BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus, yaitu pendekatan
atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu fenomena atau
peristiwa.Dalam pendekatan studi kasus bertujuan menggali secara mendalam,
menyeluruh dan lengkap dalam suatu peristiwa dan dampak yang terjadi pada
kekerasan seksual yang dialami anak.
3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Sedang
Provinsi Sumatera Utara, sejalan pemindahan Bandara Internasional Polonia Medan
ke Bandara Internasional Kuala Namu yang berbatasan dengan kecamatan Batang
Kuis, Kecamatan ini terus berbenah diri menjadi Kecamatan Gapura (Gerbang dan
Pintu Utama Menuju Bandara). Kecamatan Batang Kuis sendiri juga menyebut
dirinya sebagai Kota Transit, hal ini dikarenakan Kecamatan Batang Kuis adalah
Kecamatan yang memisahkan Kota Medan dan Ibukota Kabupaten Deli Serdang
yaitu Lubuk Pakam. Kecamtan Batang Kuis juga sebagai jalan alternatif jalur lintas
Sumatera.Pembangunan yang pesat seperti pembangunan jalan menuju Bandara
Internasional Kuala Namu banyak lahan-lahan sawit di Kecamatan Batang Kuis
masyarakat sekitar dan masyarakat diluar kacamatan Batang Kuis membangun rumah
disekitar lahan yang dihancurkan sehingga mempengaruhi warga yang tinggal disana
dan menjadi peluang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini di mulai dari bulan Maret sampai dengan Juli 2016. Bulan Maret
sampai April peneliti melakukan penelusuran kasus yang terjadi di Kecamatan
Batang Kuis dari mengambil data kasus dari Polres Deli Serdang danmenemukan
korban-korban kekerasan seksual. Bulan Mei sampai Juli peneliti terus- menerus
datang ketempat korban-korban kekerasan seksual terjun langsung melihat keadaan
lingkungan sekitar, menanyakan kejadian dan dampak yang terjadi, memastikan
adanya kejadian dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di Kecamatan
Batang Kuis kepada sekretaris pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan
dan anak (P2TP2A) Deli Serdang, ketua komisi perlindungan anak Indonesia daerah
Sumatera Utara dan menanyakan kepada orang-orang yang mengetahui secara
langsung kejadian kekerasan seksual yang terjadi yaitu orang tua dan tetangga
korban.
3.3 Informan Penelitian
3.3.1 Informan Korban (kasus)
NA berusia 5 tahun dengan berat badan 18 kg dan tinggi 120 cm sekarang
bersekolah di TK Nurul Fikri, memiliki warna kulit sawo matang, rambut kering dan
informan).NA adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara.NA dan keluarga tinggal di Dusun
III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang Kuis. NA korban dari pelaku M (30
tahun)
SN berusia 5 tahun dengan berat badan 20 kg dan tinggi badan 115 cm
sekarang bersekolah di TK Nurul Fikri, memiliki warna kulit sawo matang, ingusan
(waktu perkenalan pertama dengan informan).SN adalah anak ke 3 dari 3
bersaudara.SN dan keluarga tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan
Batang Kuis. SN korban dari pelaku M (30 tahun)
CA berusia 6 tahun dengan berat badan 21 kg dan tinggi badan 118 cm belum
bersekolah dulu pernah TK d Medan, memiliki warna kulit kuning langsat, bersih
(waktu perkenalan pertama dengan informan). CA adalah anak ke 3 dari 3
bersaudara. CA dan keluarga tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan
Batang Kuis .CA korban dari pelaku M (30 tahun).
AA berusia 6 tahun dengan berat 22 kg dan tinggi badan 120 cm belum
bersekolah dulu pernah SD kelas I di Tebing Tinggi, memiliki warna kulit sawo
matang, bersih (waktu perkenalan pertama dengan informan). AA adalah anak ke 2
dari 2 bersaudara.CA tinggal bersama tante di Dusun III Desa Tumpatan Nibung
Kecamatan Batang Kuis, kedua orangtua AA TKI di Malaysia.AA korban dari pelaku
M (30 tahun).
FA berusia 16 tahun dengan berat 49 kg dan tinggi badan 155 cm, pernah
ibu dari bayi laki-laki yang berumur 3 bulan. FA adalah korban dari pelaku FR (24
tahun) pada saat di di dalam tahanan.
3.3.2 Informan Nonkorban
R adalah tetangga NA, berumur 45 tahun, suku batak, memiliki tinggi 150 cm,
kulit hitam dan kering. Rambut keriting pendek.Aktifitas sehari-hari R adalah
berladang.R memiliki sifat pemberani dan agak kasar. R adalah orang yang pertama
mengungkap kejadian pencabulan yang dilakukan oleh pelaku M ( 30 tahun) terhadap
NA ( 5 tahun), SN ( 5 tahun), CA ( 6 tahun ), AA ( 6 tahun).
S adalah ibu dari NA, berumur 38 tahun, memiliki tinggi 155 cm, kulit sawo
matang, rambut lurus. Aktivitas sehari-hari S adalah ibu rumah tangga. Pendidikan
terakhir S adalah SD, S memiliki 4 orang anak, 2 diantaranya sudah bekerja dan 1
anak masih berusia 6 bulan.
S adalah ibu dari SN, berumur 37 tahun, memiliki tinggi 153 cm, kulit hitam,
rambut lurus, aktivitas sehari-hari S adalah bekerja di ladang milik orang. Pendidikan
terakhir S adalah SD, S memiliki 3 orang anak yaitu SN, abang dan kakaknya yang
sudah bekerja.
PH adalah sekretaris pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan
anak (P2TP2A) Deli Serdang, sudah bekerja selama 7 tahun.PH memiliki sifat yang
ramah dan sangat peduli terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di Deli
Serdang.P2TP2A memiliki 9 orang pengurus / pelaksana terdiri dari ketua, sekretaris,
MZP adalah ketua komisi perlindungan anak Indonesia daerah Sumatera
Utara, sudah bekerja selama 9 tahun. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah
Sumatera Utara (KPAI SU) memiliki 10 orang pengurus/ pelaksanan terdiri dari
ketua, kelembagaan dan kemitraan, pengaduan dan fasilitas, sekretaris/ staf.
FS adalah tim II Penyidik Perlindungan Perempuan Anak (PPA) Polres Deli
Serdang, sudah bekerja 6 tahun. Unit PPA memiliki 9 orang tim terdiri dari Kanit
PPA, Tim I Penyidik, Tim II Penyidik, Tim Penyelidik.
3.3.3 Syarat Informan
Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling yaitu metode pemilihan informan dalam suatu penelitian dengan
menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam penelitian, dimana
partisipan yang di ambil dapat memberikan informasi yang berharga bagi penelitian.
Informan korban adalah korban yang mengalami kekerasan seksual, umur di
bawah 18 tahun, memiliki kemampuan menceritakan kembali kekerasan seksual yang
pernah dialaminya, serta masih tinggal di Kecamatan Batang Kuis.Informan non
korban adalah mereka yang mengetahui secara langsung atau tidak langsung tentang
kekerasan seksual yang dialami anak, informan bersedia diwawancara, memiliki
kondisi emosional yang stabil, dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data kasus
kekerasan seksual yang terjadi di Kecamatan Batang Kuis.
3.3.4 Proses Penelusuran Informan
Pada penelusuran informan dalam penlitian ini adalah anak yang mengalami
Polres Deli Serdang.12 korban kekerasan seksual, hanya 5 yang dijadikan informan
dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan 7 orang korban tidak memenuhi persyaratan
antara lain korban pindah ke kota lain, keluarga tidak mengijinkan untuk di jadikan
informan (di halangi bertemu korban).
Pendekatan dilakukan korban kepada NA (5 thn), CT (6 thn), SN (5 thn), AA
(5 thn) yaitu dengan memberi mainan, mengikuti korban bermain dan membawa
makanan, makan bersama dengan keluarga korban sehingga membina keakraban
dengan korban.Membina hubungan rasa percaya dengan informan sangat diperlukan
karena sangat bersifat pribadi sehingga diperlukan keterbukaan dalam menyampaikan
informasi.Pendekatan yang dilakukan kepada FA (16 Tahun) yaitu mendatangi rumah
FA membawa perlengkapan untuk bayinya dan membawa makanan dan makan
bersama dengan keluarga FA untuk membina keakraban sehingga timbul rasa percaya
dan keterbukaan oleh korban.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan wawancara mendalam,
observasipartisipatif dan dokumen. Wawancara mendalam proses memperoleh
keterangan tujuan untuk memperoleh keterangan dengan cara Tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara
Observasi partisipatif merupakan pelibatan peneliti dengan kegiatan
sehari-hari yang sedang diamati atau digunakan sumber data penelitian, dalam melakukan
pengamatan peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data dan ikut
merasakan suka dukanya.
