• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kecamatan Batang Kuis Tahun 2016 Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kecamatan Batang Kuis Tahun 2016 Chapter III V"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus, yaitu pendekatan

atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu fenomena atau

peristiwa.Dalam pendekatan studi kasus bertujuan menggali secara mendalam,

menyeluruh dan lengkap dalam suatu peristiwa dan dampak yang terjadi pada

kekerasan seksual yang dialami anak.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Sedang

Provinsi Sumatera Utara, sejalan pemindahan Bandara Internasional Polonia Medan

ke Bandara Internasional Kuala Namu yang berbatasan dengan kecamatan Batang

Kuis, Kecamatan ini terus berbenah diri menjadi Kecamatan Gapura (Gerbang dan

Pintu Utama Menuju Bandara). Kecamatan Batang Kuis sendiri juga menyebut

dirinya sebagai Kota Transit, hal ini dikarenakan Kecamatan Batang Kuis adalah

Kecamatan yang memisahkan Kota Medan dan Ibukota Kabupaten Deli Serdang

yaitu Lubuk Pakam. Kecamtan Batang Kuis juga sebagai jalan alternatif jalur lintas

Sumatera.Pembangunan yang pesat seperti pembangunan jalan menuju Bandara

Internasional Kuala Namu banyak lahan-lahan sawit di Kecamatan Batang Kuis

(2)

masyarakat sekitar dan masyarakat diluar kacamatan Batang Kuis membangun rumah

disekitar lahan yang dihancurkan sehingga mempengaruhi warga yang tinggal disana

dan menjadi peluang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini di mulai dari bulan Maret sampai dengan Juli 2016. Bulan Maret

sampai April peneliti melakukan penelusuran kasus yang terjadi di Kecamatan

Batang Kuis dari mengambil data kasus dari Polres Deli Serdang danmenemukan

korban-korban kekerasan seksual. Bulan Mei sampai Juli peneliti terus- menerus

datang ketempat korban-korban kekerasan seksual terjun langsung melihat keadaan

lingkungan sekitar, menanyakan kejadian dan dampak yang terjadi, memastikan

adanya kejadian dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di Kecamatan

Batang Kuis kepada sekretaris pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan

dan anak (P2TP2A) Deli Serdang, ketua komisi perlindungan anak Indonesia daerah

Sumatera Utara dan menanyakan kepada orang-orang yang mengetahui secara

langsung kejadian kekerasan seksual yang terjadi yaitu orang tua dan tetangga

korban.

3.3 Informan Penelitian

3.3.1 Informan Korban (kasus)

NA berusia 5 tahun dengan berat badan 18 kg dan tinggi 120 cm sekarang

bersekolah di TK Nurul Fikri, memiliki warna kulit sawo matang, rambut kering dan

(3)

informan).NA adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara.NA dan keluarga tinggal di Dusun

III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang Kuis. NA korban dari pelaku M (30

tahun)

SN berusia 5 tahun dengan berat badan 20 kg dan tinggi badan 115 cm

sekarang bersekolah di TK Nurul Fikri, memiliki warna kulit sawo matang, ingusan

(waktu perkenalan pertama dengan informan).SN adalah anak ke 3 dari 3

bersaudara.SN dan keluarga tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan

Batang Kuis. SN korban dari pelaku M (30 tahun)

CA berusia 6 tahun dengan berat badan 21 kg dan tinggi badan 118 cm belum

bersekolah dulu pernah TK d Medan, memiliki warna kulit kuning langsat, bersih

(waktu perkenalan pertama dengan informan). CA adalah anak ke 3 dari 3

bersaudara. CA dan keluarga tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan

Batang Kuis .CA korban dari pelaku M (30 tahun).

AA berusia 6 tahun dengan berat 22 kg dan tinggi badan 120 cm belum

bersekolah dulu pernah SD kelas I di Tebing Tinggi, memiliki warna kulit sawo

matang, bersih (waktu perkenalan pertama dengan informan). AA adalah anak ke 2

dari 2 bersaudara.CA tinggal bersama tante di Dusun III Desa Tumpatan Nibung

Kecamatan Batang Kuis, kedua orangtua AA TKI di Malaysia.AA korban dari pelaku

M (30 tahun).

FA berusia 16 tahun dengan berat 49 kg dan tinggi badan 155 cm, pernah

(4)

ibu dari bayi laki-laki yang berumur 3 bulan. FA adalah korban dari pelaku FR (24

tahun) pada saat di di dalam tahanan.

3.3.2 Informan Nonkorban

R adalah tetangga NA, berumur 45 tahun, suku batak, memiliki tinggi 150 cm,

kulit hitam dan kering. Rambut keriting pendek.Aktifitas sehari-hari R adalah

berladang.R memiliki sifat pemberani dan agak kasar. R adalah orang yang pertama

mengungkap kejadian pencabulan yang dilakukan oleh pelaku M ( 30 tahun) terhadap

NA ( 5 tahun), SN ( 5 tahun), CA ( 6 tahun ), AA ( 6 tahun).

S adalah ibu dari NA, berumur 38 tahun, memiliki tinggi 155 cm, kulit sawo

matang, rambut lurus. Aktivitas sehari-hari S adalah ibu rumah tangga. Pendidikan

terakhir S adalah SD, S memiliki 4 orang anak, 2 diantaranya sudah bekerja dan 1

anak masih berusia 6 bulan.

S adalah ibu dari SN, berumur 37 tahun, memiliki tinggi 153 cm, kulit hitam,

rambut lurus, aktivitas sehari-hari S adalah bekerja di ladang milik orang. Pendidikan

terakhir S adalah SD, S memiliki 3 orang anak yaitu SN, abang dan kakaknya yang

sudah bekerja.

PH adalah sekretaris pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan

anak (P2TP2A) Deli Serdang, sudah bekerja selama 7 tahun.PH memiliki sifat yang

ramah dan sangat peduli terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di Deli

Serdang.P2TP2A memiliki 9 orang pengurus / pelaksana terdiri dari ketua, sekretaris,

(5)

MZP adalah ketua komisi perlindungan anak Indonesia daerah Sumatera

Utara, sudah bekerja selama 9 tahun. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah

Sumatera Utara (KPAI SU) memiliki 10 orang pengurus/ pelaksanan terdiri dari

ketua, kelembagaan dan kemitraan, pengaduan dan fasilitas, sekretaris/ staf.

FS adalah tim II Penyidik Perlindungan Perempuan Anak (PPA) Polres Deli

Serdang, sudah bekerja 6 tahun. Unit PPA memiliki 9 orang tim terdiri dari Kanit

PPA, Tim I Penyidik, Tim II Penyidik, Tim Penyelidik.

3.3.3 Syarat Informan

Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive

sampling yaitu metode pemilihan informan dalam suatu penelitian dengan

menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam penelitian, dimana

partisipan yang di ambil dapat memberikan informasi yang berharga bagi penelitian.

Informan korban adalah korban yang mengalami kekerasan seksual, umur di

bawah 18 tahun, memiliki kemampuan menceritakan kembali kekerasan seksual yang

pernah dialaminya, serta masih tinggal di Kecamatan Batang Kuis.Informan non

korban adalah mereka yang mengetahui secara langsung atau tidak langsung tentang

kekerasan seksual yang dialami anak, informan bersedia diwawancara, memiliki

kondisi emosional yang stabil, dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data kasus

kekerasan seksual yang terjadi di Kecamatan Batang Kuis.

3.3.4 Proses Penelusuran Informan

Pada penelusuran informan dalam penlitian ini adalah anak yang mengalami

(6)

Polres Deli Serdang.12 korban kekerasan seksual, hanya 5 yang dijadikan informan

dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan 7 orang korban tidak memenuhi persyaratan

antara lain korban pindah ke kota lain, keluarga tidak mengijinkan untuk di jadikan

informan (di halangi bertemu korban).

Pendekatan dilakukan korban kepada NA (5 thn), CT (6 thn), SN (5 thn), AA

(5 thn) yaitu dengan memberi mainan, mengikuti korban bermain dan membawa

makanan, makan bersama dengan keluarga korban sehingga membina keakraban

dengan korban.Membina hubungan rasa percaya dengan informan sangat diperlukan

karena sangat bersifat pribadi sehingga diperlukan keterbukaan dalam menyampaikan

informasi.Pendekatan yang dilakukan kepada FA (16 Tahun) yaitu mendatangi rumah

FA membawa perlengkapan untuk bayinya dan membawa makanan dan makan

bersama dengan keluarga FA untuk membina keakraban sehingga timbul rasa percaya

dan keterbukaan oleh korban.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan wawancara mendalam,

observasipartisipatif dan dokumen. Wawancara mendalam proses memperoleh

keterangan tujuan untuk memperoleh keterangan dengan cara Tanya jawab sambil

bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai,

dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara

(7)

Observasi partisipatif merupakan pelibatan peneliti dengan kegiatan

sehari-hari yang sedang diamati atau digunakan sumber data penelitian, dalam melakukan

pengamatan peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data dan ikut

merasakan suka dukanya.

