BAB II : SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA
D. Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Pengungkapan tindak pidana korupsi harus diakui memang ruwet, maka penangananya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman yang benar-benar terhadap undang-undang No. 20 Tahun 2001. Syarat-syarat pada dakwaan tindak pidana korupsi adalah perumusan perbuatan waktu dan tempat yang dilakukan. Selain itu juga identitas terdakwa untuk dapat merumuskan surat dakwaan.
Penuntut umum harus benar-benar memahami kasus posisi agar dengan demikian, secara satu persatu dapat dipersatu dapat dirumuskan rentetan perbuatan terdakwa. Perbuatan terdakwa tersebut diformulasikan pada pasal-pasal yang didakwakan atau unsur-unsur pasal yang didakwakan. Barulah kemudian diteliti alat-alat bukti yang sah yang mendukung pembuktian unsur tindak pidana korupsi tersebut.
Menurut Laden Marpaung dalam Daniel Marshal yang menyatakan pada harian Berita Buana terbit pada hari Jumat 26 Juli 1991: “Kesulitan menjerat tersangka pelaku tindak pidana korupsi karena gagalnya Jaksa memberikan alat bukti yang bukti yang menyakinkan hakim, sering mengundang pendapat agar sitem pembuktian dalam perkara korupsi menggunakan sistem pembuktian yang terbalik.25
Seiring terjadinya, menurut opini umum, tersangka benar-benar melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya yang jauh diatas penghasilan resminya. Tapi karena tali temali korupsi sering begiru ruwet disamping pintarnya terdakwa menghilangkan jejak, jaksa tidak berhasil menyakinkan hakim akan tuduhannya.26
Pengungkapan tindak pidana korupsi harus diakui memang ruwet, maka penangananya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman yang benar-benar terhadap UU No. 20 Tahun 2001. Syarat-syarat dakwaan dalam tindak pidana korupsi adalah perumusan perbuatan, waktu dan tempat perbuatan
25
Laden Marpaung.Op.Cit.,Hal. 162 26
dilakukan, selain itu juga identitas terdakwa. Untuk merumuskan surat dakwaan, penuntut umum harus benar-benar memahmi kasus posis dengan demikian, secara satu persatu dapat dirumuskan rentetan perbuatan terdakwa.
Perbuatan terdakwa tadi diformulasikan kepada pasal yang didakwakan atau unsur-unsur yang didakwakan. Barulah kemudian diteliti alat-alat bukti yang sah yang mendukung pembuktian unsur tindak pidana korupsi tersebut. Untuk memudahkan terlampir contoh materi ringkas (Matrik) yang kemungkinannya dapat digunakan untuk factor membantu agar jelas kelihatan unsur mana yang lemah pembuktiannya.
Penanganan tindak pidana korupsi selalu berasaskan “praduga tak bersalah” (presumption of innocence). Seiring oleh opini umum, sebagaimana yang ditulis oleh Daniel Marshall, bahwa karena keadaan Perekonomian seseorang jauh di atas penghasilan formal, masyarakat menilai yang bersangkutan koruptor. Hal yang demikian yang harus dicegah dan tidak boleh terjadi pada penanganan tindak pidana korupsi.
Penanganan tindak pidana korupsi memerlukan pemahaman tentang perbuatan-perbuatan terdakwa, pemahaman ini htidak hanya mencakup perbuatan terdakwa tetapi juga terhadap peraturan-peraturan terkait dengan perbuatn terdakwa tersebut misalnya pengelolaan keuangan dan atau proyek, harus memahami Kep. Pres No. 14 A Tahun 1980 jo Kep. Pres. No. 18 Tahun 1981 dan Kep. Pres. No. 29 Tahun 1984. Demikian juga masalah manipulasi tanah Negara, perlu memahami PERMENDAGRI No. 5 Tahun 1973.