Dokumen merupakan sumber data yang digunakan untuk melengkapi
penelitian baik berupa sumber tertulis, film, gambar dan karya-karya monumental
yang semua memberikan informasi bagi proses penelitian. Dokumen dalam penelitian
ini adalah dokumen tertulis yang diperoleh secara langsung dari Polres Deli Serdang
dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sumatera Utara (KPAISU)
3.5 Metode Analisis Data
Langkah–langkah analisis data pada studi kasus yaitu :
a. Mengorganisir informasi.
b. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.
c. Membuat suatu uraian terperinci mengenai hubungan antara beberapa
kategori.
d. Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.
e. Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan
generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk
penerapannya pada kasus yang lain.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian
Batang kuis adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi
Sumatera Utara. Kecamatan Batang Kuis terletak pada kordinat 3°35 - 3°41 Lintang
Utara dan 41° - 46° Bujur Timur, dengan luas wilayah 40,34 Km2 dan terletak pada
ketinggian 4-30 m diatas permukaan laut. Kecamatan Batang Kuis terbagi menjadi 11
Desa dan 72 dusun, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pantai Labu,
sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa, sebelah Timur
berbatasan dengan Kecamatan Beringin dan Pantai Labu, sebelah Barat berbatasan
dengan Kecamatan Percut Sei Tuan. Kecamatan Batang Kuis beriklim tropis.
Sejalan dengan pemindahan Bandara Internasional Polonia Medan ke Bandara
Internasional Kuala Namu yang berbatasan dengan kecamatan Batang Kuis,
Kecamatan ini terus berbenah diri menjadi Kecamatan Gapura (Gerbang dan Pintu
Utama Menuju Bandara). Kecamatan Batang Kuis sendiri juga menyebut dirinya
sebagai Kota Transit, hal ini dikarenakan Kecamatan Batang Kuis adalah Kecamatan
yang memisahkan Kota Medan dan Ibukota Kabupaten Deli Serdang yaitu Lubuk
Pakam. Kecamtan Batang Kuis juga sebagai jalan alternatif jalur lintas Sumatera.
Kecamatan Batang Kuis memiliki penduduk sejumlah 62.348 jiwa dan 14.370
Rumah Tangga (KK). Sistem mata pencaharian di daerah Batang Kuis adalah buruh
orang,PNS/ABRI sebanyak 999 orang, pensiunan/ABRI sebanyak 136 orang, nelayan
sebanyak 25 orang, dll. Dari hasil data tersebut potensi utama mata pencaharian
mayarakat Kecamatan Batang Kuis adalah petani dan buruh dikarenakan Kecamatan
Batang Kuis dipenuhi oleh lahan PTPN2 yang bergerak dalam penanaman sawit dan
tembakau sehingga mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh.Pembangunan
yang pesat seperti pembangunan jalan menuju Bandara Internasional Kuala Namu
banyak lahan-lahan kelapa sawit di Kecamatan Batang Kuis alih fungsikan.Inilah
yang menyebabkan masyarakat yang berprofesi sebagai buruh perkebunan berpindah
menjadi buruh pabrik.
Kecamatan Batang Kuis yang banyak dipenuhi lahan PTPN2 menyebabkan
mayoritas suku masyarakat di Kecamatan Batang Kuis adalah suku Jawa sebanyak
40.665 orang, suku Melayu sebanyak 13.440 orang, suku Tapanuli sebanyak 6.540
orang, suku Karo sebanyak 1.095 orang, suku Minang 608 orang, dll sebanyak 3.543
orang. Mayoritas agama di Kecamatan Batang Kuis adalah agama Islam sebanyak
58.653 orang, agama Kristen Protestan sebanyak 2.005 orang, agama Kristen Katolik
sebanyak 256 orang, agama Budha 1.138 orang, agama Hindu sebanyak 297 orang.
Sarana kesehaatan di Kecamatan Batang Kuis adalah Puskesmas sebanyak 1
buah, Puskesmas Pembantu sebanyak 4 buah, Poskesdes sebanyak 7 buah, Rumah
Bersalin sebanyak 3 buah, Balai Pengobatan 9 buah, Posyandu sebanyak 40 buah,
4.2 Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak
Tabel 4.1 Kekerasan Seksual Informan Korban Informan
Korban
Pelaku Kekerasan Seksual
NA
Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemaksaan oral seks dan pemerkosaan /pencabulan.
Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemerkosaan/pencabulan.
Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemerkosaan/pencabulan
Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pelecehan seksual seperti ciuman dan rabaan
Kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemerkosaan/pencabulan
4.2.1 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban NA
Peneliti pertama kali mengambil data ke Polres Deli Serdang jumlah korban
kekerasan seksual pada anak di Kecamatan Batang Kuis, kemudian peneliti
melakukan penelusuran lokasi di Kecamatan Batang Kuis.Pada saat peneliti tiba di
lokasi Dusun III Desa Tumpatan Nibung peneliti langsung ke rumah NA.Peneliti
memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan peneliti datang ke rumah korban,
keluarga NA begitu ramah dan menyambut baik kedatangan peneliti.
Peneliti melakukan observasi terhadap kondisi keluarga dan lingkungan tempat
tinggalnya, saat itu NA tinggal bersama orang tuanya disebuah rumah semi permanen
terdiri dari 1 ruang tamu tanpa kursi, 1 ruang keluarga hanya terdiri dari 1 buah
Kipas angin, dll), 2 kamar tidur, 1 kamar mandi.NA dan keluarga sudah 2 tahun
tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung. Tanah tempat tinggal NA sekeluarga
dan warga Dusun III Desa Tumpatan Nibung adalah tanahgarapan sengketa yang
sewaktu-waktu dapat diusir atau rumah mereka dibakar jika masih bertahan. Dusun
III Desa Tumpatan Nibung memiliki sekitar kurang lebih 50 rumah yang didirikankan
tanpa ada surat tanah dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta didirikan di tanah
bekas perkebunan milik PTPN 2 sehingga siapapun dapat mendirikan rumah disana,
sehingga mempengaruhi warga yang tinggal disana sehingga peluang pelaku untuk
melakukan kekerasan seksual besar.
Ayah NA tidak memiliki pekerjaan tetap, terkadang ayah NA bekerja borongan
(kuli bangunan) jika selesai borongan ayah NA tidak bekerja dan menunggu jika ada
teman mengajak bekerja borongan, sehingga tidak memiliki penghasilan tetap,
sedangkan ibu NA adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya memasak,
mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak.
Aktifitas sehari-hari NA adalah bersekolah di TK Nurul Fikri, setelah pulang
sekolah NA bermain dengan teman-teman sebayanya (perempuan dan laki-laki)
disekitar rumah yaitu di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang
Kuis.Tetapi setelah kejadian kekerasan seksual terjadi ibu NA melarang NA untuk
bermain keluar rumah dan melarang bermain dengan teman laki-laki.
Sebelum memulai wawancara dengan NA, ibu NA memanggil korban lain SN,
CA dan AA kumpul di rumah NA, setelah berkumpul peneliti mengajak korban NA
dibawa oleh peneliti. Saat bermain dengan CA peneliti mencoba pertanya kepada
korban bagaimana kasus kekerasan seksual itu terjadi.NA menceritakan kejadian
yang terjadi pada sore hari (pukul 14.00 wib didapat dari Polres Deli Serdang) saat
NA, CA, SN, AA sedang bermain disekitar rumah M (pelaku kekerasan seksual)
memanggil mereka dan mengajak ke sebuah musholla yang terletak di tengah-tengah
Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang Kuis, sebelumnya pelaku M
sudah dikenal dan sangat dekat dengan NA, CA, SN, AA karena pelaku sering
memberi uang kepada korban, pelaku M adalah orang pendatang dan tidak memiliki
rumah di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang Kuis hanya
menumpang di rumah-rumah warga dusun. Pelaku mengajak dan mengatakan banyak
mangga yang sedang berbuah di belakang Musholla, sesampai di Musholla M
menyuruh NA dan teman-temannya (SN, CA, AA) masuk ke kamar mandi Musholla
(kamar mandi berada tepat di bawah pohon mangga). M menyuruh NA untuk buka
baju dan celana dilihat oleh teman-teman NA (SN, CA, AA) kemudian M juga
membuka celana setelah buka M menyuruh NA menghisap alat kelamin M, pada saat
itu NA tidak bisa menolak karena di jambak dan di ancam oleh M dan korban (NA,
SN, CA, AA) tidak bisa lari karena pintu kamar mandi Musholla di kunci oleh M. NA
mengatakan pada saat setelah menghisap alat kelamin M, NA muntah sangat banyak.
NA disuruh berbaring dilantai kamar mandi Musholla kemudian M memasukkan
kemaluannya kedalam vagina NA.
Dalam melakukan aksinya M selalu mengiming-imingkan uang kepada sebesar
di iming-imingi uang karena uang jajan yang diberikan orang tua jarang diberi dan
sangat sedikit, diakibatkan penghasilan orang tua yang sangat sedikit.