Dokumen merupakan sumber data yang digunakan untuk melengkapi

penelitian baik berupa sumber tertulis, film, gambar dan karya-karya monumental

yang semua memberikan informasi bagi proses penelitian. Dokumen dalam penelitian

ini adalah dokumen tertulis yang diperoleh secara langsung dari Polres Deli Serdang

dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sumatera Utara (KPAISU)

3.5 Metode Analisis Data

Langkah–langkah analisis data pada studi kasus yaitu :

a. Mengorganisir informasi.

b. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.

c. Membuat suatu uraian terperinci mengenai hubungan antara beberapa

kategori.

d. Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.

e. Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan

generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk

penerapannya pada kasus yang lain.

(8)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian

Batang kuis adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi

Sumatera Utara. Kecamatan Batang Kuis terletak pada kordinat 3°35 - 3°41 Lintang

Utara dan 41° - 46° Bujur Timur, dengan luas wilayah 40,34 Km2 dan terletak pada

ketinggian 4-30 m diatas permukaan laut. Kecamatan Batang Kuis terbagi menjadi 11

Desa dan 72 dusun, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pantai Labu,

sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa, sebelah Timur

berbatasan dengan Kecamatan Beringin dan Pantai Labu, sebelah Barat berbatasan

dengan Kecamatan Percut Sei Tuan. Kecamatan Batang Kuis beriklim tropis.

Sejalan dengan pemindahan Bandara Internasional Polonia Medan ke Bandara

Internasional Kuala Namu yang berbatasan dengan kecamatan Batang Kuis,

Kecamatan ini terus berbenah diri menjadi Kecamatan Gapura (Gerbang dan Pintu

Utama Menuju Bandara). Kecamatan Batang Kuis sendiri juga menyebut dirinya

sebagai Kota Transit, hal ini dikarenakan Kecamatan Batang Kuis adalah Kecamatan

yang memisahkan Kota Medan dan Ibukota Kabupaten Deli Serdang yaitu Lubuk

Pakam. Kecamtan Batang Kuis juga sebagai jalan alternatif jalur lintas Sumatera.

Kecamatan Batang Kuis memiliki penduduk sejumlah 62.348 jiwa dan 14.370

Rumah Tangga (KK). Sistem mata pencaharian di daerah Batang Kuis adalah buruh

(9)

orang,PNS/ABRI sebanyak 999 orang, pensiunan/ABRI sebanyak 136 orang, nelayan

sebanyak 25 orang, dll. Dari hasil data tersebut potensi utama mata pencaharian

mayarakat Kecamatan Batang Kuis adalah petani dan buruh dikarenakan Kecamatan

Batang Kuis dipenuhi oleh lahan PTPN2 yang bergerak dalam penanaman sawit dan

tembakau sehingga mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh.Pembangunan

yang pesat seperti pembangunan jalan menuju Bandara Internasional Kuala Namu

banyak lahan-lahan kelapa sawit di Kecamatan Batang Kuis alih fungsikan.Inilah

yang menyebabkan masyarakat yang berprofesi sebagai buruh perkebunan berpindah

menjadi buruh pabrik.

Kecamatan Batang Kuis yang banyak dipenuhi lahan PTPN2 menyebabkan

mayoritas suku masyarakat di Kecamatan Batang Kuis adalah suku Jawa sebanyak

40.665 orang, suku Melayu sebanyak 13.440 orang, suku Tapanuli sebanyak 6.540

orang, suku Karo sebanyak 1.095 orang, suku Minang 608 orang, dll sebanyak 3.543

orang. Mayoritas agama di Kecamatan Batang Kuis adalah agama Islam sebanyak

58.653 orang, agama Kristen Protestan sebanyak 2.005 orang, agama Kristen Katolik

sebanyak 256 orang, agama Budha 1.138 orang, agama Hindu sebanyak 297 orang.

Sarana kesehaatan di Kecamatan Batang Kuis adalah Puskesmas sebanyak 1

buah, Puskesmas Pembantu sebanyak 4 buah, Poskesdes sebanyak 7 buah, Rumah

Bersalin sebanyak 3 buah, Balai Pengobatan 9 buah, Posyandu sebanyak 40 buah,

(10)

4.2 Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak

Tabel 4.1 Kekerasan Seksual Informan Korban Informan

Korban

Pelaku Kekerasan Seksual

NA

Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemaksaan oral seks dan pemerkosaan /pencabulan.

Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemerkosaan/pencabulan.

Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemerkosaan/pencabulan

Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pelecehan seksual seperti ciuman dan rabaan

Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemerkosaan/pencabulan

4.2.1 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban NA

Peneliti pertama kali mengambil data ke Polres Deli Serdang jumlah korban

kekerasan seksual pada anak di Kecamatan Batang Kuis, kemudian peneliti

melakukan penelusuran lokasi di Kecamatan Batang Kuis.Pada saat peneliti tiba di

lokasi Dusun III Desa Tumpatan Nibung peneliti langsung ke rumah NA.Peneliti

memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan peneliti datang ke rumah korban,

keluarga NA begitu ramah dan menyambut baik kedatangan peneliti.

Peneliti melakukan observasi terhadap kondisi keluarga dan lingkungan tempat

tinggalnya, saat itu NA tinggal bersama orang tuanya disebuah rumah semi permanen

terdiri dari 1 ruang tamu tanpa kursi, 1 ruang keluarga hanya terdiri dari 1 buah

(11)

Kipas angin, dll), 2 kamar tidur, 1 kamar mandi.NA dan keluarga sudah 2 tahun

tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung. Tanah tempat tinggal NA sekeluarga

dan warga Dusun III Desa Tumpatan Nibung adalah tanahgarapan sengketa yang

sewaktu-waktu dapat diusir atau rumah mereka dibakar jika masih bertahan. Dusun

III Desa Tumpatan Nibung memiliki sekitar kurang lebih 50 rumah yang didirikankan

tanpa ada surat tanah dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta didirikan di tanah

bekas perkebunan milik PTPN 2 sehingga siapapun dapat mendirikan rumah disana,

sehingga mempengaruhi warga yang tinggal disana sehingga peluang pelaku untuk

melakukan kekerasan seksual besar.

Ayah NA tidak memiliki pekerjaan tetap, terkadang ayah NA bekerja borongan

(kuli bangunan) jika selesai borongan ayah NA tidak bekerja dan menunggu jika ada

teman mengajak bekerja borongan, sehingga tidak memiliki penghasilan tetap,

sedangkan ibu NA adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya memasak,

mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak.

Aktifitas sehari-hari NA adalah bersekolah di TK Nurul Fikri, setelah pulang

sekolah NA bermain dengan teman-teman sebayanya (perempuan dan laki-laki)

disekitar rumah yaitu di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang

Kuis.Tetapi setelah kejadian kekerasan seksual terjadi ibu NA melarang NA untuk

bermain keluar rumah dan melarang bermain dengan teman laki-laki.

Sebelum memulai wawancara dengan NA, ibu NA memanggil korban lain SN,

CA dan AA kumpul di rumah NA, setelah berkumpul peneliti mengajak korban NA

(12)

dibawa oleh peneliti. Saat bermain dengan CA peneliti mencoba pertanya kepada

korban bagaimana kasus kekerasan seksual itu terjadi.NA menceritakan kejadian

yang terjadi pada sore hari (pukul 14.00 wib didapat dari Polres Deli Serdang) saat

NA, CA, SN, AA sedang bermain disekitar rumah M (pelaku kekerasan seksual)

memanggil mereka dan mengajak ke sebuah musholla yang terletak di tengah-tengah

Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang Kuis, sebelumnya pelaku M

sudah dikenal dan sangat dekat dengan NA, CA, SN, AA karena pelaku sering

memberi uang kepada korban, pelaku M adalah orang pendatang dan tidak memiliki

rumah di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang Kuis hanya

menumpang di rumah-rumah warga dusun. Pelaku mengajak dan mengatakan banyak

mangga yang sedang berbuah di belakang Musholla, sesampai di Musholla M

menyuruh NA dan teman-temannya (SN, CA, AA) masuk ke kamar mandi Musholla

(kamar mandi berada tepat di bawah pohon mangga). M menyuruh NA untuk buka

baju dan celana dilihat oleh teman-teman NA (SN, CA, AA) kemudian M juga

membuka celana setelah buka M menyuruh NA menghisap alat kelamin M, pada saat

itu NA tidak bisa menolak karena di jambak dan di ancam oleh M dan korban (NA,

SN, CA, AA) tidak bisa lari karena pintu kamar mandi Musholla di kunci oleh M. NA

mengatakan pada saat setelah menghisap alat kelamin M, NA muntah sangat banyak.

NA disuruh berbaring dilantai kamar mandi Musholla kemudian M memasukkan

kemaluannya kedalam vagina NA.

Dalam melakukan aksinya M selalu mengiming-imingkan uang kepada sebesar

(13)

di iming-imingi uang karena uang jajan yang diberikan orang tua jarang diberi dan

sangat sedikit, diakibatkan penghasilan orang tua yang sangat sedikit.