BAB III
BENTUK-BENTUK KORUPSI PADA ERA MODERNISASI
A. Korupsi dan Modernisasi
Korupsi memang berlangsung pada semua lapisan masyarakat. Namun lapisan masyarakat yang tengah melaksanakan modernisasi, korupsi ini paling banyak terjadi. Biasanya, korupsi itu berbareng dengan pembangunan industri, perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, dan bersamaan pula dengan tampilnya klas-klas baru yang banyak mengajukan tuntutan-tuntutan baru pada pihak pemerintah. Korupsi merupakan salah satu kriterium dari tidak adanya institusionalisasi politik yang efektif, dan dari kurang berfungsinya sistem kontrol dan yudikatif. Banyak pegawai negeri dan pejabat tidak lagi mempunyai otonomi karena sudah terbelenggu oleh suapan dan sogokan, dan tidak mempunyai pertalian dengan rakyat yang harus diberi pelayanan sosial. Sebab mereka justru mengaitkan dengan sistem kelembagaannya dengan tuntutan eksternal yaitu pihak-pihak yang bersedia menyuap dan memberikan hadiah-hadiah.
Modernisasi yang didukung oleh pendidikan ikut mendorong peningkatan ambisi-ambisi sosial dan ambisi-ambisi materiil, dan memupuk nafsu-nafsu memiliki. Pemenuhan dorongan ambisi serta kebutuhan-kebutuhan baru itu dicapai orang baik dengan cara yang konvensional maupun yang tidak. Jadi yang mana menyuburkan mental-mental korupsi yaitu dengan menggunakan cara-cara pencapaian dan aturan-aturan yang dibuat sendiri. Kalau bisa menggunakan jalan- jalan meminta yang deviatif, menyimpang dari hukum dan norma umum.
Pola hidup sederhana dan jujur yang diagung-agungkan di masa lalu, pada periode modernisasi menjadi “bahan cemoohan” dan sindiran satiritis, sebaliknya cara hidup eliter, dengan konsumsi mewah dan pola “jet set”, menjadi modus tingkah laku. Apa yang dianggap sebagai asusila pada zaman “normal” dahulu, misalnya menerima sogokan, suapan, menggelapkan uang Negara, dan lain-lain pada zaman modern sekarang ini dianggap sebagai biasa, merupakan gejala sosial yang terjadi dimana-mana.
Orientasi pada uang dan harta kekayaan pada zaman modern sekarang, juga ambisi-ambisi perorangan dan interest-interest pribadi tampaknya berkembang subur dalam kondisi sosial yang “bebas” sekarang; bahkan tampaknya menjadi semakin liar tidak terkendali. Maka korupsi menjadi satu aspek dari kebudayaan masyarakat Indonesia yang tengah mengadakan usaha modernisasi.
Di lain pihak, kita memaknai gejala korupsi dari sudut pandang yang lain lagi, karena dapat atau tidaknya suatu tindakan dikatakan korupsi pada dasarnya sangat tergantung pada siapa yang mendefenisikannya dan diterapkan terhadap
siapa. Untuk kepentingan pribadi yang masuk dalam proses politik pada awalnya bukanlah masalah dalam birokrasi, karena hal semacam itu dapat diterima. Unsur tersebut dapat menjadi persoalan, ketika muncul sistem lain yang berbeda, atau ketika sistem yang baru diterapkan.
Dalam kasus birokrasi atau sistem politik di Indonesia, sistem yang lebih baru dipandang lebih baik kerena sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sebuah Negara. Oleh karena itu sistem inilah yang dijadikan acuan dan kriteria penilaian. Ketika segala sesuatu yang ada dalam sistem politik tradisional dilihat lewat kacamata yang berbeda, yang hampir sepenuhnya berlawanan, pada waktu itu pula hal-hal semula dianggap benar dan wajar lantas menjadi salah dan tidak wajar.
Salah satu basis dari perilaku korupsi adalah tidak adanya pembedaan yang tegas antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum dalam aturan nilai dan norma yang ada dalam suatu masyarakat. Berbagai sistem politik lokal tradisional di Indonesia memperlihatkan bahwa hal semacam itulah yang terdapat dalam sistem politik lokal tradisional di Indonesia. Meskipun secara formal, sistem lokal tradisional semacam itu tidak diakui, namun dibanyak tempat sistem tersebut masih banyak bertahan dan perangkat nilai yang ada di dalamnya masih tetap aktif dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam setiap masyarakat yang mengalami proses modernisasi dan perubahan-perubahan yang cepat, selalu muncul kelompok-kelompok sosial baru yang ingin berpartisipasi dalam bidang politik; namun mereka tidak mampu mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai dan prosedur politik yang ada. Mereka
justru ingin memuaskan ambisi-ambisi dan kepentingan pribadi. Disamping itu, lembaga-lembaga politik sering dijadikan ambisi pribadi, dan tidak jarang oleh tokoh-tokoh politik baru.