Minggu berikutnya peneliti menemui korban NA, peneliti mengikuti korban
bermain dengan korban yang lain (SN, CA, AA). Pada saat bermain peneliti mencoba
bertanya kepada korban apa yang dirasakan pada saat kejadian dan yang sekarang
rasakan, NA mengatakan pada saat kejadian merasakan sakit dan sangat perih karena
adanya paksaan dan mengeluarkan darah. Setelah kejadian NA merasa sakit pada saat
berjalan, susah tidur dan takut bertemu orang lain yang baru kenal terutama laki-laki.
Kejadian ini tidak diberitahukan NA kepada orangtua dan siapa pun karena
takut pada ancaman pelaku M. Kejadian ini terbongkar pada saat NA bermain ke
rumah ibu R tetangga mereka, pada siang itu ibu R sedang berada diladang mereka,
rumah hanya ada anak ibu R berjenis kelamin laki-laki yang berumur 4 tahun. pada
saat pulang kerumah ibu R melihat jendela dan pintu rumah terkunci. Ibu R
memanggil nama anaknya dan mendengar suara seperti orang melompat, karena
semakin curiga ibu R membuka paksa pintu rumahnya dan didalam rumah terdapat
NA sedang memasang celana dan anak ibu R juga sedang memasang celana. Pada
saat kejadian tersebut ibu NA berada di rumah, mendengar ibu R berteriak sehingga
menimbulkan keributan sehingga warga berkumpul di rumah ibu R, setelah warga
menanyakan dari mana tahu perbuatan seperti itu, NA mengatakan pelaku M yang
mengajarkannya. Setelah itu orangtua melaporkan perbuatan M kepada Polres Deli
Serdang dan menindaklanjuti laporan tersebut. Polres Deli Serdang melakukan
pengadilan, informasi yang di dapat oleh pihak Polres Deli Serdang pelaku sampai
saat ini belum mengakui perbuatannya.
Setelah kejadian tersebut ibu NA mengatakan ada yang berubah dari anaknya
seperti sering memperagakan kejadian tersebut kepada teman-temannya, pada saat
bermain mereka sering main di kamar tidur, jika di tanya bermain anak-anakan
(memperagakan jadi ibu, ayah dan anak). Perubahan yang lain sering teringat-ingat
seperti ketika ibu S memandikan NA, NA selalu berkata seperti yang dilakukan oleh
pelaku.
Beberapa hari setelah kejadian S (ibu NA) mengatakan banyak yang datang ke
rumahnya seperti LSM, wartawan dan KPAI tetapi hanya 1 kali saja datang. Tidak
ada penanganan lebih lanjut yang dilakukan untuk mengurangi dampak trauma yang
terjadi pada korban. KPAI hanya melakukan pendampingan pada saat korban menjadi
saksi dipersidangan pelaku.
Kekerasan seksual yang dialami oleh NA adalah kekerasan seksual dengan
sentuhan yang melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan
memasukkan alat organ genital pelaku ke mulut korban NA dan penestasi terhadap
alat organ genital korban NA oleh pelaku.
“…suruh saya ngemot burungnya terus tidur dilantai terus burung M di masukin ke bawah nunuk ku”
(NA)
Kekerasan seksual (sexual abuse) adalah pelibatan anak dalam kegiatan
seksual, dimana anak tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberikan
persetujuan. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual, prostitusi, pornografi,
pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan pada
anak, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling), pelecehan seksual lain,
memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, incest,
perkosaan dan sodomi
Menurut penelitian Paramastri (2010) Kekerasan seksual pada anak
merupakan tingkat kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan kekerasan
fisik dan psikologis. Kekerasan pada anak di Indonesia sampai dengan September
2006 telah terjadi 861 kasus, 60 % diantaranya adalah kasus kekerasan seksual pada
anak. Indonesia disorot sebagai negara yang sangat lemah terhadap anak.
Reaksi korban terhadap tindak kekerasan yang mengancam dan menimpa
mereka sebagian besar bersikap pasif, bahkan pasrah.Sebagai makhluk yang lemah
dan secara psikologis dalam posisi yang tersubordinasi di hadapan pelaku, anak-anak
umumnya tidak memiliki alternatif dan keberanian yang cukup untuk melawan situasi
yang menekan mereka. Ancaman, gertakan, todongan, dan apalagi jika korban adalah
anak-anak yang masih balita dan anak-anak yang tidak akan berbuat apa-apa meski
mereka diperlakukan salah dan menyakitkan (Suyanto, 2010).
“…saya gak bisa lari karena di jambak dan takut di ancam M (pelaku)”
(NA)
Pendekatan seksual yang dilakukan orang dewasa pada anak, meski anak
tidak menolaknya, harus dilihat dalam kaitannya dengan motivasi (alasan) yang ada
hal ini, orang dewasa tersebut jelas memperlakukan anak sebagai sasaran
pelampiasan pemenuhan kebutuhannya, yang artinya telah memperlakukannya
sebagai objek, memanipulasi dan mengeksploitasi tanpa peduli anak belum memiliki
kesiapan untuk memahami apa yang apa yang terjadi, serta belum mampu
bertanggung jawab atas apa yang nantinya terjadi.
“…kami lagi main saya, SN,CA,AA di panggil dan di ajak M katanya banyak mangga masak di kamar mandi musholla”
(NA)
Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya maupun
ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan sulit dihindari.Dari seluruh kasus
kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi dan tidak
sedikit yang berdampak fatal.Tidak sedikit pelaku kekerasan seksual pada anak ini
melakukan aksinya tanpa kekeasan, tetapi dengan meggunakan manipulasi
psikologi.Anak ditipu, sehingga mengikuti keinginannya. Anak sebagai individu
yang belum mencapai taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu
daya atau bukan (Noviana, 2015)
“…pelakunya adalah M, kami gak nyangka dia lebih dulu disini sebelum kami pindah, dekat sama anak-anak sering ngasi jajan, ya seperti sodara tidur makan di rumah, gak curiga, pergi pun kami sering di boceng M”
(S(Ibu NA))
“…iya M pelakunya, orangnya lugu kayak gak mungkin dia yang seperti itu, sering ngecas hp dirumah, ya gak nyangka aja, kami kira dia bener-bener baik”
Terkadang pelaku kekerasan adalah orang terdekat yang tidak
disangka-sangka dan banyak diantara korban korban kekerasan mengenal pelakunya antara lain
teman korban, pacar, tetangga bahkan ada pelaku yang merupakan keluarga terdekat
korban (seperti ayah, menantu, saudara sepupu, dan sebagainya) yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap kehidupan dan masa depan korban. Apabila pelaku
kekerasan adalah orang dekat, dipercaya dan dikenal apalagi orang tua sendiri, anak
akan mengembangkan perasaan dikhianati dan akhirnya menunjukkan ketakutan dan
ketidakpercayaan pada orang-orang lain dan kehidupan pada umumnya. Hal ini akan
sangat berdampak pada kemampuan sosialisai, kebahagian dan hampir semua
dimensi kehidupan psikologis pada umumnya.
Dalam Suyanto (2010) identifikasi yang dilakukan pada dua surat kabar di
Jawa Timur yaitu Jawa Pos dan Memorandum memperlihatkan bahwa sebagian
besar status pelaku dalam kaitannya dengan korban adalah orang lain dan tetangga.
Harian Jawa Pos memberitakan terdapat sekitar 54,4% pelaku yang berstatus orang
lain dan sebanyak 14,6% sebagai tetangga korban. Sementara itu, harian
Memorandum membuat sekitar sekitar 40% orang lain dan 27,4% pelaku sebagai
sebagai tetangga korban. Data ini menunjukkan bahwa korban tindak kekerasan
dalam bentuk perkosaan umunya adalah oang yang tergolong dekat dengan
pelakunya, setidaknya oleh pelaku korban sudah tidak dianggap sebagai orang asing
lagi, sehingga hanya sedikit rayuan, janji diiringi dengan paksaan dan ancaman
Faktor ekonomi, kemiskinan yang dihadapi sering kali membawa keluarga
tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan.
Problematika financial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan
ekonomi dapat menciptakan berbagai macam masalah baik dalam hal pemenuhan
kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembelian pakaian, pembayaran sewa
rumah yang kesemuanya secara relatif dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan yang
sering kali akhirnya di lampiaskan terhadap anak-anak.