Minggu berikutnya peneliti menemui korban NA, peneliti mengikuti korban

bermain dengan korban yang lain (SN, CA, AA). Pada saat bermain peneliti mencoba

bertanya kepada korban apa yang dirasakan pada saat kejadian dan yang sekarang

rasakan, NA mengatakan pada saat kejadian merasakan sakit dan sangat perih karena

adanya paksaan dan mengeluarkan darah. Setelah kejadian NA merasa sakit pada saat

berjalan, susah tidur dan takut bertemu orang lain yang baru kenal terutama laki-laki.

Kejadian ini tidak diberitahukan NA kepada orangtua dan siapa pun karena

takut pada ancaman pelaku M. Kejadian ini terbongkar pada saat NA bermain ke

rumah ibu R tetangga mereka, pada siang itu ibu R sedang berada diladang mereka,

rumah hanya ada anak ibu R berjenis kelamin laki-laki yang berumur 4 tahun. pada

saat pulang kerumah ibu R melihat jendela dan pintu rumah terkunci. Ibu R

memanggil nama anaknya dan mendengar suara seperti orang melompat, karena

semakin curiga ibu R membuka paksa pintu rumahnya dan didalam rumah terdapat

NA sedang memasang celana dan anak ibu R juga sedang memasang celana. Pada

saat kejadian tersebut ibu NA berada di rumah, mendengar ibu R berteriak sehingga

menimbulkan keributan sehingga warga berkumpul di rumah ibu R, setelah warga

menanyakan dari mana tahu perbuatan seperti itu, NA mengatakan pelaku M yang

mengajarkannya. Setelah itu orangtua melaporkan perbuatan M kepada Polres Deli

Serdang dan menindaklanjuti laporan tersebut. Polres Deli Serdang melakukan

(14)

pengadilan, informasi yang di dapat oleh pihak Polres Deli Serdang pelaku sampai

saat ini belum mengakui perbuatannya.

Setelah kejadian tersebut ibu NA mengatakan ada yang berubah dari anaknya

seperti sering memperagakan kejadian tersebut kepada teman-temannya, pada saat

bermain mereka sering main di kamar tidur, jika di tanya bermain anak-anakan

(memperagakan jadi ibu, ayah dan anak). Perubahan yang lain sering teringat-ingat

seperti ketika ibu S memandikan NA, NA selalu berkata seperti yang dilakukan oleh

pelaku.

Beberapa hari setelah kejadian S (ibu NA) mengatakan banyak yang datang ke

rumahnya seperti LSM, wartawan dan KPAI tetapi hanya 1 kali saja datang. Tidak

ada penanganan lebih lanjut yang dilakukan untuk mengurangi dampak trauma yang

terjadi pada korban. KPAI hanya melakukan pendampingan pada saat korban menjadi

saksi dipersidangan pelaku.

Kekerasan seksual yang dialami oleh NA adalah kekerasan seksual dengan

sentuhan yang melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan

memasukkan alat organ genital pelaku ke mulut korban NA dan penestasi terhadap

alat organ genital korban NA oleh pelaku.

“…suruh saya ngemot burungnya terus tidur dilantai terus burung M di masukin ke bawah nunuk ku”

(NA)

Kekerasan seksual (sexual abuse) adalah pelibatan anak dalam kegiatan

seksual, dimana anak tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberikan

(15)

persetujuan. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual, prostitusi, pornografi,

pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan pada

anak, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling), pelecehan seksual lain,

memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, incest,

perkosaan dan sodomi

Menurut penelitian Paramastri (2010) Kekerasan seksual pada anak

merupakan tingkat kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan kekerasan

fisik dan psikologis. Kekerasan pada anak di Indonesia sampai dengan September

2006 telah terjadi 861 kasus, 60 % diantaranya adalah kasus kekerasan seksual pada

anak. Indonesia disorot sebagai negara yang sangat lemah terhadap anak.

Reaksi korban terhadap tindak kekerasan yang mengancam dan menimpa

mereka sebagian besar bersikap pasif, bahkan pasrah.Sebagai makhluk yang lemah

dan secara psikologis dalam posisi yang tersubordinasi di hadapan pelaku, anak-anak

umumnya tidak memiliki alternatif dan keberanian yang cukup untuk melawan situasi

yang menekan mereka. Ancaman, gertakan, todongan, dan apalagi jika korban adalah

anak-anak yang masih balita dan anak-anak yang tidak akan berbuat apa-apa meski

mereka diperlakukan salah dan menyakitkan (Suyanto, 2010).

“…saya gak bisa lari karena di jambak dan takut di ancam M (pelaku)”

(NA)

Pendekatan seksual yang dilakukan orang dewasa pada anak, meski anak

tidak menolaknya, harus dilihat dalam kaitannya dengan motivasi (alasan) yang ada

(16)

hal ini, orang dewasa tersebut jelas memperlakukan anak sebagai sasaran

pelampiasan pemenuhan kebutuhannya, yang artinya telah memperlakukannya

sebagai objek, memanipulasi dan mengeksploitasi tanpa peduli anak belum memiliki

kesiapan untuk memahami apa yang apa yang terjadi, serta belum mampu

bertanggung jawab atas apa yang nantinya terjadi.

“…kami lagi main saya, SN,CA,AA di panggil dan di ajak M katanya banyak mangga masak di kamar mandi musholla”

(NA)

Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya maupun

ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan sulit dihindari.Dari seluruh kasus

kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi dan tidak

sedikit yang berdampak fatal.Tidak sedikit pelaku kekerasan seksual pada anak ini

melakukan aksinya tanpa kekeasan, tetapi dengan meggunakan manipulasi

psikologi.Anak ditipu, sehingga mengikuti keinginannya. Anak sebagai individu

yang belum mencapai taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu

daya atau bukan (Noviana, 2015)

“…pelakunya adalah M, kami gak nyangka dia lebih dulu disini sebelum kami pindah, dekat sama anak-anak sering ngasi jajan, ya seperti sodara tidur makan di rumah, gak curiga, pergi pun kami sering di boceng M”

(S(Ibu NA))

“…iya M pelakunya, orangnya lugu kayak gak mungkin dia yang seperti itu, sering ngecas hp dirumah, ya gak nyangka aja, kami kira dia bener-bener baik”

(17)

Terkadang pelaku kekerasan adalah orang terdekat yang tidak

disangka-sangka dan banyak diantara korban korban kekerasan mengenal pelakunya antara lain

teman korban, pacar, tetangga bahkan ada pelaku yang merupakan keluarga terdekat

korban (seperti ayah, menantu, saudara sepupu, dan sebagainya) yang seharusnya

bertanggung jawab terhadap kehidupan dan masa depan korban. Apabila pelaku

kekerasan adalah orang dekat, dipercaya dan dikenal apalagi orang tua sendiri, anak

akan mengembangkan perasaan dikhianati dan akhirnya menunjukkan ketakutan dan

ketidakpercayaan pada orang-orang lain dan kehidupan pada umumnya. Hal ini akan

sangat berdampak pada kemampuan sosialisai, kebahagian dan hampir semua

dimensi kehidupan psikologis pada umumnya.

Dalam Suyanto (2010) identifikasi yang dilakukan pada dua surat kabar di

Jawa Timur yaitu Jawa Pos dan Memorandum memperlihatkan bahwa sebagian

besar status pelaku dalam kaitannya dengan korban adalah orang lain dan tetangga.

Harian Jawa Pos memberitakan terdapat sekitar 54,4% pelaku yang berstatus orang

lain dan sebanyak 14,6% sebagai tetangga korban. Sementara itu, harian

Memorandum membuat sekitar sekitar 40% orang lain dan 27,4% pelaku sebagai

sebagai tetangga korban. Data ini menunjukkan bahwa korban tindak kekerasan

dalam bentuk perkosaan umunya adalah oang yang tergolong dekat dengan

pelakunya, setidaknya oleh pelaku korban sudah tidak dianggap sebagai orang asing

lagi, sehingga hanya sedikit rayuan, janji diiringi dengan paksaan dan ancaman

(18)

Faktor ekonomi, kemiskinan yang dihadapi sering kali membawa keluarga

tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan.

Problematika financial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan

ekonomi dapat menciptakan berbagai macam masalah baik dalam hal pemenuhan

kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembelian pakaian, pembayaran sewa

rumah yang kesemuanya secara relatif dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan yang

sering kali akhirnya di lampiaskan terhadap anak-anak.

ada dikasi 2000”

(NA)

Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada pencarian

materi sebagai kebutuhan pokok.Kelalaian orang tua yang sibuk bekerja tidak

memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi

korban kekerasan seksual. Anak yang kurang bahkan tidak diperhatikan oleh orang

tuanya akan cenderung hidup dalam lingkungan pergaulan yang bebas bahkan

menyimpang, sehingga tidak jarang terjadi berbagai kejahatan seperti kejahatan

seksual. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun

materialistik, juga berfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti.Di

lingkungan keluarga miskin, anak cenderung rawan diperlakukan salah dan bahkan

potensial menjadi objek kekerasan (child abuse).Di keluarga miskin yang broken

home, single parent, pemabuk, dan keluarga miskin yang tengah dibelit persoalan

kemiskinan yang kronis termasuk pula ketika salah satu sumber penghasilan penting

(19)

pelampiasan dan pengalihan sasaran kemarahan atau perasaan stress dari orang

tuanya.

