• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB II"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsepsi Tindak Pidana yang Dilakukan Anak

Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak men-definisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengartikan Perlindungan Anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak mengartikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(2)

Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak mengartikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak meng-artikan anak nakal sebagai berikut:

1. Anak yang melakukan tindak pidana atau 2. Anak yang melakukan perbuatan yang

dinya-takan terlarang bagi anak baik menurut pera-turan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian anak dapat dilihat dalam peru-musan berbagai peraturan perundang-undangan maupun pendapat para pakar dengan batasan yang dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Mengenai batas usia anak dan dewasa, Zakiah Daradjat berpendapat sebagai berikut :

(3)

dan bertindak tetapi bukan pula orang dewasa.1

Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun demikian diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang ber-beda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional.

Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan Hukum adalah anak yang melakukan perbuatan yang dilarang di masyarakat; dan disebut sebagai “anak nakal”; sebagai pelaku tindak pidana, anak dipandang juga sebagai korban, setidaknya korban salah asuhan, korban ling-kungan yang tidak bersahabat, atau korban bujukan orang dewasa untuk melakukan kejahatan2.

Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka atau dituduh telah melanggar Undang-undang Hukum Pidana3. Fenomena anak konflik hukum di masyarakat diartikan sebagai perbuatan yang menyimpang, dengan memberikan anggapan negatif terhadap mereka. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku anak konflik hukum.

1 Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 84

2 H. Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 137

(4)

Faktor yang menonjol antara lain dikarenakan gagalnya orang tua atau masyarakat dalam memenuhi keinginan anak.

Kondisi ini menimbulkan kecenderungan anak memenuhi keinginan sendiri dengan cara, kemampuan, dan persepsi yang dianggap tepat baginya. Dalam penanganan anak konflik hukum sering dijumpai adanya Aparat Penegak Hukum masih kurang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana dalam kaidah-kaidah perlindungan, penghargaan, pengembangan, dan pemenuhan hak anak konflik hukum.

Prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:

1. Non diskriminasi

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

4. Penghargaan terhadap pendapat anak

(5)

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Pengertian lain dari anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengemukakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Hak dan kewajiban anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 19 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengemukakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan anak berhak atas suatu akta sebagai identitas diri dan status kewaganegaraan. Setiap anak juga berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan

1. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

(6)

orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap anak juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadiannya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

(7)

Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengemukakan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:

1. penyalahgunaan dalam kegiatan pemilu; 2. pelibatan dalam sengketa bersenjata; 3. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

4. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;

5. pelibatan dalam peperangan.

Perlindungan terhadap anak juga diatur di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak di dalam Pasal 2, bahwa:

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengem-bangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan negara yang baik dan berguna; 3. Anak berhak atas pemeliharaan dan

per-lindungan baik semasa dalam kandungan mau-pun sesudah dilahirkan; dan

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap ling-kungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkem-bangannya dengan wajar.

(8)

bertanggung jawab menghormati, dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental anak. Negara dan pemerintah juga berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 25 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Perlindungan hukum bagi anak diatur dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yaitu sebagai berikut:

1. Perlindungan khusus bagi anak yang di-eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(9)

menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh mela-kukan atau turut serta melakukan eks-ploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Masalah perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwa:

1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penja-tuhan hukuman yang tidak manusiawi;

2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak;

3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas ke-bebasannya secara melawan hukum;

4. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat di-laksanakan sebagai upaya terakhir;

(10)

6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;

7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

menggunakan istilah “anak nakal” untuk mengartikan

anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan terhadap anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:

(11)

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kema-nusiaan, serta mendapat perlindungan dari ke-kerasan dan diskriminasi.

2. Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hu-kum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalah gunaan narkotika, alkohol, psiko-tropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

3. Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi: (a) non diskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; (d) penghargaan terhadap pendapat anak

4. Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kema-nusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

(12)

dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

6. Pasal 17, menentukan bahwa: Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: (a) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan; (b) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; (c) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; (d) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum

7. Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

8. Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan per-lindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lain-nya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran 9. Pasal 64, menentukan bahwa: Perlindungan

(13)

martabat dan hak-hak anak; (b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; (c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus; (d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak; (e) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang ber-hadapan dengan hukum; (f) Pemberian jaminan untuk memper-tahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; (g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk meng-hindari labelisasi.

Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalah gunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran

(14)

hukum, yakni: (1) Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut; (2) Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak; (3) Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam ins-titusi penghukuman; (4) Institusi penghukuman.4

B. Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

Tugas dan wewenang Polri diatur dalam Pasal-pasal Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut:

1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. menegakkan hukum;

3. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

(15)

Dari pengaturan tersebut maka tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah melakukan penyidikan di mana KUHAP memberi definisi penyidikan sebagai “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya5.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut menurut Pasal 14 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepolisian bertugas:

1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintahan sesuai kebutuhan;

2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;

3. membina masyarakat untuk mening-katkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 5. memelihara ketertiban dan menjamin

keamanan umum;

6. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

(16)

7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

8. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran, kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

10.melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang; 11.memberikan pelayanan kepada masya-rakat

sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian; serta

12.melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah

1. menerima laporan dan atau pengaduan; 2. membantu menyelesaikan perselisihan

warga masyarakat yang dapat menganggu ketertiban umum;

3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

4. mengawasi aliran yang dapat menim-bulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasi kepolisian;

(17)

7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; 9. mencari keterangan dan barang bukti; 10. menyelenggarakan Pusat Informasi

Kriminal Nasional;

11. mengeluarkan surat izin dan atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan penga-dilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat lainnya; dan; 13. menerima dan menyimpan barang

temuan untuk sementara waktu.

Kemudian Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang untuk:

1. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya

2. Menyelenggarakan registrasi dan indentifikasi bermotor

3. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor

4. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik

5. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam

6. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan 7. Memberikan petunjuk, mendidik dan

(18)

8. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional

9. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi dengan instansi terkait. 10. Mewakili pemerintahan Republik

Indonesia dalam organisasi kepolisian in-ternasional

11. Melakukan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

1. Melakukan penangkapan, penahanan penggeledahan dan penyitaan

2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan

3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan

4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 7. Mendatangkan orang ahli yang

diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara

(19)

9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum

10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkap orang yang disangka melakukan tindak pidana

11. Memberi petunjuk dan bantuan pe-nyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum 12. Mengadakan tindakan lain menurut

hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dila-kukan harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya 3. Pertimbangan yang layak berdasarkan

keadaan yang memaksa

(20)

Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan:

1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewe-nangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya

sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan

oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tinda-kannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Dengan landasan inilah kepolisian dapat mene-rapkan restorative justice

sebagai alternatif penye-lesaian tindak pidana.

(21)

1. Mempersiapkan pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelesaian melalui

restorative justice seperti korban, pelaku, keluarga pelaku, orang-orang penting lainnya yang perlu datang (siapa saja yang dirugikan oleh perbuatan pelaku) 2. Pihak-pihak yang perlu diperhitungkan

namun tidak terlalu penting seperti pihak-pihak yang mendukung korban (yang dipersiapkan oleh korban) dan pihak-pihak yang mendukung pelaku (dipersiapkan oleh pelaku dan keluarga pelaku)

3. Hal-hal yang perlu diperhatikan seperti: (a) Memberi informasi kepada para pihak mengenai pertemuan; (b) Mendapatkan informasi dari para pihak yang akan membantu memfasilitasi pertemuan; (c) Menentukan tempat, ruang dan pengaturan tempat duduk dalam pertemuan tersebut; (d) Menyiapkan barang-barang lain yang mungkin diperlukan.

4. Mengecek bahwa para peserta akan hadir dan mempersiapkan bahwa ruangan benar-benar nyaman dan aman bagi semua pihak.

5. Menyiapkan daftar pertanyaan yang akan menjadi bahan pembicaraan dalam pertemuan tersebut.6

C. Pendekatan Restorative Justice

1. Konsep Pendekatan Restorative Justice

Pengertian Restorative justice menurut Marlina adalah sebagai berikut :

Proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk

6 Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2009, Modul Keadilan

(22)

dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara7.

Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan restorative justice

merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Prinsip yang dipaparkan oleh Tony Marshall dan Susan Sharpe adalah bahwa proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara8. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya

7 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 25

(23)

bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku.

Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya.

Prinsip yang dikemukakan oleh Tony Marshall dan Susan Sharpe ini sebenarnya telah dipraktekkan selama ribuan tahun oleh masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia praktik secara

restorative justice ini juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan9.

