Elisabeth Christiana, S.Pd., M.Pd.
Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Surabaya [email protected]
Abstrak
Masa Remaja merupakan masa transisi antara masa anak dan dewasa, maka pada masa ini terjadi berbagai gejolak atau kemelut. Gejolak atau kemelut ini terutama berkenaan dengan segi afektif, intelektual dan juga moral. Hal itu terjadi terutama karena adanya perubahan-perubahan baik fisik maupun psikis yang sangat cepat yang menganggu kestabilan kepribadian anak. Masalah meledak ketika anak-anak telah memasuki masa pubertas dan telah menstruasi. Pola lari dan tidak puas dengan apa yang ada ,termasuk keluarganya juga telah teridentifikasi.Masalahnya tempat anak-anak lari saat ini bukan tempat yang aman, namun malah menjerumus- kan mereka ke dalam dunia eksploitasi seksual komersial. Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) meru- pakan bentuk paksaan dan kekerasan terhadap anak dan sejumlah tenaga kerja paksa dan bentuk perbudakan modern. Konseling berpusat pada klien menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya.Konseling berpusat pada klien menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian,dan hakekat kecemasan.
Kata kunci: Masa Remaja, Eksploitasi Seksual Komersil, Konseling Berpusat pada Klien
ISBN 968-602-14132-1-0 Pendahuluan
Masa remaja atau adolescence merupa- kan masa peralihan antara masa anak dengan dewasa. Meskipun perkembangan aspek-aspek kepribadian itu telah diawali pada masa-masa se- belumnya, tetapi puncaknya boleh dikatakan ter- jadi pada masa ini, sebab setelah melewati masa ini, remaja telah berubah menjadi seorang de- wasa. Karena peranannya sebagai masa transisi antara masa anak dan dewasa, maka pada masa ini terjadi berbagai gejolak atau kemelut. Gejolak atau kemelut ini terutama berkenaan dengan segi afektif, intelektual dan juga moral. Hal itu terjadi terutama karena adanya perubahan-perubahan baik fisik maupun psikis yang sangat cepat yang menganggu kestabilan kepribadian anak.
Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-ka- nak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Ba- gian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan ma- sih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua
organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan ke- matangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Masalah meledak ketika anak-anak telah memasuki masa pubertas dan telah menstruasi. Masa pubertas untuk semua suku pada prinsip- nya selalu diiringi dengan masa memberontak dan mencari identitas dari masa ke masa. Pola lari dan tidak puas dengan apa yang ada ,terma- suk keluarganya juga telah teridentifikasi.Ma- salahnya tempat anak-anak lari saat ini bukan tempat yang aman, namun malah menjerumus- kan mereka ke dalam dunia eksploitasi seksual komersial. Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) merupakan bentuk paksaan dan keke- rasan terhadap anak dan sejumlah tenaga kerja paksa dan bentuk perbudakan modern.
ESKA termasuk pelacuran anak, porno- grafi anak,pariwisata seks anak dan bentuk lain dari transaksional seksual di mana seorang anak terlibat dalam kegiatan seksual untuk dapat me- miliki kebutuhan utama yang terpenuhi, seperti makanan, tempat tinggal atau akses ke pendidi- kan. Ini termasuk bentuk transaksional seksual
Alamat korespondensi:
di mana kekerasan seksual terhadap anak tidak dihentikan atau dilaporkan oleh anggota keluar- ga, karena manfaat yang diperoleh oleh keluarga dari pelaku. ESKA juga berpotensi mencakup perjodohan yang melibatkan anak di bawah usia 18 tahun, di mana anak belum bebas menyetujui pernikahan dan di mana anak mengalami pelece- han seksual.