“ada dikasi 2000”
(NA)
Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada pencarian
materi sebagai kebutuhan pokok.Kelalaian orang tua yang sibuk bekerja tidak
memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi
korban kekerasan seksual. Anak yang kurang bahkan tidak diperhatikan oleh orang
tuanya akan cenderung hidup dalam lingkungan pergaulan yang bebas bahkan
menyimpang, sehingga tidak jarang terjadi berbagai kejahatan seperti kejahatan
seksual. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun
materialistik, juga berfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti.Di
lingkungan keluarga miskin, anak cenderung rawan diperlakukan salah dan bahkan
potensial menjadi objek kekerasan (child abuse).Di keluarga miskin yang broken
home, single parent, pemabuk, dan keluarga miskin yang tengah dibelit persoalan
kemiskinan yang kronis termasuk pula ketika salah satu sumber penghasilan penting
pelampiasan dan pengalihan sasaran kemarahan atau perasaan stress dari orang
tuanya.
4.2.2 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban SN
Informan kedua yang peneliti wawancarai adalah SN yang berusia 5 tahun, SN
tinggal bersama orang tua di Dusun III Desa Tumpatan Nibung Kecamatan Batang
Kuis.SN memiliki sifat ramah dan mudah untuk bercerita. Ayah SN bekerja yang di
bengkel tidak memiliki penghasilan tetap, sedangkan ibu SN bekeja di ladang milik
orang lain. Kakak dan abang SN sudah bekerja. SN dan keluarga baru 1 tahun tinggal
di Dusun III Desa Tumpatan Nibung, di sana mereka hanya menyewa dengan biaya
sewa Rp. 150.000/bulan. Hampir semua rumah di Dusun III Desa Tumpatan Nibung
Kecamatan Batang Kuis semi permanen dengan lantai semen.
Pada saat peneliti datang ke rumah SN, keluarga SN tinggal di rumah semi
permanen terdiri dari 1 kamar tidur, 1 ruangan yang dijadikan ruang tamu, ruang
keluarga sekaligus dapur dan tempat makan. Kamar mandi terletak diluar rumah yang
hanya berdinding terpal dengan air sumur, di dalam rumah tidak ada alat elektronik
(Televisi atau Kipas angin, dll).
Pemilihan SN diwawancarai sesuai urutan yang dilakukan oleh pelaku M. SN
menceritakan kejadian yang dialaminya terjadi pada sore hari (pukul 14.00 wib
didapat dari Polres Deli Serdang) ketika mereka sedang bermain, M memanggil dan
mengajak ke sebuah Musholla dengan mengatakan banyak mangga yang sedang
teman-temannya (NA, CA, AA) masuk ke kamar mandi Musholla (kamar mandi berada
tepat dibawah pohon mangga). Di dalam kamar mandi SN melihat NA menghisap
alat kelamin M, mereka tidak berteriak karena takut ancaman M. Setelah
memasukkan alat kelaminnya ke NA, M menyuruh SN buka baju dan celana,
kemudian memasukkan ke dalam vagina SN.Dari informasi dari Polres Deli Serdang
korban NA dan SN terdapat robekan pada selaput hymen.
Peneliti mewawancarai korban SN yang sedang bermain dengan CA, AA. Pada
saat bermain peneliti mencoba bertanya kepada korban apa yang dirasakan pada saat
kejadian dan yang sekarang rasakan. Pada saat kejadian SN mengatakan sakit, terasa
tidak enak dibagian bawah dan mengeluarkan darah.Setelah kejadian SN mengatakan
sakit pada saat berjalan, sering mimpi pelaku, takut keluar rumah karena takut
berjumpa pelaku M dan sering terasa gatal-gatal kemudian dilap oleh mamak (ibu
SN).
Pada saat kejadian korban dibawa oleh pelaku ke kamar mandi musholla, ibu SN
berada di ladang, sedangkan ibu SN tahu anaknya menjadi korban pada saat
terungkap kejadian NA, pada saat ditanya oleh korban siapa lagi yang menjadi korban
ternyata salah satunya adalah anaknya. Ibu S (ibu SN) menanyakan langsung kepada
SN kebenarannya, SN menjawab iya benar menjadi salah satu korban.SN
memberitahukan kepada ibunya dia di panggil pelaku ke kamar mandi musholla
kemudian tangan korban ke dalam kamar mandi kemudian di suruh buka baju dan
minum air paretnya (sperma) tetapi tidak mau.SN tidak berani memberitahukan
kejadian karena dapat ancaman dari pelaku.
Perubahan yang dilihat ibu S terhadap SN adalah ketakutan, teringat-ingat
kejadian seperti ketika abang korban mencium korban, korban mengatakan abangnya
seperti pelaku.Pada saat setelah kejadian korban sakit demam dan mengigau
mengatakan jangan-jangan dan awas-awas.Ibu mengatakan sebelum pindah ke Dusun
III Desa Tumpatan Nibung SN adalah orang yang sangat ceria, pemberani.
Upaya yang dilakukan ibu S untuk mengurangi trauma SN adalah mengikutkan
SN untuk lomba-lomba busana muslim, kemudian acara-acara perlombaan yang ada
di daerah tersebut, mengajak SN untuk jalan-jalan dan tidak mengungkit kejadian
kemaren.
Kekerasan seksual yang dialami oleh SN adalah kekerasan seksual yang
melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan memasukkan alat
organ genital pelaku ke mulut korban SN dan penestasi terhadap alat organ genital
korban SN oleh pelaku.
“…saya lihat M masukin burung kebawah nunuk NA, terus ke nunuk ku”
(SN)
Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan
sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang
mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan
dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual (sexual
intercourse), melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan
seseorang termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah
melakukan hubungan seksualitas.Segala perilaku yang mengarah pada tindakan
pelecehan seksual terhadap anak-anak, baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun di
lingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan atau
pelanggaran terhadap hak anak jenis ini (Suyanto, 2010).
Praktik hubungan seksual biasanya dilakukan dengan cara-cara kekerasan,
bertentangan dengan ajaran agama serta melanggar hukum yang berlaku.Kekerasan
ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik,
maupun non fisik dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan
usaha-usaha jahatnya itu.
“…pintunya dikunci,terus aku dijambak jadi aku gak bisa lari ”
(SN)
Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan
pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual. Anak yang
kurang bahkan tidak diperhatikan oleh orang tua akan cenderung hidup dalam
lingkungan pergaulan yang bebas, bahkan menyimpang, sehingga tidak jarang terjadi
berbagai kejahatan seperti kejahatan seksual. Begitu juga dengan anak yang tidak
mendapat perlindungan dari keluarga terutama orang tuanya, ia akan memiliki risiko
“…pada saat kejadian saya kerja diladang, SN biasa saya tinggal main sama teman-temannya setelah pulang sekolah (TK)”
(ibuSN)
“…pelakunya adalah M, kami gak nyangka dia lebih dulu disini sebelum kami pindah, dekat sama anak-anak sering ngasi jajan, ya seperti sodara tidur makan di rumah, gak curiga, pergi pun kami sering di boceng M”
(S(Ibu NA))
“…iya M pelakunya, orangnya lugu kayak gak mungkin dia yang seperti itu, sering ngecas hp dirumah, ya gak nyangka aja, kami kira dia bener-bener baik”
(S(Ibu SN))
Rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku yang tidak dapat tumbuh dengan
baik, menjadikan pelaku tidak dapat mengontrol nafsu dan perilakunya.orang yang
memiliki nafsu seks yang terlalu tinggi yang tidak terkendali, cenderung akan
melakukan hubungan seks dengan siapapun, termasuk anak-anak, walau dengan jalan
memaksa atau menyakiti anak. Begitu juga dengan pengidap pedofilia, ia menjadi
terobsesi untuk melakukan hubungan seksual terhadap anak, sehingga ia terdorong
untuk melakukan kekerasan terhadap anak.
Ekonomi menjadikan pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan
memberikan iming-iming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. Faktor
perekonomian yang miskin juga menjadi sebab terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak.Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat fokus pada materi sebagai
kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin
henti. Kehidupan seseorang yang berada dalam kemiskinan bisa membuatnya
menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang, termasuk dengan melakukan
eksploitasi seksual terhadap anak, seperti menjadikannya sebagai pelacur untuk
menghasilkan uang.
“ada dikasi 2000”
(SN)
Tindak kekerasan terhadap anak-anak potensial terjadi di semua lapisan
masyarakat, namun jauh lebih umum terjadi di golongan masyarakat yang lebih
rendah.Untuk kasus child abuse terutama biasanya potensial terjadi di keluarga
miskin karena tekanan kebutuhan hidup dan kondisi lingkungan sosial di sekitarnya
memang memungkinkan kasus ini terjadi.Disebuah keluarga yang setiap hari
senantiasa direcoki dengan desakan kebutuhan hidup, dikejar-kejar tagihan hutang
dan sebagainya wajar bila menyulut tumbuhnya sikap temperamental. Semua
tindakan kekerasan kepada anak-anak umumnya akan direkam dibawah sadar mereka
dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya.