Tony Marshall, seorang ahli krimonologi

berkebangsaan Inggris dalam tulisannya ”Restorative

Justice an Overview” mengatakan:“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively

(24)

how to deal with the aftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan per-soalan secara bersama-sama bagaimana menye-lesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Pandangan Michael Tonry, melalui penelitiannya tahun 1999 terhadap kebijakan pemidanaan di Amerika, bahwa restorative justice mempunyai pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut memberikan manfaat kepada semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam proses peradilan.

Menurut Tony Marshall, ada 3 (tiga) konsep pemidanaan, yaitu:

a. Structured sentencing (pemidanaan terstru-ktur);

b. Indeterminate (pemidanaan yang tidak me-nentukan); dan

c. Restorative / community justice (pemulih-an/keadilan masyarakat).

Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Toni Marshal dalam

tulisannya “Restorative Justice an Overview”,

dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and Change

(25)

a. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;

b. Restorative Justice berusaha menyembuh-kan kerusamenyembuh-kan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

c. Restorative Justice memberikan pertang-gungjawaban langsung dari pelaku secara utuh;

d. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;

e. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya. Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses peradilan konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang

menentukan kesalahan dan mengurus

kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan yang sistemik.

(26)

prinsip restorative justice yang telah diakui di banyak negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand dapat dikelompokkan dalam empat jenis praktik yang menjadi pioner penerapan restorative justice

dibeberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation

(selanjutnya disingkat VOM), Conferencing/Family Group Conferencing (selanjutnya disingkat FGC), Circles dan Restorative Board/Youth Panels.

Dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan anak, Mahkamah Konstitusi Putusan melalui Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 telah memberikan pencerahan baru dalam upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law) yakni melalui pendekatan restorative justice.

Uji materiil yang diajukan oleh KPAI dan Yayasan Pusat dan Kajian Anak Perlindungan Medan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi atas Judicial review

(27)

dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM) telah menjatuhkan Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 Februari 2011, yang amar putusannya sebagai berikut :

a. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

b. Menyatakan frasa,"... 8 (delapan) tahun...,"

dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khu-susnya terkait dengan frasa "...8 (delapan) tahun..." adalah bertentangan dengan Un-dang-Undang Dasar Negara Republik Indo-nesia Tahun 1945 secara bersyarat ( condi-tionally unconstitutional), artinya inkons-titusional, kecuali dimaknai "...12 (dua belas) tahun...";

c. Menyatakan frasa,"... 8 (delapan) tahun...,"

(28)

penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa "...8 (delapan) tahun..." tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai "...12 (dua belas) tahun...";

Dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Kemudian apabila Si Anak melakukan tindak pidana pada batas umur sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan ketika diajukan ke sidang pengadilan anak yang bersangkutan melampaui batas 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur 21(dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.

(29)

Penyidik berpendapat bahwa anak tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Jadi pada intinya Anak yang belum berusia 12 (dua belas) yang melakukan tindak pidana tidak diajukan ke sidang pengadilan anak;

Putusan Mahkamah Konstitusi ini pun memutuskan bahwa mengenai penjatuhan pidana terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang pengadilan Anak tidak ada perubahan. Penjatuhan Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: pidana penjara pidana kurungan, pidana denda; atau pidana pengawasan.

Pidana tambahan dapat dijatuhkan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah)

(30)

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Penjatuhan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

2. Model Restorative Justice

Model restorative justice di negara-negara

common law sangatlah beragam10 sebagaimana dikemukakan oleh Jim Dignan bahwa penggunaan proses restorative justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda adalah dengan cara penggunaan inisiatif polisi atau pun usaha untuk meminimkan penyelesaian di dalam pengadilan.

Berkaitan dengan model restorative justice, Jim Dignan berpendapat bahwa ada 3 poin penting yang perlu dipikirkan yang secara lengkapnya adalah bahwa

The first faultline related to the concept of restorative justice itself, and the way this has been defined by restorative justice advocates. It encompasses an important split between those who conceptualise restorative justice exclusively or primarily

10 Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT

(31)

in terms of an particulary kind of process restorative justice practices and the primacy or standing that is accorded to each of the main stakeholders, victim, offender, community and state, with regard to specific offences. And the third faultline relates to the kind of relationship that is envisaged between retorative justice initiatives, whatever form they take, that the regular criminal justice system. To some extent, as we shaal see, there may be an tendency for attitudes to polarise in a consistent direction or in the sam plane, across all three sets of faultline and, to that extent, the faultlines themselves may help to delineate a number of quite distinct lines of potential development for restorative justice to take in the future. Or so I shall be arguing.11

But first it is important to expose the three principal fault-lines themselves and the differences of opinion with which they are associated12.

