• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM MENCEGAH KEKERASAN SEKSUAL PADA SISWA

PELECEHAN SEKSUAL DAN KEKERASAN PADA SISWA Ismah

DALAM MENCEGAH KEKERASAN SEKSUAL PADA SISWA

Ulya Makhmudah

Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret [email protected]

Abstrak

Fenomena kekerasan seksual yang menimpa siswa usia sekolah, menjadi perhatian utama bagi para orang tua dan pendidik di Indonesia. Keberadaan sekolah yang sedianya menjadi tempat memperoleh ilmu, tel- adan, sekaligus perlindungan, pada akhirnya justru menjadi tempat yang menakutkan bagi siswa dan orang tua. Segelintir orang yang tidak bertanggung jawab telah merubah fungsi sekolah, menjadi ajang pemuas kebutuhan berupa pelecehan seksual, sehingga menimbulkan trauma berkepanjangan bagi siswa.

Kompetensi kepribadian konselor adalah kecakapan seorang konselor sebagai ciri kepribadian yang mantap di- landasi nilai-nilai spiritual untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang konselor. Terkait dengan upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada siswa, seorang konselor perlu melakukan langkah-langkah yang dapat membantu siswa untuk memperoleh pendidikan seks. Dalam mengenalkan seks kepada siswa dibutuhkan kompetensi kepribadian yang mantap agar siswa menjadi jelas terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu, dan sehingga mampu mengidentifikasi bila terjadi ancaman terhadap organ reproduksi yang dimiliki.

Kata kunci: Kekerasan Seksual, Kepribadian Konselor

ISBN 968-602-14132-1-0 Pendahuluan

AKekerasan seksual khususnya yang me- nimpa siswa pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah akhir-akhir ini menjadi pen- gingat bagi orang tua dan sekolah, akan bahaya yang demikian dekat mengancam seorang anak. Pemberitaan media yang berlebihan terhadap ka- sus kekerasan seksual yang menimpa anak, justru menambah kekhawatiran orang tua dan trauma berkepanjangan bagi para korban. Dalam upa- ya mencegah bertambahnya korban kekerasan seksual pada anak, seorang konselor memegang peranan penting, bukan hanya karena kewajiban- nya sebagai pembimbing, tetapi karena kemam- puan yang dimiliki untuk menjelaskan seks kepa- da anak, dan menumbuhkan kepercayaan bahwa anak-anak tersebut mampu mencegah agar hal yang sama tidak terjadi pada diri mereka.

Penganiayaan seksual (Sexual abuse) ada- lah terdapat hubungan ketergantungan, pada kegiatan seksual antara pelaku terhadap anak yang perkembangannya belum matang dan be- lum menyadari betul, sehingga anak tidak da- pat menyetujui. Termasuk bentuk-bentuk incest, perkosaan, dan pedofilia, yang meliputi kegiatan meraba-raba (fondling), kontak oral-genital, ber-

setubuh atau penetrasi, eksibisionisme, voyerism, eksploitasi atau prostitusi, dan produksi porno- grafi yang melibatkan anak. (Narendra, 2005:4). Definisi tersebut memberikan penjelasan kepada kita tentang apa sebenarnya yang dimaksud ke- kerasan seksual pada anak. Kekerasan seksual bukan hanya tindakan yang mengakibatkan luka secara fisik, tetapi juga tindakan yang dilakukan oleh orang lain yang membuat individu merasa trauma.

