• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGANAN KREDIT/PEMBIAYAAN MACET PADA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DI BANK MUAMALAT

A. Bank Muamalat dan Perkembangannya

Sejarah berdirinya Bank Muamalah, diprakarsai oleh MUI, dalam lokakarya “ Bunga Bank dan Perbankan” pada tanggal 19-22 Agustus 1990, di Cisarua, Bogor-Jawa Barat.

Selama 2003, Bank Muamalat juga berhasil membuktikan laba sebelum pajak Rp.34,494 miliar. Setelah dikurangi pajak, laba bersih menjadi Rp. 23,170 miliar. Total laba tersebut telah dialokasikan sebesar Rp. 7 miliar untuk pencadangan umum dan dibagikan kepada shareholders sebagai dividen berjumlah Rp. 16,590 miliar. Dengan total jumlah saham beredar sebanyak 374.057.698 lembar maka dividen per lembar saham berjumlah Rp. 44,35. Selain itu sebagai komitmen kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai perintis dan pendiri, sebesar 2,5% atau senilai Rp. 589,768 juta dialokasikan kepada Yayasan Dana Dakwa Pembangunan (YDDP).

“Pertumbuhan kinerja di atas dapat mendukung pencapaian misi Perseroan menjadi role model lembaga keuangan syariah dunia. Dengan penekanan pada semangat kewirausahaan, keunggulan manajemen dan orientasi investasi yang inovatif untuk memaksimalkan nilai kepada stakeholders” ungkap Riawan.

Tingkat kesehatan bank juga menjadi concern Bank Muamalat. Dua syarat penting yang ditetapkan Bank Indonesia pada 2003 adalah tingkat kecukupan permodalan (CAR) sebesar 8% dan diharapkan berada di atas 12%. Begitu juga kualitas portofolio pembiayaan yang dihitung dari rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financial loan (NPF/PL)maksimal 5%. CAR pun meningkat dari 8,95% menjadi 9,02% pada tahun 2001 dan 10,08% pada tahun 2002. Sedangkan CAR akhir 2003 meningkat menjadi 13,04%. Sementara NPF gross menunjukan tren membaik

dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, NPF sebesar 4,99%, kemudian menjadi 3,15% pada akhir 2003, angka ini masih jauh dibawah NPL/NPF nasional yang masih 8,3%.

Pembiayaan juga meningkat 35,23 miliar menjadi 2,3 triliun pada tahun 2003, dari Rp.1,7 triliun pada 2002. Peningkatan ini jauh lebih besar dibandingkan rata-rata pertumbuhan kredit perbankan yang hanya

16,30%. Pertumbuhan yang pesat pada pembiayaan ini pada gilirannya membawa peningkatan berarti pada pendapatan margin dan bagi hasil yang diterima perseroan yang meningkat 42,45% menajdi Rp.302,9 miliar

pada tahun 2003 dan Rp.214 miliar pada tahun sebelumnya.

Kendati pertumbuhan pembiayaan cukup signifikan, tapi manajemen tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian untuk

melindungi bank dari risiko pembiayaan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia untuk meningkatkan penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan prinsip kehati-hatian perbankan.

Bukti bahwa manajemen menerapkan prinsip kehati-hatian bisa diketahui dengan melihat rasio kepatuhan (compliance) yakni pelanggaran Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) yang tidak pernah dilakukan Bank Muamalat. Lalu posisi Giro Wajib Minimum (GWM) mencapai 6,20% sedangkan ketentuan Bank Indonesia minimal

5% sedangkan untuk posisi Devisa Netto (DN) mencapai 3,29% sedangkan Bank Indonesia menetapkan maksimal 20%. Hal ini tercapai

Bank Muamalat menetapkan proses berlapis dalam proses penyaluran

pembayaran yang disertai pengawasan yang ketat.34

34

Berdirinya Bank Muamalat selanjutnya didukung dengan munculnya Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, dimana perbankan bagi hasil diakomodasi. Dalam UU tersebut pada Pasal 13 ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi pasal tersebut, pemerintah pada tanggal 30 Oktober 1992 telah mengeluarkan Peraturaan Pemerintah (PP) No 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil dan diundangkan pada Tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran negara Republik Indonesia No. 119 Tahun 1992.

Berdirinya Bank Muamalat ini diikuti oleh bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), namun dua jenis bank-bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dibangun lembaga-lembaga keuangan yang digunakan untuk mengumpulkan dana, seperti zakat, infaq, dan shadaqoh, juga lembaga yang berfungsi untuk simpan pinjam oleh masyarakat. Sesuai dengan fungsinya nama lembaga keuangan—non bank—tersebut adalah

Baitul Maal Wattamwil (BMT).