4.2.2 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban SN

Informan kedua yang peneliti wawancarai adalah SN yang berusia 5 tahun, SN

tinggal bersama orang tua di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang

Kuis.SN memiliki sifat ramah dan mudah untuk bercerita. Ayah SN bekerja yang di

bengkel tidak memiliki penghasilan tetap, sedangkan ibu SN bekeja di ladang milik

orang lain. Kakak dan abang SN sudah bekerja. SN dan keluarga baru 1 tahun tinggal

di Dusun III Desa Tumpatan Nibung, di sana mereka hanya menyewa dengan biaya

sewa Rp. 150.000/bulan. Hampir semua rumah di Dusun III Desa Tumpatan Nibung

Kecamatan Batang Kuis semi permanen dengan lantai semen.

Pada saat peneliti datang ke rumah SN, keluarga SN tinggal di rumah semi

permanen terdiri dari 1 kamar tidur, 1 ruangan yang dijadikan ruang tamu, ruang

keluarga sekaligus dapur dan tempat makan. Kamar mandi terletak diluar rumah yang

hanya berdinding terpal dengan air sumur, di dalam rumah tidak ada alat elektronik

(Televisi atau Kipas angin, dll).

Pemilihan SN diwawancarai sesuai urutan yang dilakukan oleh pelaku M. SN

menceritakan kejadian yang dialaminya terjadi pada sore hari (pukul 14.00 wib

didapat dari Polres Deli Serdang) ketika mereka sedang bermain, M memanggil dan

mengajak ke sebuah Musholla dengan mengatakan banyak mangga yang sedang

(20)

teman-temannya (NA, CA, AA) masuk ke kamar mandi Musholla (kamar mandi berada

tepat dibawah pohon mangga). Di dalam kamar mandi SN melihat NA menghisap

alat kelamin M, mereka tidak berteriak karena takut ancaman M. Setelah

memasukkan alat kelaminnya ke NA, M menyuruh SN buka baju dan celana,

kemudian memasukkan ke dalam vagina SN.Dari informasi dari Polres Deli Serdang

korban NA dan SN terdapat robekan pada selaput hymen.

Peneliti mewawancarai korban SN yang sedang bermain dengan CA, AA. Pada

saat bermain peneliti mencoba bertanya kepada korban apa yang dirasakan pada saat

kejadian dan yang sekarang rasakan. Pada saat kejadian SN mengatakan sakit, terasa

tidak enak dibagian bawah dan mengeluarkan darah.Setelah kejadian SN mengatakan

sakit pada saat berjalan, sering mimpi pelaku, takut keluar rumah karena takut

berjumpa pelaku M dan sering terasa gatal-gatal kemudian dilap oleh mamak (ibu

SN).

Pada saat kejadian korban dibawa oleh pelaku ke kamar mandi musholla, ibu SN

berada di ladang, sedangkan ibu SN tahu anaknya menjadi korban pada saat

terungkap kejadian NA, pada saat ditanya oleh korban siapa lagi yang menjadi korban

ternyata salah satunya adalah anaknya. Ibu S (ibu SN) menanyakan langsung kepada

SN kebenarannya, SN menjawab iya benar menjadi salah satu korban.SN

memberitahukan kepada ibunya dia di panggil pelaku ke kamar mandi musholla

kemudian tangan korban ke dalam kamar mandi kemudian di suruh buka baju dan

(21)

minum air paretnya (sperma) tetapi tidak mau.SN tidak berani memberitahukan

kejadian karena dapat ancaman dari pelaku.

Perubahan yang dilihat ibu S terhadap SN adalah ketakutan, teringat-ingat

kejadian seperti ketika abang korban mencium korban, korban mengatakan abangnya

seperti pelaku.Pada saat setelah kejadian korban sakit demam dan mengigau

mengatakan jangan-jangan dan awas-awas.Ibu mengatakan sebelum pindah ke Dusun

III Desa Tumpatan Nibung SN adalah orang yang sangat ceria, pemberani.

Upaya yang dilakukan ibu S untuk mengurangi trauma SN adalah mengikutkan

SN untuk lomba-lomba busana muslim, kemudian acara-acara perlombaan yang ada

di daerah tersebut, mengajak SN untuk jalan-jalan dan tidak mengungkit kejadian

kemaren.

Kekerasan seksual yang dialami oleh SN adalah kekerasan seksual yang

melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan memasukkan alat

organ genital pelaku ke mulut korban SN dan penestasi terhadap alat organ genital

korban SN oleh pelaku.

“…saya lihat M masukin burung kebawah nunuk NA, terus ke nunuk ku”

(SN)

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan

sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh

orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang

mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan

(22)

dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual (sexual

intercourse), melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan

seseorang termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah

melakukan hubungan seksualitas.Segala perilaku yang mengarah pada tindakan

pelecehan seksual terhadap anak-anak, baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun di

lingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan atau

pelanggaran terhadap hak anak jenis ini (Suyanto, 2010).

Praktik hubungan seksual biasanya dilakukan dengan cara-cara kekerasan,

bertentangan dengan ajaran agama serta melanggar hukum yang berlaku.Kekerasan

ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik,

maupun non fisik dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan

usaha-usaha jahatnya itu.

“…pintunya dikunci,terus aku dijambak jadi aku gak bisa lari ”

(SN)

Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan

pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual. Anak yang

kurang bahkan tidak diperhatikan oleh orang tua akan cenderung hidup dalam

lingkungan pergaulan yang bebas, bahkan menyimpang, sehingga tidak jarang terjadi

berbagai kejahatan seperti kejahatan seksual. Begitu juga dengan anak yang tidak

mendapat perlindungan dari keluarga terutama orang tuanya, ia akan memiliki risiko

(23)

“…pada saat kejadian saya kerja diladang, SN biasa saya tinggal main sama teman-temannya setelah pulang sekolah (TK)”

(ibuSN)

“…pelakunya adalah M, kami gak nyangka dia lebih dulu disini sebelum kami pindah, dekat sama anak-anak sering ngasi jajan, ya seperti sodara tidur makan di rumah, gak curiga, pergi pun kami sering di boceng M”

(S(Ibu NA))

“…iya M pelakunya, orangnya lugu kayak gak mungkin dia yang seperti itu, sering ngecas hp dirumah, ya gak nyangka aja, kami kira dia bener-bener baik”

(S(Ibu SN))

Rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku yang tidak dapat tumbuh dengan

baik, menjadikan pelaku tidak dapat mengontrol nafsu dan perilakunya.orang yang

memiliki nafsu seks yang terlalu tinggi yang tidak terkendali, cenderung akan

melakukan hubungan seks dengan siapapun, termasuk anak-anak, walau dengan jalan

memaksa atau menyakiti anak. Begitu juga dengan pengidap pedofilia, ia menjadi

terobsesi untuk melakukan hubungan seksual terhadap anak, sehingga ia terdorong

untuk melakukan kekerasan terhadap anak.

Ekonomi menjadikan pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan

memberikan iming-iming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. Faktor

perekonomian yang miskin juga menjadi sebab terjadinya kekerasan seksual terhadap

anak.Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat fokus pada materi sebagai

kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin

(24)

henti. Kehidupan seseorang yang berada dalam kemiskinan bisa membuatnya

menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang, termasuk dengan melakukan

eksploitasi seksual terhadap anak, seperti menjadikannya sebagai pelacur untuk

menghasilkan uang.

ada dikasi 2000”

(SN)

Tindak kekerasan terhadap anak-anak potensial terjadi di semua lapisan

masyarakat, namun jauh lebih umum terjadi di golongan masyarakat yang lebih

rendah.Untuk kasus child abuse terutama biasanya potensial terjadi di keluarga

miskin karena tekanan kebutuhan hidup dan kondisi lingkungan sosial di sekitarnya

memang memungkinkan kasus ini terjadi.Disebuah keluarga yang setiap hari

senantiasa direcoki dengan desakan kebutuhan hidup, dikejar-kejar tagihan hutang

dan sebagainya wajar bila menyulut tumbuhnya sikap temperamental. Semua

tindakan kekerasan kepada anak-anak umumnya akan direkam dibawah sadar mereka

dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya.

4.2.3 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban CA

Informan ketiga yang peneliti wawancarai adalah CA yang berusia 6

tahun.Pemilihan CA untuk diwawancarai sesuai urutan yang dilakukan oleh pelaku

M. CA, Ayah, kakak dan abangnya tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung. Ibu

CA bekerja di Malaysia sebagai TKI selama 1 tahun. Ayah NA tidak memiliki

pekerjaan tetap, terkadang ayah NA bekerja borongan (kuli bangunan) jika selesai

(25)

borongan, sehingga tidak memiliki penghasilan tetap, hanya mengandalkan kiriman

dari ibu CA.

CA dan keluarga sudah 4 tahun tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung.