4.2.3 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban CA
Informan ketiga yang peneliti wawancarai adalah CA yang berusia 6
tahun.Pemilihan CA untuk diwawancarai sesuai urutan yang dilakukan oleh pelaku
M. CA, Ayah, kakak dan abangnya tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung. Ibu
CA bekerja di Malaysia sebagai TKI selama 1 tahun. Ayah NA tidak memiliki
pekerjaan tetap, terkadang ayah NA bekerja borongan (kuli bangunan) jika selesai
borongan, sehingga tidak memiliki penghasilan tetap, hanya mengandalkan kiriman
dari ibu CA.
CA dan keluarga sudah 4 tahun tinggal di Dusun III Desa Tumpatan Nibung.
Rumah CA semi permanen dengan lantai semen, memiliki 3 kamar tidur, 1 ruang
tamu, 1 ruang tengah bersatu dengan ruang makan dan dapur, 1 kamar mandi di
dalam rumah. Ruang tamu tidak memiliki kursi hanya terbentang tikar, alat elektronik
terdiri dari 1 buah kipas angin dan 1 buah televisi.
CA menceritakan kejadian yang dialaminya bersama teman-teman terjadi
pada sore hari (pukul 14.00 wib didapat dari Polres Deli Serdang) ketika mereka
sedang bemain disekitar rumah pelaku M memanggil dan mengajak mereka ke
sebuah Musholla dengan mengatakan banyak mangga yang sedang berbuah di
belakang Musholla, setelah sampai di Musholla pelaku M menyuruh mereka masuk
ke dalam kamar mandi Musholla. Pada saat itu CA melihat secara langsung apa yang
dilakukan pelaku M kepada teman-temannya, seperti pada saat NA dan SN
menghisap kemaluan pelaku M, begitu juga dengan yang dilakukan pelaku M
terhadap teman-temannya.
Pelaku M menyuruh CA untuk membuka baju dan celana, mereka mengikuti
semua yang dikatakan oleh pelaku M karena takut akan ancaman pelaku M. setelah
SN membuka baju dan celana pelaku M menghisap payudara CA, setelah itu CA di
suruh pelaku M untuk tidur dilantai Musholla kemudian pelaku M memasukkan alat
Setelah mewawancarai korban NA dan SN, peneliti mewawancarai korban
CA yang sedang bermain dengan AA. Pada saat bermain peneliti mencoba bertanya
kepada korban apa yang dirasakan pada saat kejadian dan yang sekarang rasakan.
Pada saat kejadian CA mengatakan sakit, terasa tidak enak dibagian bawah. Setelah
kejadian CA mengatakan sakit pada saat berjalan, takut keluar rumah karena takut
berjumpa pelaku M.
Kekerasan seksual yang dialami oleh CA adalah kekerasan seksual yang
melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan memasukkan alat
organ genital pelaku ke mulut korban CA dan penestasi terhadap alat organ genital
korban CA oleh pelaku.
“…M isap tetek saya, terus saya di suruh tidur dilantai mushola masukin burungnya ke nunuk saya”
(CA)
Salah satu praktik seks yang dnilai menyimpang adalah bentuk kekerasan
seksual, artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara
kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nila-nilai agama serta melanggar hukum
yang berlaku.Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki
kekuatan, baik fisik maupun non fsik.Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk
melakukan usaha-usaha jahatnya itu.Kekerasan seksual merupakan istilah yang
menunjukkan pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang
menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah
korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian (Huraerah,
2012).
Anak harus dilihat sebagai manusia yang belum dewasa, dalam arti belum
memiliki kematangan seperti orang dewasa.Dengan demikian, hubungan seksual
antara orang dewasa dengan anak harus dilihat tanpa persetujuan, atau tanpa consent
dari anak, bahkan bila anak tampaknya tidak berkeberatan dengan adanya aktivitas
itu. Hubungan ini tidak dapat didefinisikan sebagai hubungan suka sama suka. Bila
orang dewasa melakukan pendekatan seksual, baik dengan penganiayaan fisik
ataupun melakukan manipulasi nonfisik anak dengan perkembangan kognitif, moral,
emosional, dan seksual yang masih terbatas tidak dapat berpikir rasional dan tidak
dapat menolak pendekatan seksual tersebut.Karenanya, setiap kontak seksual yang
dilakukan orang dewasa terhadap anak harus dianggap dengan sendirinya bentuk
kekerasan seksual terhadap anak.
Pendekatan seksual yang dilakukan orang dewasa pada anak, meski anak
tidak menolaknya, harus dilihat dalam kaitannya dengan motivasi (alasan) yang ada
di balik tindakan dan tanggung jawab moral dari si orang dewasa tersebut. Dalam hal
ini, orang dewasa tersebut jelas memperlakukan anak sebagai sasaran pelampiasan
pemenuhan kebutuhannya, yang artinya telah memperlakukannya sebagai objek,
memanipulasi dan mengeksploitasi tanpa peduli anak belum memiliki kesiapan untuk
memahami apa yang apa yang terjadi, serta belum mampu bertanggung jawab atas
“…dipanggil M katanya ada mangga di kamar mandi musholla”
(CA)
Selama ini, diakui atau tidak sebagian masyarakat sesungguhnya masih
banyak beranggapan bahwa pemerkosaan adalah tindakan spontan karena nafsu
birahi si pelaku tiba-tiba bangkit akibat faktor daya tarik korban.Masyarakat juga
beranggapan bahwa pemerkosaan umumnya dilakukan oleh orang tak dikenal di
tempat gelap dan berbahaya dan si pelaku sering dikatakan mengidap penyakit jiwa,
tidak normal, pendek kata orang yang secara psikologis bermasalah.Padahal,
kenyataan yang sebenarnya terjadi banyak perkosaan justru dilakukan oleh orang
yang dikenal, orang yang sehat dan tidak memiliki masalah kejiwaan apapun.Selain
itu, perkosaan tidak cuma terjadi ditempat sepi dan rawan, melainkan sering kali
perkosaan terjadi di rumah dan dilakukan dengan perencanaan yang teliti. Tempat
terjadinya tindak perkosaan tidak selalu dikawasan sepi diluar control komunitas.
Anggapan yang menuduh bahwa perkosaan terjadi karena godaan dari si korban
adalah sebuah mitos yang menyesatkan, karena banyak bukti menunjukkan bahwa
korban perkosaan tidak selalu perempuan cantik, bertubuh sintal dan
sebagainya.Korban perkosaan seperti kita semua tahu terkadang, nenek-nenek yang
sudah lanjut dan yang mengerikan sering pula korban perkosaan ternyata adalah
anak-anak yang belum tahu apa-apa bahkan balita (Suyanto, 2010).
4.2.4 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban AA
Informan berikutnya adalah AA berusia 6 tahun, pemilihan AA terakhir
bersama abangnya di rumah nenek mereka. Di rumah sang nenek memiliki 3 kepala
keluarga yaitu nenek korban, ayah korban dan tante korban total jumlah yang tinggal
di rumah mereka ada 8 orang. Ayah dan ibu AA bekerja di Malaysia sebagai TKI ,
sudah hampir 1 tahun.
Rumah nenek AA semi permanen, lantai semen, memiliki 2 kamar tidur, 1
ruang tamu sekaligus ruang keluarga dan ruang makan. Dapur berada di luar rumah
beserta kamar mandi.Di ruang tamu terdapat 1 buah kursi dan 1 buah televisi dan
kipas angin.
AA menceritakan kejadian yang dialaminya bersama teman-teman terjadi
pada sore hari (pukul 14.00 wib didapat dari Polres Deli Serdang) ketika mereka
sedang bemain disekitar rumah pelaku M memanggil dan mengajak mereka ke
sebuah Musholla dengan mengatakan banyak mangga yang sedang berbuah di
belakang Musholla, setelah sampai di Musholla pelaku M menyuruh mereka masuk
ke dalam kamar mandi Musholla. Pada saat itu AA melihat secara langsung apa yang
dilakukan pelaku M kepada teman-temannya, seperti pada saat NA dan SN
menghisap kemaluan pelaku M, begitu juga dengan yang dilakukan pelaku M
terhadap teman-temannya. AA hanya dicium saja oleh pelaku M, AA sempat
menolak dan berlari tetapi dijambak oleh pelaku.Setelah mencium AA, pelaku M
menyuruh mereka untuk pulang dan berpesan jangan beritahukan kepada siapapun,
sehingga anak-anak tersebut ketakutan.
Minggu berikutnya peneliti setelah mewawancarai korban NA dan SN,
bermain peneliti mencoba bertanya kepada korban apa yang dirasakan pada saat
kejadian dan yang sekarang rasakan, AA hanya menjawab takut seperti kejadian
kemaren.
Kekerasan seksual yang dialami oleh AA adalah kekerasan seksual yang
melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh korban AA oleh
pelaku.