Para pelaku eksploitasi dan kekerasan ten- tunya mempunyai alasan dengan banyak penjela- san, demikian juga para korban.Tetapi namanya eksploitasi dan kekerasan sudah pasti bukanlah perbuatan dan pengalaman yang manusiawi. Yang satu berada pada wilayah yang tidak bera- dab, melanggar hukum, adat istiadat kemanusi- aan manusia ,menyimpang dari etika kemanu- siaan, sopan santun bahkan dari kasih sayang sera kesadaran insani yang bernurani. Sementara yang lain sangat jelas sebagai korban, yang tidak saja dirasakan pada saat pengalaman eksploitasi dan kekerasan itu berlangsung, tetapi akan berke- panjangan seumur hidup karena mengalami trau- ma serta mimpi buruk selama perjalanan hidup- nya, yang tidak mudah disembuhkan. Artinya pengalaman tersebut boleh jadi akan merusak harapan akan masa depannya, bahkan merusak kesadarannya sebagai seorang manusia yang memiliki martabat dan harga diri dan kelayakan hidup sama seperti orang lain yang “bebas”dari pengalaman pahit tersebut.
Konseling yang berpusat pada klien mene- kankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasa- ri adalah menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Menurut Roger konstruk inti terapi berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.Klien diposisikan untuk memi- liki kesnggupan-kesangguapan dalam membuat keputusan. Orang yang dikatakan sehat adalah yang dirinya dapat berkembang penuh (the fully functioning self), dan dapat mengalami proses hidupnya tanpa hambatan. Individu terdorong untuk menjadi dirinya sendiri. Adapun individu yang mencapai “fully functioning” ditandai den- gan(1) terbuka pada pengalaman, (2) menghidupi setiap peristiwa secara penuh, dan (3) memperca- yai pertimbangan dan pemilihan sendiri.
Konseling Berpusat pada Klien
Konseling berpusat pada klien menekan- kan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masa-
lah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian,dan hakekat kecemasan. Menurut Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep ten- tang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbu- han perwujudan diri.
Hakikat Manusia
Secara lebih lengkap hakikat manusia me- nurut Rogers adalah sebagai berikut: (a) Manusia cenderung untuk melakukan aktualisasi diri, hal ini dapat dipahami bahwa organisme akan men- gaktualisasikan kemampuanya dan memiliki ke- mampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri.(b) Perilaku manusia pada dasarnya sesuai dengan persepsinya tentang medan fenomenal dan indi- vidu itu mereaksi medan itu sebagaimana yang dipersepsi. Oleh karena itu, persepsi individu ten- tang medan fenomenal bersifat subjektif.(c) Ma- nusia pada dasarnya bermanfaat dan berharga dan dia memiliki nilai-nilai yang dijunjung ting- gi sebagai hal yang baik bagi dirinya. (d) Secara mendasar manusia itu baik dan dapat dipercaya, konstruktif tidak merusak dirinya.Asumsi-asum- si tentang manusia ini secara prinsipil menentu- kan tujuan dan prosedur konseling yang harus diperhatikan oleh konselor yang berpusat pada person.
Tujuan Konseling Berpusat pada Klien
Tujuan konseling adalah menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk men- geksplorasi diri sehingga dapat mengenal hamba- tan pertumbuhannya dan dapat mengalami aspek dari sebelumnya terganggu. Di samping itu terapi bertujuan membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaan yang lebih besar kepada dirinya, keinginan untuk menjadi pribadi, dan meningkatkan spontanitas hidup.
Klien dikatakan sudah sembuh apabila: (1) kepribadiannya terintegrasi, dan mampu meny- elesaikan masalah yang dihadapinya atas tang- gung jawab diri, memiliki gambaran diri yang serasi dengan pengalaman sendiri, (2) mempuny- ai tilikan diri, dalam arti memandang fakta yang lama dengan pandangan baru, (3) mengenal dan menerima diri sendiri sebagaimana adanya den- gan segala kekurangan dan kelebihan, (4) dapat memilih dan menentukan tujuan hidup atas tang- gung jawab sendiri.
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014
36
Pendekatan Client Centered dari Rogers memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Client dapat bertanggungjawab, memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah dan memilih perliku yang dianggap pantas bagi dirinya.(b) Menekankan dunia fenomenal client. Dengan empati dan pemahaman terhadap client, terapis memfokus- kan pada persepsi diri client dan persepsi client terhadap dunia. (c) Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkana bahwa hasrat kematangan psikolo- gis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dima- na dampak psikoteraputik terjadi karena hubun- gan konselor dan client. Karena hal ini tidak dapat dilakukan sendirian (client). (d) Efektifitas teraputik didasarkan pada sifat-sifat ketulusan, kehangatan, penerimaan nonposesif dan empati yang akurat. (e) Pendekatan ini bukanlah suatu sekumpulan teknik ataupun dogma. Tetapi be- rakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan dimana dalam proses terapi, terapis dan client memperlihatkan kemanusiawiannya dan parti- sipasi dalam pengalaman pertumbunhan. Client dapat bertanggungjawab, memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah dan memilih per- liku yang dianggap pantas bagi dirinya.
