DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia
Sumatera Utara)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Sosial Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
Disusun Oleh :
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2012
KATA PENGANTAR
Pertama sekali penulis ingin mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah
SWT yang telah memercikkan setetes dari luasnya lautan ilmu-Nya sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan hingga akhir. Sholawat beriring salam juga saya haturkan kepada
Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari zaman
kebodohan menuju zaman yang penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini.
Kiranya safaat beliau turut serta dalam mengiringi kita pada akhirnya. Amin.
Sungguh banyak sekali doa dan bantuan yang mengiringi penulis di dalam
pengerjaan skripsi ini. Dan dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi
ini, yaitu:
1. Terkhusus untuk kedua orangtuaku tersayang, terima kasih untuk semua
semangat dan dukungan yang diberikan. Buat mama, Elna Sriyani Nst,
makasi ya ma untuk semua pengertiannya, dukungannya dan terima kasih
karena gak pernah bosan untuk mengingatkan adek kalau adek salah. Buat
my best men ayahanda Amran Lubis, terima kasih banyak atas kisah pemain
gitar tanggonya yang betul-betul memberikan semangat untuk terus bangkit
dalam penulisan skripsi ini. Ayah selalu tau bagaimana membuat
putri-putrinya menjadi lebih kuat dalam menghadapi masalah.
2. Untuk my beloved sista Suluh alias Adelita Lubis, terima kasih untuk
semua kebawelan, nasehat, semangat dan terutama subsidi yang amat sangat
membantu. (Yah, walaupun loe tetap aja gangguin adekmu ini bahkan
waktu penat ngerjain skripsinya).
3. Bapak Prof. Badaruddin Rangkuti, selaku dekan FISIP USU.
4. Ibu Hairani Siregar S.sos, MSP selaku Ketua departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial yang juga selaku dosen pembimbing dalam penelitian
ini. Terima kasih banyak ibu atas bimbingan dan pengetahuan yang ibu
berikan dalam penulisan skripsi ini. Semoga ilmu pengetahuan yang ibu
5. Terimakasih juga saya ucapkan kepada staff pengajar dan staff kepegawaian
di kampus FISIP USU. Yang telah memberi banyak kesempatan untuk saya
menimba ilmu dan meminta pertolongan-pertolongan sehingga
menghantarkan saya pada akhir masa studi ini.
6. Bapak Edy Ikhsan, SH, MA selaku Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka
Indonesia.
7. Anggota divisi Anak dan Perempuan Yayasan Pusaka Indonesia yang
selama ini sangat banyak membantu, kepada ibu Elisabet, Pak Marjoko, dan
bang Mitra, terima kasih banyak atas kerja sama dan bimbingannya selama
ini. Serta seluruh Staf Yayasan Pusaka Indonesia, kak nida, pak adek, pak
ucok, bang Fatwa, bang OK, kak tina, kak Irma, bang osin dan semua staf
lain yang mungkin terlupa untuk disebutkan terima kasih banyak atas
kesempatan yang diberikan untuk belajar lebih di Pusaka.
8. Buat Angga, Dora, Sara, Sari, Ainun, Mirsha, “it’s almost seven years,
guys”. Angga (makasi banyak Angga walaupu jauh tapi selalu ngasi
semangat, “we miss you” ngga), Dora (semangat juga skripsinya beng,
makasi udah jatuh bangun sama-sama, sama-sama ngeprint, sama-sama
ngetik, sama-sama jalan kalau penat, makasi beng semoga kita sukses ya),
Sari (kociiiikkk, makasi ya cik buat semangatnya, dirimu juga semangat
skripsinya ya say), Sara (Ingat pulang buk, jangan jadi uni padang aja,
semoga skripsinya lancar juga yaaa..), Ainun (makasi udah mau ngawani
jauh-jauh sampe talun kenas dan danau linting, hujan-hujanan ngebonceng
makhluk yang lagi menggigil, kapan-kapan kita harus ke air terjun
sampuran putih itu, okee.. ), Mirsha (walaupun diluar LDS tapi makasi ya
cha buat semua semangat dan nasehatnya soal dunia nyata, jangan
galau-galau lagi yaa).
9. RGS fam’s mengutip sebuah album dalam akun jejaring sosial yang
berjudul sahabat kandung terima kasih banyak untuk semua dukungan dan
persaudaraan yang diberikan. Bunda (Semangat bund ngerjain skripsinya,
makasi karena udah jadi bunda yang baik selama ini, yang membuat saya
ditubuh mungilnya), Oneng (anak odongkuuu, makasi buat semuanya ya,
makasi karena selalu ngebuat aku merasa sedikit punya arti, semangat untuk
jadi penulis yang hebat ya neng), Rizka (my bobo, “speak up girl, make the
world hear your voice”, semangat skripsinya sayang, ingat pasti bisa,
jangan pernah takut salah yang penting semangat).
10.Spesial untuk kawan-kawan seperjuangan Balap Pesawat, Woodi (makasi ya
wood buat semuanya, jangan galau-galau kau, jangan jadi alalay bumbum,
hahaha), Aling (Chipo, baek-baek ya poo, udah jarang jumpa kita, udah
jarang ngegoceng, tapi makasi buat semuanya ya po), Amin (makasi ya
ketua selalu sabar dengan semua tingkah dan ulah saya..), Bancet ma doni
(makasi buat semuanya, makasi ya ncet, don, selalu ngemong selama ini),
Iskandar dan Silvi (makasi ya nek, is, buat semuanya, langgeng yaaa..)
Aweng dan Randa (Trio kwek-kwek bubar wee, makasi ya weng udah jadi
kawan yag baik, nurut, walaupun rada heng jugak. Gumcha, awas kalau
nanti kami telpon sama aweng rupanya kau masiiiii.. hahaha.. Maaf ya nyet
kalau aku sering nakal. Makasi trio kwek-kwekku buat semuanya). Dan buat
Adit, Dini, Nora, Taupik, Iphin, Tama, dan semua anggota Balap Pesawat
yang mungkin terlupa untuk disebut, terima kasih untuk semua proses yang
kita jalani bersama.
11.Keluarga Besar HMI Komisariat FISIP USU. Tidak cukup kata terimakasih
yang dihantarkan kepada rumah yang telah memberikan pembelajaran dan
kehangatan keluarga yang luar biasa. Untuk kakanda dan adinda semua
yang ada disana. Pastinya, setiap tangga proses yang dilewati disana
menjadi amunisi yang berguna untuk menjadi pribadi yang lebih baik
kedepannya. Semoga Allah SWT memberi yang terbaik untuk kita semua
dan rumah ini. Yakin Usaha Sampai!!.
12.Semua pihak yang pernah bersentuhan pemikiran dengan penulis. Sedikit
banyaknya skripsi ini adalah kristalisasi pemikiran yang selama ini ada.
Akhirnya, Saya berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Namun Demikian, skripsi ini tentunya jauh dari sempurna untuk itu dengan segala
kerendahan hati saya mohon maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.
Medan, Jui 2012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
ABSTRAK
Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak, Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual Di Yayasan Pusaka Indonesia Provinsi Sumatera Utara
Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak, Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia.
(Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 113 Halaman, lampiran, serta 15 kepustakaan dan 7 sumber lain yang berasal dari internet dan karya ilmiah)
Kekerasan terhadap anak yang terus meningkat di Indonesia mapun di Provinsi Sumatera Utara nyatanya didominasi oleh kekerasan seksual. Anak – anak korban kekerasan seksual ini pada umumnya akan mengalami banyak kehilangan seperti kehilangan harga diri, kepercayaan terhadap diri dan orang lain, masa kecil (termasuk kesempatan bermain dan belajar), kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara normal, keintiman, kontrol tubuh, pengasuhan dan kasih sayang yang normal, maupun keselamatan dan keamanannya. Semua itu dapat berakibat terhadap perkembangan anak baik perkembangan fisik maupun mental anak tersebut.
Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak dalam Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Dampak kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak dalam Studi Kasus Anak korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Yayasan Pusaka Indonesia provinsi Sumatera Utara serta areal lingkungan sekitar anak korban kekerasan seksual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan induktif.
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa terdapat dampak pada perkembangan anak korban kekerasan seksual baik pada perkembangan fisik, intelektual, emosi, bahasa, hubungan sosial, kepribadian, moral maupun kreativitasnya. Hal ini kemudian akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter maupun tingkah laku anak tersebut.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
SCIENCE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL SCIENCE
ABSTRACT
Impact of Sexual Violence Against Child Development, Case Study of Child Victims of Sexual Violence in Indonesia Heritage Foundation of North Sumatra Province
(This thesis is comprised of Chapter 6, page 113, appendix, and 15 libraries and 7 other sources from the internet and scientific work)
Violence against children continues to rise in Indonesia organized also in the province of North Sumatra in fact dominated by sexual violence. Child - child victims of sexual violence in general will have much to lose as loss of self esteem, confidence in self and others, childhood (including the opportunity to play and learn), the opportunity to grow and develop normally, intimacy, body control, care and normal affection, as well as safety and security. All that may result to the child's development both physical and mental development of children.
Problem you want removed is the "How to Impact Against Sexual Violence in Child Development Case Study of Child Victims of Sexual Violence in North Sumatra, Indonesia Heritage Foundation". This study aims to determine how the impact of sexual violence against Case Study of Child Development in Child Sexual Abuse victims in Indonesia Heritage Foundation of North Sumatra. This research method used case study method with the approach qualitative. The study was conducted at the Heritage Foundation of North Sumatra province of Indonesia and the surrounding area of child victims of sexual violence. Techniques of data collection is done by in-depth interviews and observations in the field. Data was then narrated qualitatively by using an inductive approach.
Based on these data have been collected and analyzed can be concluded that there is an impact on the development of the child victims of sexual violence both on their physical, intellectual, emotional, language, social relationships, personality, morality and creativity. This will then affect the formation of character and behavior of the child.
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah... 10
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 10
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 10
1.4. Sistematika Penulisan... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Anak ... 13
2.1.1 Pengertian Anak... 13
2.1.2 Anak Rawan... 14
2.1.3 Defenisi Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse)... 15
2.1.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak……….. 16
2.2.Kekerasan Seksual (Sexual Abuse) ... 18
2.4.Perkembangan Anak... 20
2.4.1 Defenisi Perkembangan Anak... 20
2.4.2 Fase Perkembangan Anak... 22
2.4.3 Aspek-Aspek Perkembangan Anak... 24
2.5.Kesejahteraan Sosial... 33
2.5.1 Defenisi Kesejahteraan Sosial... 33
2.6.Kerangka Pemikiran... 35
2.7.Defenisi Komsep dan Defenisi Operasional... 38
2.7.1 Defenisi Konsep………. 38
2.7.2 Defenisi Operasional……….. 39
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Jenis Penelitian ... 41
3.2.Lokasi Penelitian ... 42
3.3.Unit Analisis dan Informan... 42
3.3.1 Unit Analisis... 42
3.3.2 Informan... 43
3.4.Telnik Pengumpulan Data ... 44
3.4.Teknik Analisis Data ... 45
BAB 4 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1.Sejarah Organisasi... 46
4.2.Visi dan Misi Lembaga... 48
4.3.Nilai-Nilai Lembaga... 49
4.4.Program Kerja Lembaga... 49
4.5.Divisi Kelembagaan... 50
4.6.Konsulat (Liaison Officer)... 60
4.7.Struktur Lembaga... 61
4.9.Jaringan Kerja Lembaga... 67
BAB 5 ANALISA DATA 5.1.Perkembangan Fisik... 74
5.2.Perkembangan intelektual... 83
5.3.Perkembangan Emosi... 89
5.4.Perkembangan Bahasa... 95
5.5.Perkembangan Hubungan Sosial... 100
5.6.Perkembangan Kepribadian... 104
5.7.Perkembangan Moral... 107
5.8.Perkembangan Kreativitas... 108
5.9.Peran Pemerintah dan Lembaga Sosial dalam Menangani Permasalahan Kekerasan Seksual pada Anak... 108
BAB 6 PENUTUP 6.1.Kesimpulan... 111
6.2.Saran... 112
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
ABSTRAK
Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak, Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual Di Yayasan Pusaka Indonesia Provinsi Sumatera Utara
Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak, Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia.
(Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 113 Halaman, lampiran, serta 15 kepustakaan dan 7 sumber lain yang berasal dari internet dan karya ilmiah)
Kekerasan terhadap anak yang terus meningkat di Indonesia mapun di Provinsi Sumatera Utara nyatanya didominasi oleh kekerasan seksual. Anak – anak korban kekerasan seksual ini pada umumnya akan mengalami banyak kehilangan seperti kehilangan harga diri, kepercayaan terhadap diri dan orang lain, masa kecil (termasuk kesempatan bermain dan belajar), kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara normal, keintiman, kontrol tubuh, pengasuhan dan kasih sayang yang normal, maupun keselamatan dan keamanannya. Semua itu dapat berakibat terhadap perkembangan anak baik perkembangan fisik maupun mental anak tersebut.
Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak dalam Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Dampak kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak dalam Studi Kasus Anak korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Yayasan Pusaka Indonesia provinsi Sumatera Utara serta areal lingkungan sekitar anak korban kekerasan seksual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan induktif.
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa terdapat dampak pada perkembangan anak korban kekerasan seksual baik pada perkembangan fisik, intelektual, emosi, bahasa, hubungan sosial, kepribadian, moral maupun kreativitasnya. Hal ini kemudian akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter maupun tingkah laku anak tersebut.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
SCIENCE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL SCIENCE
ABSTRACT
Impact of Sexual Violence Against Child Development, Case Study of Child Victims of Sexual Violence in Indonesia Heritage Foundation of North Sumatra Province
(This thesis is comprised of Chapter 6, page 113, appendix, and 15 libraries and 7 other sources from the internet and scientific work)
Violence against children continues to rise in Indonesia organized also in the province of North Sumatra in fact dominated by sexual violence. Child - child victims of sexual violence in general will have much to lose as loss of self esteem, confidence in self and others, childhood (including the opportunity to play and learn), the opportunity to grow and develop normally, intimacy, body control, care and normal affection, as well as safety and security. All that may result to the child's development both physical and mental development of children.
Problem you want removed is the "How to Impact Against Sexual Violence in Child Development Case Study of Child Victims of Sexual Violence in North Sumatra, Indonesia Heritage Foundation". This study aims to determine how the impact of sexual violence against Case Study of Child Development in Child Sexual Abuse victims in Indonesia Heritage Foundation of North Sumatra. This research method used case study method with the approach qualitative. The study was conducted at the Heritage Foundation of North Sumatra province of Indonesia and the surrounding area of child victims of sexual violence. Techniques of data collection is done by in-depth interviews and observations in the field. Data was then narrated qualitatively by using an inductive approach.