Beberapa tahun yang lalu, pertumbuhan Lembaga Keuangan dan bank Muamalat dengan sistem syariah mulai bermunculan.

Suatu perkembangan yang boleh dikatakan sangat mengembirakan, khususnya bagi umat Islam yang selama ini menginginkan investasi dan pendanaan tanpa unsur riba. Satu hal yang sangat menarik, yang membedakan antara manajemen bank muamalat dengan bank umum (konvensional) adalah terletak pada pembiayaan dan pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun investor. Jika dilihat pada Bank Umum, pembiayaan disebut loan, sementara di Bank Syariah disebut financing. Sedangkan balas jasa yang diberikan atau diterima pada Bank Umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam prosentase pasti. Sementara pada Bank Muamalat dengan sistem syariah, hanya memberi dan menerima balas jasa berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil. Selanjutnya dalam perbankan syariah dikenal istilah mudharabah, murabahah dan musyarakah untuk program pembiayaan. Bank syari'ah akan memperoleh keuntungan berupa bagi hasil, dari proyek yang dibiayai oleh bank tersebut. Apabila proyeknya mandek, maka akan dicarikan solusi penyelesaian. Misalnya, dengan menjual aset proyek. Uang penjualan aset proyek yang dibiayai Bank Syariah, akan dibagi kepada bank dan nasabah sesuai penyertaan masing-masing pada usaha tersebut. Lalu bagaimanakah dengan

mekanisme manajemen kredit yang dapat diberlakukan dalam Bank Muamalat, dimana dalam mekanisme ini terjadi tarik-menarik kepentingan antara peminjam, bank dan investor. Bagi peminjam dana

(borrowers), hal ini merupakan kesempatan emas dimana peminjam tidak

terlalu terbebani atas bunga pinjaman tersebut. Tetapi bagi kalangan investor (deposan atau penanam modal lainnya), sistem perbankan ini

kurang menjanjikan. Para investor (lenders) menginginkan dana yang

diinvestasikannya, memiliki pengembalian minimal sesuai dengan harapan mereka. Sebaliknya, bank sebagai media perantara

(intermediasi) bisa mengalami kesulitan untuk menggalang dana

masyarakat. Kegiatan operasional bank dalam bentuk penyaluran kredit, dapat terhambat jika mobilisasi dana pembiayaan tidak sesuai dengan jumlah permintaan pendanaan. Berdasarkan fenomena diatas, ingin diungkapkan disini bahwa ada beberapa hal yang terkait antara mekanisme manajemen kredit Bank Muamalat dan Bank Umum.

B. Faktor Penyebab Kredit/Pembiayaan Macet

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai bagian integral ekonomi rakyat mempunyai kedudukan, potensi, dan peran yang strategis dalam perekonomian nasional. UMKM merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Hal ini terbukti ketika Indonesia mengalami situasi krisis ekonomi di tahun 1997, UMKM menjadi penyangga yang mampu bertahan terhadap terpaan

badai krisis. Untuk itu UMKM perlu lebih diberdayakan dalam memanfaatkan peluang usaha dan menjawab tantangan perkembangan ekonomi di masa yang akan datang.

Salah satu kendala yang sering dihadapi oleh UMKM adalah sulitnya mengakses kredit/pembiayaan dari lembaga perbankan. Selain itu, Pemerintah Daerah melalui dinas-dinas terkait yang ada di daerah, baik dari aspek permodalan, teknologi, manajemen maupun pemasaran hasil, dirasakan masih kurang membantu UMKM untuk berkembang. Dengan kendala-kendala tersebut UMKM masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional.

Dalam upaya meningkatkan peran UMKM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan suatu kajian mengenai kebijakan perbankan yang menghambat pembiayaan UMKM, sehingga diperoleh gambaran mengenai kebijakan apa saja yang menghambat pembiayaan UMKM, dan rekomendasi yang dapat diberikan guna perbaikan dalam pembiayaan UMKM.