(Poin pertama terkait dengan konsep keadilan restoratif itu sendiri, dan cara ini telah didefinisikan oleh para pendukung keadilan restoratif. Hal ini meliputi perpecahan penting antara mereka yang membuat konsep keadilan restoratif secara eksklusif atau terutama

11Ibid

(32)

dalam hal jenis yang khususnya proses dan mereka yang konsep juga meluas ke hasil dari sangat baik, terlepas dari proses pengambilan keputusan yang terlibat. Poin kedua yang berhubungan dengan fokus praktek keadilan restoratif yang berbeda dan keutamaan atau berdiri yang diberikan kepada masing-masing pemangku kepen-tingan utama, korban, pelaku, masyarakat dan negara, yang berkaitan dengan pelanggaran tertentu. Dan poin ketiga berkaitan dengan jenis hubungan yang dipertimbangkan antara inisiatif keadilan retorative, bentuk apapun yang mereka ambil, bahwa sistem peradilan pidana biasa. Sampai batas tertentu, seperti yang dapat kita lihat, mungkin ada kecen-derungan sikap polarisasi dalam arah yang konsisten atau pada bidang yang sama, di semua tiga poin tersebut dapat membantu untuk menggambarkan sejumlah baris cukup berbeda dari potensi pengembangan keadilan restoratif untuk mengambil di masa depan.

Tapi pertama-tama, penting untuk meng-ekspos tiga pokok poin itu sendiri dan perbedaan pendapat dengan mereka

Jim Dignan, menjelaskan bahwa restorative justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan

dengan „keadilan distributif‟, yang penekanan

(33)

Dan yang ketiga adalah „keadilan restoratif‟, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Eglash dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar

Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).

(34)

Lagi pula, dalam ajaran restorative justice, kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim harus mampu menyelesaikan konflik secara adil dan memuaskan para pihak.

Jim Dignan memberikan pandangan bahwa model restorative justice harus berkaitan dengan tiga poin penting yakni, bahwa pertama, pendekatan restorative justice harus berkaitan dengan konsep restorative justice itu sendiri, kedua, fokus pada praktek restorative justice di lapangan dan ketiga, hubungan antara inisiatif restorative justice dengan sistem peradilan pidana.13

Selain pandangan Jim Dignan mengenai model

restorative justice tersebut, Jon Braithwaite mempunyai pandangan adanya 2 model restorative justice yaitu partially integrated twin track model restorative justice dan a systemic model of restorative justice14.

13 Ridwan Mansyur, Op Cit, hlm. 130

(35)

Model pertama yakni partially integrated twin track model restorative justice oleh John Braithwaite digambarkan dalam diagram sebagai berikut :

ASSUMPTION

Incompetent or irrational

Rational actor

Virtuous actor

Gambar 2.1. Model 1 dari Restorative Justice

Jon Braithwaite

Di dalam model pertama ini, John Braithwaite menggambarkan bahwa proses restorative justice

berjalan beriringan dengan ukuran kemampuan dan pencegahan, dan bukannya berjalan bersamaan dalam satu prinsip restorative justice. Maka dari itu, fundamental restorative justice hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan yang benar-benar menginginkan adanya perbaikan sehingga dimungkinkan adanya negosiasi demi restorative justice berlandaskan itikad baik, sehingga tidak semua pelaku kejahatan dapat masuk ke dalam model ini untuk menuju negosiasi yang berasaskan restorative justice.