Based on these data have been collected and analyzed can be concluded that there is an impact on the development of the child victims of sexual violence both on their physical, intellectual, emotional, language, social relationships, personality, morality and creativity. This will then affect the formation of character and behavior of the child.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
“Bagaikan anak burung yang sayapnya telah dikerat sebelum mampu terbang”.
Mungkin kiasan Y.B. Mangunwijaya ini tepat digunakan untuk menggambarkan
tentang efek kekerasan terhadap proses tumbuh kembang seorang anak. Kekerasan
yang melekat dalam keseharian anak-anak telah meremukkan sekaligus dua dunia yang
semestinya menjadi milik mereka. Dunia di dalam badan ; kekayaan imajinasi,
keriangan hati, dan kreativitas yang murni, luas, penuh pesona, dan merdeka. Yang lain
ialah dunia diluar jasa mereka ; lingkungan bermain, cinta kasih keluarga, dan masa
depan, ruang waktu tempat mereka tumbuh dan berkembang dengan segumpal cita-cita
dan harapan (Dijk, 1999: 2).
Tindak kekerasan acapkali diterima seorang anak tanpa sedikitpun seorang anak
dapat membela diri. Penderitaan getir yang tak berujung harus ditelan begitu saja oleh
anak-anak korban kekerasan yang polos dan tak berdaya. Ketakutan menjadi penjara
tanpa pengadilan bagi mereka. Kesakitan, kesedihan, kesepian, kekecewaan, dan
kemarahan mereka, tak urung dalam beberapa gradasi menimbulkan gangguan psikis
seperti stress, phobia, atau trauma yang merusak kepercayaan terhadap diri dan orang
lain.
Semua kekerasan yang diterima oleh anak akan direkam dalam alam bawah
sadar mereka dan akan dibawa pada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya.
Akibatnya si anak setelah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa akan sangat agresif
mengatakan, semua jenis gangguan mental (mental disordis) ada hubungannya dengan
perilaku buruk yang diterima manusia ketika ia masih kecil (Dijk, 1999: 30).
Sering kali orang dewasa tidak menyadari bahwa apa yang terjadi disekitar
mereka begitu mempengaruhi anak. Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari apa
yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Jika suasana lingkungan sekitarnya sehat dan
bahagia, maka wajah anak begitu ceria dan berseri. Sebaliknya jika mereka murung
atau sedih, biasanya telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan sekitarnya.
Jika kekerasan begitu dominan tidaklah mengherankan jika anak-anak kemudian
melakukannya dan bahkan terbawa sampai ia dewasa. Karena kekerasan begitu sering
terjadi dalam lingkungan anak, maka ia menganggap hal itu sebagai hal yang “normal”
dan sudah seharusnya (Huraerah, 2006 : 48).
Dibesarkan dengan pengalaman buruk bukan mustahil mereka kelak (jika mujur
menjadi survivor), akan menjelma menjadi pelaku kekerasan baru yang lebih kejam dan
lebih menyeramkan. Kekerasan menjadi satu-satunya cara yang dipahami untuk
memecahkan masalah. Ada siklus yang berulang, ada proses dialektis: sebentuk
kekerasan, muncul sebagai reaksi atas kekerasan sebelumnya. Begitu seterusnya hingga
menjadi modus vivendi, dalam menyikapi hubungan dengan sesama. Situasi psikis yang
oleh pakar kriminologi disebut monomanien (gangguan terhadap kekuatan jiwa) ini
dapat menimbulkan depresi yang meruntuhkan mental dan kepribadian anak, dan disisi
ekstrim lain, juga dapat menghilangkan rasa takut. Kekerasan kemudian dianggap
sebagai sesuatu yang biasa, sah, dan wajar.
Untuk melihat kompleksitas masalah yang dihadapi sebagai akibat dari
pengaruh child abuse beberapa ahli kemudian mengemukakan pendapatnya. Misalnya
Rusmil (dalam Hurairah, 2006: 45) yang berpendapat bahwa anak-anak yang menderita
pendek, kesehatan fisik dan mental yang buruk, masalah pendidikan (termasuk
drop-out dari sekolah), kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak, dan menjadi
gelandangan.
Sementara itu Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia yang dikutip oleh
Suharto (dalam Huraerah, 2006 : 46) menyimpulkan bahwa kekerasan dapat
menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan
pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak dikemudian hari, antara
lain :
1. Cacat tubuh permanen.
2. Kegagalan belajar.
3. Gangguan emosional bahkan dapat pada gangguan kepribadian.
4. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau
mencintai orang lain.
5. Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan
orang lain.
6. Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal.
7. Menjadi penganiaya ketika dewasa.
8. Menggunakan obat-obatan atau alkohol.
9. Kematian.
Saptandari (dalam Suyanto, 2010 : 100) mengatakan dampak yang dialami
anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual biasanya adalah (1) kurangnya
motivasi/ harga diri; (2) problem kesehatan mental seperti : kecemasan berlebihan,
problem dalam hal makan, dan sudah tidur ; (3) sakit yang serius dan luka parah sampai
cacat permanen; (4) problem kesehatan seksual; (5) mengembangkan perilaku agresif;
belajar lebih lamban, sakit perut, asma dan sakit kepala; (7) serta kematian. Adapun
dampak kekerasan pada anak dalam masyarakat adalah pewarisan lingkaran kekerasan
secara turun temurun, memiliki kepercayaan yang keliru bahwa orrang tua memiliki
hak untuk melakukan apa saja terhadap anaknya (termasuk melakukan kekerasan),
kualitas hidup masyarakat yang merosot sebab anak yang dianiaya tidak mengambil
peran yang selayaknya dalam kehidupan kemasyarakatan.
Sadar ataupun tidak sadar, anak merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa
yang dasarnya telah dibangun oleh generasi sebelumnya. Tindakan kekerasan terhadap
anak merupakan dasar yang telah dibangun oleh generasi sebelumnya sebagai warisan,
untuk selanjutnya ketika pada usia anak-anak ia telah menerima tindakan kekerasan
maka ketika ia tumbuh kembang menjadi dewasa, ia akan memperlakukan anak-anak
lain termasuk anaknya seperti apa yang dialaminya saat anak-anak.
Mengingat anak merupakan penerus cita-cita dan peradaban manusia,
seyogyanya anak mendapat perlakuan sebaik-baiknya. Kasih sayang, perhatian dan
perlindungan merupakan syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar anak dapat
tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa yang mampu bertanggung jawab dan
mandiri. Ironisnya cita-cita mulia sekaligus berat yang ditumpahkan pada anak-anak
tidak diiringi dengan tindakan dalam fakta lapangannya. Kekerasan terhadap anak yang
terjadi di indonesia justru meningkat dan memprihatinkan.
Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Anak Indonesia, terjadi
peningkatan angka kekerasan terhadap anak pada tahun 2011 yang terjadi di indonesia.
Komnas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun
2011. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2010, sebanyak 2.413 kasus. Selain itu,
kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia juga didominasi oleh kasus kekerasan
atau setara 62,7 persen adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk
sodomi, pemerkosaan, pencabulan serta inces. Sedangkan persentase kasus sisanya
adalah kekerasan fisik dan psikis (www.news.detik.com : Selasa, 20/12/2011 11:42
WIB diakses tanggal 13 Maret 2012).