Rumah CA semi permanen dengan lantai semen, memiliki 3 kamar tidur, 1 ruang

tamu, 1 ruang tengah bersatu dengan ruang makan dan dapur, 1 kamar mandi di

dalam rumah. Ruang tamu tidak memiliki kursi hanya terbentang tikar, alat elektronik

terdiri dari 1 buah kipas angin dan 1 buah televisi.

CA menceritakan kejadian yang dialaminya bersama teman-teman terjadi

pada sore hari (pukul 14.00 wib didapat dari Polres Deli Serdang) ketika mereka

sedang bemain disekitar rumah pelaku M memanggil dan mengajak mereka ke

sebuah Musholla dengan mengatakan banyak mangga yang sedang berbuah di

belakang Musholla, setelah sampai di Musholla pelaku M menyuruh mereka masuk

ke dalam kamar mandi Musholla. Pada saat itu CA melihat secara langsung apa yang

dilakukan pelaku M kepada teman-temannya, seperti pada saat NA dan SN

menghisap kemaluan pelaku M, begitu juga dengan yang dilakukan pelaku M

terhadap teman-temannya.

Pelaku M menyuruh CA untuk membuka baju dan celana, mereka mengikuti

semua yang dikatakan oleh pelaku M karena takut akan ancaman pelaku M. setelah

SN membuka baju dan celana pelaku M menghisap payudara CA, setelah itu CA di

suruh pelaku M untuk tidur dilantai Musholla kemudian pelaku M memasukkan alat

(26)

Setelah mewawancarai korban NA dan SN, peneliti mewawancarai korban

CA yang sedang bermain dengan AA. Pada saat bermain peneliti mencoba bertanya

kepada korban apa yang dirasakan pada saat kejadian dan yang sekarang rasakan.

Pada saat kejadian CA mengatakan sakit, terasa tidak enak dibagian bawah. Setelah

kejadian CA mengatakan sakit pada saat berjalan, takut keluar rumah karena takut

berjumpa pelaku M.

Kekerasan seksual yang dialami oleh CA adalah kekerasan seksual yang

melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan memasukkan alat

organ genital pelaku ke mulut korban CA dan penestasi terhadap alat organ genital

korban CA oleh pelaku.

“…M isap tetek saya, terus saya di suruh tidur dilantai mushola masukin burungnya ke nunuk saya”

(CA)

Salah satu praktik seks yang dnilai menyimpang adalah bentuk kekerasan

seksual, artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara

kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nila-nilai agama serta melanggar hukum

yang berlaku.Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki

kekuatan, baik fisik maupun non fsik.Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk

melakukan usaha-usaha jahatnya itu.Kekerasan seksual merupakan istilah yang

menunjukkan pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang

menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah

(27)

korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian (Huraerah,

2012).

Anak harus dilihat sebagai manusia yang belum dewasa, dalam arti belum

memiliki kematangan seperti orang dewasa.Dengan demikian, hubungan seksual

antara orang dewasa dengan anak harus dilihat tanpa persetujuan, atau tanpa consent

dari anak, bahkan bila anak tampaknya tidak berkeberatan dengan adanya aktivitas

itu. Hubungan ini tidak dapat didefinisikan sebagai hubungan suka sama suka. Bila

orang dewasa melakukan pendekatan seksual, baik dengan penganiayaan fisik

ataupun melakukan manipulasi nonfisik anak dengan perkembangan kognitif, moral,

emosional, dan seksual yang masih terbatas tidak dapat berpikir rasional dan tidak

dapat menolak pendekatan seksual tersebut.Karenanya, setiap kontak seksual yang

dilakukan orang dewasa terhadap anak harus dianggap dengan sendirinya bentuk

kekerasan seksual terhadap anak.

Pendekatan seksual yang dilakukan orang dewasa pada anak, meski anak

tidak menolaknya, harus dilihat dalam kaitannya dengan motivasi (alasan) yang ada

di balik tindakan dan tanggung jawab moral dari si orang dewasa tersebut. Dalam hal

ini, orang dewasa tersebut jelas memperlakukan anak sebagai sasaran pelampiasan

pemenuhan kebutuhannya, yang artinya telah memperlakukannya sebagai objek,

memanipulasi dan mengeksploitasi tanpa peduli anak belum memiliki kesiapan untuk

memahami apa yang apa yang terjadi, serta belum mampu bertanggung jawab atas

(28)

“…dipanggil M katanya ada mangga di kamar mandi musholla”

(CA)

Selama ini, diakui atau tidak sebagian masyarakat sesungguhnya masih

banyak beranggapan bahwa pemerkosaan adalah tindakan spontan karena nafsu

birahi si pelaku tiba-tiba bangkit akibat faktor daya tarik korban.Masyarakat juga

beranggapan bahwa pemerkosaan umumnya dilakukan oleh orang tak dikenal di

tempat gelap dan berbahaya dan si pelaku sering dikatakan mengidap penyakit jiwa,

tidak normal, pendek kata orang yang secara psikologis bermasalah.Padahal,

kenyataan yang sebenarnya terjadi banyak perkosaan justru dilakukan oleh orang

yang dikenal, orang yang sehat dan tidak memiliki masalah kejiwaan apapun.Selain

itu, perkosaan tidak cuma terjadi ditempat sepi dan rawan, melainkan sering kali

perkosaan terjadi di rumah dan dilakukan dengan perencanaan yang teliti. Tempat

terjadinya tindak perkosaan tidak selalu dikawasan sepi diluar control komunitas.

Anggapan yang menuduh bahwa perkosaan terjadi karena godaan dari si korban

adalah sebuah mitos yang menyesatkan, karena banyak bukti menunjukkan bahwa

korban perkosaan tidak selalu perempuan cantik, bertubuh sintal dan

sebagainya.Korban perkosaan seperti kita semua tahu terkadang, nenek-nenek yang

sudah lanjut dan yang mengerikan sering pula korban perkosaan ternyata adalah

anak-anak yang belum tahu apa-apa bahkan balita (Suyanto, 2010).

4.2.4 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban AA

Informan berikutnya adalah AA berusia 6 tahun, pemilihan AA terakhir

(29)

bersama abangnya di rumah nenek mereka. Di rumah sang nenek memiliki 3 kepala

keluarga yaitu nenek korban, ayah korban dan tante korban total jumlah yang tinggal

di rumah mereka ada 8 orang. Ayah dan ibu AA bekerja di Malaysia sebagai TKI ,

sudah hampir 1 tahun.

Rumah nenek AA semi permanen, lantai semen, memiliki 2 kamar tidur, 1

ruang tamu sekaligus ruang keluarga dan ruang makan. Dapur berada di luar rumah

beserta kamar mandi.Di ruang tamu terdapat 1 buah kursi dan 1 buah televisi dan

kipas angin.

AA menceritakan kejadian yang dialaminya bersama teman-teman terjadi

pada sore hari (pukul 14.00 wib didapat dari Polres Deli Serdang) ketika mereka

sedang bemain disekitar rumah pelaku M memanggil dan mengajak mereka ke

sebuah Musholla dengan mengatakan banyak mangga yang sedang berbuah di

belakang Musholla, setelah sampai di Musholla pelaku M menyuruh mereka masuk

ke dalam kamar mandi Musholla. Pada saat itu AA melihat secara langsung apa yang

dilakukan pelaku M kepada teman-temannya, seperti pada saat NA dan SN

menghisap kemaluan pelaku M, begitu juga dengan yang dilakukan pelaku M

terhadap teman-temannya. AA hanya dicium saja oleh pelaku M, AA sempat

menolak dan berlari tetapi dijambak oleh pelaku.Setelah mencium AA, pelaku M

menyuruh mereka untuk pulang dan berpesan jangan beritahukan kepada siapapun,

sehingga anak-anak tersebut ketakutan.

Minggu berikutnya peneliti setelah mewawancarai korban NA dan SN,

(30)

bermain peneliti mencoba bertanya kepada korban apa yang dirasakan pada saat

kejadian dan yang sekarang rasakan, AA hanya menjawab takut seperti kejadian

kemaren.

Kekerasan seksual yang dialami oleh AA adalah kekerasan seksual yang

melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh korban AA oleh

pelaku.

“…M cium saya”

(AA)

Kekerasan seksual terhadap perempuan oleh laki-laki pada hakekatnya adalah

gejala yang sangat kompleks, mengakar dalam hubungan kekuasaan yang berbasis

gender, seksualitas, identitas diri serta dipengaruhi oleh pranata sosial yang

berkembang di komuntas itu. Kekerasan seksual ini dalam banyak hal dipahami dan

dianggap sebagai suatu perpanjangan kontinum keyakinan yang member hak kepada

laki-laki untuk mengendalikan perilaku perempuan, membuat perempuan tidak

memiliki kebebasan terhadap kehidupan seksual dan peran reproduksinya

sendiri.Kekerasan seksual bisa terjadi pada lingkungan keluarga (hubungan suami

dengan istri, orang tua dengan anak-anaknya, anak dengan anak dan antar anggota

keluarga, lingkungan masyarakat dengan orang disekitarnya, lingkungan kerja,

tradisi dan adat yang melanggengkan kekerasan, dan bisa juga lingkungan negara

(undang-undang dan peraturan yang melanggengkan sub-ordinasi perempuan).