Kemampuan konselor untuk mengenal ka- rakteristik anak, mutlak diperlukan dalam upaya mencegah kekerasan seksual di sekolah. Dengan memahami tanda-tanda perubahan, kendala, dan kemungkinan bahaya yang mengancam ke- selamatan anak selama berlangsungnya proses perkembangan, diharapkan seorang konselor mampu menerapkan strategi yang tepat dalam mencegah berkembangnya kekerasan seksual pada anak. Upaya pencegahan tersebut juga per- lu ditunjang dengan kemampuan pribadi konse- lor, khususnya dalam menyampaikan materi ten- tang seks kepada siswa. Seorang konselor yang memiliki kompetensi kepribadian yang mantap, dapat menggunakan kewibawaan dan kreativitas- nya, agar anak tidak merasa tabu ketika dijelas- kan tentang seks, akan tetapi anak-anak tersebut

Alamat korespondensi:

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

106

juga tidak malu untuk bertanya, karena konselor mampu menampilkan komunikasi yang efektif dan membuat anak merasa nyaman.

Latar Belakang Terjadinya Pelecehan Seksual pada Anak

Terjadinya pelecehan seksual dilatarbela- kangi oleh beberapa faktor, diantaranya ketidak- tahuan anak tentang gender dan seksualitas, ku- rangnya pemahaman tentang aurat (bagian tubuh yang boleh/tidak boleh dilihat oleh orang lain), serta minimnya kemampuan orang tua dan guru untuk menjawab pertanyaan anak yang berkisar pada tema seks. Ketiga faktor tersebut merupa- kan penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak, jika ditinjau dari sudut pandang bimbingan dan konseling. Fenomena yang selama ini mun- cul, seorang anak telah mengetahui jenis kela- min, dan gender peran dari masing-masing jenis kelamin namun demikian mereka belum menge- tahui bahwa ketika berbicara tentang seks, bukan berarti berbicara tentang hal-hal yang tabu.

Seks dan gender merupakan dua hal yang berbeda, akan tetapi saling berhubungan. Unger (dalam Gross 2013: 288) membedakan antara seks dengan gender, di mana sex mengacu pada fakta-fakta biologis tentang kita, yang biasanya dirangkum sebagai “laki-laki” dan “perempu- an”. Gender adalah apa yang dihasilkan budaya dari “bahan mentah” seks biologis: gender me- rupakan ekuivalen sosial atau interpretasi sosial seks. Adapun sexual typing adalah proses yang dilalui anak untuk mendapatkan identitas seks atau gender dan mempelajari perilaku-perilaku sesuai gender (mengadopsi peran seks yang se- suai). Pendapat senada dikemukakan oleh Sant- rock (2008: 194) yang menyatakan bahwa gender adalah dimensi sosio kultural dari psikologis dari pria dan wanita, adapun seks berhubungan den- gan dimensi biologis pria dan wanita.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipa- hami perbedaan yang signifikan bahwa dalam benak masyarakat kita, kata seks dimaknai seba- gai hal-hal yang bersifat tabu, sehingga tidak la- yak untuk diperbincangkan di depan anak-anak. Pemahaman semacam itu tentu saja berbeda dengan makna seks yang sebenarnya. Seks me- rupakan ciri biologis yang membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Pemahaman yang benar mengenai seks, dapat mendorong orang tua untuk menjelaskan secara terbuka kepada putra-putri mereka tentang ciri-ciri biologis yang dimiliki oleh setiap orang, sehingga dapat mem- bedakan antara laki-laki dan perempuan. Penje- lasan orang tua mengenai ciri-ciri seks laki-laki

dan perempuan dapat menghindarkan buah hati mereka dari perilaku bertanya kepada orang yang tidak tepat.

Faktor lain yang melatarbelakangi terja- dinya kekerasan seksual pada anak adalah ku- rangnya pemahaman anak tentang aurat yakni anggota tubuh yang boleh dilihat oleh orang lain, serta siapa saja yang boleh atau tidak boleh me- lihat aurat anak. Upaya mengenalkan anak pada batas-batas anggota tubuh yang boleh dilihat oleh orang lain, seyogianya dilakukan sejak dini. Anak perlu mendapat penjelasan dengan bahasa yang sederhana, mengenai bagaimana pakaian yang sesuai dengan aturan agama, disertai dengan penjelasan mengapa seseorang perlu menutup aurat. El Qudsi (2012: 24) menjelaskan: “Dengan mengajarkan makna ‘nilai’ dan ‘moral’ yang me- rupakan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak akan sangat membantu anak menetapkan batasan, terutama ketika mereka bingung, atau sangat tidak jelas, sehingga mereka tidak tahu ha- rus berespon seperti apa.”

