• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Konsep Pendekatan Restorative Justice

Pengertian Restorative justice menurut Marlina adalah sebagai berikut :

Proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk

6 Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2009, Modul Keadilan Restoratif, hlm.359

dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara7.

Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan restorative justice

merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Prinsip yang dipaparkan oleh Tony Marshall dan Susan Sharpe adalah bahwa proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara8. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya

7 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 25

bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku.

Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya.

Prinsip yang dikemukakan oleh Tony Marshall dan Susan Sharpe ini sebenarnya telah dipraktekkan selama ribuan tahun oleh masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia praktik secara

restorative justice ini juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan9.

Tony Marshall, seorang ahli krimonologi

berkebangsaan Inggris dalam tulisannya ”Restorative

Justice an Overview” mengatakan:“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively

9 Tony Marshall, dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2012, Modul Keadilan Restoratif, hlm.366

how to deal with the aftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan per-soalan secara bersama-sama bagaimana menye-lesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Pandangan Michael Tonry, melalui penelitiannya tahun 1999 terhadap kebijakan pemidanaan di Amerika, bahwa restorative justice mempunyai pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut memberikan manfaat kepada semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam proses peradilan.

Menurut Tony Marshall, ada 3 (tiga) konsep pemidanaan, yaitu:

a. Structured sentencing (pemidanaan terstru-ktur);

b. Indeterminate (pemidanaan yang tidak me-nentukan); dan

c. Restorative / community justice (pemulih-an/keadilan masyarakat).

Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Toni Marshal dalam

tulisannya “Restorative Justice an Overview”,

dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu :

a. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;

b. Restorative Justice berusaha menyembuh-kan kerusamenyembuh-kan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

c. Restorative Justice memberikan pertang-gungjawaban langsung dari pelaku secara utuh;

d. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;

e. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya. Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses peradilan konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang

menentukan kesalahan dan mengurus

kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan yang sistemik.

Praktik restorative justice yang ada sebenarnya merupakan sebagian dari tradisi dalam masyarakat atau hasil dari penelitian dan perjalanan panjang dari contoh yang diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan kasus pidana di luar peradilan. Praktik-praktik yang ada tetap mempunyai dasar

prinsip restorative justice yang telah diakui di banyak negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand dapat dikelompokkan dalam empat jenis praktik yang menjadi pioner penerapan restorative justice

dibeberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation

(selanjutnya disingkat VOM), Conferencing/Family Group Conferencing (selanjutnya disingkat FGC), Circles dan Restorative Board/Youth Panels.

Dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan anak, Mahkamah Konstitusi Putusan melalui Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 telah memberikan pencerahan baru dalam upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law) yakni melalui pendekatan restorative justice.

Uji materiil yang diajukan oleh KPAI dan Yayasan Pusat dan Kajian Anak Perlindungan Medan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi atas Judicial review

dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM) telah menjatuhkan Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 Februari 2011, yang amar putusannya sebagai berikut :

a. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

b. Menyatakan frasa,"... 8 (delapan) tahun...,"

dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khu-susnya terkait dengan frasa "...8 (delapan) tahun..." adalah bertentangan dengan Un-dang-Undang Dasar Negara Republik Indo-nesia Tahun 1945 secara bersyarat ( condi-tionally unconstitutional), artinya inkons-titusional, kecuali dimaknai "...12 (dua belas) tahun...";

c. Menyatakan frasa,"... 8 (delapan) tahun...,"

dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta

penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa "...8 (delapan) tahun..." tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai "...12 (dua belas) tahun...";

Dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Kemudian apabila Si Anak melakukan tindak pidana pada batas umur sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan ketika diajukan ke sidang pengadilan anak yang bersangkutan melampaui batas 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur 21(dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.

Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. Dan apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak masih dapat dibina oleh orang tua, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Namun jika menurut hasil pemeriksaan,

Penyidik berpendapat bahwa anak tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Jadi pada intinya Anak yang belum berusia 12 (dua belas) yang melakukan tindak pidana tidak diajukan ke sidang pengadilan anak;

Putusan Mahkamah Konstitusi ini pun memutuskan bahwa mengenai penjatuhan pidana terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang pengadilan Anak tidak ada perubahan. Penjatuhan Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: pidana penjara pidana kurungan, pidana denda; atau pidana pengawasan.

