, LSM

atau polisi, karena cidera fisik akibat berbagai perlakuan kekerasan yang dialaminya.

Penanganan dan rujukan kasus kekerasan terhadap anak perlu tindakan secara cepat

dan tepat oleh karena itu dibutuhkan kesiapan, pemahaman dan keterampilan tenaga

kesehatan, baik dari aspek medis/ medico-legal dan psikososial.

(41)

Puskesmas sebagai saranapelayanan dasar atau primer dapat menerima,

menangani kasus kekerasan terhadap anak atau apabila diperlukan merujuk ke Rumah

Sakit atau instansi terkait lainnya untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Tindakan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak di tingkat puskesmas

diawali dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan pengisian lembar persetujuan

pemeriksaan (informed concent). Untuk melakukan rujukan perlu dipersiapkan

suratpengantar rujukan, kronologis singkat kasus dan bukti–bukti yang mendukung

(pakaian, celana dalam, rambut pubis, kotoran/debris pada kuku, cairan vagina dll).

2. Rumah Sakit

Mekanisme rujukan kasus kekerasan terhadap anak di Rumah Sakit tidak

dibedakan menurut kelas Rumah sakit baik kelas C, kelas B atau kelas A, tetapi

berdasarkan tersedia atau tidaknya Pusat Krisis Terpadu atau Pusat Pelayanan

Terpadu. Pusat Krisis Terpadu (PKT) / Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) adalah pusat

pelayanan bagi korban kekerasan pada anak dan perempuan yang memberikan

pelayanan komprehensif dan holistik meliputi penanganan medis dan mediko-legal,

penanganan psikologis, sosial dan hukum. Rumah sakit yang sudah mempunyai

PKT/PPT dapat memberikan pelayanan komprehensif dalam satu atap (one stop

sevice) yang mencakup aspek pelayanan medis/mediko-legal, psikologis, sosial dan

hukum dan perlu bekerjasama dengan LSM, LBH yang tergabung dalam jaringan

kerja penanganan kekerasan terhadap anak.

Kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani Rumah Sakit mulai dari derajat

(42)

tenaga di Rumah Sakit. Tindakan dalam penanganan kekerasan terhadap anak diawali

dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan pengisian lembar persetujuan

pemeriksaan (informed concent). Pada kasus yang memerlukan pendampingan

perlindungan, bantuan hukum, dan lain- lain dilakukan rujukan non medis ke institusi

terkait lainnya.

2.4 Kerangka Teori

Kekerasan seksual (sexual abuse) adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual,

dimana anak tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberikan

persetujuan, atau oleh perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberikan

persetujuan.

Kategori kekerasan seksual adalah

1. Kekerasan seksual tanpa sentuhan, yaitu pengalaman tidak langsung terhadap

aktivitas seperti tindakan menunjukkan alat kelamin terhadap orang lain,

dalam hal ini biasanya dilakukan orang dewasa laki- laki pada anak

(ekshibisionisme), dan penunjukkan hal-hal berbau pornografi maupun

aktivitas seksual (termasuk masturbasi) pada anak.

2. Kekerasan seksual dengan sentuhan, yaitu aktivitas seksual yang melibatkan

kontak fisik dengan anak, misalnya memaksa anak menyentuh organ genital

orang dewasa atau anak lain, penestrasi terhadap organ genital atau anal oleh

organ organ dewasa atau objek lain, dan aktivitas seksual lainnya dengan

(43)

3. Eksploitasi seksual, yaitu pelibatan anak dengan tujuan prostitusi atau

(44)

Gambar 2.1Kerangka Teori Kekerasan Seksual Pada Anak Sumber : Bagley (1969), Folkman (1986), Orange dan Brodwin (2005)

Dampak Perilaku - Perubahan Mendadak

Pada Anak

- Takut atau Menghindar dari Orang Tertentu - Perilaku yang Secara

(45)

2.5 Alur Berpikir

Gambar 2.2Alur Berpikir

Kekerasan Seksual

Pada Anak

Dampak Kekerasan

Gambar

Gambar 2.1Kerangka Teori Kekerasan Seksual Pada Anak

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa terdapat dampak pada perkembangan anak korban kekerasan seksual baik pada perkembangan

Ada 3 permasalahan pokok, yaitu: (1) Pola pelaku kekerasan seksual; (2) Aspek perlindungan hukum; (3) Upaya-upaya yang dilakukan dalam pencegahan agar anak-anak

Pasal 17, menentukan bahwa: Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: (a) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

Wahid, Abdul, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama, Bandung, 2001.. Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak,

Upaya kelima yang dilakukan oleh pihak penyidik untuk para orang tua dari anak-anak yang menjadi pelaku atau korban tindak pidana kekerasan seksual pada anak

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan unuk akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada

superior.Meski di sebagian masyarakat mungkin tidak secara eksplisit dinyatakan, tetapi sejumlah indikasi memperlihatkan bahwa dalam banyak hal memang posisi kaum lelaki

Monitoring data anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia tahun 2011 menunjukkan dari 110 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di