Tindak kekerasan lebh potensial terjadi pada keluarga migrant yang miskin

(31)

demkian, disinyalir di lingkungan keluarga migrant yang dikota hidupnya pas-pasan,

tinggal di pemukiman kumuh atau rumah petak yang berhimpit-himpitan, dan setiap

hari mereka mesti bergulat dengan kehidupan, maka potensi terjadinya tindak

kekerasan terhadap anak-anak akan lebih besar. Secara umum, kekerasan yang

terjadi dilingkungan keluarga tampaknya tidak mungkin menghilang. Selama anak

disosisalisasikan dalam suasana kekerasan keluarga dan selama orang dewasa masih

bergulat dengan kemelaratan, pengangguran, ketidakberdayaan maka kekerasan

dalam keluarga tetap akan banyak terjadi. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan

anak-anak yang berasal dari kelas menengah ke atas. Anak-anak yang berasal dari

keluarga yang mapan, godaan mereka hadap biasanya lebih pada tawaran gaya hidup

yang menyimpang, seperti narkoba, kenakalan anak, atau konsumerisme. Tetapi, dari

segi perlindungan sosial, kehidupan anak-anak dar golongan menengah ke atas

biasanya lebih terjamin.Di lingkungan masyarakat yang mapan, proteksi yang

diberikan kepada anak-anak mereka lebih kuat dan kesempatan bagi anak-anak

dalam kehidupan yang berbahaya juga lebih rendah.

4.2.5 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban FA

Pada pertemuan pertama peneliti melakukan observasi terhadap kondisi

keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya, saat itu FA tinggal bersama ibu, ayah tiri,

adik-adiknya, nenek dan anaknya disebuah rumah semi permanen terdiri dari 1 ruang

tamu, 1 ruang keluarga hanya terdiri dari 1 buah lemari, 1 buah dan 1 buah Kipas

angin, 3 kamar tidur, 1 kamar mandi. Ayah FA sudah lama meninggal dunia karena

(32)

keluarga.Ibu FA menikah lagi dengan temannya di tempat kerja.Ibu FA seorang

buruh pabrik yang bekerja dari pagi hingga sore hari, hal ini yang menyebabkan

kurangnya perhatian orangtua kepada FA.

FA mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya sendiri, sehingga FA

sekarang memiliki seorang anak yang berusia 3 bulan. Kekerasan seksual yang

terjadi sebanyak 4 kali pada saat sedang berpacaran.Ketika pacar korban mengajak

korban untuk mengunjungi rumah keluarganya di malam hari, seperti yang sudah di

rencanakan oleh pelaku, pada saat mereka datang, keluarga yang mempunyai rumah

minta izin keluar rumah, sehingga di dalam rumah hanya ada korban dan pelaku.

Pada saat di dapur pelaku mencium dan meraba payudara FA sehingga FA mengikuti

apa yang diinginkan oleh pacarnya sehingga mereka melakukan hubungan suami istri,

FA menerima semua perlakuan pacarnya karena berjanji bertanggung jawab untuk

menikahi korban dan ketidaktahuannya tentang dampak yang terjadi seperti

kehamilan. Kejadian pertama dan kedua pacar FA tidak mengeluarkan sperma di

dalam vagina FA melainkan di perut FA, ketiga dan keempat pacar FA mengeluarkan

sperma didalam vagina FA sehingga beberapa bulan kemudian perut FA semakin

membesar. Awalnya FA tidak menyadari dirinya hamil, tetapi pada saat ibu korban

menanyakan sudah halangan atau belum, FA kemudian kepikiran dan bertanya

kepada teman-temannya di sekolah bahwa dia sudah 3 bulan tidak dapat haid,

kemudian teman FA mengatakan kemungkinan dia hamil, ibu FA sebenarnya sudah

curiga setelah FA tidak haid selama 3 bulan di tambah lagi, setiap pulang ke rumah

(33)

ibu FA membawanya keklinik bidan, bidan menyatakan positif hamil dan akhirnya

FA harus keluar dari sekolah, pada saat kejadian FA masih bersekolah di SMA

Swasta di Batang Kuis.

Ketika peneliti bertanya pada FA apakah pada saat itu ada niat untuk aborsi,

FA menjawab iya, alasannya karena pacarnya tidak bertanggung jawab dan mereka

berbeda agama.Sikap pacarnya yang tidak mau bertanggung jawab menyebabkan

keluarga FA membuat laporan ke Polres Deli Serdang sehingga pacar FA di tahan

sampai saat ini.

Pada saat kehamilan FA tidak mengalami keluhan apapun termasuk mual dan

muntah, begitupun pada saat persalinan, persalinan berjalan lancar tanpa penyulit

tetapi berat badan lahir bayi FA 2700 gr. Kebutuhan sehari-hari FA dan anaknya

dipenuhi oleh ibu FA yang bekerja sebagai buruh pabrik hari pagi hingga sore hari.

Kekerasan seksual yang dialami oleh FA adalah kekerasan seksual yang

melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan memasukkan alat

organ genital pelaku ke mulut korban FA dan penestasi terhadap alat organ genital

korban FA oleh pelaku.

“…pacar saya mencium saya dan meraba payudara saya, saya mengikuti saja sampai kami melakukan hubungan suami istri”

(FA)

Kekerasan seksual terhadap perempun pada dasarnya adalah segala tindakan

kekerasan verbal atau fsik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang diarahkan

pada seseorang perempuan , apakah masih anak-ana atau sudah dewasa yang

(34)

dan melanggengkan sub ordinasi perempuan. Kekerasan seksual, dengan demikian

tidak hanya terbatas pada hal yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup banyak

perilaku lainnya misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga kalau

kita berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh pada inti kekerasan dan

pemaksaan, tidak hanya perilaku yang keras dan menekan. Kekerasan seksual jika

diartikan sempit sebagai perilaku yang keras dan menekan, maka apabila banyak

kejadian kekerasan seksual yang lepas dari tuntutan pengadilan.Tersangka kasus

perkosaan banyak yang lolos dari tuntutan hanya karena korba dituduh sebaga pihak

ikut menikmati peristiwa laknat yang menimpanya itu.

“…pacar saya janji mau tanggung jawab, mau nikahi saya”

(AA)

Bahaya yang mengancam anak-anak ternyata bukan dari orang lain atau para

penjahat professional yang tidak dikenal korban, tetapi justru ancaman itu kerap kal

muncul dari orang-orang yang dekat dengan korban, atau bahkan orang-orang yang

semula diharapkan dapat menjaga tempat berlindung. Ayah atau ibu korban,

misalnya mungkin sulit dinalar akal sehat akan tega menganiaya anak-anaknya, entah

itu menempeleng, memerkosa atau membunuh darah dagingnya sendiri. Tetapi,

karena sedang kalap, bingung, mengalam tekanan yang bertubi-tubi, malu atau

karena faktor lainnya. Dari berbagai media massa bahwa tindak kekerasan seksual

yang dilakukan para remaja umumnya terjadi karena pengaruh film biru yang sering

(35)

VCD. Hasrat untuk melakukan berbagai adegan seks seperti yang pernah mereka

nikmati dilayar lebar atau video CD serta berbagai ilusi yang diciptakan dalam

bayangan saat menikmati keindahan tubuh wanita seakan muncul bersamaan dengan

stimulus atau rangsangan yang menerpa mereka. Tragisnya korban perkosaan yang

terjadi umumnya adalah anak-anak yang telah mereka ketahui atau amati dan mereka

kenal sebelumnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa terjadinya tindak kekerasan

dalam bentuk perkosaan terhadap anak-anak sering terjadi di aantara mereka yang

saling bertetangga atau orang lain dan sebelumnya mereka telah mengetahui atau

mengenalnya.

Tinggi dan kompleksnya kasus perkosaan terhadap anak perempuan kiranya

mengisyaratkan pentingnya kehati-hatian yang lebih besar dari anak

perempuan.Perkosaan, tidak harus dalam bentuk paksaan, tetapi bisa juga melalui

suatu hubungan harmonis yang didalamnya terdapat sejumlah manipulasi.Relasi

manipulasi dari hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, pada

umumnya berlindung dibalik slogan “mau sama mau, suka sama suka”.Slogan itu

pula yang menjadi alat efektif untuk menepis segala resiko yang muncul atas relasi

seksual yang terjadi. Relasi seksual yang terjadi pada saat berkencan dengan cara

manipulative ini disebut dating rape. Ada beberapa tahap yang patut diwaspadai

sebagai proses menuju perkosaan, yaitu: ajakan pergi jalan-jalan dengan

bergandengan tangan, ajakan pergi naik sepeda motor dengan tangan dililitkan di

pinggang, ajakan nonton film dan berkesempatan melakukan rabaan dan ciuman,

(36)

persetubuhan dan bila terjadi kehamilan, laki-laki yang bersangkutan melarikan diri

dan tidak bertanggung jawab.