Peran dan Fungsi Konselor
Peran: Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memung- kinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Dalam proses konseling, peran konselor yaitu mempertahankan 3 kondisi inti yaitu menunjuk- kan sikap yang selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan pemahaman empati yang tepat menghadirkan. Ketiga kondisi inti tersebut meng- hadirkan iklim kondusif untuk mendorong terja- dinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Jadi, konselor berperan membantu klien dalam merefleksikan perasaan-perasaannya.
Fungsi: konselor berfungsi dalam mem- bantu klien mengungkap dan menemukan pe- mecahan masalah oleh dirinya sendiri. Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh seorang konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :
a. Menciptakan hubungan yang bersifat permisif. Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh pengertian, penuh penerimaan, kehangatan, terhindar dari segala bentuk kete- gangan, tanpa memberikan penilaian baik posi- tif maupun negatif. Dengan terciptanya hubun- gan yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan ketegangan-ketegangan, perasaan- perasaan, dan mempertahankan diri klien. Men-
ciptakan hubungan permisif bukan saja secara verbal tetapi juga secara nonverbal.
b. Mendorong pertumbuhan pribadi
Dalam konseling non-direktif fungsi kon- selor bukan saja membantu klien untuk melepas- kan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya, tetapi lebih dari itu adalah berfungsi untuk me- numbuhkan perubahan-perubahab yang fuda- mental (terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan konseling di sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan pengembangan pri- badi klien.
c. Mendorong kemampuan memecahkan masalah. Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam membantu klien agar ia men- gambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi, dengan demikian salah satu po- tensi yang perli dikembangkan atau diaktualisasi- kan diri klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Hubungan Konselor dengan Klien
Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemu- kan dalam dirinya sendiri kesanggupan meng- gunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan peribadipun akan terjadi. Ada enam kondisi yang diperlukan dan memadahi bagi perubahan kepribadian : a. Dua orang berada dalam hubungan psikologis. b. Orang pertama disebut client, ada dalam ke- adaan tidak selaras, peka dan cemas.
c. Orang kedua disebut terapis, ada dalam ke- adaan selaras/terintegrasi dalam berhubungan. d. Terapis merasakan perhatian positif tak ber- syarat terhadap client.
e. Terapis merasakan pengertian yang empa- tikterhadap kerangka acuan internal client dan berusaha mengkomunikasikan perasaannya ini kepad terapis.
f. Komunikasi pengertian empatik dan rasa hor- mat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada client setidak-tidaknya dapat dicapai.
Ada tiga ciri atau sikap terapis yang mem- bentuk bagian tengan hubungan teraputik:
Pertama, Keselarasana/kesejatian. Kon- sep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah ba- gaimana terapis tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama pertemuan terapi. Terapis bersikap secara spontan dan terbu- ka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Terapis tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan
berbagi perasaan-perasaan secara impulsive ter- hadap client. Hal ini dapat menghambat proses terapi. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa jika terapi selaras/menunjuk- kan kesejatiannya dalam berhubungan dengan client maka proses teraputic bisa berlangsung.
Kedua, Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pe- mikiran dan tingkah laku client sebagai hal yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bkan si- kap “Saya mau menerima asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum. Semakin be- sar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap client, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada client.