Dalam pemerintahan yang korupsi, mereka yang mendapatkan kekuasaan politik tertinggi memiliki kesempatan yang paling banyak untuk mendapatkan kekayaan paling banyak, maka korupsi berat berada di puncak, itu hampir selalu disebabkan oleh adanya kelembagaan politik yang sangat lemah. Kelembagaan semacam ini tidak mampu berdiri secara otonom, dan tidak mampu membebaskan diri dari macam-macam pengaruh penyogokan dan pembelian.
Sebaliknya, masyarakat-masyarakat yang sangat modern seperti yang terdapat di Amerika Serikat dan India (yang tengah memodernisir diri, dengan bantuan perlembagaan politik yang sangat kuat), pemimpin-pemimpin politik yang baru muncul bisa tersosialisasi dalam kode-kode nilai yang mengabdi pada kepentingan umum.
Dalam keadaan begini, tingkah laku korupt itu akan lebih banyak berlangsung pada tingkat hierarki birokrasi atau hierarki politik yang lebih bawahan (pada eselon-eselon lebih rendah). Pejabat-pejabat birokrasi pada tingkat rendah pada umumnya lebih cenderung untuk melakukan korupsi daripada pejabat-pejabat pada eselon atasan. Pejabat-pejabat regional dan lokal lebih korupt daripada pejabat tingkat nasional.
Kepemimpinan nasional tingkat teratas dan kabinet nasionalnya, pada umumnya bisa dinyatakan relative bebas dari praktek korupsi, ada Clean
Government. Sedangkan pejabat-pejabat kota dan lokal, pada umumnya sangat dalam bergelimang dalam tindak korupsi.
Korupsi itu merupakan produk daripada meluasnya partisipasi politik di kalangan masyarakat luas, berkat meningkatnya taraf pendidikan dan sistem informasi namun mereka tidak tersosialisir dalam lembaga-lembaga politik yang ada. Dengan kata lain apabila proses mobilitas vertikal ke atas dalam mesin politik dan birokrasi politik tidak mungkin berlangsung, maka akan terjadi banyak korupsi; sedang cara-cara inkonvensional serta inkonstitusional untuk usaha mobilitas vertikal, akan lebih merajalela.
Pengurangan jumlah korupsi dalam situasi sedemikian ini hanya bisa berlangsung dengan jalan reorganisasi, dan restrukturalisasi kekuatan-kekuatan sosial yang baru muncul dalam sistem politik tadi. Korupsi juga banyak berlangsung dalam masyarakat yang mengutamakan egoisme atau pementingan diri sendiri, yaitu kepentingan individual, keluarga, clan, kelompok, kliek, dan suku sendiri. Pada umumnya peristiwa sedemikian ini disebabkan oleh tidak adanya partai-partai politik yang efektif, contohnya di Negara Iran (zaman Syah Reza Pahlevi), Muang Thai dan Philipina dengan sistem kepartaian yang lemah maka korupsi demi kepentingan individual dan familiar berkembang dengan suburnya.
B. Praktek-Praktek Korupsi di Indonesia Korupsi Serta Latar Belakang Masyarakat
Sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga saat kemerdekaan, sebagian besar dari rakyat Indonesia adalah petani dan protelar tanpa harta benda. Maka di alam merdeka muncullah dorongan yang amat kuat di tengah masyarakat kita untuk menaikkan taraf kehidupan dan memperbaiki status sosial, khususnya terdapat di kalangan para pemimpin.
Sebagai hasil daripada proses pendidikan yang lebih baik di zaman kemerdekaan ini, muncullah aspirasi-aspirasi materiil, harapan dan ambisi-ambisi yang kuat untuk mengangkat diri. Muncullah kemudian garda pendobrak di alam Orde Baru, dengan harapan-harapan dan dorongan berprestasi yang kuat. Garda pendobrak tersebut memiliki emosi-emosi yang amat kuat untuk mengubah nasib hidup sendiri dan nasib bangsanya dengan cara-cara yang radikal.
