• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah pewaris

dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan

mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam

dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan (Huraerah, 2012:

21).

Kekerasan terhadap anak seringkali diidentifikasi dengan kekerasan kasat mata, seperti

kekerasan seksual dan fisikal. Padahal, kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural)

juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Karenanya istilah child abuse

atau perlakuan salah terhadap anak bisa terentang mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse) dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial

(social abuse) yang berdemensi kekerasan stukrural (Huraerah, 2012: 22).

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terjadi

peningkatan kekerasan terhadap anak. Tahun 2013 sebanyak 3.023 kasus pelanggaran hak

anak terjadi di Indonesia dan 58 persen atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual. Jika

dibandingkan tahun 2012, jumlah tahun 2013 meroket tajam hingga mencapai 60 persen.

Dilihat dari klasifikasi usia, dari 3.023 kasus tersebut, sebanyak 1.291 kasus (45 persen)

terjadi pada anak berusia 13 hingga 17 tahun, korban berusia 6 hingga 12 tahun sebanyak 757

kasus (26 persen), dan usia 0 hingga 5 tahun sebanyak 849 kasus atau 29 persen

(http://megapolitan.kompas.com.Anak. Jadi.Korban.Kekerasan.Seksual. Diakses pada tanggal

(2)

Hasil pendataan berita media massa yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak

Indonesia (YKAI), menemukan bahwa tindak kekerasan seksual lebih banyak menimpa anak

perempuan dengan angka ratio 1:7 bila dibandingkan anak laki-laki. Sementara itu studi yang

dilakukan Lembaga Perlindungan Anak Jatim (LPA Jatim) yang menginventarisasi berita

yang diekspos harian Jawa Pos, menemukan angka perbandingan antara anak perempuan dan

anak laki-laki yang menjadi korban tindak kekerasan seksual adalah 3:7. Adapun di harian

Memorandum, angka perbandingan yang diperoleh adalah 2:8. Ini berarti dari sekitar 10 anak

yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, maka diperkirakan 7-8 di antaranya adalah

anak perempuan (Suyanto, 2010: 50).

Tindak kekerasan terhadap anak-anak potensial terjadi di semua lapisan masyarakat,

namun jauh lebih umum terjadi di golongan masyarakat yang lebih rendah. Untuk kasus

kekerasan seksual, terutama biasanya potensial terjadi di keluarga miskin karena tekanan

kebutuhan hidup dan kondisi lingkungan sosial di sekitarnya memang memungkin kasus ini

terjadi (Perton, dalam Suyanto, 2010: 52). Salah satu kasus di awal tahun 2013 terjadi kasus

kematian anak perempuan keluarga pemulung berusia 11 tahun, (RI) yang di duga menjadi

korban kekerasan seksual (Media Indonesia, 2013: 15).

Berbagai berita yang diidentifikasi LPA Jatim, memang sebagian besar tidak diketahui

dengan pasti bagaimana latar belakang ekonomi korban. Namun di sebagian berita dengan

jelas disebutkan bahwa korban umumnya adalah berasal dari golongan masyarakat miskin. Di

harian Jawa Pos, diketahui 17,5% korban adalah berasal dari kelas miskin. Sementara itu,

untuk korban yang berasal dari kelas menengah ke atas hanya 8,7%. Di harian Memorandum

polanya hampir sama yaitu 18,7% korban adalah dari golongan masyarakat miskin dan 12,2%

berasal dari kelas menengah ke atas. Untuk kasus child abuse, seperti kekerasan seksual pada anak, diperlakukan kasar, dan sebagainya pada dasarnya memang potensial terjadi di

(3)

kondisi lingkungan dan “ruang” untuk terjadinya peristiwa itu memang lebih terbuka

(Suyanto, 2010: 54).