Ketiga, Pengertian empatik yang akurat. Pada bagian ini merupakan hal yang sangat kru- sial, dimana terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam be- rempati guna mengenali dan menjelajahi penga- laman subjektif dari client. Konsep ini menyirat- kan terapis memahami perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan client yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Tugas terapis adalah membantu ke- sadaran client terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Regers percaya bahwa apabila terapis mampu menjangkau dunia pribadi client seba- gaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
Tahap – tahap Konseling
Proses-proses yang terjadi dalam konse- ling dengan menggunakan pendekatan Client Centered adalah sebagai berikut: (a) Konsel-(a) Konsel- ing memusatkan pada pengalaman individual. (b) Konseling berupaya meminimalisir rasa diri terancam, dan memaksimalkan dan serta meno- pang eksplorasi diri. Perubahan perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk me- nilai pengalamannya, membuatnya untuk mem- perjelas dan mendapat tilikan pearasaan yang mengarah pada pertumbuhan. (c) Melalui peneri-c) Melalui peneri- maan terhadap klien, konselor membantu untuk menyatakan, mengkaji dan memadukan penga- laman-pengalaman sebelunya ke dalam konsep diri. (d) Dengan redefinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan diri dan menerima orang lain dan menjadi orang yang berkembang penuh. (e) Wawancara merupakan alat utama dalam
konseling untuk menumbuhkan hubungan tim- bal balik.
Teknik – teknik Konseling
Teknik-teknik dalam pendekatan ini antara lain adalah :
a. acceptance (penerimaan) b. respect (rasa hormat) c. understanding (pemahaman) d. reassurance (menentramkan hati)
e. encouragementlimited questioning (pertayaan terbatas)
f. reflection (memantulkan perasaan)
Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan me- nerima diri dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3) mengarah- kan diri; (4) mewujudkan dirinya
Masa Remaja
Kata “remaja” berasal dari bahasa la- tin yaitu adolescent yang berarti to growatau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umum- nya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan be- rakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa re- maja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun) Masa remaja, menurut Stanley Hall (Santrock, 1999), dianggap sebagai masa topan-badai dan stress, hal ini terjadi karena mereka telah memili- ki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Jika keinginan tersebut terarah dengan baik, maka remaja akan menjadi seorang indi- vidu yang memiliki rasa tanggung jawab. Namun jika tidak terbimbing dengan baik, maka remaja bisa menjadi seorang yang tidak memiliki masa depan yang baik.
Tugas-tugas perkembangan remaja
Manusia terlahir dan hidup dengan bebe- rapa fase atau tahapan perkembangan. Tugas- tugas perkembangan (development tasks) yakni tugas-tugas atau kewajiban yang harus dilalui oleh setiap individu sesuai dengan tahap per- kembangan individu itu sendiri. Keberhasilan individu dalam menunaikan tugas perkemban-
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2014
38
gan ini, akan menentukan perkembangan kepri- badiannya. Tugas-tugas perkembangan remaja, menurut Havighurst (dalam Helms dan Turner, 1995; Suadirman, 1987); Thornburg, 1982), ada beberapa, yaitu sebagai berikut:
a. Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiolo- gis-psikologis
b. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita
c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lain
d. Remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab
e. Memperoleh kemandirian dan kepastian se- cara ekonomis
Kebutuhan-kebutuhan Remaja
Sebagai manusia, remaja mempunyai ber- bagai kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi. Hal itu merupakan sumber timbulnya berbagai problem pada remaja. Problem remaja ialah masalah-masalah yang dihadapi para remaja se- hubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkun- gan tempat remaja itu hidup dan berkembang.
Dalam memahami masalah-masalah re- maja secara mendasar, hal yang amat penting untuk diketahui adalah kebutuhan-kebutuhan (needs) remaja. Karena needs ini berperan da- lam menentukan motif apa yang ada dibelakang perilaku remaja dalam rangka penyesuaian diri mereka. Berikut ini akan dipaparkan tentang ke- butuhan-kebutuhan remaja yaitu terkait dengan kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial (Sy- aodih, 2005).
1. Kebutuhan biologis
Kebutuhan biologis sering juga disebut “psychological drive” atau “biological motivati- on”. Pengertian kebutuhan atau motif ialah sega- la alasan yang mendorong makhluk hidup untuk bertingkah laku mencapai sesuatu yang diingin- kannya atau dituju (goal). Kebutuhan biologis ialah motif yang berasal daripada dorongan- dorongan biologis. Motif ini sudah dibawa sejak lahir, jadi tanpa dipelajari. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa motif biologis ini bersifat nalu- riah (instingtif). Motif biologis sama-sama dimili- ki oleh semua makhluk hidup seperti motif untuk makan (lapar), untuk minum (haus), bernafas, is- tirahat, dan dorongan seks. Motif biologis bersi- fat universal, artinya dipunyai oleh manusia dan binatang.