Faktor lain yang turut berperan dalam me- latarbelakangi kekerasan seksual pada anak ada- lah minimnya kemampuan orang tua dan guru untuk menjawab pertanyaan anak yang berkisar pada tema seks. Disadari ataupun tidak, orang tua atau guru sering merasa sungkan untuk mem- bicarakan tentang seks kepada anak, padahal sebetulnya anak sangat mengharapkan jawaban dan penjelasan dari mereka atas rasa ingin tahu pada hal-hal bertema seks. Orang tua dan guru cenderung menggunakan bahasa kiasan, seper- ti menyebut istilah ‘burung’, ketika anak sudah mampu menerima penjelasan dengan bahasa yang sebenarnya. Penggunaan nama dan istilah yang sebenarnya untuk mengenalkan seks pada anak, bukan hanya mempermudah pemahaman tetapi juga memudahkan anak untuk mengaitkan antara pelajaran yang diterima di sekolah, den- gan penjelasan yang diberikan oleh orang tua. Bagaimana Mengenalkan Seks Pada Anak?

Upaya mengenalkan seks pada anak, me- rupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir tindakan kekerasan seksual pada anak itu sendiri. Ketika seorang anak telah mengenal ciri seks yang ada pada dirinya, mereka akan mencari tahu bahaya apa yang akan terjadi apabila ada orang lain yang mengganggu organ tubuh yang mereka miliki. Anak akan belajar mengenai bahaya tersebut dari penjelasan dan contoh yang ditunjukkan oleh orang tua.

Terdapat beberapa metode untuk mengen- alkan seks pada anak, namun perlu diperhatikan

bahwa dalam memilih metode harus disesuaikan dengan ajaran agama. Berkaitan dengan pendi- dikan seks. El Qudsi (2012: 22-23) memaparkan tentang strategi dalam pendidikan seks, yakni se- bagai berikut:

1) Memperkuat pendidikan agama

Pendidikan agama sangat diperlukan oleh anak dalam perkembangan seksualnya sebagai benteng dalam menghadapi masa depan. Peru- bahan fisik yang terjadi menjadikan dorongan seksual juga akan meningkat. Oleh karena itu, pendidikan agama sangat diperlukan agar anak- anak tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, te- gar, kuat, dan tidak mudah terjerumus godaan hawa nafsu.

2) Memulai sejak dini

Pendidikan seksual merupakan sebuah proses berkesinambungan, berawal dari masa kanak-kanak hingga masa dewasa. Tujuannya menggali informasi sebanyak-banyaknya, me- lainkan agar dapat menggunakan informasi se- cara lebih fungsional dan bertanggung jawab, sehingga anak mengetahui sejak dini apa yang boleh dan dilarang oleh agama.

3) Menyesuaikan dengan umur dan kebutuhan

Memberikan topik yang berbeda sesuai dengan usia anak adalah penting. Berikut bebera- pa contoh pendidikan seks yang dapat diberikan pada anak, sesuai dengan usianya:

• Pada usia 5 atau 7 tahun.

Anak diajari cara membersihkan alat kelaminnya setelah buang air besar & buang air kecil. Dianjurkan untuk bersuci dahulu sebelum beribadah.

• Pada usia 9 atau 10 tahun

Pada usia ini belum perlu menerangkan se- cara lengkap perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin. Hal ini dikarenakan perkembangan dari seluruh aspek kepriba- diannya belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang men- dalam mengenai hal tersebut.

• Pada usia 10 hingga 14 tahun

Topik bersuci (mandi janabah) dapat diang- kat dan dijelaskan. Mulai dari waktu mandi besar dilakukan hingga apa saja yang me- nyebabkan orang harus mandi besar.