Dilihat dari asal tempat tinggal korban, studi yang dilakukan LPA Jatim menemukan

sebagian besar anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan dilanggar hak-haknya adalah

mereka yang bertempat tinggal di kota besar. Di harian pagi Jawa Pos, ditemukan sekitar 62,

1% korban tindak kekerasan seksual bertempat tinggal di kota besar. Demikian pula, dari 230

berita harian pagi Memorandum yang telah dipilih, ternyata 57,8% menyebutkan bahwa

tempat tinggal korban sebagian besar adalah di kota besar. Pedesaan, tercatat hanya sekitar

5% saja, dan untuk kota kecil dan menengah sekitar 35%. Dalam hal ini, ada dua hal yang

mungkin dapat dijelaskan. Pertama, karena akses media massa memang lebih menjangkau

daerah perkotaan daripada kota kesil atau daerah pedesaan–apalagi yang terpencil. Kedua,

karena secara sosiologis lingkungan sosial di kota besar memang lebih keras, lebih kejam,

dan kontrol sosialpun relatif lebih longgar karena adanya situasi anomi, dan hubungan

interpersonal antar warga yang sifatnya kontraktual atau bahkan penuh konflik (Suyanto,

2010: 55).

Identifikasi yang dilakukan pada dua surat kabar di Jawa Timur yakni Jawa Pos dan

Memorandum memperlihatkan bahwa sebagian besar status pelaku kaitannya dengan korban

adalah orang lain dan tetangga korban. Harian Jawa Pos memeberitakan terdapat sekitar

54,4% pelaku yang berstatus orang lain dan sebanyak 14,6% sebagai tetangga korban.

Sementara itu, harian Memorandum membuat sekitar 40% orang lain dan 27,4% pelaku

sebagai tetangga korban. Data ini dengan demikian menunjukkan bahwa korban tindak

kekerasan seksual umumnya adalah orang yang tergolong dekat dengan pelaku. Setidaknya,

oleh pelaku korban sudah tidak di anggap sebagai orang lain, sehingga hanya dengan sedikit

rayuan, janji di iringi dengan paksaan dan ancaman mereka dapat melakukan aksinya

(4)

Pelaku kekerasan yang umumnya adalah orang yang telah dikenal baik oleh korban

maupun keluarga, membuat korban tidak sepenuhnya menyadari bahaya yang

mengancamnya. Sebelumnya, para pelaku ini memiliki jarak yang dekat dengan anak. Namun

kedekatan jarak ini justru digunakan oleh pelaku untuk melancarkan maksud buruknya.

Akibatnya anak kehilangan keyakinan terhadap lingkungan terdekat yang dimilikinya. Hal ini

dapat menimbulkan efek yang lebih buruk karena anak menjadi kehilangan kemampuan

untuk menentukan batas-batas lingkungan pribadinya. Anak mungkin menjadi takut untuk

memiliki kedekatan dengan orang lain. Dengan keadaan seperti itu maka akan muncul bentuk

perilaku sosial yang kurang sehat seperti kehilangan kepercayaan pada orang lain, menarik

diri, merasa kesepian, bahkan dapat mengarah pada gangguan perilaku dan emosi yang lebih

berat seperti kecemasan dan depresi.

Pada situasi psikologis, sosial, dan ekonomi yang normal, secara teoritis kecil

kemungkinan seorang individu akan tergolong untuk melakukan tindak kekerasan seksual

pada anak-anak. Tetapi jika kondisi tersebut tidak dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan

dan harapan individu, niscaya kekecewaan, frustasi, depresi, dan stres akan mudah

menyerang kehidupan individu. Situasi ekonomi yang memprihatinkan, pendapatan yang

rendah, tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara layak bukan tidak mungkin dapat

memicu terjadinya depresi dan frustasi yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan

terjadinya kekerasan seksual pada anak.

Meski tidak dapat diketahui secara langsung korelasi di antara kondisi tersebut tetapi

data yang berhasil di himpun dari Harian Jawa Pos dan Memorandum memperlihatkan bahwa

secara persentatif cukup banyak pelaku tindak kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap

hak anak berasal dari golongan masyarakat miskin. Sumber dari Jawa Pos menyebutkan

sekitar 21,45 pelaku tindak kekerasan seksual berasal dari golongan masyarakat miskin dan

(5)

Memorandum memiliki latar belakang sosial dan ekonomi rendah. Sementara itu, hanya

sekitar 9,7% pelaku tindak kekerasan yang di ekspos harian Jawa Pos dari kalangan

masayarakat menengah ke atas dan sekitar 14,3% yang berhasil diekspos oleh harian

Memorandum (Suyanto, 2010: 61).

Banyak kasus ditengarai bahwa pendidikan pelaku tindak kekerasan seksual terhadapa

anak kebanyakan adalah rendah. Individu yang berpendidikan rendah di samping cenderung

kurang bijak dalam menyikapi masalah dan memiliki cara pandang serta berfikir yang

terbatas mereka umumnya juga tidak terlalu berfikir panjang tentang resiko atau akibat dari

perilakunya. Dalam banyak hal perasaan rikuh, sungkan, atau malu pada lingkungan

sosialnya terkadang tidak terlalu dianggap serius oleh mereka. Sering kali mereka

beranggapan bahwa perilaku atau tindakan yang mereka lakukan tidak akan diperhatikan oleh

orang lain karena mereka sadar akan posisinya yang cenderung rendah di masyarakat. Seolah

mereka sah-sah saja untuk melakukan segala perbuatan atau tindakan di dalam

lingkungannya. Bahkan, tindak kekerasan seksual yang mereka lakukan terhadap

anak-anakpun dianggap sebagai hal biasa (Suyanto, 2010: 62).

Dilihat dari “ruang” tempat terjadinya kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap hak

anak, studi ini menemukan bahwa lingkungna keluarga ternyata justru menjadi tempat yang

paling rawan bagi anak-anak. Dari 103 kasus yang berhasil dikumpulkan LPA Jatim dari

Harian Jawa Pos, 39,8% di antaranya, menyebutkan bahwa lokasi terjadinya tindak kekerasan

seksual terhadap anak-anak adalah di lingkungan keluarga. Demikian pula yang terjadi di

berita-berita yang dikumpulkan dari Harian Memorandum. Dari 230 kasus yang berhasil

diidentifikasi, 53,5% melaporkan bahwa tindak kekerasan yang dialami anak-anak ternyata

terjadi di lingkungan keluarganya sendiri. Ini berarti, bahaya yang mengancam anak-anak

ternyata bukan dari orang lain atau para penjahat profesional yang tidak di kenal korban,

(6)

bahkan orang-orang yang semula diharapkan dapat menjaga dan tempat berlindung. Sebagai

contoh figur ayah yang biasanya dibayangkan selalu penuh kasih sayang kepada

anak-anaknya. Tak sekali-dua kali media masa memberitakan peristiwa seorang ayah yang gelap

mata kemudian memperkosa anaknya sendiri tanpa belas kasihan (Suyanto, 2010: 66).

Salah satu faktor terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak adalah kemiskinan.

Fenomena kemiskinan merupakan keadaan yang mengkhawatirkan, dimana Indonesia

termasuk negara dengan jumlah orang miskin yang cukup besar. Badan Pusat Statistik (BPS)

mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau

12,36 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat secara nasional jumlah orang miskin

hingga bulan September 2012 sebanyak 28,59 juta orang atau 11,66 persen (Analisa, 2013:

28). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per September 2013 di

Indonesia mencapai 28,55 juta orang atau 11,47 persen (Analisa, 2014: 1).

Kemiskinan sesungguhnya tidak hanya terkait dengan aspek ekonomi saja, tetapi aspek

lain juga mempengaruhi. Kemiskinan juga di sebabkan lemahnya aspek moral, sosial dan

aspek budaya serta aspek pembangunan yang belum merata. Logikanya orang miskin

umumnya pendapatan kecil dan tidak menentu (Anwas, 2013: 84).

Kemiskinan seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat pendidikan,

pengangguran, dan tekanan mental umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang

mendorong terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Lemahnya penengakan hukum

dan praktik budaya bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan seksual terhadap anak

(Huraerah, 2012: 23).