2. Kebutuhan psikologis
Kebutuhan psikologis (psikis) adalah sega- la dorongan kejiwaan yang menyebabkan orang
bertindak mencapai tujuannya. Kebutuhan ini bersifat individual, kebutuhan ini antara lain: a. Kebutuhan beragama
b. Kebutuhan akan rasa aman
Rasa aman merupakan suumber ketenan- gan mental dalam perkembangan selanjutnya. Sebaliknya, rasa tidak aman merupakan sumber ketegangan dn kekecewaan, yang pada gilirannya merupakan sumber pula bagi terjadinya suatu ke- nakalan remaja.
3. Kebutuhan sosial
Kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan dengan orang lain atau hal-hal di luar diri. Kebutuhan ini banyak sekali jenisnya, sehingga cukup sulit dalam mengelompokkan- nya. Walaupun demikian, menurut seorang so- siolog W.I. Thomas (dalam Willis, 2008), kebutu- han manusia ada 4 (empat), yaitu:
a. Kebutuhan untuk dikenal
b. Kebutuhan untuk mendapatkan respon dari orang lain
c. Kebutuhan untuk memiliki
d. Kebutuhan untuk memperoleh pengalaman baru
Disamping kebutuhan sosial diatas, ada lagi beberapa kebutuhan sosial lainnya, yakni: a. Kebutuhan (motif) untuk dibutuhkan b. Kebiasaan (habbit)
c. Kebutuhan untuk berkelompok
d. Kebutuhan untuk memperoleh penghargaan Kebutuhan – kebutuhan sosial tersebut diatas terdapat pada setiap orang termasuk juga pada anak remaja. Namun, pada remaja kebutu- han-kebutuhan sosial yang sangat menonjol, an- tara lain (Willis, 2008);
a. Kebutuhan untuk dikenal b. Kebutuhan berkelompok c. Kebiasaan (habit)
d. Aktualisasi dari (self actualization)
Memahami problem remaja berarti men- getahui latar belakang problem tersebut secara mendalam yaitu motif atau kebutuhan dari para remaja. Sehubungan dengan adanya berbagai kebutuhan atau motif-motif pada diri remaja, maka berbagai problem remaja itu dapat terjadi. misalnya, problem penyesuaian diri, problem ke- disiplinan diri yang masih belum efektif, problem beragama, problem kesehatan, problem ekono- mi, problem pendidikan, problem mengisi waktu luang, problem pekerjaan, dan sebagainya. Konseling Berpusat pada Klien untuk Remaja Korban Eksploitasi Seksual Komersial
Dengan menggunakan Konseling yang Berpusat pada Klien, konselor menjalin hubun-
gan yang dekat dengan anak (dalam suasana yang kondusif) sampai anak merasa aman dan nya- man berbicara dengan konselor. Konselor perlu banyak melakukan observasi, memberi feedback, dan menggunakan pertanyaan terbuka untuk me- nolong anak mengeksplorasi diri dan keadaannya saat itu. Anak yang mengalami eksploitasi Seksu- al Komersil seringkali memerlukan waktu yang lebih dalam proses menjalin hubungan ini. Tahap ini disebut joining. Seringkali di awal pertemu- an, anak korban eksploitasi sesksual komersial ini cenderung menghadirkan perasaan-perasaan negatif terhadap lingkungan barunya; tidak taat, sengaja melawan, sengaja melanggar aturan kon- selor. Semua tingkah laku itu hanyalah cara me- reka untuk mempertahankan kestabilan diri ka- rena mereka tidak ingin disakiti lagi oleh orang lain, khususnya orang dewasa. Fase ini sering menyulitkan konselor untuk menjalin hubungan dengan anak bermasalah ini. Diperlukan kesaba- ran, ketenangan, dan konsistensi yang kuat untuk memenangkan hati anak ini. Seringkali dalam