INCAPACITATI

DETERRENCE

(36)

Sedangkan model restorative justice kedua dari Jon Braithwaite digambarkan di dalam gambar berikut:

Gambar 2.2. Model 2 dari Restorative Justice Jon Braithwaite

Di dalam model kedua ini menggambarkan model alternatif. Model ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan pada sistem peradilan pidana pada model kedua ini pertama kali dapat dilakukan di kepolisian maupun badan yang berwenang seperti kejaksaan atau pun pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban atau

ASSUMPTION

Incorrigible actor who is Determined to inflict serious Harm on others

INCAPACITATION

COURT IMPOSED PRESUMPTIVE RESTORATIVE

COURT IMPOSED

INFORMAL RESTORAIVE JUSTICE PROCESS OR REPARATIVE OUTCOMES Serious or persistence Repeat

offender

Recalcitrant offender Or unwilling victim

(37)

pun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi. Oleh karena itu, John Braithwaite telah mengantisipasinya dengan menggunakan prinsip

active deterrence. Prinsip ini pada intinya mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Kelemahan dari model ini adalah lebih cenderung mengarah pada penghukuman bagi pelaku kejahatan dari pada penyelesaian berdasarkan restorative justice15.

Kedua model ini dapat berjalan beriringan atau pun sebegai alternatif pilihan bagi para pihak. Namun bagi pelaku kejahatan yang tergolong residivis tetap harus menggunakan daya paksa yang dilakukan oleh pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang terlalu sering melakukan kejahatan serupa dan tidak menginginkan perbaikan baik bagi dirinya maupun korban, maka hanyalah penahanan yang dapat diberikan.16

Selanjutnya berdasarkan komparasi

implementasi mediasi penal dari beberapa negara,

15Ibid, hlm, 18-21

(38)

Barda Nawawi mengelompokkan mediasi penal menjadi enam model yaitu sebagai berikut:17

a. Informal Mediation

Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya yaitu: (1)Jaksa Penuntut Umum mengundang para pihak untuk penyelesaian informal dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan;(2) Pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer) yang berpendapat bahwa kontak dengan korban akan mempunyai pengaruh besar bagi pelaku tindak pidana;(3) Pejabat polisi menghimbau perselisihan keluarga yang mungkin dapat menenangkan situasi tanpa membuat penuntutan pidana;(4) Hakim dapat juga memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan dan melepaskan kasusnya;

Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

a.Traditional village or tribal moots

Menurut model ini seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. Model ini di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/pedalaman. Model ini mendahului keuntungan bagi masyarakat luas. Model

17 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian

(39)

ini mendahului model Barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

2. Victim offender mediation

Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses baik pada tahap pembiasaan penuntutan, tahap kebijaksanaan polisi, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, peram-pokan dan tindak kekerasan) dan ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.

3. Reparation negoitation programmes

(40)

antara para pelaku tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja yang dengan demikian dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/ kompensasi.

4. Community panels or courts

Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi. Pejabat lokal dapat mempunyai lembaga/badan tersendiri untuk mediasi itu.

5. Family and community group conferences

(41)

3. Mediasi sebagai Bentuk Penerapan

Restorative Justice

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) menurut Wicipto Setiadi adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan lain-lain. Selain itu APS dapat diartikan sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase18.

Salah satu metode APS yang dikenal dan diakui hingga berada di dalam Sistem Peradilan adalah mediasi. Mediasi dikenal sebagai media untuk menyelesaikan permasalahan. Mediasi dapat diartikan beragam.

Hal tersebut tampak pada pandangan beberapa

ahli mediasi yang mengartikan mediasi seperti J. Foberg dan A. Taylor yang mengatakan bahwa

proses yang dilakukan olah para pihak, bersama dengan pendukung yang netral, mengisolasi isu sengketa untuk mengembang-kan pilihan-pilihan, mempertimbangkan alternatif dan mencapai kesepakatan yang dapat meng-akomodasikan keinginan mereka19.

18 Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative

Dispute Resolution (ADR) dalam http://www.legalitas.org,, diakses 30 Februari 2014

19 J. Foberg dan A. Taylor, 1984, Mediation: A Comprehensive

(42)

Sedangkan Laurence Bolle mengartikan mediasi sebagai proses pembuatan keputusan yang mana para pihak dibantu oleh pihak ketiga, mediator berusaha untuk meningkatkan proses pembuatan keputusan dan untuk membantu para pihak dalam mencapai hasil yang mereka setujui20

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum mengatur tentang penanganan pendekatan keadilan restoratif bagi anak yang melakukan tindak pidana dengan jenis-jenisnya sebagai berikut :

Mediasi korban dengan pelaku

Tujuan mediasi adalah menyelesaikan sengketa melalui proses perundingan guna memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Sebagai mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

a. Musyawarah Keluarga

Dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku dan keluarga korban dengan difasilitasi oleh

(43)

fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak.