Di tengah gejolak ambisi yang meluap-luap sedemikian itu tidak sedikit tokoh pemimpin yang dihinggapi obsesi (dorongan paksaan yang amat kuat) untuk cepat menjadi makmur dan lekas menjadi kaya. Dengan segala daya upaya orang berlomba menduduki kursi pimpinan yang “renes” atau “basah”, untuk cepat menjadi kaya dan makmur, dengan cara yang paling mudah dan bea yang paling murah. Sehingga berkembang pola konsumsi mewah dan pola hidup “jet- jet”, tingkah laku menyeleweng, korupsi dan tindak pidana. Korupsi sedemikian ini cepat berkembang, karena masa transisi itu mengandung banyak kelamahan di bidang hukum, sehingga memberikan banyak kesempatan bagi usaha-usaha penyelewengan dan perbuatan illegal. Setiap kesempatan, tiap jabatan dan fungsi formal, dipakai sebagai alat untuk memperkaya diri, maka deviasi situasional berkembang menjadi devisa endemis, ataupun deviasi sistematis.
Ditambah dengan masuknya arus kebudayaan “modern” di tanah air yang sangat menjunjung tinggi aspirasi materiil dan kebudayaan uang, kebahagiaan hidup dimulai dengan standard uang. Maka uang mendominir segala pertimbangan, uang menjadi moral kebenaran. Muncullah kemudian kelompok OKB atau orang kaya baru “nouveaux riches”. Muncullah pula satu society atau kelompok elite megah dengan kekayaan yang melimpah-limpah, sebagai hasil dari praktek-praktek koruptif.
Maka koruptor-koruptor yang kaya raya, politisi yang berani dan ceroboh pejabat-pejabat yang korupt baik yang sipil maupun yang berbaju uniform dan kaya raya, semua dipuja-puja dan dielu-elukan banyak orang. Tumpukan kekayaan dan kemewahan hidup tadi menjadi selendang penutup bagi praktek- praktek korupsinya.
Praktek-praktek korupsi dalam bentuk pemerasan dan intimidasi banyak dilakukan oleh pejabat dan penguasa setempat. Tidak jarang mereka itu menggunakan kekuatan senjata, “penodongan” tersebut terutama sekali ditujukan kepada usaha-usaha setengah legal, seperti perjudian dan pelacuran, perdagangan narkotika dan minuman keras, serta mperusahaan-perusahaan yang belum disyahkan. Baik kaum politisi, maupun polisi, para penegak hokum, pejabat sipil dan militer, tidak sedikit yang terlibat dalam praktek semacam ini. Kadang kala, mereka berfungsi sebagai dalang dibalik layar. Maka usaha-usaha tidak legal atau setengah legal dijadikan sumber untuk merauk kekayaan bagi oknum-oknum yang korupt itu.
Bank-bank gelap juga bisa menjadi sumber penghasilan bagi pejabat- pejabat lokal, dengan cara memberikan fasilitas pendiriannya. Bahkan juga memberikan pengamanan dan perlindungan fisik dengan imbalan bayaran uang, atau justru dengan jalan setengah pemerasan dan paksaan. Banyak pula bank-bank asing menjadi sumber penghasilan inkovensional, dengan dalih adanya keharusan member sumbangan kesejahteraan rakyat “fonds”, sehingga bank-bank tersebut bisa diperas pada waktu-waktu tertentu.
Penyuapan, penyogokan, pembelian dan barter, semua menjadi alat infiltrasi bagi klas-klas ekonomi baru yang tengah menanjak (kaum OKB) untuk member kekuasaan politik dan status sosial, agar mereka bisa digolongkan dalam klas elite. Maka kursi-kursi dan jabatan-jabatan dibidang legislative, eksekutif dan yudikatif ada kalanya diperjualbelikan atau dibarterkan dengan uang.
C. Korupsi Merupakan Iklim Yang Tidak Sehat
Korupsi itu berkembang parallel dengan pesatnya kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi, usaha dan perdagangan. Kebutuhan-kebutuhan yang menanjak disektor transport, pertanian, dan irigasi, pendidikan dan kesejahteraan rakyat, pembangunan perumahan, industri-industri berat yang semuanya memerlukan budget milyaran dollar, memberikan kesempatan bagi kaum koruptor dan profiteer untuk ikut menangguk keuntungan dalam kesibukan pembangunan tersebut.
Kontrak-kontrak berhadiah dengan komisi-komisi tinggi, akan tetapi dengan prestasi kerja minim dan merupakan bentuk penipuan terselubung,
berlangsung dimana-mana. Hal ini merugikan Negara dan rakyat banyak namun menguntungkan sekali oknum-oknum dan golongan-golongan penguasa tertentu.