4) Bertahap dan terus-menerus

Ketika kita memberikan informasi seks kepada anak, haruslah secara bertahap, terus- menerus, dan sesuai dengan perkembangan usia. Anak akan mengetahui apa yang harus dilakukan atau diketahui olehnya sesuai dengan tahapan perkembangan.

5) Dari hati ke hati dan terbuka

Pendidikan seks yang tepat hanya dapat

diberikan jika pesan yang tepat dapat diberikan orang tua, baik secara eksplisit maupun implisit. Jadi ada keterbukaan serta atmosfer yang tidak kaku dan dogmatis.

6) Jangan menunggu anak bertanya

dalam memberikan pendidikan seks kepa- da anak, jangan menunggu sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberi- kan secara terencana sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak.

7) Jangan lari dari pertanyaan anak

Ketika anak bertanya, orang tua ataupun guru tidak boleh lari dari pertanyaan yang dilon- tarkan masalah seputar seks karena pertanyaan sekitar seks adalah sesuatu yang lumrah dan fit- rah.

8) Kontinyu dan berkesinambungan

Pendidikan seharusnya diberikan seca- ra kontinyu dengan berbagai sarana dan dalam kesempatan yang berbeda. Orang tua dan guru dapat berbagi kepada anak tentang masalah seks dengan penuh pemahaman terhadap masalah yang dihadapinya.

9) Jadilah teladan yang baik untuk anak

Anak membutuhkan persesuaian ucapan dan perilaku orang tua dan guru. Jadi, orang tua dan guru harus terpercaya bagi anak, artinya baik orang tua maupun guru harus mampu mempo- sisikan diri sebagai orang yang terpercaya dan mampu membuat dirinya dipercaya oleh anak dalam memberikan informasi tentang seks. 10) Menjalin silaturahim ke Keluarga yang Saleh

Untuk memperkukuh nilai-nilai pendidi- kan seks yang telah diajarkan dan menghindar- kan perasaan kecil hati atau merasa sendirian dalam melaksanakan nilai-nilai agama, seorang anak tidak cukup mendapatkan contoh dalam ke- luarganya, ia perlu juga melihat orang lain atau keluarga lain yang juga melaksanakan ajaran agama.

11) Meminta bantuan kepada orang yang lebih ahli Jika kita merasa tidak mampu atau tidak nyaman membicarakan seks dengan anak, cari- lah bantuan dari orang yang kita anggap mampu dalam pendidikan seks.

Peran Kepribadian Konselor dalam Mencegah Kekerasan Seksual pada Siswa

Kualitas pribadi konselor (kompetensi konselor) sangat erat kaitannya dengan profesio- nalisme dan kualitas layanan yang diselenggara- kan. Secara etimologis istilah kompetensi kepri- badian konselor diuraikan dalam paparan berikut ini: Kompetensi secara etimologi adalah berasal dari bahasa Inggris yaitu “competence”, yang

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014

108

berarti kecepatan, kemampuan, wewenang”. Kompetensi adalah kemampuan dan kekuatan, dalam kamus besar Indonesia kompetensi berarti “wewenang atau kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu”. Kompetensi berarti kemampuan atau kecakapan yang dimiliki oleh seseorang, sehingga mempunyai wewenang un- tuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampu- an dan kecakapan yang dimilikinya. Jadi secara etimologi kompetensi merupakan kecakapan, wewenang, kekuasaan, kekuatan dan kemam- puan individu untuk melakukan sesuatu aktifitas atau pekerjaan.

