• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proceeding Seminar Pelecehan Seksual dan Kekerasan Pada Anak 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proceeding Seminar Pelecehan Seksual dan Kekerasan Pada Anak 2014"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SEMINAR NASIONAL BIMBINGAN DAN KONSELING FIP – UNNES 2014 Kekerasan dan Pelecehan Seksual Pada Siswa (Strategi dan Penanganannya)

ii

Ketua

: Prof. Dr. Sugiyo, M.Si

Anggota : 1. Drs. Eko Nusantoro, M.Pd., Kons

2. Dr. Catharina Tri Anni., M.Pd

3. Dr. Awalya, M.Pd., Kons.

4. Kusnarto Kurniawan, M.Pd., Kons.

5. Edwindha Prafitra N., S.Pd., Kons.

PROCEEDING

Pelecehan Seksual dan Kekerasan Pada Siswa

(Strategi dan Penanganannya)

ISBN 968-603-14132-1-0

@ 2014, Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES

Diterbitkan oleh:

Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES

Alamat

: Gd. A2 Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229

Telp/fax : (024) 8508019

(3)

SEMINAR NASIONAL BIMBINGAN DAN KONSELING FIP – UNNES 2014

iii

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat Berkat dan Rahmat serta karunia-Nya, sehingga penyusunan proseding ini

dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Panitia bersyukur bahwa proseing ini

dapat hadir di hadapan para pembaca yang budiman. Ide dasar penyusunan

proseding makalah seminar nasional Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Semarang adalah sebagai rasa tanggung jawab

akademik dan professional untuk menumbuh kembangkan kualitas pelayanan

konseling agar mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas serta

kemajuan profesi bimbingan dan konseling di Indonesia.

Pada seminar nasional Bimbingan dan Konseling kali ini mengambil tema

Pelecehan Seksual dan Kekerasan Pada Siswa (Strategi dan Penanganannya)

.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyamakan persepsi tentang posisi dan

peran guru dan tenaga pendidik lainya dalam perlindungan anak baik strategi dan

penangan berbagai macam kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada siswa.

Sebagai upaya tindak lanjut dari kegiatan ini, maka artikel yang masuk dalam

kegiatan seminar ini dipublikasikan dalam bentuk proseding agar selanjutnya

dapat dengan mudah dibaca oleh banyak kalangan. Dalam proseding ini terdapat

17 artikel atau makalah yang terdiri dari 2 bagian yaitu makalah dari pembicara

utama dan makalah yang bersumber dari para kontributor.

Terselenggaraanya seminar nasional ini sampai tersusunnya prosiding ini

berkat kerja sama dengan berbagai pihk. Oleh karenanya penyunting bermaksud

menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak:

1. Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Negeri Semarang yang telah mendukung dan berpartisipasi aktif dalam

kegiatan seminar nasional.

2. Para partisipan yang telah menyumbangkan ide dan gagasannya dalam

artikel yang ada guna mendukung kegiatan seminar dan kemajuan

pelayanan serta profesi bimbingan dan konseling.

3. Redaksi dan penyunting yang telah bekerja keras sehingga prosiding

(4)

SEMINAR NASIONAL BIMBINGAN DAN KONSELING FIP – UNNES 2014 Kekerasan dan Pelecehan Seksual Pada Siswa (Strategi dan Penanganannya)

iv

Penyunting menyadari masih terdapat kekurangan di sana-sini baik dari

penyelenggaraan seminar maupun prosiding ini. Oleh karena itu diharapkan

balikan, diskusi dan ulasan yang membangun dari berbagai pihak.

Semarang, November 2014

(5)

SEMINAR NASIONAL BIMBINGAN DAN KONSELING FIP – UNNES 2014

v

Halaman Judul... i

Susunan Tim Penyunting ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi

BAB I

...

v

Peran Guru Bimbingan dan Konseling dalam Upaya Pencegahan

dan Penanganan Kasus Kekerasan dan Pelecehan Seksual di

Sekolah ...

1

Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons

BAB II

Menyiapkan Generasi Emas Terlindung Dari Kekerasan dan

Pelecehan Seksual ... 13

Dr. Titik Haryati, M.Pd.

BAB III

Tindakan Kekerasan Terhadap Anak (Suatu Tinjauan Bimbingan

dan Konseling Islami) ... 18

Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd.

BAB IV

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Pelecehan Seksual

Pada Anak ... 22

Atik Siti Maryam, M. Pd., Kons.

BAB V

Konseling Berpusat Pada Klien Untuk Remaja Korban

Eksploitasi Seksual Komersial (ESKA) ... 34

Elisabeth Christiana, S.Pd.,M.Pd.

BAB VI

Terapi Bermain Untuk Anak Pasca Kekerasan ... 40

Isabella Hasiana, S.Psi.,M.Psi.,Psi.

BAB VII Sikap Positif Terhadap Pendidikan Seksual Dapat Mencegah

Pelecehan Seksual dan Kekerasan Pada Siswa ... 48

Ismah, S.Ag., M.Pd.

BAB VIII Bimbingan Keluarga Sebagai Upaya Pencegahan Kekerasan Pada

Anak ... 57

Siti Fitriana, S.Pd., M.Pd.,Kons.

BAB IX

Layanan KPB-KC dengan Pendekatan Religius Untuk Mengatasi

Kekerasan dan Pelecehan Seksual Siswa Di Sekolah ... 62

Mochammad Yusuf Hasyim, S.Pd., M.Si., Kons

BAB X

Studi Kasus Fobia dengan Pendekatan Hipnoterapi ... 66

Renie Tri H., S.Psi., M.Pd dan Hastin Budisiwi, S.Psi., M.Pd

BAB XI

Bimbingan Kelompok Untuk Menanamkan Rasa Tanggungjawab

dan Sportivitas Pada Usia Dini dalam Membentuk Karakter

(6)

SEMINAR NASIONAL BIMBINGAN DAN KONSELING FIP – UNNES 2014 Kekerasan dan Pelecehan Seksual Pada Siswa (Strategi dan Penanganannya)

vi

BAB XII Tindakan Penyimpangan Aborsi Pada Remaja ... 79

Suhendri, S.Pd., M.Pd., Kons.

BAB XIII Pemahaman Model Interaksi Antar Faktor Sebagai Dasar Analisis

Anak Beresiko dan Anak Lentur ... 84

Yustinus Windrawanto, S.Pd., M.Pd.

BAB XIV Coping-skill dan Dukungan Sosial Untuk Membantu Anak-Anak

Korban Kekerasan ... 91

Abdul Kholiq

BAB XV Pendidikan Seks Sebagai Upaya Menghindari Pelecehan Seksual

Pada Remaja ... 98

Farida, M.Si

BAB XVI Urgensi Kompetensi Kepribadian Konselor Dalam

Mencegah Kekerasan Seksual Pada Siswa... 105

Ulya Makhmudah, S.Pd.,M.Pd.

BAB XVII Pendidikan Karakter Sebagai Strategi Antisipasi Terhadap

Tindakan Pelecehan Dan Kekerasanseksual Pada Siswa ... 110

Dra. Ch.Retnaningsih, M.Pd.

BAB XVIII Menghindarkan Anak Dari Kekerasan Demi Masa Depan

Yang Sejahtera ... 116

Sri Asih Teguh Rahayu, S.Psikologi.

BAB XIX Play Therapy Art Expression Media Menggambar Untuk

Mengurangi Stress Anak Jalanan Korban Pelecahan Seksual ... 124

Zakki Nurul A, S.Pd. dan Edwindha Prafitra N, S.Pd., Kons.

BAB XX Peer Group Sebagai Social Support Dalam Mencegah Kekerasan

Dan Pelecehan Seksual Bagi Anak Jalanan ... 131

Muslikah, S.Pd, M.Pd.

(7)

KASUS KEKERASAN DAN PELECEHAN SEKSUAL DI SEKOLAH

Prof.Dr.H.Mungin Eddy Wibowo,M.Pd.,Kons.

Guru Besar Bimbingan dan Konseling UNNES,

Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia

ISBN 968-602-14132-1-0 Pendahuluan

Merebaknya berita di media massa ten-tang kekerasan dan pelecehan seksual yang ter-jadi pada anak-anak dan remaja membuat geli-sah bagi orang tua yang mempunyai anak yang masih belum dewasa dan juga menjadi perhatian dan pembahasan bagi para pakar pendidikan, pakar konseling,pakar psikologi, dan juga pakar hukum. Sejumlah kekerasan seksual pada anak merebak di sejumlah wilayah di tanah air. Setelah kasus JIS, mengemuka kasus Emon di Sukabumi, dan sejumlah tempat lainnya.

Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perem-puan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus keke-rasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelom-pok bersenjata/aparat-penduduk sipil.

Komisi Nasional Perempuan mencatat da-lam waktu tiga belas tahun terakhir kasus keke-rasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempu-an yperempu-ang dilaporkperempu-an (400.939). Artinya setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksu-al. Data ini merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban, pemantauan

Komnas Perempuan tentang pengalaman ke-kerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh, Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan, Kebenaran dan RekonsiliasiTimor Leste CAVR).