Izin pemberian kontrak dan lisensi-lisensi dengan bermacam-macam fasilitas dan pembebasan, banyak sekali diperdagangkan. Monopoli-monopoli dan privilege-privilege diberikan oleh pejabat-pejabat atau penguasa kepada para kontraktor, den gan imbalan bayaran uang dalam jumlah besar. Semua itu adalah penghasilan tambahan illegal yang dilegalkan.
Konsentrasi jumlah uang yang sangat besar di tangan beberapa orang atau sindikat perdagangan sering dipergunakan untuk menggoyahkan iman para pejabat/fungsionaris melalui praktek penyuapan. Bahkan tidak sedikit bisa dibeli dengan rupiah atau dolar. Sebagai contoh terdapat pengadministrasian secara hokum praktek-praktek prostitusi dan perjudian (casino, lotto, jack pot, dan black pot Tahun 1970, syatan paykiu dan koprok macao) di kota-kota besar. Juga terdapat perdagangan minuman keras dalam bentuk industri kecil setengah legal.
Semuanya menjadi sumber yang bisa dieksplotir oleh golongan tertentu, misalnya oleh okmun polisi, oknum angkatan bersenjata dan pejabat-pejabat lokal. Bahkan disamping pembayaran pajak-pajak bisaa, banyak pula merajalela pajak serta iuran-iuran liar diluar ketentuan resmi. Juga banyak intimidasi dan pemerasan dilakukan oleh “orang-orang dalam”, gerombolan-gerombolan pemuda
liar dan penjahat. Pemerasan bentuk ini dilakukan, baik terhadap rakyat biasa, maupun terhadap para pengusaha dan pedagang-pedagang.
Tindakan-tindakan penyelewengan di bidang politik dan ekonomi itu jelas menurunkan derajat moralitas politik dan moralitas business. Keduanya sama buruknya. Menurunnya kedua moralitas itu menambah berkembangnya praktek- praktek korupsi. Maka berlangsunglah rangkaian interrelasi diantara kekuatan- kekuatan politik-ekonomi-moralitas-korupsi dalam wujud lingkaran setan atau
vicios circle yang sulit dipecahkan.
Disamping itu, ada usaha-usaha untuk mengendalikan dan mengontrol perdagangan secara intensif oleh pemerintah dan pejabat-pejabat formal, sehingga ikhtiar ini menumbuhkan etatisme (ikut campurnya pihak pemerintah secara berlebih-lebihan). Peristiwa inilah justru menyuburkan praktek-praktek penyelundupan, penyuapan dan korupsi, yang didalangi oleh kaum koruptor, yaitu: pejabat-pejabat dan para penegak hukum yang korupt.
Jelaslah , bahwa relasi “akrab” antara sektor business dan pemerintah akrab namun sifatnya deviatif/menyimpang dalam periode modernisasi dan pembangunan dewasa ini, membuka banyak kesempatan bagi kaum koruptor untuk menangguk keuntungan pribadi.
Penanaman modal asing dan hadirnya pengusaha-pengusaha asing di tanah air juga ikut merangsang berkembangnya korupsi. Kekuasaan memberikan perizinan, fasilitas usaha monopoli ekonomi tertentu. Disamping itu juga membuka kesempatan bagi pejabat-pejabat eksekutif dan tokoh-tokoh politik kunci untuk berbuat korupt, dengan dalih berhak mendapatkan imbalan jasa dalam
bentuk jutaan rupih atau milyunan dollar. Maka para penanam modal dan pengusaha asing itu harus pandai-pandai mengikat pertalian/aliansi dengan para
“policy makers” dan “decision makers” baik yang lokal maupun yang ada di
Pusat. Lalu terbinalah dwi aliansi diantara bidang politik eksekutif dengan business, atas dasar kerjasama dan saling menguntungkan.
Di negara kita ini tampaknya lebih mudah bagi orang muda yang ambisius untuk menjadi tokoh politik terkemuka, atau menjadi Menteri dalam suatu Kabinet melalui jenjang-jenjang politik, daripada mendapatkan sukses di bidang usaha dan business. Sebabn ya ialah fungsi politik memberikan kesempatan luas untuk menduduki jabatan eksekutif. Dan jabatan inilah yang memberikan banyak fasilitas untuk beraliansi dengan tokoh-tokoh business, ataupun membuat macam- macam firma dan perusahaan sendiri.