Hal serupa juga terlihat berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatra Utara. Terdapat
peningkatan kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara
sebanyak sekitar delapan persen pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yaitu tahun 2010. Berdasarkan pengaduan masyarakat yang tercatat oleh
KPAID SUMUT terdapat 164 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di tahun
2011 setelah sebelumnya terdapat 153 kasus pada tahun 2010. KPAID juga
menambahkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang ada di Provinsi
Sumatera Utara dapat berkembang lebih banyak lagi mengingat pihak korban maupun
keluarga yang kerap malu dan menutup-nutupi kasus tersebut sehingga menyulitkan
dalam pemonitoringan data jumlah korban kekerasan anak yang terjadi di Provinsi
Sumatera Utara. Selain itu KPAID juga mengatakan bahwa kasus kekerasan anak yang
terjadi di Provinsi Sumatera Utara didominasi oleh kasus kekerasan seksual yaitu
sekitar lebih dari 30 persen atau sebanyak 64 kasus (www.eksposnews.com: Kamis,
19/01/2012 19:58:09 diakses tanggal 13 Maret 2012).
Kekerasan terhadap anak yang terus meningkat di Indonesia mapun di Provinsi
Sumatera Utara nyatanya didominasi oleh kekerasan seksual baik itu sodomi,
pemerkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, incest maupun bentuk-bentuk kekerasan
seksual lainnya. Anak – anak korban kekerasan seksual ini pada umumnya akan
mengalami banyak kehilangan seperti kehilangan harga diri, kepercayaan terhadap diri
untuk tumbuh dan berkembang secara normal, keintiman, kontrol tubuh, pengasuhan
dan kasih sayang yang normal, maupun keselamatan dan keamanannya. Semua itu
dapat mengakibatkan dampak kerugian jangka pendek maupun jangka panjang
terhadap perkembangan anak baik perkembangan psikologi, fisik, emosi, sosial,
maupun perkembangan psikopatologi seorang anak.
Dampak psikologis, emosional, fisik dan sosial yang dialami anak korban
kekerasan seksual meliputi
gangguan psikologis yang umum seperti
perilaku termasuk
ada beberapa hipotesis lain pada asosiasi kausalitas ini
Maret 2012).
Pada penganiayaan seksual dapat berakibat pada kondisi fisiknya seperti terjadi
luka memar, rasa sakit, gatal-gatal didaerah kemaluan, pendarahan dari vagina atau
anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina. Sering pula
korban menunjukkan gejala sulit untuk berjalam atau duduk dan terkena infeksi
penyakit kelamin, bahkan bisa terjadi suatu kehamilan (Suyanto, 2010 :100)
Levitan (dalam Suyanto, 2010 : 102) mengatakan bahwa pada anak yang
mengalami kekerasan seksual bisa mengalami gejala kejiwaan tergantung pada
kepekaan anak, cacat yang ditinggalkan, dan macam dario penganiayaannya, kronisitas
Mereka juga sering kali menunjukkan keluhan-keluhan somatik tanpa adanya dasar
penyebab organik, kesulitan disekolah atau kesulitan dalam mengadakan hubungan
dengan teman, gelisah, kehilangan kepercayaan diri, tumbuh rasa tidak percaya pada
orang dewasa, phobia, cemas, perasaan terluka yang sifatnya permanen.
Anak perempuan pada situasi sekarang ini sangatlah rentan terhadap kekerasan
seksual. Data yang dihimpun oleh pusat krisis terpadu untuk perempuan dan anak di
pusat Klinik terpadu RSCM dari juni 2000 hingga Desember 2007 menunjukkan, kasus
kekerasan seksual terhadap anak perempuan mencapai 708 kasus dan kasus kekerasan
seksual pada anak laki-laki mencapai 118 kasus. Alasan pelaku pada umumnya sangat
beragam, selain tidak rasional juga mengada-ada. Selain itu para pelaku sebelum dan
sesudah melakukan kekerasan seksual umumnya melakukan kekerasan, dan atau
ancaman kekerasan, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan. Walaupun sebagian
besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita, akan tetapi dalam
beberapa kasus, laki -laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual yang umumnya
dilakukan oleh laki-laki juga dan dalam hal ini didominasi oleh kasus kekerasan
seksual berupa sodomi
Berdasarkan data yang berhasil dimonitoring oleh Yayasan Pusaka Indonesia,
usia anak korban kekerasan seksual berkisar antara 2-18 tahun. Dalam data Yayasan
Pusaka Indonesia juga dapat dilihat bahwa kekerasan seksual dengan kasus pencabulan
dan pemerkosaan paling banyak terjadi pada rentang usia 15-18 tahun dan kemudian
disusul dengan rentang usia 6-8 tahun. Sedangkan kekerasan seksual dengan kasus
sodomi paling banyak terjadi pada usia 6-8 tahun. Dan untuk kasus kekerasan seksual
berupa incest tidak memiliki kecenderungan pada usia atau dalam kata lain lebih merata
Pada sebagian besar kasus, kekerasan seksual dilakukan oleh orang sudah
sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri maupun
kandung), guru, pemuka agama, atasan. Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan
dilakukan oleh orang - orang yang baru dikenal dan semula nampak sebagai orang baik
-baik yang menawarkan bantuan, misalnya meng-antarkan korban ke suatu tempat
Monitoring data anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yayasan
Pusaka Indonesia tahun 2011 menunjukkan dari 110 kasus kekerasan seksual terhadap
anak yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, sebanyak 72 kasus dimana pelaku
merupakan orang-orang yang berada disekitar korban seperti tetangga, teman, pacar,
guru dan bahkan oleh orang-orang yang seharusnya memiliki tanggung jawab terbesar
untuk melindungi anak yaitu keluarga. Dimana 26 kasus kekerasan seksual terhadap
anak, pelaku merupakan tetangga korban sendiri. Kemudian sebanyak 24 kasus dimana
keluarga (orang tua kandung/tiri, abang kandung/tiri, paman, dan kakek) merupakan
pelaku dalam tindak kekerasan seksual terhadap anak. 9 kasus pelaku merupakan teman
dari korban. 9 kasus pelaku adalah pacar dari korban. Dan 4 kasus pelaku merupakan
guru dari korban.
Sebaliknya pelaku kekerasan yang berada diluar lingkungan sekitar korban
adalah sebanyak 38 kasus. 18 kasus dimana pelaku merupakan orang yang baru dikenal
oleh korban. 11 kasus dimana pelaku adalah orang yang tidak dikenal. 2 kasus dimana
pelaku adalah seorang tukang becak. 3 kasus dimana pelaku adalah majikan korban.
kemudian PNS sebanyak 2 kasus dan supir sebanyak 1 kasus. Dan yang terakhir adalah
Lingkungan sosial yang tidak sehat (sakit) akan memberikan pengaruh besar
kepada pembentukan kebiasaan atau perkembangan anak. Apabila terdapat
perangsang-perangsang negatif dari luar yang mengkondisionir anak-anak maka mereka sendiri
kemudian akan mengembangkan pola kebiasaan yang tidak wajar atau ”sakit”
menirukan tingkah laku “tidak sehat” orang dewasa yang dilihat atau dialami oleh
seorang anak. Maka, sebagai akibat dari stimulus sosial yang kurang baik, dan salah
ulah dalam proses belajar anak-anak itu, muncul kemudian banyak gejala
penyimpangan perilaku anak setelah dewasa.