“…kejadiannya pacar saya bawa saya ke rumah keluarganya di tanjung morawa pada malam hari”

(FA)

Anak-anak (perempuan) merupakan korban potensial bagai terjadinya

kejahatan seksual karena faktor kebejatan mental si pelaku, secara psikis dan fisik

anak-anak umumnya memang sangat rentan dan mudah menjadi korban dari tindak

perkosaan. Studi yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Airlangga di Jawa

Timur (1992), menemukan mayoritas terjadinya tindak kekerasan seksual umumnya

terjadi karena adanya ancaman dan paksaan (66,3%). Namun, sebagain pemerkosa

biasanya mencoba menaklukkan korban dengan cara bujuk rayu (22,5%) atau dengan

menggunakan obat bius (5,1%). Dengan bujuk rayu berupa janji akan diberi uang

seribu, lima ribu rupiah atau iming-iming permanen saja itu semua acap kali sudah

manjur untuk memikt hati si anak dan kemudian memperdaya mereka hingga

dilakukan pencabulan atau serangan seksual (Suyanto, 2010).

Dari hasil penelitian informan korban NA, SN, CA, AA dengan pelaku yang

sama mengalami kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemaksaan oral seks,

pemerkosaan/pencabulan, ciuman dan rabaan. Korban mengenal pelaku karena

sering berada disekitar lingkungan tempat tinggal korban dan baik kepada mereka

karena selalu mengiming-imingkan uang.Para korban tidak berani memberitahukan

kepada orang tua mereka karena takut ancaman dari pelaku.Sedangkan informan

(37)

pemerkosaan/pencabulan. Korban FA menerima semua perlakuan pacarnya karena

dijanjikan bertanggung jawab untuk menikahi korban dan ketidaktahuan korban

tentang dampak yang akan terjadi.

4.3 Dampak Kekerasan Seksual

Dampak kekerasan seksual yang dialami oleh Informan korban sebagai

berikut:

Tabel 4.2 Dampak Kekerasan Seksual Informan Korban

(38)

CA

AA

FA

-Takut keluar rumah

- Takut kejadian

4.3.1 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban NA

Dampak kekerasan seksual yang dialami korban NA adalah dampak perilaku,

dampak fisik dan dampak kognisi.

” …M masukkan burungnya ke nunuk ku berdarah terus di lap pakek daun, setelah itu kalau jalan sakit, gak bisa tidur, takut lihat abang-abang”

(39)

Pada kekerasan seksual bisa terjadi luka memar, rasa sakit, gatal-gatal di

daerah kemaluan, perdarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang

berulang, keluarnya cairan dari vagina. Sering pula didapati korban menunjukkan

gejala sulit untuk berjalan atau duduk dan terkena infeksi saluran kelamin bahkan

bisa terjadi suatu kehamilan. Secara lebih terperinci dampak yang dialami anak-anak

yang mengalami kekerasan adalah kurangnya motivasi/harga diri, problem kesehatan

mental seperti kecemasan berlebihan, problem dalam hal makan, susah tidur, mimpi

buruk, menarik diri dari lingkungan kesehatan fisik yaitu sakit yang serius dan luka

parah sampai cacat permanen patah tulang, radang karena infeksi dan mata lebah,

problem kesehatan seksual misalnya mengalami kerusakan organ reproduksinya,

kehamilan yang tidak dinginkan, ketularan penyakit menular seksual (Suyanto, 2010)

“…sering main dikamar sama teman-temannya, main kawin-kawinan, terus kalau saya mandikan NA selalu bilang, mamak ini kayak bang M lha (pelaku)”

(S(ibu NA)) “…sebelum pindah kesini SN orangnya sangat ceria, pemberani tapi sekarang anak saya seperti orang ketakutan, selalu teringat-ingat seperti abangnya mencium SN bilang abang ini kayak M.

(S(ibu SN))

Kekerasan seksual secara umum meningkatkan resiko penularan HIV karena

perlindungan umumnya tidak digunakan dan sering menjadi trauma fisik terhadap

rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.Kerentanan perempuan tertular

HIV/AIDS ini juga karena struktur bioligis perempuan terutama organ reproduksinya

yang tersembunyi dan tidak mudah terdeteksi bila ada keluhan. Selain itu juga organ

(40)

sehingga bila terjadi penestrai oenis dengan keras atau paksaan ataupun dengan IMS

(infeksi menular seksual) akan lebih memudahkan terjadinya penularan. Terlebih lagi

jumlah virus HIV di dalam sperma juga lebih banyak dibandingkan jumlah virus

HIV didalam cairan vagina, sehingga perempuan sebagai pihak penampung sperma

lebih besar kemungkinannya untuk terinfeksi.Secara fisik memang mungkin tidak

ada yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual,

tapi secara psikis menimbulkan ketagihan, tauma bahkan pelampiasan dendam.

Adapun perilaku seksual yang tidak wajar, seperti masturbasi berlebihan, mencium

berlebihan, mendesakkan tubuh, tahu banyak atau melakukan aktivitas seksual

terang-terangan kepada saudara atau teman atau rasa ingin tahu berlebihan untuk

masalah seksual.

Anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan keliru sesuai

dengan sosialisasi yang diterimanya. Misalnya, anak akan menganggap wajar

perilaku orang dewasa. Menirukan tindakan yang dilakukan kepadanya, menyalahkan

ibu atau orang dewasa yang mengasuhnya yang dianggapnya tidak membelanya dari

hal-hal buruk yang dialaminya, menganggap diri aneh dan terlahir sial (missal sudah

dikutuk untuk selalu mengalami hal buruk dan menyusahkan orang lain dan

sebagainya).Pemaparan pengalaman seksual terlalu dini, juga yang terjadi salah dapat

bedampak pada munculnya trauma seksual. Trauma seksual dapat ditampilkan daam

dua bentuk yaitu inhibisi seksual yaitu hambatan-hambatan untuk dapat tertarik dan

menikmati seks, atau justru disinhibisi seksual yaitu obsesi dan perhatian berlebihan

(41)

Hasil penelitian Fuadi (2011) didapat bahwa kekerasan seksual yang terjadi

tidak sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam,

marah, penuh kebencian yangtadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya

dan kemudian menyebar obyek-obyek atau orang-orang lain. Setelah mengalami

subyek bermacam-macam muncul perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal dan

bingung hingga rasa tidak berdaya muncul.Pada penganiayaan seksual bisa terjadi

luka memar, rasa sakit, gatal-gatal didearah kemaluan, perdarahan dari vagina atau

anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina.Sering pula

didapati korban menunjukkan gejala sulit untuk berjalan atau duduk dan terkena

infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.

Berdasarkan hasil penelitian Kusumaningtyas (2013) diketahui bahwa relasi

interpersonal informan dengan lingkungan sekitar kurang baik. Perempuan yang

menjadi korban kekerasan seksual merasa takut jika peristiwa kekerasan seksual

terulang kembali atau jika peristiwa tersebut diketahui oleh orang lain. Peremouan

mengalami pengalaman traumatic maka akan muncul perasaan malu adanya perasaan

tertekan disertai dengan emosi yang tidak menyenangkan sepeti rasa cemas dan

ketidakberdayaan. Perempuan akan sulit melakukan penyesuaian dengan orang-orang

disekitarnya karena merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang-orang yang tidak

memiliki pengalaman pahit seperti dirinya. Korban juga mempunyai harapan-harapan

yang ingin di wujudkan untuk masa depannya.Selain itu juga mempunyai

pengalaman masa lalu yang tidak ingin kejadian tersebut terulang kembali dengan

(42)

mempunyai rasa ketearahan dalam hidup mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat

ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan

tujuan hidup dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka individu

tersebut dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik, sebaliknya

seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada

tujuan hidup yang ingin di capai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam

masa lalu kehidupannya dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat

hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita

dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seseorang individu mengenai

tujuan dan makna kehidupan ketika mendefinisikan kesehatan mental.

4.3.2 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban SN

Dampak kekerasan seksual yang dialami korban SN adalah dampak perilaku,

dampak fisik, dampak kognisi dan dampak kesehatan reproduksi

“…berdarah, sakit pas jalan, sering mimpi M, takut keluar rumah nanti ketemu M, terasa gatal-gatal langsung dilap mamak”

(SN)

Tindakan kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang mempunyai

dampak yang bersifat traumatis pada anak, baik yang dapat dilihat dengan mata

telanjang atau dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik dan mental anak.Tindak

kekerasan yang dialami anak bisa menyebabkan dampak yang tingkat keparahannya

sedang, serius atau fatal dimana korban meninggal dunia akibat tindak kekerasan

(43)

menjadi korban tindak kekerasan biasanya adalah kurangnya motivasi/harga diri,

problem kesehatan mental, misalnya kecemasan berlebihan, problem dalam hal

makan, susah tidur, sakit yang serius, suka menyerang atau jadi pemarah, atau

sebaliknya menjadi pendiam dan suka menarik diri dari pergaulan dan luka parah

sampai cacat permanen seperti patah tulang, radang karena infeksi, mata lebam dan

sebagainya, termasuk juga sakit kepala, perut, otot dan lain-lainnya. Problem

kesehatan seksual, misalnya mengalami kerusakan organ reproduksinya, kehamilan

yang tidak diinginkan, ketularan penyakit menular seksual.