Dalam musyawarah keluarga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Keterlibatan pihak-pihak terkait yang meliputi korban, pelaku, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan anak; (2) Pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung pelaku; (3) Hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan informasi kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan;

b. Musyawarah Masyarakat

Dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga

pelaku, keluarga korban dan tokoh

masyarakat/agama dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak.

(44)

kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan.

Mekanisme penanganan dengan pende-katan keadilan restoratif yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah sebagai berikut :

a. Penyidik, penuntut umum dan hakim dalam menyelesaikan perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:(1) Kategori tindak pidana; (2) Umur anak;(3) Hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan;(4) Kerugian yang ditimbulkan;(5) Tingkat perhatian masyarakat; (6) Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

b. Tahapan dalam musyawarah

1) Tahap menggali informasi

(45)

memberikan kesempatan untuk merespons kronologi perkara tersebut dan pelaku dapat menerima atau menolak bertanggung jawab atas perbuatan tersebut;(5) Bila anak mengakui perbuat-annya dan mau bertanggung jawab maka penyelesaian perka-ra bisa dilanjutkan dengan mu-syawarah;(6) Namun apabila anak tidak mengakui perbuatannya maka musyawarah tidak bisa dilanjutkan dan kasus harus dikem-balikan ke proses formal;(7) Usaha harus dilakukan untuk mendorong agar anak mengatakan apa sebenarnya yang terjadi.

(46)

Keluarga masing-masing pihak diberi kesempatan untuk berunding dan harus menjawab pertanyaan sebagai berikut :

a) Bagaimana anak dapat mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban, keluarga dan masyarakat;

b) Rencana apa yang anak dapat lakukan bersama keluarganya untuk mencegah pengulangan perbuatan tersebut.

2) Negosiasi dan perjanjian

Fasilitator diperlukan untuk me-meriksa hal-hal sebagai berikut :

a) Apakah rencana ini telah me-menuhi kebutuhan korban;

b) Apakah rencana ini telah meme-nuhi kebutuhan masyarakat;

c) Apakah rencana ini telah realistis dan dapat dicapai;

d) Apakah rencana ini dilakukan dalam jangka waktu yang relevan;

e) Apakah rencana ini dapat diukur;

f) Apakah rencana ini layak dan

proporsional;

g) Apakah rencana ini melindungi hak anak dan memajukan perkembangan anak; h) Apakah rencana ini memprediksi

(47)

masyarakat perlu juga melibatkan tokoh masyarakat/tokoh agama.

Keputusan hasil musyawarah harus

mendapatkan persetujuan korban dan keluarganya serta persetujuan anak sebagai pelaku dan keluarganya.

Hasil kesepakatan keadilan restoratif dapat berupa hal-hal sebagai berikut :

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali.

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan ke lembaga pendidikan, lembaga penyelenggara ke-sejahteraan sosial atau lembaga kesejahteraan sosial;

d. Pelayanan masyarakat.

4. Prinsip-prinsip Restorative Justice

a. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya.

b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif.

(48)

d. Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah.

Gambar

Gambar 2.1. Model  1 dari Restorative Justice
Gambar 2.2. Model 2 dari Restorative Justice Jon

Referensi

Dokumen terkait

Dan membuat VOD dengan memasukkannya ke dalam aplikasi E-learning yang berbasis php MySQL, baik untuk live unicast maupun on -demand streaming. Sehingga informasi yang membutuhkan

We then run a regression of log Q on our independent variables (i.e., board size, the num- ber of board meetings, the proportion of inde- pendent commissioners on the board,

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul : “ PENGARUH PENGHINDARAN PAJAK TERHADAP NILAI PERUSAHAAN DENGAN KEPEMILIKAN MANAJERIAL, KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL DAN

Sudut istimewa adalah sudut yang perbandingan trigonometrinya dapat dicari tanpa memakai tabel matematika atau kalkulator, yaitu: 0°, 30°, 45°,60°, dan 90°. Sudut-sudut istimewa

[r]

Biaya Pengawasan Pembangunan Ruang Kelas Belajar Dayah Nurul Walidin 56M2 JB: Barang/jasa JP: Jasa Konsultansi.. 1

Latar belakang Sirup maltosa merupakan bahan baku utama dalam produksi.. makanan dan

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini adalah Strategi Guru pendidikan Agama Islam mengatasi Perilaku