Maka jalan paling singkat bagi pejabat-pejabat kunci untuk mendapatkan keuntungan pribadi ialah dengan jalan, mengadakan barter, memberikan lisensi dan fasilitas dengan keuntungan jutaan rupiah atau dollar. Jabatan-jabatan sedemikian inilah yang disebut dengan tempat-tempat basah dalam hierarki eksekutif.
Perkembangan sumber-sumber kekayaan dan keuatan yang baru itu memang memberikan banyak celah untuk berlangsungnya tindak korup, terutama korupsi materiil dari klas-klas sosial menengah dan tinggi namun jelas bagi kita, bahwa korupsi itu menjadi tanda-tanda pengukut bagi :
1. Tidak adanya perlembagaan politik yang efektif
2. Tidak adanya partisipasi politik dari sebagian besar rakyat Indonesia: khususnya rakyat miskin dan masyarakat di daerah pedesaan.
3. Tidak adanya badan hukum dan sanksi yang mempunyai kekuatan riil.27
Tampaknya tidak ada satu kekuatan atau otoritas di Negara kita ini yang mampu mengendalikan ambisi-ambisi materiil itu. Maka kekuasaan yang secara impliciat mencakup kekayaan dan kekuatan/force dapat berperan secara maksimal. Tidak jarang berlangsung peristiwa sebagai berikut : tokoh-tokoh politik itu secara informal merangkap menduduki fungsi-fungsi eksekutif dan yudikatif.
Asosiasi dengan ini, kekuasaan-kekuasaan penentuan anggaran, fungsi- fungsi ekonomis, pengadilan, administratif dan militer secara simultan dirangkap atau ada di tangan pribadi-pribadi tertentu. Jadi ada fungsi daripada fungsi- fungsi/multi-fungsi di tangan pejabat-pejabat tadi. Tokoh-tokoh penguasa sedemikian inilah yang mempunyai relasi akrab dengan modal-modal dan kekuatan-kekuatan asing. Dalam hal ini para penanam modal asing dan pengusaha-pengusaha asing itu secara “gallant” memberikan peluang bagi para pejabat untuk menjadi koruptor-koruptor potensial.
27
BAB IV
PERANAN DAN KEWENANGAN HAKIM DALAM MEMBERANTAS KORUPSI
A. Kewenangan Hakim Dalam Usahanya Memberantas Tindak Pidana
Korupsi Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Kewenangan/kekuasaan merupakan suatu hak yang diberikan oleh undang-undang yang mana dibenarkan menurut peraturan yang ada. Semua tingkat pengadailan yang menurut wilayahnya dapat mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan kewenangan absolute yakni kekuasaan atribusi yang ada serta kekuasaan relatifnya yaitu ketentuan jenis pengadilan yang mana kesemuanya diatur dalam udang-undang.
Kewenangan pengadilan mengacu pada ketentuan peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 12 Ayat 1 yang mana terdapat dalam Undang-undang Peradilan umum. Hukum pidana merupakan ilmu yang berkembang mengikuti perkembangan zaman dan dibuat berdadarkan substabsial artinya hukum pidana adalah ilmu yang bersifat mengikuti perkembangan dengan perkataan lain sangat universal tetapi dapat juga secara
khusus. Dari sinilah muncul peran serta hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi tetapi belum begitu secara optimal dalam melakukan pemberantasan korupsi namun usaha yang dilakukan oleh para hakim dalam taraf peoptimalan usaha tersebut, dikarenakan Undang-undang yang ada mengenai tindak pidana korupsi telah ada dan memberikan kekuasaan/kewenangan bagi para hakim dalam memberantasnya.
Alat-alat bukti yang diajukan oleh para penggugat-penggugat dalam pengajuan gugatan di Pengadilan kehadapan Majelis Hakim yaitu :
1. Bukti 1 : satu unit CPU Pentium 166, 16 RAM; 2. Bukti 2 : satu buah monitor IBM 14 Inch; 3. Bukti 3 : satu pasang speaker;
4. Bukti 4 : satu buah meja computer 5. Bukti 5 : satu unit mouse computer
6. Bukti 6 : satu unit mouse digetech 3 tombol; 7. Bukti 7 : satu unit printer BJC
8. Bukti 8 : satu unit Digetezer Wacoom, Artz, A4;
9. Bukti 9 : satu buah kamera Cannon digital Powershot 350 10. Bukti 10 : satu buah VCD compo Sonny V-800