Surya (2013: 86) memaparkan: “Kepri- badian merupakan manifestasi dari adanya ke- satuan antara individu dengan lingkungannya, individu tidak dapat berdiri sendiri secara terpi-

sah, melainkan harus selalu berinteraksi dengan lingkungan.” Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa seseorang dapat dikate- gorikan memiliki kepribadian yang baik, keti- ka ia mampu berinteraksi dan menyatu dengan lingkungannya. Demikian pula dengan konselor, seorang konselor dapat dikategorikan sebagai konselor yang profesional apabila ia telah mam- pu berinteraksi dan menyatu dengan baik sebagai seorang konselor. Kompetensi kepribadian kon- selor adalah kecakapan seorang konselor sebagai ciri kepribadian yang mantap dilandasi nilai-nilai spiritual untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang konselor. Kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang konselor menurut Pe- raturan Menteri No. 27 Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kompetensi Kepribadian Konselor

KOMPETENSI KEPRIBADIAN KONSELOR 1. Beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa

a. Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain

c. Berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur 2. Menghargai dan menjunjung

tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih

a. Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi

b. Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya c. Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada

umumnya dan konseli pada khususnya.

d. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya.

e. Toleran terhadap permasalahan konseli f. Bersikap demokratis.

3. Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat

a. Menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten)

b. Menampilkan emosi yang stabil.

c. Peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan.

d. Menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi stres dan frustasi

4. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi

a. Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif.

b. Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri c. Berpenampilan menarik dan menyenangkan. d. Berkomunikasi secara efektif.

Berdasarkan tabel 2, dapat dipahami bah- wa kompetensi kepribadian konselor secara ke- seluruhan meliputi: 1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih; 3) Me- nunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat; 4) Menampilkan kinerja berkualitas tinggi. Kompetensi kepribadian konselor yang diperlukan dalam upaya mencegah terjadinya ke- kerasan seksual pada anak adalah integrasi dari keempat aspek kompetensi kepribadian konselor sebagaimana telah dipaparkan dalam tabel di atas.Upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak, seorang konselor dapat mengembangkan nila-nilai kepribadian dapat dilihat pada tabel 2.

Berdasarkan tabel 2 dapat diperoleh infor- masi bahwa meskipun secara umum konselor te- lah memiliki rambu-rambu dalam mengembang- kan kompetensi kepribadiannya, namun dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual pada siswa, konselor dapat lebih memfokuskan pengembangan kompetensi kepribadian tersebut, agar lebih sesuai dengan norma agama, norma susila, dan tahap perkembangan individu.

Tabel 1. Penjabaran Kompetensi Kepribadian Konselor dalam Mencegah Kekerasan Seksual

No. Aspek Deskripsi

1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

a. Memiliki keimanan yang kuat.

b. Menjadikan ajaran agama sebagai dasar dalam menjelaskan seks kepada anak.

c. Mengajarkan pada anak tentang tuntunan agama dalam bertingkah laku.

d. Menampilkan akhlak terpuji. 2. Menghargai dan menjunjung

tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih

a. Menyesuaikan pengetahuan seks yang diberikan dengan usia anak.

b. Memilih bahasa yang sederhana dan mudah dipahami anak.

3. Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat

Menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten) 4. Menampilkan kinerja berkualitas

tinggi

Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif.

Daftar Pustaka

El Qudsy, Hasan. 2012. Ketika Anak Bertanya Ten- tang Seks: Panduan Islami bagi Orang Tua Mendampingi Anak Tumbuh Menjadi Dewa- sa. Solo: Tinta Medina.

Gross, Richard. 2013. Psychology: The Science of Mind and Behaviour. (Alih Bahasa oleh Helly Prajitno S & Sri Mulyantini S). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Narendra, M B. 2005. Tata Laksana Dampak Ke- kerasan pada Anak. Surabaya: Divisi Tumbuh Kembang Anak & Remaja Bagian Ilmu Kes- ehatan Anak FK Unair.

Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. (Alih bahasa oleh Tri Wibowo BS). Jakarta: Ken- cana.

Surya, Mohamad. 2013. Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi dari Guru untuk Guru. Bandung: Al- fabeta

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI STRATEGI ANTISIPASI TERHADAP