Pidana tambahan dapat dijatuhkan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah)

Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan penerapan pendekatan restorative justice dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum menyatakan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Penjatuhan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

2. Model Restorative Justice

Model restorative justice di negara-negara

common law sangatlah beragam10 sebagaimana dikemukakan oleh Jim Dignan bahwa penggunaan proses restorative justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda adalah dengan cara penggunaan inisiatif polisi atau pun usaha untuk meminimkan penyelesaian di dalam pengadilan.

Berkaitan dengan model restorative justice, Jim Dignan berpendapat bahwa ada 3 poin penting yang perlu dipikirkan yang secara lengkapnya adalah bahwa

The first faultline related to the concept of restorative justice itself, and the way this has been defined by restorative justice advocates. It encompasses an important split between those who conceptualise restorative justice exclusively or primarily

10 Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, hlm. 127

in terms of an particulary kind of process and those for whom the concept also extends to outcomes of a particularly kind, irrespective of the decision making process that is involved. The second faultline relates to the focus of different restorative justice practices and the primacy or standing that is accorded to each of the main stakeholders, victim, offender, community and state, with regard to specific offences. And the third faultline relates to the kind of relationship that is envisaged between retorative justice initiatives, whatever form they take, that the regular criminal justice system. To some extent, as we shaal see, there may be an tendency for attitudes to polarise in a consistent direction or in the sam plane, across all three sets of faultline and, to that extent, the faultlines themselves may help to delineate a number of quite distinct lines of potential development for restorative justice to take in the future. Or so I shall be arguing.11 But first it is important to expose the three principal fault-lines themselves and the differences of opinion with which they are associated12.

(Poin pertama terkait dengan konsep keadilan restoratif itu sendiri, dan cara ini telah didefinisikan oleh para pendukung keadilan restoratif. Hal ini meliputi perpecahan penting antara mereka yang membuat konsep keadilan restoratif secara eksklusif atau terutama

11Ibid

12 Jim Dignan, Restorative Justice and the Law; The Case for an integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan dalam The Fifth International Conference of the International Network for Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal 16-19 September 2001, hlm. 5-6

dalam hal jenis yang khususnya proses dan mereka yang konsep juga meluas ke hasil dari sangat baik, terlepas dari proses pengambilan keputusan yang terlibat. Poin kedua yang berhubungan dengan fokus praktek keadilan restoratif yang berbeda dan keutamaan atau berdiri yang diberikan kepada masing-masing pemangku kepen-tingan utama, korban, pelaku, masyarakat dan negara, yang berkaitan dengan pelanggaran tertentu. Dan poin ketiga berkaitan dengan jenis hubungan yang dipertimbangkan antara inisiatif keadilan retorative, bentuk apapun yang mereka ambil, bahwa sistem peradilan pidana biasa. Sampai batas tertentu, seperti yang dapat kita lihat, mungkin ada kecen-derungan sikap polarisasi dalam arah yang konsisten atau pada bidang yang sama, di semua tiga poin tersebut dapat membantu untuk menggambarkan sejumlah baris cukup berbeda dari potensi pengembangan keadilan restoratif untuk mengambil di masa depan.

Tapi pertama-tama, penting untuk meng-ekspos tiga pokok poin itu sendiri dan perbedaan pendapat dengan mereka

Jim Dignan, menjelaskan bahwa restorative justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan

dengan „keadilan distributif‟, yang penekanan

Dan yang ketiga adalah „keadilan restoratif‟, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Eglash dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar

Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).

Restorative justice dianggap sebagai salah satu cara untuk memediasi antara korban dan pelaku kejahatan dalam usaha untuk menyelesaikan permasalahan, yang mendepankan kepentingan korban di atas yang lainnya. Namun demikian, berdasarkan hasil studi empiris yang telah dilakukan oleh pakar, masih terdapat banyak perdebatan tentang bentuk ideal dari restorative justice sebagai wadah mediasi antara korban dan pelaku yang menekankan kepentingan korban dari pada yang lain.

Lagi pula, dalam ajaran restorative justice, kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim harus mampu menyelesaikan konflik secara adil dan memuaskan para pihak.

Jim Dignan memberikan pandangan bahwa model restorative justice harus berkaitan dengan tiga poin penting yakni, bahwa pertama, pendekatan restorative justice harus berkaitan dengan konsep restorative justice itu sendiri, kedua, fokus pada praktek restorative justice di lapangan dan ketiga, hubungan antara inisiatif restorative justice dengan sistem peradilan pidana.13

Selain pandangan Jim Dignan mengenai model

restorative justice tersebut, Jon Braithwaite mempunyai pandangan adanya 2 model restorative justice yaitu partially integrated twin track model restorative justice dan a systemic model of restorative justice14.

13 Ridwan Mansyur, Op Cit, hlm. 130

14 Braithwaite, The Political agenda of republican criminology, paper yang dipresentasikan pada British Criminological Society Conference, York tanggal 27 Juli 1991, Jim Dignan, Restorative Justice and The Law: The Case for an Integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan dalam The Fifth International Conference of the International Network for Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal 16-19 September 2001, hlm. 18-21

Model pertama yakni partially integrated twin track model restorative justice oleh John Braithwaite digambarkan dalam diagram sebagai berikut :

ASSUMPTION

Incompetent or irrational Rational actor

Virtuous actor

Gambar 2.1. Model 1 dari Restorative Justice

Jon Braithwaite

Di dalam model pertama ini, John Braithwaite menggambarkan bahwa proses restorative justice

berjalan beriringan dengan ukuran kemampuan dan pencegahan, dan bukannya berjalan bersamaan dalam satu prinsip restorative justice. Maka dari itu, fundamental restorative justice hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan yang benar-benar menginginkan adanya perbaikan sehingga dimungkinkan adanya negosiasi demi restorative justice berlandaskan itikad baik, sehingga tidak semua pelaku kejahatan dapat masuk ke dalam model ini untuk menuju negosiasi yang berasaskan restorative justice.

INCAPACITATI

DETERRENCE

Sedangkan model restorative justice kedua dari Jon Braithwaite digambarkan di dalam gambar berikut:

Gambar 2.2. Model 2 dari Restorative Justice Jon Braithwaite

Di dalam model kedua ini menggambarkan model alternatif. Model ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan pada sistem peradilan pidana pada model kedua ini pertama kali dapat dilakukan di kepolisian maupun badan yang berwenang seperti kejaksaan atau pun pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban atau

ASSUMPTION

Incorrigible actor who is Determined to inflict serious Harm on others

INCAPACITATION

COURT IMPOSED PRESUMPTIVE RESTORATIVE

COURT IMPOSED

INFORMAL RESTORAIVE JUSTICE PROCESS OR REPARATIVE OUTCOMES Serious or persistence Repeat

offender

Recalcitrant offender Or unwilling victim

pun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi. Oleh karena itu, John Braithwaite telah mengantisipasinya dengan menggunakan prinsip

active deterrence. Prinsip ini pada intinya mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Kelemahan dari model ini adalah lebih cenderung mengarah pada penghukuman bagi pelaku kejahatan dari pada penyelesaian berdasarkan restorative justice15.

Kedua model ini dapat berjalan beriringan atau pun sebegai alternatif pilihan bagi para pihak. Namun bagi pelaku kejahatan yang tergolong residivis tetap harus menggunakan daya paksa yang dilakukan oleh pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang terlalu sering melakukan kejahatan serupa dan tidak menginginkan perbaikan baik bagi dirinya maupun korban, maka hanyalah penahanan yang dapat diberikan.16

Selanjutnya berdasarkan komparasi

implementasi mediasi penal dari beberapa negara,

15Ibid, hlm, 18-21

Barda Nawawi mengelompokkan mediasi penal menjadi enam model yaitu sebagai berikut:17

a. Informal Mediation

Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya yaitu: (1)Jaksa Penuntut Umum mengundang para pihak untuk penyelesaian informal dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan;(2) Pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer) yang berpendapat bahwa kontak dengan korban akan mempunyai pengaruh besar bagi pelaku tindak pidana;(3) Pejabat polisi menghimbau perselisihan keluarga yang mungkin dapat menenangkan situasi tanpa membuat penuntutan pidana;(4) Hakim dapat juga memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan dan melepaskan kasusnya;

Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

a.Traditional village or tribal moots

Menurut model ini seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. Model ini di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/pedalaman. Model ini mendahului keuntungan bagi masyarakat luas. Model

17 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Governance, Jakarta, 27 Maret 2007

ini mendahului model Barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

2. Victim offender mediation

Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses baik pada tahap pembiasaan penuntutan, tahap kebijaksanaan polisi, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, peram-pokan dan tindak kekerasan) dan ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.

3. Reparation negoitation programmes

Model ini semata-mata untuk menak-sir/menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat peme-riksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi

antara para pelaku tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja

Dokumen terkait