“…M cium saya”
(AA)
Kekerasan seksual terhadap perempuan oleh laki-laki pada hakekatnya adalah
gejala yang sangat kompleks, mengakar dalam hubungan kekuasaan yang berbasis
gender, seksualitas, identitas diri serta dipengaruhi oleh pranata sosial yang
berkembang di komuntas itu. Kekerasan seksual ini dalam banyak hal dipahami dan
dianggap sebagai suatu perpanjangan kontinum keyakinan yang member hak kepada
laki-laki untuk mengendalikan perilaku perempuan, membuat perempuan tidak
memiliki kebebasan terhadap kehidupan seksual dan peran reproduksinya
sendiri.Kekerasan seksual bisa terjadi pada lingkungan keluarga (hubungan suami
dengan istri, orang tua dengan anak-anaknya, anak dengan anak dan antar anggota
keluarga, lingkungan masyarakat dengan orang disekitarnya, lingkungan kerja,
tradisi dan adat yang melanggengkan kekerasan, dan bisa juga lingkungan negara
(undang-undang dan peraturan yang melanggengkan sub-ordinasi perempuan).
Tindak kekerasan lebh potensial terjadi pada keluarga migrant yang miskin
demkian, disinyalir di lingkungan keluarga migrant yang dikota hidupnya pas-pasan,
tinggal di pemukiman kumuh atau rumah petak yang berhimpit-himpitan, dan setiap
hari mereka mesti bergulat dengan kehidupan, maka potensi terjadinya tindak
kekerasan terhadap anak-anak akan lebih besar. Secara umum, kekerasan yang
terjadi dilingkungan keluarga tampaknya tidak mungkin menghilang. Selama anak
disosisalisasikan dalam suasana kekerasan keluarga dan selama orang dewasa masih
bergulat dengan kemelaratan, pengangguran, ketidakberdayaan maka kekerasan
dalam keluarga tetap akan banyak terjadi. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan
anak-anak yang berasal dari kelas menengah ke atas. Anak-anak yang berasal dari
keluarga yang mapan, godaan mereka hadap biasanya lebih pada tawaran gaya hidup
yang menyimpang, seperti narkoba, kenakalan anak, atau konsumerisme. Tetapi, dari
segi perlindungan sosial, kehidupan anak-anak dar golongan menengah ke atas
biasanya lebih terjamin.Di lingkungan masyarakat yang mapan, proteksi yang
diberikan kepada anak-anak mereka lebih kuat dan kesempatan bagi anak-anak
dalam kehidupan yang berbahaya juga lebih rendah.
4.2.5 Pembahasan Kasus Kekerasan Seksual Informan Korban FA
Pada pertemuan pertama peneliti melakukan observasi terhadap kondisi
keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya, saat itu FA tinggal bersama ibu, ayah tiri,
adik-adiknya, nenek dan anaknya disebuah rumah semi permanen terdiri dari 1 ruang
tamu, 1 ruang keluarga hanya terdiri dari 1 buah lemari, 1 buah dan 1 buah Kipas
angin, 3 kamar tidur, 1 kamar mandi. Ayah FA sudah lama meninggal dunia karena
keluarga.Ibu FA menikah lagi dengan temannya di tempat kerja.Ibu FA seorang
buruh pabrik yang bekerja dari pagi hingga sore hari, hal ini yang menyebabkan
kurangnya perhatian orangtua kepada FA.
FA mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya sendiri, sehingga FA
sekarang memiliki seorang anak yang berusia 3 bulan. Kekerasan seksual yang
terjadi sebanyak 4 kali pada saat sedang berpacaran.Ketika pacar korban mengajak
korban untuk mengunjungi rumah keluarganya di malam hari, seperti yang sudah di
rencanakan oleh pelaku, pada saat mereka datang, keluarga yang mempunyai rumah
minta izin keluar rumah, sehingga di dalam rumah hanya ada korban dan pelaku.
Pada saat di dapur pelaku mencium dan meraba payudara FA sehingga FA mengikuti
apa yang diinginkan oleh pacarnya sehingga mereka melakukan hubungan suami istri,
FA menerima semua perlakuan pacarnya karena berjanji bertanggung jawab untuk
menikahi korban dan ketidaktahuannya tentang dampak yang terjadi seperti
kehamilan. Kejadian pertama dan kedua pacar FA tidak mengeluarkan sperma di
dalam vagina FA melainkan di perut FA, ketiga dan keempat pacar FA mengeluarkan
sperma didalam vagina FA sehingga beberapa bulan kemudian perut FA semakin
membesar. Awalnya FA tidak menyadari dirinya hamil, tetapi pada saat ibu korban
menanyakan sudah halangan atau belum, FA kemudian kepikiran dan bertanya
kepada teman-temannya di sekolah bahwa dia sudah 3 bulan tidak dapat haid,
kemudian teman FA mengatakan kemungkinan dia hamil, ibu FA sebenarnya sudah
curiga setelah FA tidak haid selama 3 bulan di tambah lagi, setiap pulang ke rumah
ibu FA membawanya keklinik bidan, bidan menyatakan positif hamil dan akhirnya
FA harus keluar dari sekolah, pada saat kejadian FA masih bersekolah di SMA
Swasta di Batang Kuis.
Ketika peneliti bertanya pada FA apakah pada saat itu ada niat untuk aborsi,
FA menjawab iya, alasannya karena pacarnya tidak bertanggung jawab dan mereka
berbeda agama.Sikap pacarnya yang tidak mau bertanggung jawab menyebabkan
keluarga FA membuat laporan ke Polres Deli Serdang sehingga pacar FA di tahan
sampai saat ini.
Pada saat kehamilan FA tidak mengalami keluhan apapun termasuk mual dan
muntah, begitupun pada saat persalinan, persalinan berjalan lancar tanpa penyulit
tetapi berat badan lahir bayi FA 2700 gr. Kebutuhan sehari-hari FA dan anaknya
dipenuhi oleh ibu FA yang bekerja sebagai buruh pabrik hari pagi hingga sore hari.
Kekerasan seksual yang dialami oleh FA adalah kekerasan seksual yang
melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan memasukkan alat
organ genital pelaku ke mulut korban FA dan penestasi terhadap alat organ genital
korban FA oleh pelaku.
“…pacar saya mencium saya dan meraba payudara saya, saya mengikuti saja sampai kami melakukan hubungan suami istri”
(FA)
Kekerasan seksual terhadap perempun pada dasarnya adalah segala tindakan
kekerasan verbal atau fsik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang diarahkan
pada seseorang perempuan , apakah masih anak-ana atau sudah dewasa yang
dan melanggengkan sub ordinasi perempuan. Kekerasan seksual, dengan demikian
tidak hanya terbatas pada hal yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup banyak
perilaku lainnya misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga kalau
kita berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh pada inti kekerasan dan
pemaksaan, tidak hanya perilaku yang keras dan menekan. Kekerasan seksual jika
diartikan sempit sebagai perilaku yang keras dan menekan, maka apabila banyak
kejadian kekerasan seksual yang lepas dari tuntutan pengadilan.Tersangka kasus
perkosaan banyak yang lolos dari tuntutan hanya karena korba dituduh sebaga pihak
ikut menikmati peristiwa laknat yang menimpanya itu.
“…pacar saya janji mau tanggung jawab, mau nikahi saya”
(AA)
Bahaya yang mengancam anak-anak ternyata bukan dari orang lain atau para
penjahat professional yang tidak dikenal korban, tetapi justru ancaman itu kerap kal
muncul dari orang-orang yang dekat dengan korban, atau bahkan orang-orang yang
semula diharapkan dapat menjaga tempat berlindung. Ayah atau ibu korban,
misalnya mungkin sulit dinalar akal sehat akan tega menganiaya anak-anaknya, entah
itu menempeleng, memerkosa atau membunuh darah dagingnya sendiri. Tetapi,
karena sedang kalap, bingung, mengalam tekanan yang bertubi-tubi, malu atau
karena faktor lainnya. Dari berbagai media massa bahwa tindak kekerasan seksual
yang dilakukan para remaja umumnya terjadi karena pengaruh film biru yang sering
VCD. Hasrat untuk melakukan berbagai adegan seks seperti yang pernah mereka
nikmati dilayar lebar atau video CD serta berbagai ilusi yang diciptakan dalam
bayangan saat menikmati keindahan tubuh wanita seakan muncul bersamaan dengan
stimulus atau rangsangan yang menerpa mereka. Tragisnya korban perkosaan yang
terjadi umumnya adalah anak-anak yang telah mereka ketahui atau amati dan mereka
kenal sebelumnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa terjadinya tindak kekerasan
dalam bentuk perkosaan terhadap anak-anak sering terjadi di aantara mereka yang
saling bertetangga atau orang lain dan sebelumnya mereka telah mengetahui atau
mengenalnya.