Sementara itu, sistem pencegahan, perlindungan dan penanggulangan anak
korban kekerasan (termasuk didalamnya kekerasan seksual) dinilai masih sangat minim
dan hampir tidak ada sama sekali. Bahkan banyak kekerasan yang menimpa anak-anak
tidak terjangkau oleh hukum dengan alasan kultural (tradisi), privasi, interest politik,
ataupun rasa malu baik dari pihak korban ataupun keluarga. Maka merebaklah impunity
(kejahatan tanpa hukuman) yang memungkinkan kekejaman bisa terus berlangsung.
Dalam hal ini negara dan masyarakat telah melakukan tindakan pembiaran (act of
ommision) yang memungkinkan pelaku bebas dari tuntutan hukum (Dijk, 1999: 4).
Semua ini tentu saja tidak bisa dibiarkan. Kekerasan sangat bertentangan
dengan roh Konvensi Hak Anak maupun Undang-Undang no 4/ 1979 tentang
kesejahteraan anak dan berbagai instrumen tentang anak dan hak asasi manusia lainnya,
khususnya hak merealisasikan diri (self realization) dan hak menumbuh kembangkan
dirinya (personal growth), yang merupakan hak dan nilai yang inhern dari setiap gerak
dan langkah manusia. Oleh karena itu penting untuk melakukan upaya pencegahan,
perlindungan, maupun upaya pemantauan terhadap perkembangan anak korban
kekerasan sebagai bentuk penanggulangan terhadap efek kekerasan yang terus
dengan tetap memperoleh hak-haknya sebagai anak yang harus dilindungi karena anak
merupakan pewaris dan pelanjut masa depan bangsa.
Maka atas dasar tujuan memastikan anak menjalani proses tumbuh kembangnya
secara maksimal dan tetap memperoleh haknya sebagai seorang anak yang seharusnya
juga dimiliki oleh anak korban kekerasan seksual, dengan ini peneliti tertarik
melakukan penelitian untuk mengetahui Dampak Kekerasan Seksual terhadap
Perkembangan Anak dengan studi kasus anak korban kekerasan seksual yang
didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia Provinsi Sumatera Utara.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah yang dapat dirumuskan
oleh penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Dampak Kekerasan Seksual
terhadap Perkembangan Anak Dalam Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual
yang Didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia Provinsi Sumatera Utara ?”.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dampak
kekerasan seksual terhadap perkembangan anak dengan studi kasus anak korban
kekerasan seksual yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia Provinsi Sumatera
Utara.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
a. Bagi Penulis, dapat mempertajam kemampuan penulis dalam penulisan
penulis dalam menyikapi dan menganalisis permasalahan sosial yang terjadi
dalam masyarakat khususnya permasalahan sosial anak.
b. Bagi Fakultas, dapat memberikan sumbangan yang positif dalam rangka
pengembangan konsep - konsep dan teori – teori keilmuan mengenai
Permasalahan Sosial Anak yang dikembangkan oleh Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial khususnya, serta dapat bermanfaat.
c. Bagi Praktisi, dapat menambah wawasan mengenai permasalahan Dampak
Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak dan mampu memberikan
masukan terhadap upaya penanganan sehingga anak tidak kehilangan
haknya dan mampu menjalani kembali keberfungsian sosialnya dengan
1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan uraian teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan
objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep, dan
defenisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik
pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang
digunakan berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.
BAB V : ANALISA DATA
Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian
beserta analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat dari hasil
penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse)
2.1.1 Pengertian Anak
Terdapat beragam defenisi anak yang dapat kita temukan dalam beberapa
undang-undang ataupun berbagai instrumen tentang anak dan hak asasi manusia
lainnya yang di gunakan di Indonesia. Salah satu tema utama dalam perdebatan defenisi
anak adalah tentang kapan mulai dan selesainya seseorang disebut anak.
Namun, perlu ditekankan disini bahwa Konvensi Hak Anak (dalam Save the
Children, 2010 : 18) memang tidak menetapkan kapan mulainya seseorang dianggap
anak maupun kapan berakhirnya masa anak. Para pedegraf Konvensi Hak Anak (KHA)
menghargai keragaman hukum domestik nasional dalam penentuan kapan mulainya
seseorang dianggap anak sehingga menghindari solusi tunggal untuk menjawab itu.
Sebagai suatu standar minimal, KHA mempersilahkan tiap-tiap sistem hukum untuk
mengaturnya sendiri.
Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 tahun 1973, pengertian
tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam
Convention on The Rights of Children (1989) yang telah diatifikasi pemerintah melalui
kepres no 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun
kebawah. Sementara itu UNICEF juga mendefinisikan anak sebagai penduduk yang
berusia antara 0-18 tahun. Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21
tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-Undang perkawinan menetapkan batas
Selanjutnya UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, juga
mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian UU no 39 / 1999 tentang
HAM dalam pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yanf berusia
dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya (Save the Children, 2010 :
19).
2.1.2 Anak Rawan
Anak rawan pada dasarnya merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan
kelompok anak-anak yang karena situasi, kondisi, dan tekanan-tekanan kultur maupun
struktur menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-haknya dan acap kali
pula dilanggar hak-haknya. Inferior, rentan, dan marginal adalah beberapa ciri yang
umum diidap oleh anak-anak rawan. Dikatakan inferior, karena mereka biasanya
tersisih dari kehidupan normal dan terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar.
Adapun dikatakan rentan karena mereka sering menjadi korban situasi dan bahkan
terlempar dari masyarakat (displaced children). Sementara itu, anak-anak rawan
tersebut tergolong marjinal karena dalam kehidupan sehari-harinya mereka mengalami
berbagai bentuk eksploitasi dan diskriminasi, mudah diperlakukan salah dan bahkan
acap kali pula kehilangan kemerdekaannya (Suyanto, 2010 : 4).
Secara konseptual, anak-anak rawan pada awalnya disebut dengan instilah
khusus yakni Children in Especialy Difficult Circumtance (CEDC). Dalam Guidelnes
Pelaporan KHA tahun 1996, istilah CEDC diatas kemudian telah diganti dengan istilah
yang disebut Children in need of Special Protection (CNSP) atau anak-anak yang
Irwanto (dalam Suyanto, 2010 : 4, 5) menyebutkan bahwa menurut dokumen
PBB, beberapa situasi yang dianggap rawan bagi anak sehingga membutuhkan upaya
perlindungan khusus, antara lain adalah : Pertama, jika anak berada dalam lingkungan dimana hubungan antara anak dengan orang-orang disekitarnya khususnya orang
dewasa, penuh dengan kekerasan atau cenderung tidak perduli dan menelantarkan.
Kedua, jika anak berada dalam lingkungan yang sedang mengalami konflik bersenjata. Ketiga, jika anak berada dalam ikatan kerja -baik formal maupun informal- dimana kepentingan perkembangan dan pertumbuhan anak kemudian tidak memperoleh
perhatian dan perlindungan yang memadai. Keempat, jika anak melakukan pekerjaan yang mengandung resiko kerja tinggiseperti diatas geladak kapal, pekerjaan konstruksi,
pertambangan, pengecoran, dilakukan dengan zat-zat kimiawi yang berbahaya atau
mesin-mesin besar atau jenis pekerjaan tertentu yang jelas-jelas merugikan anak,
seperti bekerja dalam industri seks komersial. Kelima, jika anak terlibat dalam penggunaan zat-zat psikoaktif. Keenam, jika anak, karena kondisi fisik (misalnya cacat secara lahir atau cacat akibat kecelakaan), latar belakang budaya (minoritas),
sosial-ekonomi (tidak memiliki KTP, akte kelahiran, miskin) maupun politis orang tuanya
rentan terhadap berbagai perlakuan diskriminatif. Ketujuh, anak yang karena status sosial perkawinannya rentan terhadap tindakan diskriminatif. Kedelapan, jika anak sedang berhadapan dan mengalami konflik dengan hukum dan harus berurusan dengan
aparat penegak hukum sesuai pranatanya.