Problem kekerasan dan pelecehan seksual pada anak dan remaja merupakan masalah kita bersama. Problem ini bukan suatu masalah yang timbul dalam lingkup yang kecil, tetapi hampir terjadi di kota-kota besar, kota-kota kecil, di se-kolah maupun di luar sese-kolah. Problem ini tidak hanya menjadi masalah lokal, tetapi juga menjadi masalah nasional yang perlu mendapat perhatian dan penanganan secara serius oleh para pendidik baik di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Di sekolah tentunya oleh guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling atau konselor yang mempunyai tanggung jawab untuk mem-bantu peserta didik mencapai perkembangan optimal dan kemandirian, melalui layanan pem-belajaran dan layanan konseling. Konselor me-lalui kegiatan konseling sangat beruguna dalam mencegah dan mengatasi masalahnya dengan menemukan cara-cara baru untuk beradaptasi disepanjang perjalanan perkembangan diri yang harus dilalui dalam kehidupannya. Konselor se-bagai tenaga profesional dalam bidang konseling mempunyai peranan penting dalam membantu individu-individu agar terhindar dan dapat men-gatasi masalah-masalah kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa dirinya. Pertanyaan “ Ba-gaimanakah peranan konselor dalam upaya pen-cegahan dan penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dibahas berikut ini.

Remaja Beresiko

Setiap remaja adalah seorang individu

Alamat korespondensi:

(8)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

2 dengan sikap, keyakinan, konstrak, perilaku,dan respons uniknya masing-masing dalam mengha-dapi tantangan yang dihamengha-dapinya. Masa remaja menghadirkan begitu banyak tantangan, kare-na banyaknya perubahan yang harus dihadapi mulai dari perubahan fisik, biologis, psikologis, dan juga sosial. Proses-proses perubahan penting akan terjadi pada diri anak muda jika perubahan-perubahan ini mampu dihadapi secara adaptif dengan sukses. Ketika seorang anak muda tidak mampu berhadapan dan mengatasi tantangan pe-rubahan ini secara sukses, akan muncul berbagai konsekuensi psikologis, emosional, dan perilaku yang merugikan.

Perkembangan anak muda dapat dipaha-mi dalam pengertian beberapa tantangan yang pasti muncul, yaitu tantangan biologis, tantangan kognitif, tantangan psikologis, tantangan sosial, dan tantangan moral dan psiritual (Kathryn & David,2010). Masa remaja adalah waktu untuk melakukan eksperimen dan mencoba berbagai perilaku baru dalam merespons berbagai situasi baru. Hal ini cukup berisiko, namun anak muda secara inheren rentan untuk terlibat dalam ke-giatan yang penuh risiko dan berlebihan, karena mereka sering kali memiliki keyakinan egosentris bahwa yang harus dihadapi anak muda.

Remaja, di puncak kemudaan, kecantikan, dan berenergi, mereka adalah mahluk yang san-gat seksual. Mereka telah siap secara fisik, mes-kipun belum tentu secara emosional, untuk ber-hubungan seksual. Perilaku seksual di kalangan remaja mungkin terjadi di dalam konteks-konteks yang berisiko, dilakukan tanpa pertimbangan yang baik, atau benar-benar berbahaya—misal-nya di bawah pengaruh obat atau alkohol, di dalam situasi tertekan karena adanya kekerasan dan pemerkosaan yang menimbulkan masalah fisik dan emosional. Risiko-risiko emosional dan sosial yang berkaitan dengan aktivitas seksual yang kasar, dipaksakan, atau disesali dan/atau tidak sesuai dengan ekspektasi dalam kaitannya dengan hasil hubungan.

Kekerasan juga sering terjadi pada anak-anak dan remaja yang dianggap lemah oleh pi-hak-pihak yang menunjukkan dirinya kuat den-gan melakukan perlakuan-perlakuan yang dapat menimbulkan kerugian pada diri anak dan rema-ja baik dari segi fisik, psikis, sosial dan spiritual. Kekerasan terjadi ketika satu pihak atau banyak pihak menyelesaikan konflik dengan cara nang-kalah. Konflik terjadi ketika seseorang me-rasakan orang lain mengusik atau mengganggu langkah menuju pencapaian kebutuhan tertentu (Corcoran &Mallinekrodt,2000,p.474).

Kekerasan dan pelecehan seksual pada

saat sekarang marak terjadi baik dilakukan di luar sekolah maupun di sekolah oleh orang-orang yang yang merasa dirinya memiliki kekuatan dan/ atau kekuasaan untuk memaksakan dirinya melakukan tindakan kekerasan dan pemerkosaan seksual yang tidak sesuai dengan ekspektasi hasil hubungan bagi orang-orang yang lemah. Pelece-han seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau re-maja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menam-pilkan pornografi untuk anak, melakukan hu-bungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (ke-cuali dalam konteks non-seksual seperti peme-riksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.

Efek Kekerasan

SPerilaku kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang tua, remaja, kepada anak-anak atau orang yang dianggap lemah khususnya anak perempuan, mengakibatkan kerusakan pada anak-anak atau yang dikenai perlakuan ke-kerasan. Patut disayangkan bahwa ketika orang tua, atau orang yang melakukan kekerasan se-bagai tindakan maladaptif dan anti sosial, me-reka meningkatkan kemungkinan bahwa anak mereka atau orang yang dikenai kekerasan akan melakukan tindakan serupa. Sebagaimana sering kali dipertunjukkan, perilaku kriminal dan adiksi terhadap alkohol pada orangtua, terutama ayah, terkait dengan perilaku anti-sosial pada anak muda (West,1982). Dengan demikian sikap tidak bertanggung jawab yang diparktikkan orang tua akan menghasilkan perilaku agresif dan anti-sosial yang diturunkan secara turun-temurun da-lam sebuah keluarga.

(9)

terutama kekerasan emosi dan psikologi adalah agresi, kejahatan, dan bunuh diri, selain ganggu-an kognitif, akademis, dganggu-an psikologis pada diri anak (McWey,2004). Kekerasan pada anak juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap peri-laku anak setelah dewasa, yang bersifat seumur hidup (Elam & Kleist,1999). Orang dewasa yang mengalami kekerasan semasa kanak-kanak cen-derung kurang puas dengan kehidupannya, dan rentan terhadap sejumlah kelainan termasuk ke-lainan perilaku, keke-lainan kognitif, dan efktif ter-masuk depresi dan harga diri rendah (May,2005). Meskipun demikian, tidak ada hubungan sebab-akibat antara kekerasan dengan gejala-gejala fisik yang muncul setelah dewasa (Mullen dkk,2995).

Kekerasan emosional sering terjadi bersama dengan jenis kekerasan lain. McGee,dkk.,(1977) menguji persepsi anak muda tentang perlakuan buruk, termasuk kekerasan emosional, kekerasan fisik, kekerasn seksual, pengabaian, dan menga-lami kekerasan dalam keluarga. Dari berbagai jenis kekerasan ini, anak muda dalam studi ini melaporkan kekerasan emosional sebagai jenis perlakuan buruk yang paling kuat.

Beberapa orang tua mementingkan kebu-tuhan mereka sendiri terlebih dahulu justru ke-tika anak-anak atau anak muda membutuhkan bantuan, persetujuan, dan dorongan mereka pada perilaku positif. Melakukan hal semacam ini be-rarti para orang tua ini lalai untuk menghadirkan diri mereka secara emosional pada anak-anak mereka. Hal ini termasuk perlakuan buruk atau kekerasan. Ketika anak-anak menapaki remaja, mereka cenderung memiliki masalah-masalah yang tidak terselesaikan dalam kaitannya dengan kebutuhan emosional mereka. Sebagai contoh, mereka bisa terlibat dalam kegiatan penyalahgu-naan obat-obatan terlarang, berkelompok dengan teman sebaya yang terlibat dalam perilaku ke-nakalan berisiko yang “menantang”, melakukan kekerasan seksual dan perilaku maladaptif serta anti sosial lainnya.

Kekerasan fisik yang terjadi pada anak-anak pasti akan membawa luka psikologis ke masa remajanya. Pada banyak kasus, mereka tidak hanya harus berhadapan dengan pengala-man menyakitkan dari masa lalu, tetapi juga ber-hadapan dengan berlanjutnya kekerasan dalam hidupnya setelah itu. Dinamika penting dalam kekerasan fisik adalah masalah kekuasaan dan kontrol. Sebagai konsekuensinya, anak muda yang pernah mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya akan cenderung memiliki perasaan emosional kuat yang tidak terselesaikan seputar masalah kekuasaan dan kontrol.

Orang tua yang cenderung melakukan

ke-kerasan memiliki beberapa karakteristik umum seperti tidak mau bertanggung jawab atas perila-ku mereka, menyalahkan anak-anaknya, beriskap tidak konsisten, tidak memiliki keserasian antara ucapan dan perbuatan, memerlukan memiliki ke-kuasaan atas anak-anaknya, tidak mempercayai anak-anaknya, egois, dan mementingkan kebu-tuhan mereka sendiri. Mereka cenderung men-gulangi kekerasan yang mereka lakukan secara kompulsif (McEvoy & Erickson,1990).

Salah satu bentuk kekerasan anak yang ber-langsung perlahan-lahan adalah kekerasan seksu-al di masa kanak-kanak. Tipe kekerasan ini men-cakup sentuhan yang tidak diinginkan (misalnya belaian yang tidak senonoh), komentar berbau seksual, mendapat kepuasan sek dengan melihat orang lain telanjang atau berhubungan seksual, hubungan seks, seks oral, dan pornografi (Cobia Sobansky & Ingram,2004;Elam & Kleist,1999). Tragisnya kekerasan seksual sering terjadi. Efek jangka panjangnya biasanya merusak tanpa me-mandang apakah korban kekerasan seksual itu laki-laki atau perempuan, heteroseksual atau mo-hoseksual (Hunter,2006). Jika kekerasan seksual terjadi pada masa kanak-kanak, sering menim-bulkan distres, trauma akut, dan bahkan kelaian stres pascatrauma.