Dalam suatu kajian tentang Kebijakan Perbankan Yang Menghambat Pembiayaan Usaha Kecil Di Jawa Timur,misalnya ditemukan tiga kelompok factor yang menyebabkan debitur kredit macet yang bermasalah yaitu :

1. Kondisi ekonomi makro, 2. Kondisi dan alokasi dana, dan 3. Kondisi internal perbankan.

Jika dikaji lebih jauh, banyak faktor yang dapat dituding sebagai biang keladi berkembangnya fenomena kredit macet itu. Secara garis besar, faktor-faktor tersebut dapat dogolongkan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, faktor eksternal yang berkaitan dengan prilaku debitur dan lingkungan (ekonomi, kebijakkan pemerintah, pasar internasional, dan lain-lain). Kedua, faktor internal yang berkaitan dengan manajemen dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebuah bank.

1. Faktor Eksternal

Dalam makalahnya untuk seminar sehari “Masalah Penyaluran dan Pengembalian Kredit Perbankan” yang berjudul “Beberapa Kendala Penyaluran dan Pengembalian Kredit Bank”, Trenggono Purwosuprojo, Presdir Overeas Express Bank, yang belum lama ini terpilih menjadi Ketua Umum perbanas, secra lengkap dan gambling menyoroti kendala-kendala di luar bank yang mempengaruhi terjadinya kredit macet. Dari bahasanyaitu, secara ringkas dapat disimpulkan tentang adanya tiga kendala utama dalam pengembalian kredit, yaitu kendala yang berhubungan dengan suku bunga pinjaman, hukum, serta perilaku debitur.

a. Suku Bunga Pinjaman

Di Indonesia suku bunga kredit masih sulit dirumuskan berhubung belum adanya bunga referensi (reference rate), baik yang berupa prime rate maupun yang berupa bentuk dan yang dapat digunakan sebagai patokan. Sebenarnya dapat dipertimbangkan penggunaan interbank rate, sebagaimana

lazim kita temukan di pasar internasional, tetapi diperlukan cukup banyak perubahan mendasar pada pasar uang sebelum hal ini dapat dilaksanakan.

b. Hukum

Ada tiga hal yang patut dipermasalahkan dalam kendala hukum, yaitu pertama, belum adanya standardisasi bentuk dan perjanjian kredit, suatu kondisis yang kurang menguntungkan jika dipandang dari segi kepentingan dalam menciptakan suatu pengertian umum di antara pihak kreditur dan debitur. Kedua, perangkat hukum di Indonesia tampaknya tertinggal oleh kebutuhan yang muncul dari kepesatan perkembangan praktik dunia usaha sehingga terasa ada kekosongan. Ketiga, masalah kelambatan proses penyelesaian kredit macet akibat peraturan yang kurang mendukung.

c. Perilaku Debitur

Kesulitan terbesar bagi bank dalam mengawasi kreditnya adalah ketidakmungkinan bank dalam mengikuti perkembangan usaha debitur secara langsung. Sering ditemukan dalam praktik, penyampaian laporan secar priodik dianggap sebagai “beban” oleh debitur karena hanya menambah pekerjaan dan merasa dimata-matai.

2. Faktor Internal

Faktor internal tak dapat dipisahkan dari manajemen perkreditan suatu bank. Menurut seorang ahli perbankan yang diwawancarai B&M, kredit macet bermula dari penilaian kredit (desain kredit) yang salah. Pendesainan kredit

yang salah akan mengakibatkan penentuan skema kredit macet pula, yang akhirnya berakibat terjadinya kredit macet.35

Hal ini tidak lepas dari ambruknya beberapa bank akibat kredit macet seperti kasus bank Summa mendorong perbankan lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit. Disamping itu, kesulitan bank, khususnya bank pemerintah untuk memenuhi ketentuan LDR 110 persen dan CAR 5 persen atau 8 persen menyebebkan perbankan nasional enggan melakukan ekspansi kredit. Factor lain adalah ketidakpastian akan kelanjutan proses deregulasi ekonomi mendorong para pengusaha cenderung untuk menunggu daripada meningkatkan intensitas atau ekspansi usahanya.

Ada sejumlah faktor penyebab membengkaknya kredit macet. Pertama, perbankan umumnya kurang hati-hati dalam memberikan pinjaman dalam tahun-taahun boom investasi. Kedua, pelanggaran terhadap ketentuan mengenai batas maksimum kredit (legal lending limit) yang disyaratkan Pakfeb 1991. Ketiga, pengaruh kebijaksanaan uang ketat menurunkan kemampuan perusahaan nasabah bank untuk membayar pinjaman.

Pada saat itu juga bank-bank mulai hati-hati dalam menyalurkan kredit. Hal ini dapat dilihat dalam laju penyaluran kredit yang menurun dari 16,27 persen (1990/91) menjadi 8,89 (1991/92).

36

35

Damayanti Muchtar, Biang Kendali Kredit Macet : Dilema Perbankan Indonesia, Bank dan Manajemen, Juli/Agustus, 1991, hal. 35 & 36

36

Elwin Tobing, Asal Mula Krisis? Potret Industri Perbankan Nasional Lima Tahun Pakto ’88, Februari 2002, hal. 3

C. Pelaksanaan Pemberian Kredit (Pembiayaan menurut sistem bank syariah) pada Usaha Mikro, Kecil & Menengah Bank Muamalat Cabang Medan. 1. Permohonan Pembiayaan

Untuk mendapatkan pembiayaan pada Bank Syariah calon nasabah di wajibkan untuk melampirkan berkas-berkas, diantaranya yaitu :

a. Kartu identitas calon nasabah (KTP), suami atau istri b. Kartu Keluarga

c. Surat Izin Usaha Calon Nasabah d. Data lengkap obyek pembiayaan e. Data jaminan

2. Penyelidikan berkas pembiayaan

Dalam hal ini di teliti tentang keaslian berkas-berkas yang telah di ajukan atau di lampirkan oleh calon debitur yang di lakukan karyawan Bank Syariah. Tujuannya untuk mengetahui apakah berkas-berkas yang di ajukan sudah lengkap sesuai dengan persyaratan.

Menurut Pasal 23 UU. No.21 Tahun 2008 tentang kelayakan penyaluran dana di Bank Syariah adalah :

(1) Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah penerima fasilitas.

(2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon Nasabah penerima fasilitas.

Dengan demikian Penilaian Kelayakan Pembiayaan (Analis pembiayaan) yang di lakukan pihak Bank Syariah dengan metode 5C yaitu : a. Charakter/Watak

Analisa ini di lakukan oleh pihak Bank Syariah untuk mengetahui watak atau sifat si nasabah.

b. Capacity/Kemampuan

Kemampuan calon nasabah dalam berbisnis penting di ketahui. Hal ini dapat di pahami karena watak yang baik tidak menjamin seseorang mampu berbisnis dengan baik.

c. Capital/Modal

Analisa modal di arahkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keyakinan calon nasabah terhadap uasahanya sendiri. Jika nasabah sendiri tidak yakin akan usahanya, maka orang lain makin tidak yakin.

d. Condition/ Kondisi usaha calon nasabah

Kondisi yang harus di perhatikan Bank Syariah antara lain :

 Keadaan ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan usaha calon nasabah

 Kondisi usaha calon nasabah,

 Keadaan pemasaran dari hasil usaha calon nasabah  Prospek usaha di masa yang akan datang

e. Collateral/Jaminan

Analisa yang di lakukan pihak bank terhadap jaminan yang diberikan. Jaminan hendaknya melebihi dari jumlah pembiayaan yang diberikan.

3. Wawancara Pertama

Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui apakah berkas-berkas yang diserahkan oleh nasabah sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pihak Bank Syariah Cabang Medan.

4. Peninjauan Lokasi

Tujuan peninjauan kelapangan adalah untuk memastikan obyek yang akan di biayai dan agunannya, apakah sesuai dengan yang dituangkan dalam proposal permohonan.

5. Wawancara Kedua

Yaitu perbaikan berkas-berkas, jika mungkin ada kekurangan pada saat setelah dilakukan peninjauan ke lokasi.

6. Keputusan Pembiayaan

Keputusan pembiayaan adalah untuk menentukan apakah pembiayaan layak diberikan atau ditolak, jika layak, dipersiapkan administrasinya yaitu :

 Akad pembiayaan yang akan di tandatangani  Jumlah uang yang diterima

 Jangka waktu pembiayaan, dan  Biaya-biaya yang harus dibayar.

7. Penandatanganan Akad

Sebelum pembiayaan diberikan oleh pihak Bank Syariah maka terlebih dahulu calon debitur menandatangani akad pembiayaan dan surat perjanjian yang dianggap perlu.

8. Realisasi

Realisasi adalah apakah nasabah yang mengajukan pembiayaan sudah memiliki rekening tabungan pada Bank Syariah Cabang Medan, jika belum, maka nasabah wajib membuka rekening tabungan di bank tersebut.

9. Pencairan Dana

Proses pencairan dana adalah pencairan fasilitas pembiayaan kepada nasabah. Sebelum melakukan proses pencairan, maka harus dilakukan pemeriksaan kembali semua kelengkapan yang harus dipenuhi sesuai dengan yang diterapkan dalam proposal pembiayaan.

10. Monitoring

Proses monitoring terhadap nasabah oleh pihak karyawan Bank Syariah. Pada saat memasuki tahapan ini maka sebenarnya risiko pembiayaan baru saja dimulai saat pencairan dilakukan. Monitoring dapat dilakukan dengan memantau realisasi pencapaian target usaha. Setelah pengusaha ekonomi kecil mendapatkan kredit yang dimaksudkan, maka dalam proses berikutnya pihak bank tidak akan berlepas diri mengawasi pelaksanaan penggunaan dana yang dikucurkannya kepada pengusaha ekonomi kecil

tersebut. Maka dalam tindakan ini selanjutnya akan diberikan pengawasan dan pembinaan kredit oleh pihak bank kepada pengusaha ekonomi lemah.

D. Konsep Penanganan Kredit/Pembiayaan Macet dalam Peraturan perundang-undangan Pasca UU. No.7/1992

Penanganan kredit/pembiayaan bermasalah sebelum diselesaikan secara yudisial dilakukan melalui penjadwalan (rescheduling), persyaratan (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Penanganan dapat melalui salah satu cara ataupun gabungan dari ketiga cara tersebut. Setelah ditempuh dengan cara tersebut dan tetap tidak ada kemajuan penanganan, selanjutnya diselesaikan secara yudisial melalui jalur Pengadilan, Pengadilan Niaga, melalui PUPN, dan melalui Lembaga Paksa Badan.

Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Perbankan tidak cukup akomodatif untuk mengatur masalah kredit/pembiayaan macet. Hal ini terbukti dari: a) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 tidak cukup banyak pasal yang mengatur tentang kredit/pembiayaan macet; b) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 tidak mengatur jalan keluar dan langkah yang ditempuh perbankan menghadapi kredit/pembiayaan macet; c) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 tidak menunjuk lembaga mana yang menangani kredit/pembiayaan macet, dan sejauh mana keterlibatannya, dan d) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 tidak memberikan tempat yang cukup baik kepada komisaris bank sebagai badan pengawas. Untuk itu perlu dibentuk UU khusus tentang penanggulangan

kredit/pembiayaan macet baik dari segi hukum substantif, pengawasan preventif ataupun segi prosedural atau segi represif lainnya.

Sebenarnya, masalah penanganan kredit/pembiayaan macet yang bersifat preventif sudah diatur di dalam UU No.21 Tahun 2008 tentang Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian, dan Pengelolaan resiko Perbankan Syariah, khususnya pada Pasal 34 sampai Pasal 40.

Pada Pasal 34 UU No.21 Tahun 2008 tentang Tata Kelola Perbankan Syariah :

(1)Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencangkup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.

(2)Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Selanjutnya, pada Pasal 35 UU No.21 Tahun 2008 tentang Prinsip Kehati-hatian :

(1)Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.

(2)Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

(3)Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.

(4)Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

(5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.

Selanjutnya, pada pasal 36 UU No.21 Tahun 2008 tentang Prinsip Kehati-hatian : Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya.

Selanjutnya, dalam Pasal 37 UU No.21 Tahun 2008 tentang Prinsip Kehati-hatian :

(1)Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang terkait, termasuk kepada peruahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.

(2)Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(3)Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank Sayriah kepada :

a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal yang disetor Bank Syariah;

b. anggota dewan komisaris; c. anggota direksi;

d. keluarga kedua belah pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

e. pejabat bank lainnya; dan

f. perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.

(4)Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(5)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Kemudian, pada Pasal 38 UU No.21 Tahun 2008 tentang Kewajiban Pengelola Risiko :

(1)Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.

(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Selanjutnya, pada Pasal 39 UU No.21 Tahun 2008 tentang Kewajiban Pengelola Risiko adalah Bank Syariah dan UUS wajib menejalskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.

Dan kemudian, pada Pasal 40 UU No.21 Yahun 2008 tentang Kewajiban Pengelola Risiko :

(1)Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.

(2)Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Aggunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.

(3)Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi jumlah kewjiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah seteelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Jika tidak ditangani secara baik, maka kredit/pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat potensi bagi bank. Karena itu diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Akibatnya kredit/pembiayaan bermasalah menimbulkan biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank. Peranan sektor perbankan adalah menjembatani dua kelompok kepentingan masyarakat ,yaitu antara kepentingan masyarakat pemilik dana (surplus spending units) dengan masyarakat yang membutuhkan