2.1.3 Defenisi Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse)
Menurut Gelles (dalam Suyanto, 2010: 28) kekerasan terhadap anak (child
umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman
terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Namun demikian perlu disadari bahwa
child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik,
melainkan juga dapat berupa berbagai bentuk seperti eksploitasi melalui pornografi dan
penyerangan seksual, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan
kurang gizi (malnutrision), pengabaian pendidikan dan kesehatan (education and
medical neglect) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse).
Sementara itu Barker (dalam Huraerah, 2006: 36) mendefinisikan kekerasan
terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional
terhadap anak yang ketergantungan melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak
terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya
dilakukan pada orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
2.1.4 Bentuk – Bentuk Kekerasan terhadap Anak
Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007: 36), psikiater anak mengklasifikasikan
kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu: emotional abuse,
verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
a. Emotional Abuse
Emotional abuse dapat terjadi apabila setelah orang tua mengetahui
keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orang tua tidak
memberikan apa yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Anak
akan mengingat semua kekerasan emosional, jika kekerasan emosional
tersebut berjalan konsisten
Verbal abuse lahir akibat bentakan, makian orang tua terhadap anak.
Ketika anak meminta sesuatu, orang tua tidak memberikannya dan malah
membentaknya. Anak akan mengingat kekerasan ini jika semua kekerasan
verbal ini terjadi pada satu periode.
c. Physical Abuse
Kekerasan ini terjadi saat anak menerima pukulan dari orang tua.
Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi kekerasan itu meninggalkan
bekas.
d. Sexual Abuse
Terjadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak namun ada juga
kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia 6
bulan.
Selain itu child abuse juga dapat dikelompokkan kedalam 4 benntuk yaitu :
1. Kekerasan secara Fisik (physical abuse), adalah penyiksaan, pemukulan,
dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan
benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak.
Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau
kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau
rotan dan dapat pula berupa luka bakar.
2. Kekerasan secara psikologis (psycological abuse), meliputi penghardikan,
penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar,
atau film pornografi pada anak. Anak yang mengalami perlakuan ini
umumnya menunjukkan gejala perilaku maladatif, seperti menarik diri,
pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu
3. Kekerasan secara seksual (Sexual Abuse), dapat berupa perlakuan
pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata,
sentuhan, gambar visual, ekshibitionism), maupun perlakuan kontak seksual
secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan,
eksploitasi seksual).
4. Kekerasan secara sosial (social abuse), dapat mencakup penelantaran anak
dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang
tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh
kembang anak. Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap
diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang
dilakukan keluarga atau masyarakat (Huraerah, 2006: 37).
2.2 Kekerasan Seksual (Sexual Abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan
pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual
dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
Selain itu kekerasan anak secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak
seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar
visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak
dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
Menurut Resna dan Darmawan (dalam Abu Huraerah, 2006: 61), tindakan
eksploitasi. Dalam ekspoitasi termasuk diantaranya prostitusi dan pornografi. Untuk
lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :
a. Pemerkosaan
Pelaku tindak pemerkosaan biasanya adalah pria. Perkosaan biasanya terjadi pada
suatu saat dimana pelaku biasanya lebih dahulu mengancam dengan
memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa segera setelah
perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka
memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu
penganiayaan. Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan terhadap
anak, akan merupakan suatu resiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak
emosi tidak stabil.
b. Incest
Didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara
individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka
dilarang hukum ataupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan
sering menyangkut suatu proses terkondisi.
c. Eksploitasi
Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena
sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai
sebuah keluarga atau diluar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak
berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada
beberapa kasus meliputi seluruh keluarga ibu, ayah, dan anak-anak dapat terlibat
dan anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini
merupakan situasi patologi dimana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual
pornografi. Ekspoitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang
banyak scara psikiatri.
Selain itu Tower juga melakukan pembagian jenis kekerasan seksual
berdasarkan identitas pelaku.
1. Familial Abuse
Familial Abuse atau Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan
darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti
orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.
2. Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya
40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh
orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak.
Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak”.
2.3 Perkembangan Anak
2.3.1 Defenisi Perkembangan Anak
Perkembangan ialah perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses
pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan,
dan proses belajar dalam pasage waktu tertentu, menuju kedewasaan. Perkembangan
dapat diartikan pula sebagai proses transmisi dari konstitusi psiko-fisik yang herediter,
diransang oleh faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan dalam perwujudan
aktif-menjadi secara kontinu. Dimana setiap fenomena/gejala perkembangan anak
merupakan produk dari kerjasama dan pengaruh dari timbal balik antara potensialitas
Selain itu perkembangan juga dapat diartikan sebagai perubahan yang progresif
dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati
(The progressive and Continous Change in the Organism from Birth to Death).
Pengertian lain dari perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami individu
atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang
berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik
(Jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (Yusuf, 2004: 15).
Banyak orang menggunakan istilah pertumbuhan dan perkembangan secara
bergantian. Namun dalam kenyataannya kedua istilah itu memiliki makna yang
berbeda. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yaitu peningkatan
ukuran dan struktur. Sebaliknya perkembangan, berkaitan dengan perubahan kualitatif
dan kuantitatif. Ia dapat didefenisikan sebagai deretan progresif dari perubahan yang
teratur dan koheren. “Progresif’ menandai bahwa perubahannya terarah, membimbing
mereka maju dan bukan mundur. “Teratur” dan “Koheren” menunjukkan adanya
hubungan nyata antara perubahan yang terjadi dan dan yang akan mengikutinya
(Hurlock, 1993: 23).
Sementara itu Berk (dalam Ali dan Anshori, 2004 : 11) berpendapat bahwa
pertumbuhan yang terjadi sebagai perubahan individu lebih mengacu dan menekankan
pada aspek perubahan fisik kearah lebih maju. Dengan kata lain, istilah pertumbuhan
dapat didefenisikan sebagai proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan
kontinu serta berlangsung dalam periode tertentu. Oleh karena itu, sebagai hasil dari
pertumbuhan adalah bertambahnya berat, panjang atau tinggi badan, tulang, dan
otot-otot menjadi lebih kuat, lingkar tubuh menjadi lebih besar dan organ tubuh menjadi
lebih sempurna. Sedangkan perkembangan lebih mengacu pada perubahan karakteristik
lebih merujuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang
bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakteristik psikis
yang baru.
2.3.2 Fase Perkembangan Anak
Untuk mendapatkan wawasan yang jelas mengenai perkembangan anak, orang
membagi perkembangan anak dalam beberapa periode dengan alasan pada fase
perkembangan tertentu, anak secara umum memperlihatkan ciri dan tingkah laku
karakteristiknya. Pada umumnya, sarjana-sarjana ilmu jiwa anak mengemukakan
pembagian periode perkembangan anak menurut pertimbangannya sendiri.