Kekerasan seksual yang terjadi selama masa kanak-kanak telah secara luas didokumen-tasikan sebagai sesuatu yang berkontribusi pada permasalahan penyesuaian diri anak muda atau orang dewasa. Lebih lanjut, kekerasan seksual sebelum masa remaja akan berkontribusi pada risiko kenakalan pada anak muda (Widon,1994). Berbagai studi yang meneliti efek jangka pen-dek kekerasan seksual pada masa kanak-kanak mengindikasikan bahwa depresi dan kecemasan merupakan gejala umum yang dijumpai. Korban kekerasan seksual juga bisa menderita gangguan lain yang bisa berlanjut hingga ke masa remaja, yang mencakup perilaku yang berkonotasi seksu-al, mimpi buruk, penarikan diri dari masyarakat, isolasi diri, gangguan tidur, kemarahan, perilaku agresif, masalah somatis, kesulitan dalam men-gikuti pelajaran di sekolah.

(10)

bu-Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

4 nuh diri (Vander May & Meff,1982; Bagley,dkk., 1977).

M. Garnefski & R. Diekstra (1996) mene-mukan bahwa anak laki-laki yang mengalami ke-kerasan seksual lebih memiliki masalah emosio-nal dan behavioral, termasuk perilaku bunuh diri, daripada korban anak perempuan. Penelitian mereka mengindikasikan kemungkinan adanya perbedaan gender dalam cara anak muda meres-pons kekerasan seksual yang mereka alami. Re-maja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung memiliki perasaan inferior atau rasa jijik terhadap feminitasatau seksualitas mereka. Hal ini akan menyebabkan kecemasan terhadap berat badan, bentuk tubuh, dan ukuran tubuh mereka (Oppenheimer,dkk.,1985). Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bahwa banyak remaja perempuanyang menjadi korban keke-rasan seksual menceritakan gangguan citra tubuh mereka, melihat diri mereka menjadi gendut, je-lek, dan tidak berharga. Banyak diantara mereka mengalami gangguan makan (Hall,dkk,1989). Dengan demikian jelas bahwa kekerasan seksual semasa kanak-kanak berkaitan dengan gangguan citra tubuh.

Tidak jarang anak-anak menjadi korban kekerasan seksual oleh seseorang yang mereka kenal dan percayai. Kekerasan seperti ini bisa berlangsung hingga beberapa tahun dan sering kali masih berlanjut hingga mereka menginjak masa remaja. Menurut A.Alexander & R. Kempe (1984),jenis kekerasan seksual yang paling serius adalah inses antara ayah dan anak perempuan-nya tiriperempuan-nya. Sangat menyedihkan bahwa akibat dari situasi semacam ini bagi anak muda yang menjadi korban kekerasan seksual adalah menu-tup diri atau lari dari keluarganya. Anak muda tersebut bisa kemudian berhenti sekolah, terlibat dalam aktivitas seksual yang sangat bebas, men-galami kesulitan menjalin hubungan cinta yang serius dengan seseorang dalam kehidupannya ke-lak. Beberapa diantara mereka menceburkan diri ke dalam praktik prostitusi. Patut disayangkan bahwa anak muda yang memiliki sejarah keke-rasan seksual semasa kanak-kanak tidak hanya merasa dirinya sebagai korban, tetapi berisiko melakukan hal yang serupa pada orang lain, dan juga melakukan aktivitas seksual yang merugikan diri mereka sendiri

Pada umumnya, kekerasan seksual pada anak tidak banyak dilaporkan,khususnya pen-ganiayaan seksual yang menimpa anak laki-laki. Pada situasi kekerasan seksual,”sebagian besar kekerasan pada anak laki-laki dilakukan oleh pelaku yang bukan anggota keluarga, kekerasan anak perempuan pelakukan masih ada hubungan

keluarga. Kekerasan seksual dalam keluarga su-lit dideteksi dan ditentukan karena pada banyak kasus, semua pihak yang terlibat menyangkal per-buatan tersebut dan tidak melaporkannya.

Efek trauma akan terjadi pada anak muda yang menjadi korban kekerasan seksual. Ganggu-an stres pasca-trauma pada Ganggu-anak-Ganggu-anak ketika pe-ristiwa yang traumatis mengakibatkan pada anak atau cedera atau kematian orang lain yang berar-ti baginya. Salah satu bentuk trauma yang paling umum dialami anak-anak pada masa kini adalah kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya, keti-ka kekerasan dalam rumah tangga terjadi aketi-kan terdapat cidera dan kadang kematian pada orang dewasa, anak muda, atu anak-anak di rumah ter-sebut. Apalagi terjadi pada anak itu sendiri yang menjadi korban kekerasan seksual akan menga-lami trauma karena mengamenga-lami peristiwa yang tidak mengenakan dan membahayakan dirinya.

Sebagai akibat stres pasca-trauma, peristi-wa yang menimbulkan trauma baginya tersebut akan terus dialami oleh anak muda yang bersang-kutan melalui ingatan dan atau mimpi yang teru-lang kembali atau menyusup. Mereka bisa men-galami penggalan-penggalan kejadian masa lalu yang disosiatif di mana mereka bertindak atau merasa seolah-olah peristiwa itu benar-benar ter-jadi kembali. Mereka akan bisa mengalami stres berat ketika sebuah isyarat internal maupun eks-ternal yang menyerupai suatu aspek dari suatu peristiwa traumatis memicu munculnya kemba-li ingatan tentang kejadian tersebut. Oleh kare-na itu mereka akan terus menerus menghindari stimuli yang diasosiasikan dengan trauma yang mereka alami, sehingga pada akhirnya mereka akan mengalami mati rasa atau sikap dingin seca-ra umum. Mati seca-rasa ini melibatkan usaha meng-hindari pikiran atau perasaan yang berasosiasi dengan suatu trauma, ketidakmampuan untuk mengingat atau menceritakan kembali aspek-as-pek dari trauma tersebut, ketidaktertarikan atau kurangnya keterlibatan dalam berbagai aktivitas, dan perasaan terpisah atau tersisih.

(11)

lebih rentan terhadap kesulitan psikologis yang dipicu oleh peristiwa traumatis.

Peran Konselor

1. Memberdayakan dan Membudayakan Peserta Didik

Peserta didik di sekolah sebagai Individu yang berkembang mulai dari seorang anak men-jadi remaja dan setelah remaja menmen-jadi dewasa melibatkan proses perubahan yang progresif. Perubahan ini bersifat multidimensional, meli-batkan transformasi gradual atau metamorfosis pribadi sebagai seorang anak menjadi orang baru sebagai orang remaja dan kemudian menjadi orang dewasa. Selama proses ini, terjadi peru-bahan psikologis, fisiologis, biologis, dan sosial yang harus dihadapi. Proses perubahan yang ter-jadi pada diri pada setiap manusia yang sedang berkembang terjadi selama tahap kehidupan.

Selama tahap kehidupan ini, individu di-hadapkan pada berbagai tantangan moral dan spiritual, yang lazim terjadi pada kebanyakan remaja. Setiap hari individu akan dihadapkan berbagai tuntutan dan stres yang semakin banyak dihadapinya. Sebagai contoh, menemukan pe-kerjaan di dalam kondisi yang kompetitif, men-gembangkan hubungan dengan orang lain, tuntu-tan untuk self-organization, dan adaptasi dengan teknologi yang semuanya memberikan tantangan dan mereka kemungkinan besar akan dialami se-bagai sesuatu yang stresfull. Banyak individu re-maja yang mengalami kecemasan dan stres yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan pribadi di zaman ini yang sering kali mengkha-watirkan dan mengganggu.

Kita penting untuk mengakui, bahwa ada perbedaan individual, sebagian remaja mengata-si tantangan ini dengan lebih mudah dibanding yang lain. Mereka yang tidak mampu bernegoisa-si dengan tantangan yang mereka hadapi dengan sukses akan mengalami kegagalan, yang mung-kin mengakibatkan kerugian emosional dan psi-kologis. Akibat banyaknya tantangan-tantangan yang sulit dihadapi remaja, seringkali untuk per-tama kali dalam hidupnya, semua remaja seha-rusnya dianggap sebagai “individu-individu yang berisiko tinggi”.

Konselor mempunyai peranan penting da-lam membantu remaja yang rentan terhadap risi-ko dan perilaku mengambil risirisi-ko, karena ini ada-lah saada-lah satu bagian yang tak terhindarkan dari tahap perkembangan mereka. Di dalam literatur konseling, telah menjadi sesuatu yang mapan bahwa hubungan antara konselor dan klien, me-lebihi faktor lain apa pun, berkontribusi pada

ha-sil yang sukses (Lambert,1992). Konsekuensinya, agar kita dapat menangani remaja secara efektif, kita perlu membangun hubungan berasa mereka yang didasarkan pada respek, kepercayaan dan sikap tidak menghakimi. Menciptakan hubungan semacam itu memungkinkan kita untuk terlibat dalam percakapan-percakapan kolaboratif dan memiliki dialog yang partisipatorik dan timbal balik dengan mereka.

Semua remaja berada pada tahap kehidu-pan yang melibatkan cara-cara berpikir dan ber-perilaku baru agar dapat menghadapi berbagai kejadian secara adaptif. Di dalam tahap perkem-bangan ini, mereka akan terus-menerus menemui berbagai tantangan baru di sekolah, di rumah, dan bersama teman sebayanya. Tantangan-tan-tangan baru itu akan sering melibatkan berbagai risiko bagi mereka dan, disamping itu mereka kemungkinan besar akan bertindak dengan cara yang berisiko untuk memperluas pengalaman hi-dupnya dengan bereksperimen dengan perilaku-perilaku baru.

