4.3 Dampak Kekerasan Seksual
4.3.1 Dampak Kekerasan Seksual Pada Informan Korban NA
Dampak kekerasan seksual yang dialami korban NA adalah dampak perilaku, dampak fisik dan dampak kognisi.
” …M masukkan burungnya ke nunuk ku berdarah terus di lap pakek daun, setelah itu kalau jalan sakit, gak bisa tidur, takut lihat abang-abang”
Pada kekerasan seksual bisa terjadi luka memar, rasa sakit, gatal-gatal di daerah kemaluan, perdarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina. Sering pula didapati korban menunjukkan gejala sulit untuk berjalan atau duduk dan terkena infeksi saluran kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan. Secara lebih terperinci dampak yang dialami anak-anak yang mengalami kekerasan adalah kurangnya motivasi/harga diri, problem kesehatan mental seperti kecemasan berlebihan, problem dalam hal makan, susah tidur, mimpi buruk, menarik diri dari lingkungan kesehatan fisik yaitu sakit yang serius dan luka parah sampai cacat permanen patah tulang, radang karena infeksi dan mata lebah, problem kesehatan seksual misalnya mengalami kerusakan organ reproduksinya, kehamilan yang tidak dinginkan, ketularan penyakit menular seksual (Suyanto, 2010)
“…sering main dikamar sama teman-temannya, main kawin-kawinan, terus kalau saya mandikan NA selalu bilang, mamak ini kayak bang M lha (pelaku)”
(S(ibu NA)) “…sebelum pindah kesini SN orangnya sangat ceria, pemberani tapi sekarang anak saya seperti orang ketakutan, selalu teringat-ingat seperti abangnya mencium SN bilang abang ini kayak M.
(S(ibu SN))
Kekerasan seksual secara umum meningkatkan resiko penularan HIV karena perlindungan umumnya tidak digunakan dan sering menjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.Kerentanan perempuan tertular HIV/AIDS ini juga karena struktur bioligis perempuan terutama organ reproduksinya yang tersembunyi dan tidak mudah terdeteksi bila ada keluhan. Selain itu juga organ reproduksi perempuan memiliki selaput mukosa yang luas, mudah luka atau iritasi,
sehingga bila terjadi penestrai oenis dengan keras atau paksaan ataupun dengan IMS (infeksi menular seksual) akan lebih memudahkan terjadinya penularan. Terlebih lagi jumlah virus HIV di dalam sperma juga lebih banyak dibandingkan jumlah virus HIV didalam cairan vagina, sehingga perempuan sebagai pihak penampung sperma lebih besar kemungkinannya untuk terinfeksi.Secara fisik memang mungkin tidak ada yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara psikis menimbulkan ketagihan, tauma bahkan pelampiasan dendam. Adapun perilaku seksual yang tidak wajar, seperti masturbasi berlebihan, mencium berlebihan, mendesakkan tubuh, tahu banyak atau melakukan aktivitas seksual terang-terangan kepada saudara atau teman atau rasa ingin tahu berlebihan untuk masalah seksual.
Anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan keliru sesuai dengan sosialisasi yang diterimanya. Misalnya, anak akan menganggap wajar perilaku orang dewasa. Menirukan tindakan yang dilakukan kepadanya, menyalahkan ibu atau orang dewasa yang mengasuhnya yang dianggapnya tidak membelanya dari hal-hal buruk yang dialaminya, menganggap diri aneh dan terlahir sial (missal sudah dikutuk untuk selalu mengalami hal buruk dan menyusahkan orang lain dan sebagainya).Pemaparan pengalaman seksual terlalu dini, juga yang terjadi salah dapat bedampak pada munculnya trauma seksual. Trauma seksual dapat ditampilkan daam dua bentuk yaitu inhibisi seksual yaitu hambatan-hambatan untuk dapat tertarik dan menikmati seks, atau justru disinhibisi seksual yaitu obsesi dan perhatian berlebihan pada aktivitas atau hal-hal terkait dengan hubungan seksual.
Hasil penelitian Fuadi (2011) didapat bahwa kekerasan seksual yang terjadi tidak sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yangtadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar obyek-obyek atau orang-orang lain. Setelah mengalami subyek bermacam-macam muncul perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal dan bingung hingga rasa tidak berdaya muncul.Pada penganiayaan seksual bisa terjadi luka memar, rasa sakit, gatal-gatal didearah kemaluan, perdarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina.Sering pula didapati korban menunjukkan gejala sulit untuk berjalan atau duduk dan terkena infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.
Berdasarkan hasil penelitian Kusumaningtyas (2013) diketahui bahwa relasi interpersonal informan dengan lingkungan sekitar kurang baik. Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual merasa takut jika peristiwa kekerasan seksual terulang kembali atau jika peristiwa tersebut diketahui oleh orang lain. Peremouan mengalami pengalaman traumatic maka akan muncul perasaan malu adanya perasaan tertekan disertai dengan emosi yang tidak menyenangkan sepeti rasa cemas dan ketidakberdayaan. Perempuan akan sulit melakukan penyesuaian dengan orang-orang disekitarnya karena merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang-orang yang tidak memiliki pengalaman pahit seperti dirinya. Korban juga mempunyai harapan-harapan yang ingin di wujudkan untuk masa depannya.Selain itu juga mempunyai pengalaman masa lalu yang tidak ingin kejadian tersebut terulang kembali dengan lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupannya sekarang. Seseorang yang
mempunyai rasa ketearahan dalam hidup mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka individu tersebut dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik, sebaliknya seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan hidup yang ingin di capai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seseorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefinisikan kesehatan mental.