Aristoteles (dalam Kartono, 1995 : 28) membagi masa perkembangan selama
21 tahun kedalam 3 stepnia yang dibatasi 2 gejala alamiah yang penting yaitu (1)
pergantian gigi dan (2) munculnya gejala pubertas. Pembagian tersebut adalah :
a. 0-7 tahun, disebut sebagai masa kecil, masa bermain.
b. 7-14 tahun, masa anak-anak, masa belajar, atau masa sekolah rendah.
c. 14-21 tahun, masa remaja atau pubertas, masa peralihan dari anak menjadi
orang dewasa.
Kemudian Charlot Buhler (dalam Kartono, 1995 : 28) membagi masa
perkembangan anak menjadi:
1. Fase pertama, 0-1 tahun : masa menghayati obyek-obyek diluar diri sendiri, dan
saat melatih fungsi-fungsi terutama fungsi motorik.
2. Fase kedua, 2-4 tahun : masa pengenalan dunia obyektif diluar diri sendiri,
disertai penghayatan subyektif. Mulai dari pengenalan AKU sendiri dengan
bantuan bahasa dan kemauan sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar
batinnya pada benda-benda diluar dirinya. Karena itu ia berbicara dengan
boneka ataupun kelinci sperti betul-betul memiliki sifat yang dimilikinya
sendiri. Fase ini disebut pula fase bermain dengan subyektifitas menonjol.
3. Fase ketiga, 5-8 tahun : masa sosialisasi anak. Pada saat ini anak mulai
memasuki masyarakat (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan kawan
sepermainan, dan sekolah rendah). Anak mulai belajar mengenal dunia sekitar
dengan objektif.
4. Fase keempat, 9-11 tahun : masa sekolah rendah. Pada titik ini anak mencapai
onyektivitas tertinggi. Pada fase ini anak mulai menemukan diri sendiri yaitu
secara tidak sadar mulai berfikir tentang diri pribadi. Pada waktu ini, anak
sering kali mengasingkan diri.
5. Fase kelima, 14-19 tahun : masa tercapainya sintesa antara sikap kedalam batin
sendiri dengan sikap keluar kepada dunia obyektif. Setelah berumur 16 tahun
anak melepaskan diri dari persoalan tentang diri sendiri. Ia lebih mengarahkan
minatnya pada lapangan hidup yang lebih konkrit yang dahulu hanya dikenal
secara subyektif. Diantara subyek dan obyek yang dihayatinya mulai terbentuk
satu sintese. Dengan tibanya masa ini, tamatlah masa perkembangan remaja
dimana individu kemudiam memasuki batas kedewasaan.
Fase perkembangan secara psikologis ditandai oleh para ahli melalui masa
kegoncangan dimana apabila perkembangan itu dapat dilukiskan sebagai proses
evolusi, maka pada masa kegoncangan itu evolusi berubah menjadi revolusi. Pada masa
perkembangan umumnya individu mengalami masa kegoncangan dua kali yaitu pada
kira-kira tahun ketiga atau keempat dan pada permulaan masa pubertas. Berdasarkan
dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat digambarkan melalui
1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat) yang
biasa disebut masa kanak-kanak.
2. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang biasa
disebut masa keserasian bersekolah.
3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa disebut
masa kematangan (Yusuf, 2004 : 22).
2.3.3 Aspek-Aspek Perkembangan Anak
Aspek-aspek perkembangan ini meliputi : fisik, intelligensi (kecerdasan), emosi,
bahasa, sosial, kepribadian, moral, dan perkembangan kreativitas.
1. Perkembangan Fisik
Kuhlen dan Thompson (dalam Yusuf, 2004: 101) mengemukakan bahwa
perkembangan fisik individu meliputi empat aspek yaitu (1) Sistem syaraf, yang
sangat mempengaruhi perkembangan syaraf dan emosi; (2) Otot-otot, yang
mempengaruhi perkembangan kekuatan dan motorik; (3) Kelenjar Endokrin, yang
menyebabkan munculnya pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja
berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian
anggotanya terdiri atas lawan jenis; (4) Struktur fisik/tubuh yang meliputi tinggi,
berat, proporsi.
Aspek fisiologis lainnya yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah
otak (brain). Otak dapat dikatakan sebagai pusat atau sentral perkembangan dan
fungsi kemanusiaan. Otak memiliki pengarus yang sangat menentukan bagi
perkembangan aspek-aspek lainnya seperti keterampilan motorik, intelektual,
Perkembangan fisik seolang anak dapat mempengaruhi perilaku anak
sehari-hari baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, perkembangan
fisik seorang anak menentukan keterampilannya dalam bergerak. Dan secara tidak
langsung, pertumbuhan dan perkembangan fisik akan mempengaruhi bagaimana
anak memandang dirinya sendiri dan bagaimana ia memandang orang lain. Ini akan
tercermin dari pola penyesuaian diri anak secara umum yang akan memberikan
warna tersendiri pada perkembangan pribadi anak (Hurlock, 1993 : 114).
2. Perkembangan Intelektual
C.P. Chaplin mengartikan intelegensi sebagai kemampuan menghadapi dan
menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Anita E. Woolfolk
mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi tiga
pengertian yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang
diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru
atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan intelegensi
merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan
pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan
lingkungan (Yusuf, 2004 : 106).
Jean Piaget (dalam Ali dan Ansori, 2004: 27) membagi perkembangan
Intelek/kognitif menjadi empat tahapan sebagai berikut :
a. Tahap Sensori-Motoris
Dialami pada usia 0-2 tahun, pada tahap ini anak dengan lingkungannya
dilakukan melalui perasaan dan otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan
kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan sentuhan, gerakan dan secara
perlahan belajar mengoordinasikan tibdakan-tindakannya.
b. Tahap Praoperasional
Dialami pada usia 2-7 tahun, tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab
perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang ditandai oleh
suasana intuitif. Pada tahap ini anak sangat bersifat egosentis sehingga
seringkali bermasalah dengan lingkungannya dan cenderung mengutamakan
pandangannya sendiri.
c. Tahap Operasional Konkret
Dialami pada usia 7-11 tahun, pada tahap ini anak mulai menyesuaikan diri
dengan realitas konkret dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya. Dalam
tahap ini interaksinya dengan lingkungannya semakin berkembang dengan baik
karena egosentrisnya sudah semakin berkurang dan anak sudah mulai lebih
objektif.
d. Tahap Operasional Formal
Dialami pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini anak telah mampu
mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari
berfikir logis. Pada tahap ini interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas,
menjangkau teman sebayanya bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan
orang dewasa.
3. Perkembangan Emosi
Chaplin (dalam Ali dan Asrori, 2004: 62) mendefinisikan emosi sebagai suatu
keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang
menyatakan bahwa emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang
menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya
mengandung kemungkinan untuk meletus.
Daniel Goleman (dalam Ali dan Asrori, 2004: 63) kemudian mengidentifikasi
sejumlah kelompok emosi yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta,
terkejut, jengkel, dan malu. Dari deretan daftar emosi tersebut ternyata ada bahasa
emosi yang dikenal oleh bangsa-bangsa diseluruh dunia, yaitu emosi yang
diwujudkan dalam bentuk ekspresi wajah yang didalamnya mengandung emosi
takut, marah, sedih dan senang.
Selain itu, emosi juga dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian yaitu :
1. Emosi Sensori yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar
terhadap tubuh seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang lapar,
dll.