Konseling adalah proses pemberdayaan dan pembudayaan manusia yang sedang berkem-bang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun dirinya sendiri dan masyarakat. Konsekuensinya adalah proses konseling itu ha-rus mampu menyentuh dan mengendalikan ber-bagai aspek perkembangan manusia. Terkandung makna disini bahwa melalui proses konseling di-harapkan manusia berkembang ke arah bagaima-na dia harus menjadi dan berada. Jika konseling ini dipandang sebagai suatu upaya untuk mem-bantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka konseling harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Konselor sebagai pen-didik perlu memahami manusia dalam segala hal aktualisasinya, kemungkinannya, dan pemikiran-nya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi pada diri manusia.

(12)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

6 dipentingkan dalam proses konseling yang seka-ligus merupakan proses pendidikan. Untuk dapat berkembang dengan baik dan mandiri, individu memerlukan pengetahuan dan keterampilan, jas-mani dan rohani yang sehat, serta kemampuan penerapan nilai dan norma-norma hidup kema-syarakatan.

Istilah “pemberdayaan” atau empower-ment, yang akhir-akhir ini banyak digunakan, tepat dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Istilah empowerment berhubungan dengan istilah po-wer. Power dapat berarti “kekuasaan terhadap” atau dominasi terhadap (powerover). Dalam pembahasan ini yang dimaksud power dalam pengertian power to, yaitu daya kekuatan untuk berbuat; power-with, yaitu daya kekuatan untuk membangun kerja sama, dan power-within, yaitu kekuatan dalam diri pribadi manusia. Pendidikan termasuk konseling dapat dilihat sebagai empo-werment atau pemberdayaan, yaitu membantu pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan.

Pertama, konseling membantu peserta di-dik membangun power-to, yaitu daya kekuatan yang kreatif, yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek indivi-dual dari pemberdayaan, yaitu membantu seseo-rang agar memiliki kemampuan berpikir, men-guasai ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan. Kedua, konseling sebagai pemberdayaan adalah usaha untuk membantu membangun power-with, ke-kuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, konseling juga membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia. Ketiga, konseling sebagai pemberdayaan bertujuan un-tuk membangun power-within, daya kekuatan batin dalam diri peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan. Tanpa adanya harga diri, tidak mungkin manusia membangun kemampuan kreativitas-nya dalam berbagai bidang. Melalui konseling perkembangan intelektual, moral, dan emosio-nal akan terwujud dengan membangun harga diri, kepercayaan, dan harapan masa depan yang harus ditanamkan sejak dini. Pengembangan ketiga kemampuan dalam pemberdayaan akan memungkinkan manusia menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, tanpa terseret ke dalam arus konformisme.

Integrasi konseling dalam pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus mene-rus program-program konseling ke dalam

pro-gram-program sekolah (Belkin,1975; Borbers & Drury,1992); konsep-konsep dan praktek-praktek konseling merupakan bagian integral upaya pen-didikan (Mortensen & Schmuller,1964). Kegiatan konseling akan selalu terkait dengan pendidikan, karena keberadaan konseling dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendi-dikan itu sendiri. Konseling merupakan proses yang menunjang pelaksanaan pendidikan di se-kolah (Rochman Natawidjaja, 1978:30), karena program-program konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan dan karir, kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial. Hasil-hasil konseling pada kawasan itu menunjang keberhasilan pen-didikan yang bermutu pada umumnya. Dalam keadaan tertentu konseling dapat dipergunakan sebagai metode dan alat untuk mencapai tujuan program pendidikan di sekolah.

Konseling yang dilakukan oleh konselor sebagai bentuk upaya pendidikan, karena kegia-tan konseling selalu terkait dengan pendidikan dan keberadaan konseling di dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendi-dikan itu sendiri. Dahlan (1988:22) menyatakan bahwa konseling tidak dapat lepas dan melepas-kan diri dari keseluruhan rangkaian pendidimelepas-kan.. Konseling sebagai upaya pendidikan memberikan perhatian pada proses, yaitu cenderung memper-hatikan tugasnya sebagai rangkaian upaya pem-berian bantuan pada anak mencapai suatu ting-kat kehidupan yang berdasarkan pertimbangan normative, antropologis (memperhatian anak selaku manusia) dan sosio kultural. Dengan de-mikian, konseling tidak mungkin melepaskan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan. Dengan perkataan lain, pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksana-kan tugasnya

(13)

emosional, serta kematangan sosial. Hasil konse-ling dalam kawasan ini menunjang keberhasilan pendidikan umumnya.

Konseling adalah proses pembudayaan, tanpa kebudayaan manusia tidak memiliki wujud dan tidak memiliki arah. Konseling merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidu-pan individu yang sedang berkembang mencapai perkembangan optimal dan kemandirian. Kon-seling tidak mungkin terjadi dan terlepas dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat mempunyai kebudayaannnya, maka konseling merupakan suatu kegiatan budaya. Bu-daya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ter-bentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Seseorang yang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya akan menye-suaikan perbedaan-perbedaannya, dan membuk-tikan bahwa budaya itu dipelajari untuk menjadi-kan dirinya berbudaya.

Kebudayaan, entah yang bernilai positif atau negatif, menjadi milik dirinya melalui pro-ses belajar. Perilaku (budaya) kekerasan tidak muncul begitu saja tanpa melalui proses belajar. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh individu ke individu lainnya adalah hasil proses belajar. Kebudayaan (perilaku) yang mulia dan luhur, yang kini menjadi sesuatu yang langka, tidak bisa dimiliki oleh seseorang manusia tanpa belajar ke-ras dalam waktu lama.

Dalam proses pembudayaan, yang dipela-jari oleh peserta didik yang sedang berkembang pada awal proses sosialisasinya dalam kehidupan bermasyarakat akan begitu tertanam dalam jiwa sehingga sulit diubah. Oleh karena itu tepat jika pembudayaan harus dimulai pada masa kanak-kanak dan masa remaja, yaitu masa-masa seko-lah di bangku pendidikan dasar dan menengah. Revolusi mental pada dasarnya sulit ketika men-talitas jelek sudah terbentuk sejak kanak-kanak, seperti pada kasus kekerasan dan pelecehan sek-sual yang banyak terjadi pada masa sekarang ini. Masa kanak-kanak dan remaja adalah masa emas sekaligus periode rentan yang sangat kritis. Salah didalam mendidik, fatal akibatnya. Itulah sebabnya kekerasan dan pelecehan seksual banyak dilakukan oleh anak usia remaja, meski-pun juga dilakukan oleh orang-orang usia dewasa dan tua. Konselor sebagai pendidik harus mem-budayakan peserta didik di sekolah untuk menja-di manusia yang berbudaya dan berperilaku baik dalam kehidupannya bersama orang lain.

Kebudayaan bersifat insani, artinya bah-wa kebudayaan adalah hasil karya manusia, diciptakan oleh manusia, dan kebudayaan ikut membentuk manusia di dalam kehidupan serta kekaryaannya. Tanpa arah kebudayaan perilaku manusia tak terkendali, suatu chaos tindakan tanpa arah dan letupan emosi semata, pengala-man yang tidak terbentuk. Kebudayaan bukan hiasan eksistensi manusia, tetapi kondisi esensial bagi eksistensi manusia yang terjadi melalui pro-ses pendidikan. Kebudayaan merupakan ciptaan manusia, hasil dari eksternalisasi manusia, yaitu ekspresi diri manusia dalam interaksinya dengan lingkungan; kebudayaan menjadi realitas obyek-tif, yaitu realitas yang terpisah dari diri manusia dan dapat memaksakan diri pada manusia; kebu-dayaan juga merupakan kenyataan subyektif me-lalui proses internalisasi. Kebudayaan yang dicip-takan oleh manusia untuk kebahagiaan manusia.

(14)

meny-Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

8 ediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis.

Suatu usaha national healing perlu dilaku-kan dengan melakudilaku-kan geradilaku-kan revolusi mental, yang wahana utamanya melalui proses persemai-an dpersemai-an pembudayapersemai-an dalam dunia pendidikpersemai-an. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia den-gan mental-karakter yang sehat dan kuat. Untuk itu perlu adanya reorientasi dalam dunia pendi-dikan dengan menempatkan proses kebudayaan (olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga) di jantung kurikulum. Pendidikan dan kebudayaan harus dipandang sebagai proses kreatif yang tak dapat dipisahkan ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.

Konseling sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda :me-mahami diri sendiri dan me:me-mahami lingkungan-nya. Konseling harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa dirinya se-bagai “perwujudan khusus” (“diferensial”) dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari alam, setiap orang memiliki keistimewaan kecerdasan masing-masing. Proses konseling harus memban-tu peserta didik menemukenali kekhasan potensi diri tersebut, sekaligus kemampuan untuk me-nempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dari keberlangsungan jagat besar

Aktualisasi dari kesadaran ini adalah pe-mupukan keandalan khusus seseorang yang me-mungkinkan memiliki kepercayaan diri, daya tahan, daya emban, dan daya saing dalam per-juangan hidup, dengan tetap memiliki sensitivi-tasnya terhadap nilai-nilai kebudayaan yang baik, benar, dan indah. Pengenalan terhadap kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap kebersa-maan nilai-nilai kebudayaan itulah yang menjadi dasar pembentukan karakter. “Karakter” dalam arti ini adalah kecenderungan psikologis yang membentuk kerpribadian moral.

Sementara ke luar, pendidikan harus mem-beri wahana kepada peserta didik untuk menge-nali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem pe-rilaku bersama melalui olahpikir, olahrasa, olah-karsa, dan olahraga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan so-sial yang dapat menentukan apakah disposisi ka-rakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.

2. Mendorong Perilaku Mengurus Diri Sendiri Orang tua tidak selamanya mampu me-mantau perilaku anaknya apalagi perilaku remaja dari jam-ke jam dan tidak berada pada posisi di mana mereka ingin atau dapat bertanggung ja-wab untuk mengurus mereka sepanjang hari. Di samping itu, tidak pada tempatnya jika mereka melakukan itu. Konsekuensinya, anak muda di-biarkan pada posisi di mana, sampai tingkat yang cukup jauh, mereka perlu memikul tanggung ja-wab untuk mengurus diri sendiri, menjaga diri sendiri agar terbebas dari gangguan atau bahaya yang bisa menimpa dirinya terkait dengan keke-rasan seksual.

Anak muda perlu dibekali cara-cara men-gembangkan gaya hidup yang sehat, mengakses sistem-sistem sosial yang mereka butuhkan, dan memenuhi tuntutan di tempat belajar dan ber-main untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di masa sekarang dan masa akan datang. Mereka harus belajar beberapa keterampilan dasar ter-tentu dalam kehidupan sehari-hari mereka dan harus memperkuat kepribadiannya agar tidak mudah kena pengaruh hal-hal yang negatif dan mampu mengkaunter bila terjadi adanya bahaya yang akan menimpa dirinya.

Mendorong perilaku mengurus diri sendiri dimulai dengan penggunaan strategi-strategi pen-cegahan primer, seperti meneydihkan informasi publik dan bimbingan antisipatorik serta me-nawari berbagai kesempatan untuk terlibat berba-gai kegiatan pengembangan diri. Selain pembe-lajaran oleh konselor dengan layanan konseling melalui program pencegahan primer, anak muda bisa mendapatkan keterampilan-keterampilan yang mereka butuhkan untuk mengurus diri sen-diri (smelalui sejumlah cara yang berbeda mela-lui coba-coba, latihan, mengamati sebayanya dan dengan meniru orang lain yang memiliki makna penting dalam hidupnya (significant others).

Konselor melalui pelayanan konseling membantu anak muda untuk mampu (1) men-gembangkan dan memelihara sebuah sistem dukungan sosial, (2) belajar bagaimana bertang-gung jawab atas dirinya sendiri, (3) mengelola dan mengatasi stres, (4) mengurus kesejahteraan fisik dan emosionalnya, (5) memperhatikan kese-hatan psikologisnya (Kathryn Geldard:2009). (1) Mengembangkan dan memeliharan sebuah sistem dukungan sosial

(15)

mem-bangun hubungan sosial yang efektif memiliki kontribusi penting untuk mengurus diri sendiri. Anak muda yang sedang dalam proses perkem-bangan, biasanya mereka sedang memulai proses individuasi dari keluarganya, akan membantu ke-sejahteraan mereka jika mereka mampu menjadi bagian dari sebuah kelompok teman-temannya.. Karena itu mereka kurang banyak menyadarkan diri pada dukungan keluarga, mereka kemudian dapat menggantinya dengan dukungan dari te-man sebaya. Akan tetapi, untuk itu mereka mem-butuhkan berbagai keterampilan sosial.

Salah satu cara yang berguna untuk mem-bantu anak muda mengembangkan keterampilan sosial adalah melalui penggunaan kerja kelom-pok. Sebuah kelompok yang difasilitasi oleh kon-selor profesional dapat menyediakan lingkungan yang aman di mana anak muda dapat belajar melalui kegiatan-kegiatan eksperiensial tentang bagaimana mengganti perilaku-perilaku sosial yang tidak efektif dengan yang lebih efektif dan adaptif.

Konselor membantu anak muda untuk memelihara hubungan positif dengan keluarga-nya. Meskipun tahap kehidupan remaja adalah saat ketika remaja cenderung menjadi kurang bergantung kepad keluargamya, di saat-saat kri-sis mungkin akan membantu mereka untuk men-gandalkan dukungan keluarganya. Juga mengun-tungkan bagi remaja untuk belajar bagaimana mengakses sumber daya lain di luar keluarga un-tuk dukungan sosial. Hal ini mungkin termasuk para tokoh remaja, pekerja remaja, konselor se-kolah, guru, orang-orang penting lain dalam ke-hidupan mereka. Strategi-strategi konseling yang berguna untuk membangun hubungan positif da-lam dan di luar keluarganya.

Konselor membantu anak muda untuk mengembangkan batas-batas yang efektif den-gan orang lain. Sebagian anak muda mengala-mi kesulitan dalam menjaga batas-batas pribadi yang efektif, yang nyaman bagi mereka dan akan memberikan tingkat proteksi yang masuk akal. Konselor membantu anak muda melalui konse-ling untuk belajar bagaimana mengundang orang lain masuk di dalam hubungan yang lebih dekat dan bagaimana mendorong orang lain menjauh ketika hal itu dibutuhkan. Salah satu strategi psi-ko-edukasional yang berguna untuk membantu anak muda belajar bagaimana menjaga dirinya terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan per-masalahan bagi dirinya, misalnya kekerasn sek-sual.

(2) Belajar bagaimana bertanggung jawab atas dirinya sendiri

Konselor membantu anak muda untuk

be-lajar bagaimana memikul tanggung jawab yang lebih besar atas tindakan mereka dan mengont-rol kehidupannya. Salah satu pesan penting yang perlu disampaikan di dalam program-program pencegahan primer dan ketika melakukan konse-ling anak muda (remaja) adalah bahwa penyalah-kan adalah tindapenyalah-kan yang tidak menolong—lebih penting bagi remaja untuk memegang kendali atas hidupnya dengan terfokus-solusi dan meng-ganti pikiran negatif dengan tindakan positif. (3) Mengelola dan Mangatasi Stres

Konselor membantu anak muda yang se-dang belajar di sekolah melalui program-program pencegahan primer yang menyasar stres dan co-ping efektif dalam mewujudkan efek yang secara keseluruhan positif dalam kaitannya dengan ge-jala stres dan mengatasi gege-jala (Kraag,dkk.,2006). Hal ini mengonfirmasikan pentingnya pemberian pendidikan tentang stres dan efek-efeknya dan bagaimana cara mengelola dan mengontrolnya.

Program-program pendidikan yang ber-kaitan dengan stres perlu menyoroti kemungki-nan bahwa peristiwa stresful dapat menghasilkan konsekuensi positif maupun negatif. Konse-kuensi positif mungkin dimanifestasikan oleh pertumbuhan pribadi dan konsekuensi negatif adalah reaksi-reaksi distres. Stres di tingkat ter-tentu dapat berguna untuk mendukung motivasi. Konsekuensinya, konselor membantu anak muda untuk mengakui bahwa, di banyak kasus, menga-lami stres bisa merupakan keuntungan. Konselor dapat membantu anak remaja dalam menghada-pi stres dengan strategi kognitif-behavioral, ini relevan untuk mengelola stres pada anak muda, termasuk strategi-strategi Rational Emotive Be-havior Therapy.

(4) Mengurus kesejahteraan fisik dan emosional Konselor melalui kegiatan konseling mem-bantu anak muda (remaja) untuk mengurus ke-sejahteraan fisik dan emosional mereka, dengan cara : (a) keterlibatan dalam kegiatan fisik dan/ atau rekreasional, (b) makan sehat, (c) tan dalam kegiatan-kegiatan kreatif, (d) keterliba-tan dalam kegiaketerliba-tan santai, dan (e) memiliki gaya hidup yang seimbang.

(5) Memperhatikan kesehatan psikologis

(16)

me-Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

10 reka perlu menyadari tentang opsi-opsi mereka untuk mengatasi masalah. Sayangnya, sebagian anak muda atau remaja tidak memiliki cukup informasi dalam hal itu, sehingga diperlukan la-yanan konseling oleh konselor untuk membantu mereka mencegah terjadinya masalah yang dapat menimbulkan risiko psikologis atau kesehatan psikolgis terganggu.

Anak muda atau remaja didorong untuk memanfaatkan konselor profesional untuk mem-bantu menangani kebutuhan-kebutuhan sekarang dan jangka panjang. Konselor ketika mengkon-seling seorang remaja atau anak muda, akan ber-guna untuk memulai dengan melakukan asesmen terhadap strategi-strategi coping yang sudah ada karena akan memberikan indikasi kemampuan mereka untuk mengurus diri sendiri.

3. Pencegahan dan Respon terhadap Bullying “BULLYING” dapat didefinisikan sebagai sebuah tindakan atau perilaku agresif yang disen-gan/kekuatan saja, yang dilakukan oleh sekelom-pok orang atau seseorang secara berulang-ulang dari waktu ke waktu terhadap seorang korban yang tidak dapat mempertahankan dirinya den-gan mudah (Olweus, 1991) atau sebagai sebuah “penyalahgunaan kekuasaan/kekuatan secara sistematik (Sharp & Smith,1994). Kriteria pengu-langan, niat, dan ketidak seimbangan kekuatan sistematik menjadikan bullying bentuk agresi yang sangat tidak diharapkan. Ia banyak terjadi di banyak konteks, termasuk tempat kerja, dan sekolah.

Bullying bisa langsung maupun tidak lang-sung. Bentuk-bentuk langsung termasuk seran-gan fisik atau verbal dan pengasinseran-gan relasional/ sosial. Bullying tak langsung, misalnya menye-barkan rumor jahat atau rusak barang kepuny-aan, termasuk yang lebih mutakhir cyberbullying, yaitu bullying menggunakan telepon sekuler atau internet (Smith et al, 2008a). Bullying bisa didas-arkan pada ras, agama atau budaya, jenis kela-min, seksualitas, atau disabilitas remaja.

Bullying maupun perilaku-perilaku an-tisosial lain yang lebih umum memiliki faktor-faktor risiko latar serupa : biologis, personal, keluarga, kelompok sebaya, sekolah/institusi, dan masyarakat. Sebagai contoh, keterlibatan dalam membullying orang lain berkaitan dengan prediktor-prediktor keluarga, seperti kelekatan yang inscure, pendisiplinan fisik yang keras, dan korban pola asuh orang tua yang overprotektif.

Konselor melalui layanan konseling dan bekerja sama dengan semua komponen yang ada di sekolah melakukan upaya-upaya sebagai berikut: (a) Mencegah, menghentikan kelanjutan

perilaku yang merugikan atau mencederai orang lain; (b) Beraksi terhadap insiden-insisden bully-ing dengan cara yang masuk akal, proporsional, dan konsisten; (c) Melindungi siswa yang per-nah mengalami bullying dan memicu sumber-sumber dukungan bagi mereka; (d) Menerapkan sanksi disipliner kepaada siswa,guru atau tenaga kependidikan yang menyebabkan bullying dan memastikan bahwa mereka belajar dari pengala-man, melalui dukungan multi lembaga.

Bullying oleh siswa terhadap siswa lain kebanyakan terjadi di luar kelas, di koridor, ha-laman sekolah, dan di luar gerbang sekolah (Blatchford, 1998). Oleh karena itu konselor me-lalui layanan konseling membantu anak muda atau siswa yang ada di sekolah berhati-hati dan waspada di wilayah lingkungan sekolah yang da-pat menimbulkan temda-pat menakutkan atau ber-bahaya bagi siswa, antara lain toilet, lorong kos-ong, ruang makan siang, kelas tanpa pengawasan guru, di luar ke las, di koridor, halaman sekolah, dan di luar gerbang sekolah. Konselor juga ha-rus beha-rusaha melakukan pemeriksaan ke tempat-tempat yang dianggap rawan dan memungkinkan terjadinya bullying.

Konselor juga perlu membekali siswa agar berani menghadapi para pem-bully dan menolak ajakan teman untuk menjadi pem-bully. Siswa perlu diberi pemahaman untuk berhati-hati jika berada di wilayah rawan. Jika perlu mengajak teman untuk memasuki atau melewati wilayah rawan tersebut. Jon Bloch (2013) mengatakan bahwa menghindari pem-bully kadang mungkin dilakukan, tapi dalam situasi lain siswa perlu me-mutuskan sudah waktunya menghadapi si pem-bully. Beri keyakinan kepada siswa atau anak muda bahwa kenakalan yang dilakukan oleh para pem-bully sebenarnya hanyalah ciri seorang pen-gecut. Prinsip yang harus dipegang adalah bah-wa mereka perlu dihadapi dengan sikap dingin, berjarak, dan tidak terbawa oleh emosi, tetapi perlu ada ketegasan dan keberanian. Meskipun ucapan yang dikatakan oleh siswa secara teknis lebih pandai atau mengancam, jika siswa tampak takut, gugup. Hampir mengeluarkan air mata, atau bahkan marah, pem-bully akan tahu bahwa ia menang. Jadi siswa diminta tetap dingin, tidak terbawa emosi, maka siswa akan dapat menanga-ni pem-bully dengan lebih mudah. Konselor me-latih siswa dalam menghadapi orang-orang yang dicuragai akan melakukan tindakan bully dengan cara menjauh, menolak dengan cara yang baik, dan bila mana perlu melawan dengan menunjuk-kan bahwa dirinya tidak lemah dan memiliki ke-kuatan untuk menang.

(17)

atau siswa yang melakukan pelanggaran bullying untuk menyadari akan perasaan korban dan ke-rugian yang telah mereka sebabkan dan membuat perbaikan tertentu yang disepakati. Sanksi lang-sung bisa diterapkan jika seorang individu me-nolak untuk mengambil tindakan-tindakan resto-ratif atau tidak mau patuh oleh keputusan yang dibuat dengan menggunakan proses tersebut. Sis-wa yang melakukan bullying bersama orang tua, untuk menerima bertanggung jawab terhadap pe-langgaran yang dibuat melalui tindakannya. Kor-ban bullying dilakukan perbaikan atau rehabili-tasi melalui konsulrehabili-tasi, konseling, mediasi, dan partisipasi, dan kegiatan-kegiatan rehabilitasi di-rancan untuk membantu pelaku pelanggaran un-tuk mengurangi kerusakan atau distres yang telah disebabkannya. Konselor membantu mengakhiri dengan sukses konfliknya sehingga siswa yang menjadi pelaku bullying dan siswa yang menjadi korban bebas berinteraksi tanpa ancaman konflik lebih lanjut.

Pencegahan dan penanganan korban ke-kerasan cukup kompleks karena melibatkan isu hukum, perkembangan, dan psikologis (Pistorel-lo & Follette,1998; Wilcoxon et.al. 2007). Di se-mua negara ada keharusan bahwa sese-mua pekerja kesehatan mental dan tenaga profesional lainnya, melaporkan kasus penganiayaan dan pelantaran anak. Jika kekerasan anak tidak dilaporkan, biasanya keteledoran ini dianggap sebagai per-buatan tidak profesional yang bisa mengarah ke tindakan pendisplinan oleh dewan perundangan, dianggap sebagai perbuatan kriminal, dan dike-nai tuntutan pidana untuk memberi ganti keru-gian (Leslie,2004:48). Jadi, pada sebakeru-gian besar kasus, layanan belum dapat diberikan, sebelum masalah hukum dibereskan terlebih dulu. Selain itu, urusan perkembangan dan psikologi juga ha-rus dibereskan. Sebagai contoh, jika kekerasan seksual pada anak terjadi pada usia muda, anak bisa saja menyalahkan diri sendiri atas kekerasan tersebut, seperti anak korbar perceraian yang sering kali menyalahkan dirinya terlebih dulu, sebelum menyadari bahwa dia adalah korban. Penganiayaan masalah seksual pada masa kanak-kanak sering tidak diobati sampai anak menca-pai dewasa, saat komplikasi lain seperti masalah keintiman pasangan,mulai menutupi masalah yang sebenarnya.

Oleh karena itu dalam menghadapi anak korban kekerasan, konselor harus menangani sejumlah besar masalah baik yang ada sekarang maupun di masa lalu. Kemarahan dan perasaan dikhianati di pihak korban kekerasan sering kali harus ditangani dahulu sebelum menghadapi ke-luarga sebagai satu kesatuan untuk mengoreksi

masalah dan mencegah agar tidak terjadi lagi. Lebih jauh lagi, karena melibatkan masalah hu-kum, korban kekerasan mungkin dipisahkan dari keluarga, yang membuat tugas menangani kelu-arga menjadi jauh lebih sulit dan menantang.

Korban kekerasan baik fisik maupun sek-sual, tidak dapat memperoleh satu modalitas pelayanan saja untuk membantu mereka meng-hilangkan seluruh pengalaman yang traumatik, serta melakukan penyesuaian yang perlu dan memadai. Konselor juga bisa melakukan kon-seling individual dengan tersangka kekerasan, konseling individual dengan korban kekerasan, konseling kelompok, kelompok dukungan, dan melakukan tindak lanjut dari hasil-hasil layanan konseling. Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku menjadi positif baik yang melakukan ke-kerasan maupun korban keke-kerasan.

Konseling korban kekerasan dan pelece-han seksual adalah bidang khusus yang unik, yang menekankan dinamika di balik penyesuai-an psikologis, program pencegahpenyesuai-an, dpenyesuai-an strategi pelayanan konseling yang relevan. Konselor ha-rus selalu beha-rusaha untuk meningkatkan dirinya menjadi konselor yang profesional dalam mela-kukan pencegahan dan penanganan kekerasan dan pelecehan seksual baik pada pelaku maupun korban yang terjadi di sekolah. Kemartabatan konselor dalam menjalan profesi konseling akan dapat diwujudkan apabila dapat melakukan pe-layanan konseling secara bermanfaat, didasarkan pada dipenuhinya tingkat kualifikasi dan kom-petensi yang dimilikinya, sehingga diwujudkan adanya pengakuan yang sehat dari berbagai pi-hak terhadap profesi konselor.Selamat menjalan-kan tugas yang mulai bagi para konselor di seko-lah maupun konselor di luar sekoseko-lah dimanapun bekerja, semoga konselor di sekolah mantap, konselor di luar sekolah sigap, dan konselor di mana-mana siap.

Daftar Pustaka

Alexander,A. & kempe,R. (1984). The role of the lay therapist in long term treatment. Child Abuse and Neglect, 6: 329-334.

Belkin, G.S. (1975). Practical Counseling in The School. Dubuque, Iowa:W.C.Brown Company Publishers.

Blocher,D.H. (1987). The Professional Counselor. New York: Macmillan Publishing Company. Blatchford,P. (1998). Social Life in School: Pupils’

Ex-periences of Breaktime and Recess from 6 to 16. London: Routledge.