Tinggi dan kompleksnya kasus perkosaan terhadap anak perempuan kiranya
mengisyaratkan pentingnya kehati-hatian yang lebih besar dari anak
perempuan.Perkosaan, tidak harus dalam bentuk paksaan, tetapi bisa juga melalui
suatu hubungan harmonis yang didalamnya terdapat sejumlah manipulasi.Relasi
manipulasi dari hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, pada
umumnya berlindung dibalik slogan “mau sama mau, suka sama suka”.Slogan itu
pula yang menjadi alat efektif untuk menepis segala resiko yang muncul atas relasi
seksual yang terjadi. Relasi seksual yang terjadi pada saat berkencan dengan cara
manipulative ini disebut dating rape. Ada beberapa tahap yang patut diwaspadai
sebagai proses menuju perkosaan, yaitu: ajakan pergi jalan-jalan dengan
bergandengan tangan, ajakan pergi naik sepeda motor dengan tangan dililitkan di
pinggang, ajakan nonton film dan berkesempatan melakukan rabaan dan ciuman,
persetubuhan dan bila terjadi kehamilan, laki-laki yang bersangkutan melarikan diri
dan tidak bertanggung jawab.
“…kejadiannya pacar saya bawa saya ke rumah keluarganya di tanjung morawa pada malam hari”
(FA)
Anak-anak (perempuan) merupakan korban potensial bagai terjadinya
kejahatan seksual karena faktor kebejatan mental si pelaku, secara psikis dan fisik
anak-anak umumnya memang sangat rentan dan mudah menjadi korban dari tindak
perkosaan. Studi yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Airlangga di Jawa
Timur (1992), menemukan mayoritas terjadinya tindak kekerasan seksual umumnya
terjadi karena adanya ancaman dan paksaan (66,3%). Namun, sebagain pemerkosa
biasanya mencoba menaklukkan korban dengan cara bujuk rayu (22,5%) atau dengan
menggunakan obat bius (5,1%). Dengan bujuk rayu berupa janji akan diberi uang
seribu, lima ribu rupiah atau iming-iming permanen saja itu semua acap kali sudah
manjur untuk memikt hati si anak dan kemudian memperdaya mereka hingga
dilakukan pencabulan atau serangan seksual (Suyanto, 2010).
Dari hasil penelitian informan korban NA, SN, CA, AA dengan pelaku yang
sama mengalami kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemaksaan oral seks,
pemerkosaan/pencabulan, ciuman dan rabaan. Korban mengenal pelaku karena
sering berada disekitar lingkungan tempat tinggal korban dan baik kepada mereka
karena selalu mengiming-imingkan uang.Para korban tidak berani memberitahukan
kepada orang tua mereka karena takut ancaman dari pelaku.Sedangkan informan
pemerkosaan/pencabulan. Korban FA menerima semua perlakuan pacarnya karena
dijanjikan bertanggung jawab untuk menikahi korban dan ketidaktahuan korban
tentang dampak yang akan terjadi.
4.3 Dampak Kekerasan Seksual
Dampak kekerasan seksual yang dialami oleh Informan korban sebagai
berikut:
Tabel 4.2 Dampak Kekerasan Seksual Informan Korban
CA
AA
FA
-Takut keluar rumah
- Takut kejadian
4.3.1 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban NA
Dampak kekerasan seksual yang dialami korban NA adalah dampak perilaku,
dampak fisik dan dampak kognisi.
” …M masukkan burungnya ke nunuk ku berdarah terus di lap pakek daun, setelah itu kalau jalan sakit, gak bisa tidur, takut lihat abang-abang”
Pada kekerasan seksual bisa terjadi luka memar, rasa sakit, gatal-gatal di
daerah kemaluan, perdarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang
berulang, keluarnya cairan dari vagina. Sering pula didapati korban menunjukkan
gejala sulit untuk berjalan atau duduk dan terkena infeksi saluran kelamin bahkan
bisa terjadi suatu kehamilan. Secara lebih terperinci dampak yang dialami anak-anak
yang mengalami kekerasan adalah kurangnya motivasi/harga diri, problem kesehatan
mental seperti kecemasan berlebihan, problem dalam hal makan, susah tidur, mimpi
buruk, menarik diri dari lingkungan kesehatan fisik yaitu sakit yang serius dan luka
parah sampai cacat permanen patah tulang, radang karena infeksi dan mata lebah,
problem kesehatan seksual misalnya mengalami kerusakan organ reproduksinya,
kehamilan yang tidak dinginkan, ketularan penyakit menular seksual (Suyanto, 2010)
“…sering main dikamar sama teman-temannya, main kawin-kawinan, terus kalau saya mandikan NA selalu bilang, mamak ini kayak bang M lha (pelaku)”
(S(ibu NA)) “…sebelum pindah kesini SN orangnya sangat ceria, pemberani tapi sekarang anak saya seperti orang ketakutan, selalu teringat-ingat seperti abangnya mencium SN bilang abang ini kayak M.
(S(ibu SN))
Kekerasan seksual secara umum meningkatkan resiko penularan HIV karena
perlindungan umumnya tidak digunakan dan sering menjadi trauma fisik terhadap
rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.Kerentanan perempuan tertular
HIV/AIDS ini juga karena struktur bioligis perempuan terutama organ reproduksinya
yang tersembunyi dan tidak mudah terdeteksi bila ada keluhan. Selain itu juga organ
sehingga bila terjadi penestrai oenis dengan keras atau paksaan ataupun dengan IMS
(infeksi menular seksual) akan lebih memudahkan terjadinya penularan. Terlebih lagi
jumlah virus HIV di dalam sperma juga lebih banyak dibandingkan jumlah virus
HIV didalam cairan vagina, sehingga perempuan sebagai pihak penampung sperma
lebih besar kemungkinannya untuk terinfeksi.Secara fisik memang mungkin tidak
ada yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual,
tapi secara psikis menimbulkan ketagihan, tauma bahkan pelampiasan dendam.
Adapun perilaku seksual yang tidak wajar, seperti masturbasi berlebihan, mencium
berlebihan, mendesakkan tubuh, tahu banyak atau melakukan aktivitas seksual
terang-terangan kepada saudara atau teman atau rasa ingin tahu berlebihan untuk
masalah seksual.
Anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan keliru sesuai
dengan sosialisasi yang diterimanya. Misalnya, anak akan menganggap wajar
perilaku orang dewasa. Menirukan tindakan yang dilakukan kepadanya, menyalahkan
ibu atau orang dewasa yang mengasuhnya yang dianggapnya tidak membelanya dari
hal-hal buruk yang dialaminya, menganggap diri aneh dan terlahir sial (missal sudah
dikutuk untuk selalu mengalami hal buruk dan menyusahkan orang lain dan
sebagainya).Pemaparan pengalaman seksual terlalu dini, juga yang terjadi salah dapat
bedampak pada munculnya trauma seksual. Trauma seksual dapat ditampilkan daam
dua bentuk yaitu inhibisi seksual yaitu hambatan-hambatan untuk dapat tertarik dan
menikmati seks, atau justru disinhibisi seksual yaitu obsesi dan perhatian berlebihan
Hasil penelitian Fuadi (2011) didapat bahwa kekerasan seksual yang terjadi
tidak sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam,
marah, penuh kebencian yangtadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya
dan kemudian menyebar obyek-obyek atau orang-orang lain. Setelah mengalami
subyek bermacam-macam muncul perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal dan
bingung hingga rasa tidak berdaya muncul.Pada penganiayaan seksual bisa terjadi
luka memar, rasa sakit, gatal-gatal didearah kemaluan, perdarahan dari vagina atau
anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina.Sering pula
didapati korban menunjukkan gejala sulit untuk berjalan atau duduk dan terkena
infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.
Berdasarkan hasil penelitian Kusumaningtyas (2013) diketahui bahwa relasi
interpersonal informan dengan lingkungan sekitar kurang baik. Perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual merasa takut jika peristiwa kekerasan seksual
terulang kembali atau jika peristiwa tersebut diketahui oleh orang lain. Peremouan
mengalami pengalaman traumatic maka akan muncul perasaan malu adanya perasaan
tertekan disertai dengan emosi yang tidak menyenangkan sepeti rasa cemas dan
ketidakberdayaan. Perempuan akan sulit melakukan penyesuaian dengan orang-orang
disekitarnya karena merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang-orang yang tidak
memiliki pengalaman pahit seperti dirinya. Korban juga mempunyai harapan-harapan
yang ingin di wujudkan untuk masa depannya.Selain itu juga mempunyai
pengalaman masa lalu yang tidak ingin kejadian tersebut terulang kembali dengan
mempunyai rasa ketearahan dalam hidup mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat
ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan
tujuan hidup dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka individu
tersebut dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik, sebaliknya
seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada
tujuan hidup yang ingin di capai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam
masa lalu kehidupannya dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat
hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita
dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seseorang individu mengenai
tujuan dan makna kehidupan ketika mendefinisikan kesehatan mental.
4.3.2 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban SN
Dampak kekerasan seksual yang dialami korban SN adalah dampak perilaku,
dampak fisik, dampak kognisi dan dampak kesehatan reproduksi
“…berdarah, sakit pas jalan, sering mimpi M, takut keluar rumah nanti ketemu M, terasa gatal-gatal langsung dilap mamak”
(SN)
Tindakan kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang mempunyai
dampak yang bersifat traumatis pada anak, baik yang dapat dilihat dengan mata
telanjang atau dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik dan mental anak.Tindak
kekerasan yang dialami anak bisa menyebabkan dampak yang tingkat keparahannya
sedang, serius atau fatal dimana korban meninggal dunia akibat tindak kekerasan
menjadi korban tindak kekerasan biasanya adalah kurangnya motivasi/harga diri,
problem kesehatan mental, misalnya kecemasan berlebihan, problem dalam hal
makan, susah tidur, sakit yang serius, suka menyerang atau jadi pemarah, atau
sebaliknya menjadi pendiam dan suka menarik diri dari pergaulan dan luka parah
sampai cacat permanen seperti patah tulang, radang karena infeksi, mata lebam dan
sebagainya, termasuk juga sakit kepala, perut, otot dan lain-lainnya. Problem
kesehatan seksual, misalnya mengalami kerusakan organ reproduksinya, kehamilan
yang tidak diinginkan, ketularan penyakit menular seksual.
“…sakit, gak enak di nunukku, keluar darah, pas jalan sakit, malamnya gatal dinunukku terus dilap mamakku”
(SN)
“…sering main dikamar sama teman-temannya, main kawin-kawinan, terus kalau saya mandikan NA selalu bilang, mamak ini kayak bang M lha (pelaku)”
(S(ibu NA)) “…anak saya seperti ketakutan, selalu teringat-ingat seperti abangnya mencium korban selalu bilang abang ini kayak M (pelaku), sebelum kejadian anak saya sangat ceria dan pemberani, sekarang gak lagi”
(S(ibu SN))
Secara medis, setelah memperoleh perawatan fisik, barangkali penderitaan
fisik dan trauma fisiologik korban akan dapat disembuhkan. Orang lain pun mungkin
sudah lupa pada peristiwa itu dan bahkan mungkin pula tidak mengetahuinya jika si
korban pindah tempat tinggal. Namun, diluar semua itu, aib, depresi, dan penderitaan
niscaya akan tetap menghantui korban sepanjang hidupnya. Bagi seorang gadis,
terutama hilang keperawanan, stigma masyarakat dan perasaan was-was serta
korban. Di sisi lain, ancaman terhadap jiwa korban dan penganiayaan saat
berlangsung perkosaan sering kali akan menyentuh basic trust korban, sehingga
jangan heran jika kemudian timbul perasaan intrapsikis tentang kehancuran yang
kronik dan miltrust. Banyak korban setelah kejadian akan menjadi mudah curiga,
tidak mudah percaya kepada laki-laki, dan merasa teralienasi dari lingkungan
sekitarnya atau mengalami apa yang disebut rape trauma syndrome.
Sesungguhnya penderitaan yang harus ditanggung korban kekerasan seksual
terutama perkosaan bukan sekadar kesakitan secara fisik, tetapi campur aduk antara
perasaan terhina, ketakutan, dan siksaan batin yang tidak berkesudahan. Banyak
kasus membuktikan, bahwa korban pemerkosaan dalam kehidupannya
akancenderung mengalami penderitaan rangka tiga yaitu pada saat kejadian, diperiksa
penyidik dan menjadi pemberitaan dimedia masssa. Seorang korban yang melapor ke
polisi, sudah tentu ia akan ditanya berkali-kali berkaitan dengan peristiwa yang
dialaminya. Bahkan, tidak mustahil terjadi, si korban akan dipojok oleh aparat yang
memeriksa dengan alasan agar benar-benar dapat diungkap kejadian yang
sebenarnya. Setelah diperiksa polisi, apakah urusan akan selesa, ternyata tidak. Bila
laporan korban diterima dan kemudian diteruskan ke pengadilan, di ruang pengadilan
itulah biasanya korban akan kembali dicerca dengan pertanyaan yang menyudutkan,
sehingga pada titik tertentu sering korban justru sepertinya yang menjadi terdakwa
bukan korban yang semestinya memperoleh simpati atau empati. Bisa dibayangkan,
bagaimana mungkin seseorang perempuan yang lugu dan lembut terlebih anak-anak
mengulang kisah berikut rekonstruksi aib perkosaan yang dialaminya di depan
banyak orang.
4.3.3 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban CA
Dampak kekerasan seksual yang dialami korban CA adalah dampak perilaku,
dampak fisik, dampak kognisi dan dampak kesehatan reproduksi
“…pas jalan sakit, takut main keluar nanti ketemu M”
(CA)
Tindak kekerasan terhadap anak biasanya baru memperoleh perhatian secara
serius takkala korban tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada
anak-anak jumlahnya makin meluas, korban bertambah banyak dan dapat menimbulkan
dampak yang sangat menyengsarakan rakyat. Seperti halnya tindak kekerasan yang
dialami perempuan, tindak kekerasan pada anak disinyalir terdapat pada setiap tingkat
kelas dan dapat dialami serta dilakukan siapa saja, baik orang-orang yang secara
psikologis berperilaku menyimpang atau oleh orangtua kandung yang kesehariannya
terlibat begitu baik, namun bisa dengan tiba-tiba berubah kalap, memaki, menampar,
memukul atau bahkan membunuh anak kandungnya sendiri. Anak-anak memang
selalu peka. Sering kali orangtua tidak menyadari bahwa apa yang terjadi di antara
mereka begitu mempengaruhi anak. Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari
apa yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Jika suasana keluarga sehat dan bahagia,
maka wajah anak begitu ceria dan berseri.Sebaliknya jika mereka murung dan sedih,
biasanya telah terjadi suaru yang berkaitan dengan orangtuanya. Sebagai wadah
dan cara bertingkah laku, perilaku orangtua sering mempengaruhi perlaku
anak-anaknya kelak. Jika kekerasan begitu domnan, tidaklah mengherankan jika anak-anak
kemudian melakukannya bahkan terbawa sampai dewasa. Karena kekerasan begitu
sering terjadi dalam keluarganya, maka ia menganggap hal itu sebagai hal yang
normal dan sudah seharusnya.
“…takut keluar rumah, takut ketemu M”
(CA)
Segi tingkah laku anak-anak yang mengalami penganiayaan sering
menunjukkan penarikan diri, ketakutan atau mungkin juga tingkah laku agresif, emosi
yang labil.Mereka juga sering menunjukkan gejala depresi, jati diri yang rendah,
kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya,
menjadi bersifat keras, gangguan stress pascatrauma dan terlibat dalam penggunaan
zat adiktif. Mereka juga berupaya menutupi luka yang dderitanya dan tetap bungkam
merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam.
Mungkin juga kan mengalami kelambatan dalam tahap perkembanganya, sering
mengalami kesulitan dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukkan
tingkah laku menyakiti diri sendiri bahkan tingkah laku bunuh diri.
4.3.4 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban AA
Dampak kekerasan seksual yang dialami korban SN adalah dampak perilaku,
dampak kognisi.
Secara teoritis, anak yang menjadi korban tindak kekerasan bisa saja
mengalami luka fsik yang ringan sampai yang serius, tetapi tak jarang terjadi
penderitaan itu melukai ruang psikologis anak dan menimbulkan rasa traumatis yang
mendalam akibat ulah orang dewasa yang sebelumnya sama sekali tidak pernah
mereka bayangkan, seperti mimpi buruk. Ia datang begitu saja tanpa permisi dan
tiba-tiba anak akan menjadi seorang pesakitan yang sama sekali tidak berdaya dan tak
kuasa untuk mengelak dari siksaan dan nista yang menderanya, Cuma bedanya adalah
mimpi buruk akan menguap dan terlupakan tatkala si anak bangun dari tidurnya.
Tetapi, tindak kekerasan yang dialami anak-anak dalam kehidupan nyata biasanya
tetap membekas sepanjang waktu dan bahkan akan menimbulkan luka traumatis yang
benar-benar mendalam anak menjadi inferor, frustasi, ketakutan, dan biasanya
memilih berdiam diri menahan penderitaan yang selalu membayang di kepalanya.
Mereka mungkin juga berupaya menutupi luka yang dideritanya dan tetap bungkam
merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam.
Mungkin juga akan mengalami kelambatan dalam tahap perkembangannya, sering
mengalami kesulitan dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukkan
tingkah lakumenyakiti diri sendiri bahkan tingkah laku bunuh diri.
4.3.5 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban FA
Dampak kekerasan seksual yang dialami korban FA adalah dampak perilaku,
dampak fisik dan dampak kesehatan reproduksi
“…aku hamil, gak boleh sekolah lagi, pengen aborsi gak dikasi mamak”