Pada pertemuan pertama peneliti melakukan observasi terhadap kondisi keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya, saat itu FA tinggal bersama ibu, ayah tiri, adik-adiknya, nenek dan anaknya disebuah rumah semi permanen terdiri dari 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga hanya terdiri dari 1 buah lemari, 1 buah dan 1 buah Kipas angin, 3 kamar tidur, 1 kamar mandi. Ayah FA sudah lama meninggal dunia karena sakit, sehingga ibu FA menjadi kepala rumah tangga yang memenuhi kebutuhan
keluarga.Ibu FA menikah lagi dengan temannya di tempat kerja.Ibu FA seorang buruh pabrik yang bekerja dari pagi hingga sore hari, hal ini yang menyebabkan kurangnya perhatian orangtua kepada FA.
FA mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya sendiri, sehingga FA sekarang memiliki seorang anak yang berusia 3 bulan. Kekerasan seksual yang terjadi sebanyak 4 kali pada saat sedang berpacaran.Ketika pacar korban mengajak korban untuk mengunjungi rumah keluarganya di malam hari, seperti yang sudah di rencanakan oleh pelaku, pada saat mereka datang, keluarga yang mempunyai rumah minta izin keluar rumah, sehingga di dalam rumah hanya ada korban dan pelaku. Pada saat di dapur pelaku mencium dan meraba payudara FA sehingga FA mengikuti apa yang diinginkan oleh pacarnya sehingga mereka melakukan hubungan suami istri, FA menerima semua perlakuan pacarnya karena berjanji bertanggung jawab untuk menikahi korban dan ketidaktahuannya tentang dampak yang terjadi seperti kehamilan. Kejadian pertama dan kedua pacar FA tidak mengeluarkan sperma di dalam vagina FA melainkan di perut FA, ketiga dan keempat pacar FA mengeluarkan sperma didalam vagina FA sehingga beberapa bulan kemudian perut FA semakin membesar. Awalnya FA tidak menyadari dirinya hamil, tetapi pada saat ibu korban menanyakan sudah halangan atau belum, FA kemudian kepikiran dan bertanya kepada teman-temannya di sekolah bahwa dia sudah 3 bulan tidak dapat haid, kemudian teman FA mengatakan kemungkinan dia hamil, ibu FA sebenarnya sudah curiga setelah FA tidak haid selama 3 bulan di tambah lagi, setiap pulang ke rumah selalu di atas jam 1 malam ketika pergi dengan pelaku, setelah mengetahui FA hamil,
ibu FA membawanya keklinik bidan, bidan menyatakan positif hamil dan akhirnya FA harus keluar dari sekolah, pada saat kejadian FA masih bersekolah di SMA Swasta di Batang Kuis.
Ketika peneliti bertanya pada FA apakah pada saat itu ada niat untuk aborsi, FA menjawab iya, alasannya karena pacarnya tidak bertanggung jawab dan mereka berbeda agama.Sikap pacarnya yang tidak mau bertanggung jawab menyebabkan keluarga FA membuat laporan ke Polres Deli Serdang sehingga pacar FA di tahan sampai saat ini.
Pada saat kehamilan FA tidak mengalami keluhan apapun termasuk mual dan muntah, begitupun pada saat persalinan, persalinan berjalan lancar tanpa penyulit tetapi berat badan lahir bayi FA 2700 gr. Kebutuhan sehari-hari FA dan anaknya dipenuhi oleh ibu FA yang bekerja sebagai buruh pabrik hari pagi hingga sore hari.
Kekerasan seksual yang dialami oleh FA adalah kekerasan seksual yang melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan memasukkan alat organ genital pelaku ke mulut korban FA dan penestasi terhadap alat organ genital korban FA oleh pelaku.
“…pacar saya mencium saya dan meraba payudara saya, saya mengikuti saja sampai kami melakukan hubungan suami istri”
(FA)
Kekerasan seksual terhadap perempun pada dasarnya adalah segala tindakan kekerasan verbal atau fsik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang diarahkan pada seseorang perempuan , apakah masih anak-ana atau sudah dewasa yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan, atau perampasan kebebasan
dan melanggengkan sub ordinasi perempuan. Kekerasan seksual, dengan demikian tidak hanya terbatas pada hal yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup banyak perilaku lainnya misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga kalau kita berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh pada inti kekerasan dan pemaksaan, tidak hanya perilaku yang keras dan menekan. Kekerasan seksual jika diartikan sempit sebagai perilaku yang keras dan menekan, maka apabila banyak kejadian kekerasan seksual yang lepas dari tuntutan pengadilan.Tersangka kasus perkosaan banyak yang lolos dari tuntutan hanya karena korba dituduh sebaga pihak ikut menikmati peristiwa laknat yang menimpanya itu.