(18)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

12 Crow,L.D.& Crow,A. (1960). An Introduction to

Guid-ance. New York: American Book Company. Dahlan, M.D. (1988). Posisi Bimbingan dan

Penyulu-han Pendidikan dalam Kerangka Ilmu Pendidi-kan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap pada FIP-IKIP Bandung.

Garnefski,M.& Diekstra,R. (1996). Child sexual abuse and emosional and behavior problem in adoles-cent gender differences. American Academy of Child and Adolescent Psychiatry.36: 323-329. Kathryn Geldard (2009). Practical Interventions for

Young People at Risk.London:SAGE Publica-tions.

Kraag,G.Zeegers,M.P.,Kok.,G., Hosman,C.,$ Abua-Saad,HH. (2006). School Programs Targeting Stress Management in Children and Adoles-cent: A Meta-Analysis. Journal of School of Psychology.44 (6): 449-72.

Mungin Eddy Wibowo (2002). Konseling Perkem-bangan :Paradigma Baru dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling pada FIP-UNNES tanggal 13 Juli

2002. Semarang: Depdiknas UNNES.

Olweus,D. (1999). Bully/victim probelms among school schildren : Basic fact and effecs of a school-based intervention program. Di dalam D.J.Pepler dan K.Rubin (ed),The Develop-ment and TreatDevelop-ment of Childhood Aggression. Hillside,NJ: Erlbaum.

Sharp,S.& Smith,P.K. (ed) (1994). Tackling Bullying in Your School: A practical handbook for teach-ers. London: Routledge.

Smith,P.K., Mahdavi,J., Carvalho,M., Fisher,S., Rus-sell, S., & Tippett,N (2008a). Cyberbullying: its nature and impact in secondary school pupils, Jurnal of Child Psychology and Psyhiatry.49, 376-85.

VanderMay,B. & Meff,R. (1992). Adult-Child incest: a review of research and treatmen. Adolescent, 17:717-735.

(19)

DARI KEKERASAN DAN PELECEHAN SEKSUAL

Dr. Titik Haryati, M.Pd

Komisioner Bidang Kesehatan dan Napza Komisi Perlindungan Anak Indonesia [email protected]

Abstrak

Kejahatan seksual setiap tahun terus meningkat jumlah anak menjadi korban, sehingga harus men-jadi perhatian pemerintah untuk memberikan perlindungan. Korban mengalami hambatan untuk tumbuh dan kembang agar terpenuhi kebutuhan hidup dalam memenuhi hak anak dalam rangka menyiapkan generasi emas. Kebutuhan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Merupakan kebutuhan dasar anak yang harus terpenuhi agar berkembang optimal. Kejahatan seksual tahun 2011-2014 mencapai angka 2286 kasus kejahatan seksual seperti kekerasan, pelecehan, sodomi, pedofilia. Penangan kasus kejahatan terkesan lamban bahkan lama pen-anganya dari aparatur pihak yang terkait berakibat menganggap sepele karena tidak mampu mewuujudkan efek jera bagi pelaku. Anak sebagai korban suatu ketika dapat menjadi pelaku disebabkan balas dendam, ke-cewa, stres dan frustasi maka program rehabilitasi harus dilakukan untuk menyembuhkan trauma panjang. Re-habilitasi sebagai upaya untuk penyembuhan terbatas fasilitas dan tenaga professional sehingga terbatas hanya pada penanganan penyembuhan gangguan fisik belum mencukupi untuk pemulihan psikis. Professional psikolog dan dokter juga terapi masih belum mampu untuk menyembuhkan trauma panjang sehingga diperlukan kon-seling dari konselor profesiona untuk memberikan pemecahan masalah dan pengembangan kepribadian agar anak mampu tumbuh dan kembang secara optimal. Instruksi Presiden No:5 tahun 2014, harus diimplemen-tasikan dengan baik, konsisten melalui kekuatan hukum dan penangan secara professional dari kementrian yang terkait dan lembaga pemerintah dalam memberikan perlindungan dan hak-hak anak sehingga optimal.

ISBN 968-602-14132-1-0 Pendahuluan

Anak menurut Undang-Undang No:23 tahun 2002, pasal (1) adalah: ”seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun terma-suk anak yang masih dalam kandungan”. Seti-ap anak mempunyai potensi untuk berkembang secara optimal, sehingga segala kebutuhan anak dari kebutuhan pendidikan, kesehatan dan kese-jahteraan perlu disiapkan untuk memenuhi kebu-tuhan agar mampu menjadi generasi berkualitas. Guru sebagai pendidik di sekolah dan orang tua sebagai pendidik dalam keluarga, merupakan pendidik yang bertanggung jawab pada tumbuh kembang anak, begit juga anak sebagai generasi penerus memerlukan bekal hidup pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh melalui pendidi-kan formal. Anak sebagai generasi penerus harus dipersiapkan secara optimal agar memiliki daya saing yang kuat dan mampu menjadi generasi emas dan penerus yang mampu bersaing dengan orang lain dan siap menjadi generasi penerus. Pasal (4) dalam Undang-Undang yang sama dije-laskan bahwa: “setiap anak berhak untuk hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kema-nusiaan, serta mendapat perlindungan dari kerasan dan diskriminasi”. Banyak kejahatan, ke-kerasan dan pelecehan seksual yang terjadi pada anak sehingga menghambat perkembangan dan prestasi. Anak yang megalamikejahatan seksual mengalami trauma panjang dan gangguan secara psikhis dan fisik sehingga berdampak pada krea-tifitas dan produkkrea-tifitas, karena anak mengalami stress, depresi, trauma panjang.

Fenomena sekarang yang terjadi banyak kejahatan dan kekerasan menimpa pada anak mulai di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat yang tidak aman menyebabkan anak mengalami hambatan, gangguan dan ancaman. Penanga-nan secara hukum banyak kasus yang tidak tun-tas dalam penanganan karena bukti yang tidak kuat atau bukti yang dianggap tidak kuat sebab saksi dianggap masih kecil belum bias diterima kebenaran dan keabsahan keterangan sehingga proses hukum menjadi lamban dan bahkan ter-henti.

Hukum yang masih belum berpihak

ke- Alamat korespondensi:

(20)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

14 pada anak, terbukti dari penangan kasus yang memerlukan waktu lama untuk membuktikan pelaku kejahatan dan pelecehan seksual menurut pihak berwajib sehingga kasus kejahatan pada anak terus meningkat sebab efek jera dan huku-man yang masih ringan menyebabkan salah satu penyebab kejahatan terus meningkat. Pasal (9) UU-PA no:23 Tahun 2014 dijelaskan bahwa: “se-tiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan priba-dinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Kebutuhan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan harus terpenuhi se-jak anak dalam kandungan sampai usia produktif agar mampu menjadi generasi emas dan berku-alitas sehingga perlindungan kepada anak harus optimal.

Generasi berkualitas adalah generasi yang memiliki kemampuan untuk bersaing dengan negara lain, terhindar dari segala gangguan, an-caman dan hambatan secara internal maupun eksternal. Jumlah anak Indonesia yang mengala-mi kekerasan dan kejahatan seksual setiap tahun terus meningkat. Jumlah anak Indonesia pada ta-hun 2014 berjumlah 2114 kasus dari tata-hun 2011. Kejahatan seksual on line tahun 2013 berjumah 18.000 kasus yang dampak dalam pertumbuhan dan perkembangan anak sangat terlihat ketika anak tidak mau sekolah, bermain dengan teman sebaya dan bahkan anak memurung diri. Kesi-apan pemerintah untuk menyiapkan generasi emas tahun 2025 mengalami hambatanm gang-guan dan ancaman dengan perbandingan jumlah populasi penduduk Indonesia 1/3 dari jumlah orang tua di Indonesia sebanyak 252.124.458 jiwa (Badan Pusat Statistic 2014).

Anak sebagai generasi emas tentu harus diberikan bekal pendidikan dengan baik mela-lui pembelajaran pendidikan di sekoalah dengan memberikan pengetahuan, ketrampilan dan pem-bentukan kepribadian, mental dan spiritual yang kuat untuk mempertahankan diri dari ancaman dan gangguan karena factor eksternal maupun internal. Kejahatan, Kekerasan dan pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dengan siapa saja dan kapan saja, oleh sebab itu pembentukan karakter yang kuat dan kokoh pada anak harus diterapkan dan diajarkan dari sejak dini untuk memiliki suatu keberanian untuk mengatakan “TIDAK” pada siapapun tanpa terkecuali seti-ap orang yang berani menyentuh anggota tubuh dan dapat menimbulkan suatu rangsangan atau birahi sehingga terjadilah kejahatan seksual. Ke-kuatan karakter pada anak akan mencerminkan suatu kepribadian bawaan atau karena genetika sehingga menjadi “AKU” atau “DIRIKU”.

Kep-ribadian merupakan keadaan pembentukan citra diri positif karena dapat mengenal diri sendiri, memahami diri sendiri, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, untuk mengetahui kele-bihan dan kekurangan diri sendiri sebagai tujuan dalam hidup mampu berkembang secara optimal dan siap menjadi generasi emas.

Permasalahan

Banyaknya kejahatan, kekerasan dan pe-lecehan seksual yang terjadi pada anak sehingga anak mengalami hambatan untuk tumbuh dan kembang secara optimal karena kurang perlin-dungan yang optimal dari keluarga, sekolah dan masyarakat.

Tujuan

Menyiapkan generasi emas yang berkuali-tas sebagai generasi penerus yang produktif, kre-atif dan inovkre-atif terhindar dari kekerasan dan pe-lecehan seksual dan memiliki karakter yang kuat dan kokoh terhindar dari kejahatan seksual.

Pembahasan

Instruksi Presiden No: 5 Tahun 2014 meru-pakan instruksi yang harus dipatuhi pada pejabat pemerintah yang menginstruksikan kepada para menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Lembaga non Pemerintah, Gubernur dan Walikota, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan se-suai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-ma-sing melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak melalui Gera-kan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN-AKSA), yang melibatkan seluruh un-sur masyarakat dan dunia usaha. Implementasi Inpres No: 5 tahun 2014 mrlibatkan semua peja-bat pemerintah termasuk Gubernur, Bupati dan pimpinan RT/RW untuk konsisten dan kemauan untuk melaksanakan isi dari Inpres tersebut.

(21)

terkait mengakibatkan pelaku merasa suatu hal yang dianggap sepele karena tidak mewuujudkan efek jera bagi pelaku . anak yang telah menjadi korban suatu ketika dapat menjadi pelaku dise-babkan balas dendam, kecewa, stres dan frustasi maka program rehabilitasi harus dilakukan untuk menyembuhkan trauma panjang. Rehabilitasi sebagai upaya untuk penyembuhan minim un-tuk dilakukan karena tenaga dan biaya terbatas sehingga anak akan terus mengalami gangguan psikis. Data kasus pengaduan anak berdasarkan kluster perlindungan yang masuk ke Komisi per-lindungan anak Indonesia tahun 2011-2014

da-pat dilihat pada tabel 1.

Data yang secara fakta ada memberikan suatu gambaran bahwa kejahatan seksual terja-di terus menerus dan meningkat. Sebanyak 21 juta lebih atau 21.689.797 kasus pelanggaran hak anak telah terjadi di Indonesia. Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait mengatakan, kasus kekerasan dan kejahatan pada anak di Indonesia tersebar di 179 Kabupaten/Kota di 34 Propinsi.

58 persen di antaranya adalah kekerasan seksual terhadap anak. Catatan Komnas Anak menye-butkan hampir 200 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya. (Komisi Nasional Per-lindungan Anak: Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2014, Tahun Darurat Kejahatan Seksual Anak, Nur Azizah: 23 juli 2014: 15.12). generasi emas dalam menghadapi globalisasi sangat di-perlukan sehingga harus disiapkan dengan baik dalam perkembangan dan pertumbuhan. Keja-hatan seksual yang banyak terjadi di dalam kelu-arga, sekolah dan masyarakat menjadikan suatu kekhawatiran untuk menyiapkan generasi emas

Tabel 1. Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak KPAI Tahun 2011-2014

NO. KLASTER / BIDANG TAHUN Jumlah

2011 2012 2013 2014

1 Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat

92 79 246 87 504

2 Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 416 633 931 452 2432

3 Agama dan Budaya 83 204 214 59 560

4 Hak Sipil dan Partisipasi 37 42 75 47 205

5 Kesehatan dan Napza 221 261 438 216 1136

6 Pendidikan 276 522 371 249 1480

7 Pornografi dan Cyber Crime 338 175 247 196 806

8 ABH dan kekerasan 188 530 420 432 1511

a Kekerasan Fisik 129 110 291 142 669

b Kekerasan Psikis 49 27 127 41 244

c Kekerasan Seksual (Pemerkosaan, Sodomi, Pencabulan, Pedofilia)

329 746 590 621 2286

9 Trafficking dan Eksploitasi 160 173 184 93 610

10 Lain -lain 10 10 173 78 271

TOTAL 2178 3512 4311 2713 12714

Data: Januari 2011-Agustus 2014

Analisis :

1. Terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual 417 kasus dari tahun 2011-2012. 2. Terjadi penurunan kasus kekerasan seksual 221 kasus dari tahun 2012-2013.

3. Jumlah kasus dari Januari hingga April minggu ke-2 tahun 2014 sebanyak 459 kasus.

(22)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

16 Kejahatan seksual selain berdampak pada gangguan perkembangan psikis juga anak ketika mengalami pemerksaan kemudian hamil maka akan anak melahirkanbayi yang usia anak di ba-wah 18 tahun. Persoalan baru akan muncul keti-ka ibu hamil keti-karena korban pemerkosaan maketi-ka bayi yang dilahirkan akan mengalami gangguan perkembangan dala kejiwaan sehingga dapat di-duga bayi akan mengalami emosional tinggi dan akan lahir tidak sehat kejiwaan. Bayi yang lahir tidak sehat jasmani dan rohani maka hambatan untuk tumbuh kembang tidak optimal, sehingga perlu rehabilitasi dan pengobatan secara pdikolo-gis dan terapi untuk memulihkan gangguan jiwa ibu hamil karena diperkosa. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan sedang mempersiap-kan peraturan menteri untuk mendukung pelak-sanaan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Salah satu poin peraturan pemerintah menegaskan, tinda-kan aborsi hanya dapat dilakutinda-kan berdasartinda-kan indikasi darurat medis atau kehamilan akibat pemerkosaan. Pro dan kontra tentang legalitas aborsi karena pemerkosaan menjadi suatu topic yang terus dibicarakan terkait dengan baik dan tidak baik dari segi agama maupun kesehatan ibu dalam memberikan perlindungan sebab pe-merkosaan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar (menteri Pemberdayaan Prempuan dan Anak dalam Ka-binet Indonesia Bersatu) menyatakan keputusan aborsi harus diambil melalui keputusan keluarga, dokter, kepolisian, dan tokoh agama. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan PP 61 sudah sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia pada 2005 yang membolehkan aborsi dengan syarat janin belum memiliki roh dan jiwa atau sebelum berusia 40 hari. Syarat lain aborsi hanya bisa dilakukan atas alasan terjadi kondi-si darurat medis atau kehamilan akibat pemer-kosaan. ”Kehamilan akibat pemerkosaan men-gancam keselamatan jiwa si ibu dari sisi psikis,” kata Lukman, dengan demikian maka kejahatan seksual sangat menganggu perkembangan anak dan kompleks dampak yang terjadi sehingga pe-merintah betul-betul harus memperhatikan gejala sosial yang terjadi dengan kebebasan seks pada remaja dan pengetahuan tentang reproduksi yang harus disosialisasikan pada masyarakat terutama orang tua dalam memberikan perlindungan pada anak.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) men-gesahkan Perubahan UU Nomor 23/2002 ten-tang Perlindungan Anak, UU ini telah berumur 12 tahun sehingga perlu untuk dilakukan revisi dan telah disetuji oleh DPR Ketua Komisi VIII

DPR (25/9/2014). Pertimbangan Komisi VIII DPR melakukan perubahan terhadap undang-undang No:23 tahun 2002 adalah untuk mem-bangun sistem perlindungan anak yang kompre-hensif. ”UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dianggap tak mampu melindungi anak dengan kompeksitas masalah saat sekarang ini maka dianggap UU 23 /2002 belum mampu membe-rikan perlindungan hukum pada anak, sehingga direvisi. Ketegasan sanksi dan denda pada pelaku kejahatan anak, dianggap masih ringan dan tidak menimbulkan efek jera hanya dengan denda ku-rungan tiga tahun sampai 12 tahun. Anak perlu mendapat kesempatan berkembang secara opti-mal dengan memberikan jaminan pada hak-hak perlindungan anak tanpa diskriminatif, eksploita-si dan kejahatan sekoseual juga kekerasan yang dianggap menghambat tumbuh kembang anak, sebab anak merupakan bagian yang tidak ter-pisahkan dari bagian keberlangsungan bangsa dan negara. UU No: 5 tahun 2014 akan menjadi instrumen hukum yang sangat penting dan lan-dasan hukum Indonesia untuk penyelenggaraan perlindungan hukum anak-anak agar terhindar dari kejahatan seksual. Penegakkan hukum dari berbagai pihak ditegakkan dan pengawasan ke-tat serta sangsi pabila ada oknum pihak berwajib yang tidak menangani secara serius kasus kejaha-tan yang terjadi pada anak.

Simpulan

Gambar

Tabel 1. Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak KPAI Tahun 2011-2014
Gambar 1. Model interaksi faktor resiko dan kelenturan pada anak yang mengalami salah perlakukan
Gambar 2. Model circumplex Olson
Tabel 1. Contoh Kekerasan dan Dampak Kekerasan
+3

Referensi

Dokumen terkait

sekitar 21,45 pelaku tindak kekerasan seksual berasal dari golongan masyarakat miskin dan. sekitar 25,5% pelaku tindak kekerasan seksual yang berhasil di ekspos

Halaman 24, untuk kalimat lead sebaiknya diubah menjadi “ Kita harus mencegah terjadi pelecehan dan kekerasan seksual pada diri kita” , caranya adalah untuk kalimat dalam

Fenomena tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pedagang soto yang membunuh istrinya sendiri ini menarik perhatian penulis untuk

Tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dipandang sebagai perbuatan berlanjut, jika dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

terhadap penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual pada anak yaitu melakukan advokasi hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual untuk memenuhi hak-haknya, selain itu

Hasilnya, Cole sebagai karakter utama, dia berani untuk melawan pelecehan seksual yang dia alami, supaya pelecehan seksual tidak terjadi lagi, karena dengan feminisme, perempuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana pelecehan seksual atau kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur penyandang disabilitas di Kota

Edukasi mengenai pelecehan seksual pada anak usia dini sangat penting untuk memberikan perlindungan bagi