Kota Medan sendiri menduduki urutan keempat kasus kekerasan seksual, dimana 62

persen kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat anak. Kesimpulan ini diperoleh

dari penelitian yang dilakukan di 24 kota besar di Indonesia yang sudah mewakili di seluruh

(7)

Medan menduduki urutan keempat karena banyaknya kasus kekerasan setelah Jakarta,

Makasar, dan Jawa Barat (Tribun Medan, 2012: 14). Data yang dilansir dari media cetak dan

elektronik serta kasus yang ditangani Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Pusaka

Indonesia yang konsen dalam isu perlindungan anak di Sumut, menunjukkan setidaknya ada

236 korban kekerasan terhadap anak. Kasus pencabulan menempati urutan pertama 138

korban, disusul dengan kasus penganiayaan 46 korban dan kasus pemerkosaan 14 korban,

selebihnya kasus pencurian, pembunuhan, penculikan, penelentaran. Usia anak yang menjadi

korban tersebut bergerak dari 4 tahun sampai 18 tahun. Namun yang paling dominan menjadi

korban adalah mereka-mereka yang berusia 6-8 tahun 66 korban, 15-18 tahun sebanyak 107

korban. Kota Medan merupakan tempat urutan korban terbesar mencapai 101 Korban, 74

kasus diantaranya merupakan korban pencabulan dan pemerkosaan, disusul Deli Serdang 34

korban, Tebing Tinggi 11 korban (Analisa, 2014: 4).

Kota Medan, juga terdapat banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam

upaya perlindungan terhadap kekerasan pada anak dan perempuan, salah satunya adalah

Yayasan Pusaka Indonesia. Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut dibantu empat divisi

yakni Divisi Anak dan Perempuan, Divisi Pengembangan Komunitas, Divisi Kewirausahaan

Sosial, dan Divisi Informasi dan Komunikasi. Yayasan Pusaka Indonesia dalam Divisi Anak

dan Perempuan, salah satu programnya adalah melakukan upaya untuk melawan dan

mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap anak dan perempuan termasuk

perdagangan anak dan perempuan. Klien yang di tangani Yayasan Pusaka Indonesia

kebanyakan adalah anak berusia delapan sampai tujuh belas tahun yang mengalami tindak

kekerasan seksual. Salah satu faktor tindak kekerasan seksual itu terjadi karena anak mudah

sekali terbujuk dengan rayuan pelaku, misalnya anak akan diberikan uang apabila anak

menuruti permintaan si pelaku. Pelaku tindak kekerasan seksual pada anak biasanya orang

(8)

kekerasan seksual tidak jarang berada di lingkungan sekitar anak, yaitu lingkungan rumah

dan sekolah.

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban

Kekerasan Seksual pada Anak Dampingi Yayasan Pusaka Indonesia”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan maka masalah

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh sosial ekonomi keluarga

terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan peneliitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sosial

ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka

Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Pengembangan konsep-konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan permasalahan

Kekerasan Seksual pada Anak

(9)

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian,

kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian metodologi penelitian yang terdiri dari tipe

penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan

data dan teknik analisa data .

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian sejarah geographis dan gambaran umum

tentang lokasi dimana penelitian melakukan penelitian .

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil

penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis mutu minyak kelapa murni buatan industri rumah tangga secara menyeluruh bahwa ketiga sampel tersebut

Iuran kepada negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (Wajib Pajak) berdasarkan' undang-undang, dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali se~

Dengan terbuktinya ekstrak daun Terap, Sukun dan Nangka memiliki aktivitas insektisida yang bersifat antifidan terhadap hama Rayap, maka perlu dilakukan tindakan

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata

Dan membuat VOD dengan memasukkannya ke dalam aplikasi E-learning yang berbasis php MySQL, baik untuk live unicast maupun on -demand streaming. Sehingga informasi yang membutuhkan

Demikian pengumuman ini kami sampaikan dan bagi peserta pengadaan yang keberatan atas penetapan hasil kualifikasi dapat mengajukan sanggahan secara tertulis kepada

Hasil: Substitusi tepung garut, kedelai, dan ubi jalar kuning meningkatkan kadar protein, lemak, β -karoten, zink, daya serap air, dan tingkat kekerasan pada biskuit, sedangkan

Penelitian yang berjudul Isolasi dan Identifikasi Bakteri pada Ikan Bandeng (Chanos chanos) busuk yang telah diawetkan dengan Pengasapan bertujuan untuk mengetahui