“…pacar saya janji mau tanggung jawab, mau nikahi saya”
(AA)
Bahaya yang mengancam anak-anak ternyata bukan dari orang lain atau para penjahat professional yang tidak dikenal korban, tetapi justru ancaman itu kerap kal muncul dari orang-orang yang dekat dengan korban, atau bahkan orang-orang yang semula diharapkan dapat menjaga tempat berlindung. Ayah atau ibu korban, misalnya mungkin sulit dinalar akal sehat akan tega menganiaya anak-anaknya, entah itu menempeleng, memerkosa atau membunuh darah dagingnya sendiri. Tetapi, karena sedang kalap, bingung, mengalam tekanan yang bertubi-tubi, malu atau karena faktor lainnya. Dari berbagai media massa bahwa tindak kekerasan seksual yang dilakukan para remaja umumnya terjadi karena pengaruh film biru yang sering mereka tonton di video atau film semi porno yang diputar di gedung bioskop atau
VCD. Hasrat untuk melakukan berbagai adegan seks seperti yang pernah mereka nikmati dilayar lebar atau video CD serta berbagai ilusi yang diciptakan dalam bayangan saat menikmati keindahan tubuh wanita seakan muncul bersamaan dengan stimulus atau rangsangan yang menerpa mereka. Tragisnya korban perkosaan yang terjadi umumnya adalah anak-anak yang telah mereka ketahui atau amati dan mereka kenal sebelumnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa terjadinya tindak kekerasan dalam bentuk perkosaan terhadap anak-anak sering terjadi di aantara mereka yang saling bertetangga atau orang lain dan sebelumnya mereka telah mengetahui atau mengenalnya.
Tinggi dan kompleksnya kasus perkosaan terhadap anak perempuan kiranya mengisyaratkan pentingnya kehati-hatian yang lebih besar dari anak perempuan.Perkosaan, tidak harus dalam bentuk paksaan, tetapi bisa juga melalui suatu hubungan harmonis yang didalamnya terdapat sejumlah manipulasi.Relasi manipulasi dari hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, pada umumnya berlindung dibalik slogan “mau sama mau, suka sama suka”.Slogan itu pula yang menjadi alat efektif untuk menepis segala resiko yang muncul atas relasi seksual yang terjadi. Relasi seksual yang terjadi pada saat berkencan dengan cara manipulative ini disebut dating rape. Ada beberapa tahap yang patut diwaspadai sebagai proses menuju perkosaan, yaitu: ajakan pergi jalan-jalan dengan bergandengan tangan, ajakan pergi naik sepeda motor dengan tangan dililitkan di pinggang, ajakan nonton film dan berkesempatan melakukan rabaan dan ciuman, ajakan pergi ke tempat rekreasi dan mungkin penginapanyang dilanjutkan dengan
persetubuhan dan bila terjadi kehamilan, laki-laki yang bersangkutan melarikan diri dan tidak bertanggung jawab.
“…kejadiannya pacar saya bawa saya ke rumah keluarganya di tanjung morawa pada malam hari”
(FA)
Anak-anak (perempuan) merupakan korban potensial bagai terjadinya kejahatan seksual karena faktor kebejatan mental si pelaku, secara psikis dan fisik anak-anak umumnya memang sangat rentan dan mudah menjadi korban dari tindak perkosaan. Studi yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Airlangga di Jawa Timur (1992), menemukan mayoritas terjadinya tindak kekerasan seksual umumnya terjadi karena adanya ancaman dan paksaan (66,3%). Namun, sebagain pemerkosa biasanya mencoba menaklukkan korban dengan cara bujuk rayu (22,5%) atau dengan menggunakan obat bius (5,1%). Dengan bujuk rayu berupa janji akan diberi uang seribu, lima ribu rupiah atau iming-iming permanen saja itu semua acap kali sudah manjur untuk memikt hati si anak dan kemudian memperdaya mereka hingga dilakukan pencabulan atau serangan seksual (Suyanto, 2010).
Dari hasil penelitian informan korban NA, SN, CA, AA dengan pelaku yang sama mengalami kekerasan seksual dengan sentuhan yaitu pemaksaan oral seks, pemerkosaan/pencabulan, ciuman dan rabaan. Korban mengenal pelaku karena sering berada disekitar lingkungan tempat tinggal korban dan baik kepada mereka karena selalu mengiming-imingkan uang.Para korban tidak berani memberitahukan kepada orang tua mereka karena takut ancaman dari pelaku.Sedangkan informan korban FA mengalami kekerasan seksual dengan pacarnya sendiri yaitu dengan
pemerkosaan/pencabulan. Korban FA menerima semua perlakuan pacarnya karena dijanjikan bertanggung jawab untuk menikahi korban dan ketidaktahuan korban tentang dampak yang akan terjadi.