2. Emosi Psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan.
Diantaranya adalah perasaan intelektual, perasaan sosial, perasaan
susila, perasaan keindahan (estetis) dan perasaan ketuhanan (Yusuf,
2004 : 117).
4. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
pengertian ini, tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana fikiran dan
perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan
suatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan,
Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berfikir individu.
Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu
kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.
Berikut adalah laju dari perkembangan bahasa pada anak.
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti “bapak makan”.
b. Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal).
c. Pada usia selanjutnya anak dapat menyusun pendapat kritikan, keragu-raguan,
dan menarik kesimpulan analogi (Yusuf, 2004 : 119).
5. Perkembangan Hubungan Sosial
Alisyahbana, dkk (dalam Ali dan Ansori, 2004: 85) mendefenisikan Hubungan
Sosial sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan
bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Selain itu hubungan sosial juga
dapat diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap
norma-norma kelompok, moral, dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan
berkomunikasi.
Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam Arti, dia belum memiliki
kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial,
anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain.
Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman
bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orang tua, saudara, teman
sebaya atau orang dewasa lainnya (Yusuf, 2004: 122).
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, anak mulai mengembangkan
bentuk-bentuk tingkah laku sosial seperti pembangkangan (negativisme), agresi
laku berkuasa, mementingkan diri sendiri, simpati maupun bentuk tingkah laku
sosial lainnya. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya. Apabia lingkungan sosial itu baik maka anak akan mencapai
perkembangan sosialnya secara matang. Namun, apabila lingkungan sosial itu
kurang kondusif, seperti perlakuan yang kasar, sering memarahi, acuh tak acuh,
atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma maupun tata karma
cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti perasaan minder, senang
mendomiasi orang lain, egois, senang menyendiri, kurang memiliki tenggang rasa,
kurang mempedulikan norma dalam berperilaku (Yusuf, 2004 : 124,125).
6. Perkembangan Kepribadian
MAY (dalam Yusuf, 2004: 126) mengartikan kepribadian sebagai “a social
stimus value”. Jadi menurutnya cara orang lain mereaksi, itulah kepribadian
individu. Dalam kata lain, pendapat orang lainlah yang menentukan kepribadian
individu itu. Gordon W. Allport kemudian mendefenisikan kepribadian sebagai
organisasi dinamis dalam diri individu sebagai system psikofisis yang menentukan
caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
E.B Hurlock (dalam Yusuf, 2004 : 130) mengemukakan bahwa kepribadian
yang sehat ditandai dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Mampu menilai diri secara relistik. Individu mampu menilai dirinya sebagai apa
adanya, baik kelebihan maupun kekurangannya yang menyangkut fisik dan
kemampuan.
b. Mampu menilai situasi secara realistik. Individu mampu menghadapi situasi
c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu tidak mereaksi
keberhasilan prestasinya dengan perasaan superiority complex, maupun dengan
perasaan frustasi apabila menghadapi kegagalan.
d. Menerima tanggung jawab. Individu mampu bertanggung jawab dn mengatasi
masalah yang dihadapinya.
e. Kemandirian. Individu memiliki sikap mandiri dalam berfikir dn bertindak.
Mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta
menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku.
f. Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dapat
menghadapi situasi frustasi, depresi, ataupun stress.
g. Berorientasi tujuan. Dapat merumuskan tujuan berdasarkan pertimbangan yang
matang dan berupaya mencapai tujuan tersebut dengan mengembangkan
kepribadian (wawasan) dan keterampilan.
h. Berorientasi keluar. Individu mampu bersikap respek, empati terhadap orang
lain, mempunyai keperdulian terhadap situasi atau masalah lingkungannya dan
bersifat fleksibel dalam berfikirnya.
i. Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi
aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dengan orang lain.
j. Memiliki filsafat hidup. Mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup dan
berakar dari keyakinan agama.
k. Berbahagia. Mampu mewarnai kehidupannya dengan kebahagiaan yang
didukung oleh faktor pencapaian prestasi, penerimaan dari orang lain, dan
Adapun kepribadian yang tidak sehat ditandai dengan karakteristik seperti
mudah marah, cemas, tertekan (depresi), bersikap kejam atau senang mengganggu
orang lain, sulit untuk menghindari perilaku menyimpang meski sudah diperingati
atau dihukum, suka berbohong, hiperaktif, memusuhi semua bentuk otoritas, senang
mencemooh, sulit tidur, kurang memiliki tanggung jawab, minim kesadaran
beragama, pesimis, dan kurang bergairah (Yusuf, 2004 : 131).
7. Perkembangan Moral
Menurut Shaffer (dalam Ali dan Anshori, 2004: 136) moral pada dasarnya
merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi.
Rogers juga berpendapat bahwa moral merupakan standar baik-buruk yang
ditentukan bagi individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan
masyarakat.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya.
Anak memperoleh nilai-nilai moal dari lingkungannya terutama orang tua.
Beberapa sikap orang tua perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan
moral anak, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Konsisten dalam mendidik anak.
2. Sikap orang tua dalm keluarga.
3. Penghayatan dan pengalman agama yang dianut.
4. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma (Yusuf, 2004 : 133).
John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget (dalam Ali dan
1. Tahap Pra Konvensional. Pada tahap ini, anak mengenal aik-buru, benar-salah
suatu perbuatan dari sudut konsekuensi menyenangkan atau menyakiti secara
fisik, atau enak tidaknya akibat perbuatan yang diterima.
2. Tahap Konvensional. Pada tingkat ini anak memandang perbuatan baik-benar
atau berhrga bagi dirinya apabila dapat memenuhi harapan keluarga, kelompok
atau bangsa.
3. Tahap Pasca Konvensional. Ada usaha individu untuk mengartikan nilai atau
prinsip moral yang dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok, pendukung
atau orang yang menganut prinsip moral tersebut.
8. Perkembangan Kreativitas
Torrance (dalam Ali dan Anshori, 2004 : 43) mengatakan bahwa agar potensi
kreatif individu dapat diwujudkan diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong dari
luar yang didasari oleh potensi dari dalam individu tersebut. Selanjutnya ia
kemudian mendefinisikan kreativitas sebagai proses kemampuan memahami
kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan dalam hidupnya, merumuskan
hipotesis-hipotesis baru dan mengomunikasikan hasilnya serta sedapat mungkin
memodifikasi dan menguji hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan.
Pendekatan yang dilakukan dalam studi kreativitas dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu pendekatan psikologis dan pendekatan sosial. Dedi Supriadi (dalam
Ali dan Asrori, 2004: 40) mengatakan bahwa pendekatan psikologis lebih melihat
kreativitas dari segi kekuatan yang ada dalam diri individu sebagai faktor yang
menentukan seperti intelegensi, bakat, motivasi, sikap, minat, dan disposisi
kepribadian lainnya. Sedangkan pendekatan sosiologis berasumsi bahwa kreativitas
segala potensi dan disposisi kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial
tempat individu berada, yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peran
keluarga (Ali dan Anshori, 2004 : 45).
2.4 Kesejahteraan Sosial
2.4.1 Defenisi Kesejahteraan Sosial
Secara yuridis konsepsional, pengertian kesejahteraan sosial termuat dalam UU
No. 11 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial, pasal 1 ayat
1 mengartikan kesejahteraan sosial sebagai “Kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan
diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”.
Pengertian lain juga dapat dikembangkan dari hasil Pre-Coference Working for
the 15’th International Conference of Social Welfare yakni, “Kesejahteraan sosial
adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya
tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan
berbagai kehidupan masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan,