• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan pascapanen yang tepat diperlukan untuk mengurangi susut dan mempertahankan mutu buah-buahan setelah dipanen. Penanganan pascapanen perlu dilakukan segera semenjak buah itu dipanen, diimbangi dengan penerapan teknologi dengan memperhatikan nilai ekonomi komoditas (Budiastra dan Purwadaria, 1993). Setyadjid dan Sjaifullah (1992) menyatakan kerusakan pascapanen buah mangga diperkirakan mencapai 30%. Kerusakan pascapanen disebabkan karena perlakuan pascapanen yang tidak tepat misalnya: teknik pemanenan yang kurang tepat, sortasi yang tidak baik, pengemasan dan pengepakan, pengangkutan dan penyimpanan yang kurang diperhatikan serta adanya serangan hama dan penyakit.

Gambar 2. Diagram alir proses pascapanen mangga untuk ekspor.

Panen

Sortasi dan pencucian

Pemutuan/grading

Pelilinan

Labeling & Pengemasan

Penyimpanan

Pematangan buatan

Tidak layak jual

Mutu I

Pasaran dalam negeri (Mutu II, III dan IV)

1. Panen

Pemanenan merupakan kegiatan pascapanen untuk mengumpulkan buah secepat mungkin dari lahan pertanaman pada tingkat ketuaan yang tepat (Broto, 1993). Untuk menghasilkan mangga dengan mutu yang baik, pemanenan buah mangga harus dilakukan pada saat yang tepat dan dengan cara yang baik dan tepat. Tingkat ketuaan buah dapat didasarkan kepada umur buah, bentuk buah, tangkai buah, lapisan lilin dan lentisel pada permukaan kulit buah. Umur buah (Tabel 4) ditentukan dan dihitung mulai bunga mekar.

Tabel 4. Umur petik optimal beberapa varietas mangga

Varietas Umur petik (hari)

Gedong gincu 90-107

Arumanis 90-107 Golek 78-85 Manalagi 80-85

(Sumber: Satuhu, 1999).

Permasalahan yang sering dihadapi dalam pengusahaan buah mangga adalah sulitnya menentukan tingkat ketuaan buah mangga yang tepat untuk dipetik (Haryati, 1991). Padahal pemanenan yang dilakukan akan mempengaruhi mutu buah yang dihasilkan, sehingga tingkat ketuaan sewaktu panen merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi mutu buah mangga. Pemanenan biasanya dilakukan secara manual dengan memanjat pohon mangga, atau menggunakan galah yang diberi jaring diujungnya agar buah mangga tidak terhempas ke tanah. Bila pemanenan buah menggunakan gunting, setidaknya 10 cm dari tangkai harus dipertahankan. Dengan demikian getah yang sangat lekat dan mudah mengalir pada buah mangga yang baru dipetik, tidak akan mengotori buah. Buah mangga, khususnya varietas berwarna hijau di Indonesia, banyak sekali mengalirkan lateks atau getah dari tangkai yang baru dipotong.

2. Sortasi dan Pencucian

Sortasi dan pemutuan merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan setelah panen yang umumnya dikerjakan di bangsal pengemasan. Tujuan sortasi dalam pascapanen mangga adalah untuk memisahkan buah yang layak dan tidak layak untuk dipasarkan. Disamping itu sortasi juga dilakukan untuk memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh pemerintah atau pasar.

Dengan demikian sortasi merupakan kegiatan yang menentukan keberhasilan buah agar tetap bermutu baik hingga sampai ke tangan konsumen (Broto, 1993). Setelah sortasi dilakukan buah mangga dicuci terlebih dahulu untuk membersihkan kotoran dan sisa getah yang masih menempel pada permukaan kulit buah. Pencucian biasanya dilakukan dengan meletakkan mangga pada konveyor yang melewati semprotan air selama lebih kurang 20 menit. Pencucian dilakukan dengan hati-hati agar getah terbuang dan tidak mengalir pada kulit buah, bahkan pada mangga kensington pekerja harus menggunakan sarung tangan agar getah tidak merusak kulit. Penambahan detergen atau cairan pembersih seperti klorin biasanya sering dilakukan pada berbagai packing house.

3. Pemutuan

Pemutuan dilakukan untuk memisahkan produk berdasarkan mutu yaitu, warna, bentuk, berat, tekstur, dan kebebasan buah dari kotoran atau bahan asing (Budiastra dan Purwadaria, 1993). Mangga Gedong gincu dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya. Mangga dikatakan besar jika beratnya > 250g, sedang jika beratnya 200-250 g, kecil jika beratnya 150-199 g, dan sangat kecil jika beratnya 100-149 g. Keseragaman kualitas dapat diperoleh dengan menerapkan standar mutu produk. Menurut Dirjen Bina Produksi Hortikultura (2004) standar mutu yang berlaku sacara nasional adalah menurut Standar Nasional Indonesia, SNI 01-3164-1992 (Tabel 5), dimana syarat mutu minimal dan tingkat toleransi kriteria mutu mangga yang masih diperbolehkan untuk dipasarkan yaitu: (1) buah mangga yang utuh, tidak terbelah atau terkelupas, (2) kekerasan buah cukup, (3) penampakan segar, (4) keadaan baik, tidak busuk, layak dikonsumsi, (5) bersih dan bebas dari benda asing, (6) bebas dari bercak atau noda hitam pada permukaan kulit, (7) bebas dari tanda-tanda memar, (8) bebas dari kerusakan yang disebabkan oleh hama penyakit, (9) bebas dari bau dan rasa asing, (10) tingkat perkembangan buah cukup dan menjamin tercapainya proses pematangan yang sempurna.

Tabel 5. Syarat mutu mangga

Karakteristik Mutu I Mutu II

Keseragaman varietas Seragam Seragam

Tingkat ketuaan Tua tapi tidak matang Tua agak matang

Kekerasan Keras Cukup keras

Keseragaman ukuran Seragam Kurang seragam

Mangga cacat, % maks 0 0

Kadar kotoran Bebas Bebas

Mangga busuk, % maks 0 0

Panjang tangkai, maks 1 cm 1 cm

(Sumber: SNI 01-3164-1992).

Beberapa syarat mutu yang harus dipenuhi oleh mangga untuk tujuan ekspor (Tabel 6) adalah: permukaan kulit mulus (tidak berbintik, tidak berlubang, tidak ada warna hitam pada pangkal buah, tidak ada noda ”scab”), bebas dari luka (luka mekanis atau mikrobiologis), bebas dari penyakit pascapanen dan bentuk normal. Beberapa syarat mutu tambahan untuk mangga yang akan diekspor yaitu matang fisiologis, kolorisasi kuning 30-50%, tingkat kematangan merata, berat dan ukuran seragam berdasarkan varietasnya.

Tabel 6. Syarat mutu mangga gedong untuk ekspor

Karakteristik Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V Mutu VI Permukaan kulit 100% mulus 100% mulus 100% mulus 100% mulus 100% mulus 100% mulus Persen cacat 0 0 0 0 0 0 Penyakit pascapanen

Bebas Bebas Bebas Bebas Bebas Bebas

Bentuk Normal Normal Normal Normal Normal Normal

Berat buah (g) > 350 g 300-349 275-299 250-274 225-249 200-224

(Sumber: Satuhu, 1999).

4. Pelilinan

Pelapisan lilin terhadap buah-buahan dan sayur-sayuran befungsi sebagai pelindung terhadap hilangnya air dari komoditi dan mengatur kebutuhan oksigen untuk respiras untuk menekan respirasi dan transpirasi sehingga komoditi tersebut memiliki umur simpan yang lebih lama dan nilai jualnya dapat dipertahankan. Roosmani (1975) menyatakan bahwa konsentrasi emulsi lilin tertentu dapat memperpanjang masa simpan beberapa komoditas hortikultura.

Pemberian lapisan lilin cukup penting, khususnya bila terdapat luka-luka atau goresan kecil pada permukaan buah. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat ditutupi oleh lapisan lilin. Dalam pelilinan diupayakan agar pori-pori kulit buah tidak tertutupi sama sekali untuk mencegah kondisi anaerob di dalam buah, yang dapat mengakibatkan terjadinya fermentasi sehingga mempercepat kebusukan (Akamine et al., 1986).

Lapisan lilin yang digunakan umumnya menggunakan lilin lebah yang dibuat dalam bentuk emulsi lilin dengan konsentrasi 4-12%, dengan syarat lilin tersebut tidak mempengaruhi bau dan flavor dari komoditas yang akan dilapisi, mudah kering, tidak lengket, mudah diperoleh, tidak bersifat racun dan murah harganya. Lilin alami yang komersial diantaranya adalah lilin lebah (hasil sekresi dari lebah madu), karnauba (dari pohon palem) dan spermaceti (dari kepala ikan paus). Akamine et al. (1986) menyatakan dalam pembuatan emulsi lilin tidak boleh menggunakan air sadah karena garam-garam yang terkandung dalam air tersebut dapat merusak emulsi lilin. Pemberian lilin dapat dilakukan dengan teknik pembusaan, penyemprotan, pencelupan, dan pengolesan. Pelapisan lilin sebaiknya dilakukan menggunakan mesin untuk menghasilkan pelapisan yang merata.

Pelilinan terhadap buah jeruk segar pertamakali dikenal sejak abad 12-13 oleh bangsa Cina. Pelapisan lilin pada saat itu tanpa memperhatikan adanya efek-efek respirasi dan tranpirasi sehingga lapisan lilin yang terbentuk terlalu tebal, mengakibatkan respirasi anaerob dan menghasilkan jeruk yang masam dan busuk. Roosmani (1975) melakukan percobaan menggunakan mangga indramayu, apel malang, jeruk siam dan tomat varietas money maker menggunakan emulsi lilin yang mengandung 6, 8 dan 9 % solid untuk mengetahui pengaruh pelilinan terhadap hortikultura di Indonesia (Tabel 7).

Tabel 7. Perbandingan umur simpan beberapa buah-buahan

Daya simpan (hari) Jenis buah

Tanpa pelilinan Dengan pelilinan

Apel malang 12 30

Jeruk siam 10 21

Mangga indramayu 6 12

Tomat 20 50-60

Pada buah mangga pelilinan juga biasa diterapkan, berdasarkan SPO mangga arumanis dijelaskan bahwa untuk membuat emulsi lilin standar 12 % terlebih dahulu diperlukan lilin lebah 120 g, asam oleat 20 g, triethanol amin 40 g dan air panas 820 cc. Lilin dipanaskan dalam panci sampai mencair, kemudian dimasukkan dalam blender. Selanjutnya dituang sedikit demi sedikit asam oleat, triethanolamin dan air panas, larutan diblender kurang lebih dari 2-5 menit agar tercampur dengan sempurna kemudian emulsi lilin didinginkan. Emulsi lilin dapat digunakan setelah proses pendinginan selesai dilaksanakan. Berdasarkan pengetahuan ini dan sesuai dengan kemajuan teknologi maka pelilinan terhadap berbagai komoditas hortikultura terus berkembang. Menurut Roosmani (1975) emulsi lilin optimum untuk buah mangga adalah pada konsentrasi 6%.

5. Pengemasan

Pengemasan hortikultura adalah salah satu usaha untuk menempatkan komoditas segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga menjaga supaya mutunya tetap atau hanya mengalami penurunan mutu yang masih dapat diterima oleh konsumen sampai akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Tujuan pengemasan buah adalah: melindungi buah dari luka, memudahkan dalam pengelolaan suhu, mencegah kehilangan air, mempermudah dalam perlakuan khusus dan memberikan estetika yang menarik bagi konsumen (Broto, 1993).

Pengemasan mempunyai peran yang cukup strategis dalam pemasaran produk, baik dari segi menjaga kualitas produk, penanganan selama transportasi maupun sebagai sebagai daya tarik bagi konsumen. Disamping itu pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. Dari segi promosi, wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. Karena itu, bentuk warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan dalam perencanaannya.

Berdasarkan bahan yang digunakan, kemasan transportasi untuk mangga umumnya terbuat dari keranjang bambu, keranjang plastik, peti kayu atau kotak karton. Kemasan konsumen umumnya dilakukan di tingkat pedagang eceran. Seperti halnya pada apel dan pear, buah mangga dilakukan pengemasan individual menggunakan kemasan jala busa dan kertas tipis.

6. Penyimpanan

Tujuan penyimpanan adalah untuk mempertahankan mutu produk sehingga masa simpannya dapat diperpanjang. Selain untuk memperpanjang daya guna mangga dan dalam keadaan tertentu dapat mempertahankan mutunya, menghindari banjirnya produk mangga dipasaran, menjaga ketersedian mangga sepanjang tahun sehingga dapat membantu pemasaran yang teratur sehingga meningkatkan keuntungan produsen.

Penyimpanan dingin dapat mengurangi aktivitas respirasi dan metabolisme, proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan dan perubahan warna serta tekstur, kehilangan air dan pelayuan, kerusakan karena aktivitas mikroba (bakteri, kapang/cendawan dan khamir). Mangga yang akan disimpan hendaknya bebas dari lecet kulit, memar, busuk dan kerusakan lainnya. Memar dan kerusakan mekanis bukan hanya menyebabkan bentuk dan rupa produk menjadi kurang menarik, tetapi juga memberikan kesempatan bagi organisme pembusuk untuk masuk dan merusak bahan. Sehingga produk tersebut akan mengalami lebih banyak dan lebih cepat busuk, serta menyebabkan kehilangan air. Buah yang memar akan mengalami penyusutan empat kali lebih besar dari pada buah yang utuh.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka penting dijaga agar suhu ruang penyimpanan relatif tetap. Jika kelembaban rendah maka akan terjadi pelayuan atau pengkeriputan dan jika terlalu tinggi akan merangsang proses pembusukan, terutama apabila ada variasi suhu dalam ruangan. Kelembaban nisbi antara 85-90% diperlukan untuk menghindari pelayuan dan pelunakan pada beberapa jenis sayuran. Beberapa produk bahkan memerlukan kelembaban sekitar 90-95%. Kelembaban udara dalam ruangan pendinginan dapat dipertinggi antara lain dengan cara menyemprot lantai dengan air. Kelembaban yang tepat akan menjamin tingkat keamanan bahan yang disimpan terhadap pertumbuhan mikroba. Selain itu dibutukan sirkulasi udara yang cepat terutama pada waktu bahan baru dimasukkan, untuk menghilangkan panas lapang. Setelah panas lapangan dihilangkan dari bahan, maka kecepatan sirkulasi udara tidak perlu terlalu besar. Sirkulasi udara diperlukan secukupnya untuk membuang panas yang berasal dari hasil respirasi atau panas yang masuk dari luar.

Selama penyimpanan diperlukan suhu yang tepat karena ada kemungkinan komoditi mengalami kerusakan akibat suhu rendah (chiling injury).

Buah-buahan tropika pada umumnya sensitif pada suhu dingin (Kays, 1991).

Chiling injury adalah kerusakan karena penyimpanan di bawah suhu optimum yang dicirikan oleh bintik-bintik hitam atau coklat pada kulit buah, pembentukan warna kulit yang tidak sempurna dan pematangan yang tidak normal. Kays (1991) menerangkan bahwa suhu chiling injury pada mangga adalah 10-13oC. Apandi (1984) menerangkan bahwa suhu 7-13 oC adalah suhu chiling injury

untuk penyimpanan mangga, sedangkan Broto (2003) menerangkan bahwa suhu

chiling injury untuk penyimpanan mangga adalah 5-20 oC dan untuk mencegah terjadinya chiling injury pada penyimpanan mangga gedong yang disimpan pada suhu 10 oC, diperlukan adaptasi selama sehari pada suhu 15 oC.

USDA (1968) mempublikasikan kisaran suhu untuk penyimpanan mangga adalah pada 13 oC selama 2-3 minggu. Satuhu (2000) menjelaskan bahwa mangga yang disimpan pada suhu 15-20 oC dapat bertahan selama 22 hari. Menurut Pantastico (1986), lama penyimpanan pada suhu rendah untuk mangga tergantung varietasnya, yaitu 2,5 hingga 6 minggu. Mangga arumanis dapat simpan pada suhu kamar selama 14 hari (Yuniarti, 1980) dan selama 15 hari pada suhu 15 oC (Sahirman et al., 1994); mangga indramayu dapat disimpan selama 36 hari pada suhu 10 oC (Hadi, 1987) dan mangga cengkir dapat disimpan selama 15 hari pada suhu 10 oC (Pratikno dan Sosrodihardjo, 1989). Ratule (1999) menyimpulkan bahwa suhu 10 oC adalah suhu optimum penyimpanan mangga arumanis yang terolah minimal berlapis edibel dengan penyimpanan atmosfer terkontrol. Broto (2003) menerangkan bahwa mangga gedong dapat disimpan selama 4 minggu pada suhu 10 oC setelah sebelumnya dilakukan adaptasi penyimpanan pada suhu 15 oC selama sehari. Saat dikeluarkan dari ruang penyimpanan mangga tersebut masih dapat matang normal serta bermutu baik dalam waktu 2-3 hari pada suhu ruang (28-30oC). Sakai et al. (1988) mengemukakan bahwa penyimpanan mangga dapat dilakukan pada 4 variasi suhu yang berbeda yaitu: penyimpanan pada suhu 9- 10oC, pematangan pada suhu 21-24 oC; penyimpanan pada suhu 7 oC, pematangan pada suhu kamar; penyimpanan pada suhu 15-17,8 oC, pematangan pada suhu 21-24oC dan penyimpanan dan pematangan pada suhu dibawah 26,1 oC. Umumnya penyimpanan pada suhu 12oC dengan RH 85-95% merupakan kondisi yang optimum untuk mangga (Kader , 1992).

Penerapan teknologi lain seperti pelilinan, pengemasan dengan plastik film maupun pengaturan lingkungan atmosfir tidak memberikan hasil yang

memuaskan bila tanpa pendinginan. Penyimpanan dengan pengaturan lingkungan atmosfir dimaksudkan untuk memberikan kondisi atmosfir disekitar produk yang berbeda dengan kondisi atmosfir udara normal, biasanya dengan meningkatkan kandungan karbondioksida dan atau menurunkan kandungan oksigen. Kondisi atmosfir ini dapat menekan laju respirasi sehingga masa simpan dapat diperpanjang.

Penyimpanan dengan teknik Modified Atmosphere Package (MAP) adalah penyimpanan dengan cara pengemasan menggunakan plastik film yang memiliki tingkat permeabilitas terhadap O2 dan CO2 tertentu sehingga

menghasilkan konsentrasi gas di dalam kemasan (O2 dan CO2) sesuai yang

direkomendasikan untuk produk yang dikemas (Tabel 8). Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan O2 dan CO2 dalam kemasan antara lain adalah faktor

produk yang dikemas (varietas, berat, respirasi), faktor bahan pengemas (jenis film plastik, ketebalan, luas permukaan, nilai permeabilitas) dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban ruang penyimpan).

Pada Controlled Atmosphere Storage (CAS), komposisi gas di dalam ruangan penyimpanan diatur secara terus-menerus dengan menambahkan atau mengurangi gas-gas tertentu sehingga diperoleh komposisi sesuai yang direkomendasikan untuk produk yang disimpan. Sedangkan pada “hypobaric atmosphere”, penyimpanan produk dilakukan pada tekanan rendah sehingga kandungan oksigen menjadi sangat terbatas.

Tabel 8. Komposisi gas optimum yang direkomendasikan untuk buah-buahan Komposisi gas (%)

Jenis buah simpan (Suhu o

C) O 2 CO2 Aplikasi secara komersial Alpukat 5-13 2-5 3-10 Terbatas Pisang 12-15 2-5 2-5 Dikomersialkan

Jeruk 5-10 5-10 0-5 Tak komersial

Mangga 10-15 3-5 5-10 Terbatas

Pepaya 8-13 2-5 5-10 Tak komersial

(Sumber: Kader , 1992).

7. Pematangan buatan

Pematangan buatan dilakukan secara komersial untuk dapat memenuhi permintaan pasar akan buah yang masak optimum pada suatu periode yang

terjadwal, baik dalam mempercepat atau memperlambat proses pematangan buah tersebut. Beberapa keuntungan dari proses pematangan buatan ini adalah, warna yang seragam dan maksimal, memperkecil terjadinya pengeriputan karena jangka waktu buah menjadi matang dan siap dipasarkan lebih singkat, sehingga presentase kehilangan airnya lebih kecil, modal kembali lebih cepat karena pada saat yang ditentukan petani atau pedagang bisa menjual buah matang dari pada buah dibiarkan matang secara alami, memberikan keleluasaan pedagang besar atau pengencer dalam menjual buah matang yang dinginkan pembeli, mendapatkan keuntungan dari harga yang lebih tinggi pada awal, akhir atau luar musim mangga (Broto, 2003). Secara teoritik, pengontrolan pematangan buatan dilakukan dengan perlakuan suhu ruang penyimpanan pada suatu tingkat tertentu tanpa menimbulkan kerusakan pada buah-buahan tersebut. Suhu ruangan pematangan yang tinggi dapat mengakibatkan kelainan fisiologis pada buah. Buah yang diperam pada suhu tinggi akan berwarna kusam dan daging buah rusak. Sedang pada suhu rendah, pematangan akan berlangsung lama. Broto (2003) menyarankan suhu terbaik untuk proses pematangan adalah 21-25

o

C.

Metode lain untuk mengontrol pematangan adalah dengan memberikan bahan kimia tertentu yang berefek fisiologis terhadap buah-buahan (Tabel 9). Sugiyono (1999) menerangkan bahan-bahan kimia yang mempercepat pematangan misalnya karbit, gas etilen, gas asetilen dan daun-daun yang banyak memproduksi etilen, misalnya daun gamal. Etilen adalah suatu senyawa hidrokarbon tak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas, tak berwarna dengan sedikit berbau manis, diproduksi secara alami sebagai hormon pematangan pada beberapa buah seperti mangga, pisang, pepaya dan sebagainya.

Tabel 9. Pematangan buah mangga dengan berbagai bahan pemicu pematangan

Varietas Bahan pemicu Takaran dan cara Hasil

Arumanis Karbit 0,6 g/kg buah Matang 3 hari lebih awal Cengkir Asetilen 500 ppm, 24 jam Matang 3 hari lebih awal Asetaldehida 5%, direndam 10 detik Matang 3 hari lebih awal Asetilen 500 ppm, degreening Matang 2 hari lebih awal Etanol 10, direndam 10 detik Matang 3 hari lebih awal Gedong

Etilen 50 ppm, degreening Matang 4 hari lebih awal

Dengan kelembaban tinggi, konsentrasi optimal untuk pematangan mangga gedong menggunakan etilen, dan asetilen secara terus menerus pada suhu kamar masing-masing sebesar 50 ppm dan 500 ppm. Sementara mangga cengkir juga memerlukan 500 ppm asetilen. Seymor dan Tucker (1993) menerangkan bahwa konsentrasi dan waktu pemberian etilen adalah khas untuk setiap jenis buah. Penggunaan 100 ppm etilen selama 24-48 jam pada suhu 20

o

C untuk menyeragamkan masaknya mangga. Penggunaan gas asetilen dari kalsium karbida juga dapat diaplikasikan pada ruangan tertutup selama 24 jam dan suhu 20-25 oC dengan RH 90-95% serta konsentrasi gas 10-100 ppm

(0,001-0,01%) etilen dan 1000 ppm asetilen (Kader, 1992)

Buah mangga yang telah tua dapat masak pada suhu 21 - 240C dan kelembaban 85 - 90%. Pada proses masaknya buah khlorofil (warna hijau) berkurang dan terjadi pembentukan antosianin dan karotenoida dalam kulit dan daging. Etilen dapat digunakan untuk mempercepat dan lebih menyeragamkan masaknya buah (100 ppm etilen selama 24 - 48 jam pada suhu 20 oC). Menjadikan buah masak dapat dilakukan di tempat pengangkutan bila waktu transit kurang dari 5 hari atau di tempat penerimaan bila waktu transit lebih dari 5 hari.

Selain itu pematangan juga dapat ditunda untuk memperpanjang masa simpan buah, dilakukan dengan melakukan penyerapan etilen menggunakan

’ethylene absorber’. Pantastico (1986) menyatakan bahwa pengeluaran C2H4

secara paksa dengan menggunakan kemasan hampa udara menyebabkan terhambatnya pematangan yang cukup lama. Hal ini membuktikan bahwa penghisapan sebagian besar C2H4 dari dalam buah dapat mengurangi kadar

etilen tersebut sampai tingkat fisiologi tidak aktif. Scott et al. (1968) mengembangkan bahan yang lebih praktis, yaitu kalium permanganat (KMnO4)

pada vermikulit untuk menyerap etilen. Menurut Abeles (1973), etilen dapat dioksidasi dengan KMnO4 dan merubahnya menjadi bentuk etilen glikol dan

Mangan dioksida. KMnO4 bersifat tidak mudah menguap sehingga dapat

disimpan bersama buah tanpa menimbulkan kerusakan.

Dokumen terkait