“…sakit, gak enak di nunukku, keluar darah, pas jalan sakit, malamnya gatal dinunukku terus dilap mamakku”

(SN)

“…sering main dikamar sama teman-temannya, main kawin-kawinan, terus kalau saya mandikan NA selalu bilang, mamak ini kayak bang M lha (pelaku)”

(S(ibu NA)) “…anak saya seperti ketakutan, selalu teringat-ingat seperti abangnya mencium korban selalu bilang abang ini kayak M (pelaku), sebelum kejadian anak saya sangat ceria dan pemberani, sekarang gak lagi”

(S(ibu SN))

Secara medis, setelah memperoleh perawatan fisik, barangkali penderitaan

fisik dan trauma fisiologik korban akan dapat disembuhkan. Orang lain pun mungkin

sudah lupa pada peristiwa itu dan bahkan mungkin pula tidak mengetahuinya jika si

korban pindah tempat tinggal. Namun, diluar semua itu, aib, depresi, dan penderitaan

niscaya akan tetap menghantui korban sepanjang hidupnya. Bagi seorang gadis,

terutama hilang keperawanan, stigma masyarakat dan perasaan was-was serta

(44)

korban. Di sisi lain, ancaman terhadap jiwa korban dan penganiayaan saat

berlangsung perkosaan sering kali akan menyentuh basic trust korban, sehingga

jangan heran jika kemudian timbul perasaan intrapsikis tentang kehancuran yang

kronik dan miltrust. Banyak korban setelah kejadian akan menjadi mudah curiga,

tidak mudah percaya kepada laki-laki, dan merasa teralienasi dari lingkungan

sekitarnya atau mengalami apa yang disebut rape trauma syndrome.

Sesungguhnya penderitaan yang harus ditanggung korban kekerasan seksual

terutama perkosaan bukan sekadar kesakitan secara fisik, tetapi campur aduk antara

perasaan terhina, ketakutan, dan siksaan batin yang tidak berkesudahan. Banyak

kasus membuktikan, bahwa korban pemerkosaan dalam kehidupannya

akancenderung mengalami penderitaan rangka tiga yaitu pada saat kejadian, diperiksa

penyidik dan menjadi pemberitaan dimedia masssa. Seorang korban yang melapor ke

polisi, sudah tentu ia akan ditanya berkali-kali berkaitan dengan peristiwa yang

dialaminya. Bahkan, tidak mustahil terjadi, si korban akan dipojok oleh aparat yang

memeriksa dengan alasan agar benar-benar dapat diungkap kejadian yang

sebenarnya. Setelah diperiksa polisi, apakah urusan akan selesa, ternyata tidak. Bila

laporan korban diterima dan kemudian diteruskan ke pengadilan, di ruang pengadilan

itulah biasanya korban akan kembali dicerca dengan pertanyaan yang menyudutkan,

sehingga pada titik tertentu sering korban justru sepertinya yang menjadi terdakwa

bukan korban yang semestinya memperoleh simpati atau empati. Bisa dibayangkan,

bagaimana mungkin seseorang perempuan yang lugu dan lembut terlebih anak-anak

(45)

mengulang kisah berikut rekonstruksi aib perkosaan yang dialaminya di depan

banyak orang.

4.3.3 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban CA

Dampak kekerasan seksual yang dialami korban CA adalah dampak perilaku,

dampak fisik, dampak kognisi dan dampak kesehatan reproduksi

“…pas jalan sakit, takut main keluar nanti ketemu M”

(CA)

Tindak kekerasan terhadap anak biasanya baru memperoleh perhatian secara

serius takkala korban tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada

anak-anak jumlahnya makin meluas, korban bertambah banyak dan dapat menimbulkan

dampak yang sangat menyengsarakan rakyat. Seperti halnya tindak kekerasan yang

dialami perempuan, tindak kekerasan pada anak disinyalir terdapat pada setiap tingkat

kelas dan dapat dialami serta dilakukan siapa saja, baik orang-orang yang secara

psikologis berperilaku menyimpang atau oleh orangtua kandung yang kesehariannya

terlibat begitu baik, namun bisa dengan tiba-tiba berubah kalap, memaki, menampar,

memukul atau bahkan membunuh anak kandungnya sendiri. Anak-anak memang

selalu peka. Sering kali orangtua tidak menyadari bahwa apa yang terjadi di antara

mereka begitu mempengaruhi anak. Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari

apa yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Jika suasana keluarga sehat dan bahagia,

maka wajah anak begitu ceria dan berseri.Sebaliknya jika mereka murung dan sedih,

biasanya telah terjadi suaru yang berkaitan dengan orangtuanya. Sebagai wadah

(46)

dan cara bertingkah laku, perilaku orangtua sering mempengaruhi perlaku

anak-anaknya kelak. Jika kekerasan begitu domnan, tidaklah mengherankan jika anak-anak

kemudian melakukannya bahkan terbawa sampai dewasa. Karena kekerasan begitu

sering terjadi dalam keluarganya, maka ia menganggap hal itu sebagai hal yang

normal dan sudah seharusnya.

“…takut keluar rumah, takut ketemu M”

(CA)

Segi tingkah laku anak-anak yang mengalami penganiayaan sering

menunjukkan penarikan diri, ketakutan atau mungkin juga tingkah laku agresif, emosi

yang labil.Mereka juga sering menunjukkan gejala depresi, jati diri yang rendah,

kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya,

menjadi bersifat keras, gangguan stress pascatrauma dan terlibat dalam penggunaan

zat adiktif. Mereka juga berupaya menutupi luka yang dderitanya dan tetap bungkam

merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam.

Mungkin juga kan mengalami kelambatan dalam tahap perkembanganya, sering

mengalami kesulitan dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukkan

tingkah laku menyakiti diri sendiri bahkan tingkah laku bunuh diri.

4.3.4 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban AA

Dampak kekerasan seksual yang dialami korban SN adalah dampak perilaku,

dampak kognisi.

(47)

Secara teoritis, anak yang menjadi korban tindak kekerasan bisa saja

mengalami luka fsik yang ringan sampai yang serius, tetapi tak jarang terjadi

penderitaan itu melukai ruang psikologis anak dan menimbulkan rasa traumatis yang

mendalam akibat ulah orang dewasa yang sebelumnya sama sekali tidak pernah

mereka bayangkan, seperti mimpi buruk. Ia datang begitu saja tanpa permisi dan

tiba-tiba anak akan menjadi seorang pesakitan yang sama sekali tidak berdaya dan tak

kuasa untuk mengelak dari siksaan dan nista yang menderanya, Cuma bedanya adalah

mimpi buruk akan menguap dan terlupakan tatkala si anak bangun dari tidurnya.

Tetapi, tindak kekerasan yang dialami anak-anak dalam kehidupan nyata biasanya

tetap membekas sepanjang waktu dan bahkan akan menimbulkan luka traumatis yang

benar-benar mendalam anak menjadi inferor, frustasi, ketakutan, dan biasanya

memilih berdiam diri menahan penderitaan yang selalu membayang di kepalanya.

Mereka mungkin juga berupaya menutupi luka yang dideritanya dan tetap bungkam

merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam.

Mungkin juga akan mengalami kelambatan dalam tahap perkembangannya, sering

mengalami kesulitan dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukkan

tingkah lakumenyakiti diri sendiri bahkan tingkah laku bunuh diri.

4.3.5 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban FA

Dampak kekerasan seksual yang dialami korban FA adalah dampak perilaku,

dampak fisik dan dampak kesehatan reproduksi

“…aku hamil, gak boleh sekolah lagi, pengen aborsi gak dikasi mamak”

Gambar

Tabel 4.1 Kekerasan Seksual Informan Korban

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya yang dilakukan editor berita dimana harus membuat cerita lengkap dalam waktu yang singkat dan memangkas bahan yang ada sampai keminimalannya, misalnya produser

Karakteristik remaja akan mempengaruhi bagaimana remaja memahami dirinya, dan banyak hal yang akan menjadikan diri remaja semakin baik dalam kehidupan yang ia

• Jaring-jaring makanan dalam ekosistem merupakan peristiwa makan dan dimakan yang kompleks, karena setiap organisme mungkin memakan lebih dari satu macam organisme dalam

Pada proses simulasi, kurva data observasi berhimpit dengan dengan data hasil sim- ulasi sehingga secara visual tidak bisa dibedakan, hal ini menunjukkan bahwa analisis ANFIS

Sudut istimewa adalah sudut yang perbandingan trigonometrinya dapat dicari tanpa memakai tabel matematika atau kalkulator, yaitu: 0°, 30°, 45°,60°, dan 90°. Sudut-sudut istimewa

Program yang sering dipakai di antaranya seperti Lotus maupun Microsoft Excel yang biasa digunakan untuk membantu administrasi seperti yang berkaitan dengan data/angka

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis mutu minyak kelapa murni buatan industri rumah tangga secara menyeluruh bahwa ketiga sampel tersebut

Iuran kepada negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (Wajib Pajak) berdasarkan' undang-undang, dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali se~