PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pada fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Program studi
: ILMU HUKUM
PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pada fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
DISUSUN
O
L
E
H
Nama
:
CHARLES
MANURUNG
NPM
:
070200447
Program studi
: ILMU HUKUM
Ketua Departemen: Hukum Pidana
(Dr. Hamdan, SH, M.Hum)
Pembimbing I Pembimbing II
(M. Nuh, SH, M.Hum) (Alwan, SH, M.Hum)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Jesus Kristus yang selalu
menyertai setiap jalan dan setiap langkah dalam pengerjaan skripsi ini maupun
dalam setiap kehidupan. Terima kasih untuk semua yang Ia beri di hidupku,
bahkan sampai detik ini akau patut bersukacita karena-Nya. Biarlah berkat
yang telah diberikan dapat kupergunakan sebaik-baiknya, biarlah juga studiku
ini dapat menjadi berkat bagi orang lain. Penulis juga berterima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Hamdan, SH selaku ketua jurusan Departemen Hukum Pidana,
atas nasihat dan masukan yang telah diberikan dari Ibu Sekretaris
Departemen Hukum Pidana.
4. Kepada Bapak M. Nuh, SH, M.Hum sebagai dosen pembimbing I yang
telah mengarahkan dan membimbing saya dalam pembuatan skripsi ini.
5. Kepada Bapak Alwan, SH, M.Hum sebagai dosen pembimbing II telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Kepada Bapak Drs. Pendastaren Tarigan sebagi pengelola Hukum serta
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Semua dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
saya dalam mengurus administrasi yang ada pada Fakultas Hukum USU
Medan.
8. Yang terutama, yang akan selalu ku ingat kedua orang tua yang telah
membesarkan saya tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan demi
anak yang telah dibesarkan untuk menuju ke masa depan.
9. Juga tidak lupa buat anak istri yang selalu mendampingi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini dan terus mendorong saya setiap saat tanpa
mengeluh dari kekurangan-kekurangan yang ada.
10.Juga tidak lupa ucapan terima kasih saya kepada teman-teman, sahabat
dan kolega yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, tidak lupa saya
panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, agar kita semua mendapat
Hidayah Dunia dan Akhirat.
Amin.
Medan,
Hormat Saya,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR… ... i
DAFTAR ISI... iv
ABSTRAK... ... vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang. ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Manfaat Penelitian ... 10
D. Tujuan Penelitian ... 10
E. Keaslian Penulisan ... 11
F. Tinjauan Pustaka ... 11
1. Pengertian Korupsi ... 11
2. Ciri-ciri Korupsi ... 15
3. Subjek Delik Korupsi ... 16
G. Metode Penulisan ... 18
H. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II : SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A.Pengertian Korupsi ... 13
B.Tindak Pidana Korupsi ... 31
C.Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ... 35
D.Penanganan Tindak Pidana Korupsi ... 39
BAB III : BENTUK-BENTUK KORUPSI PADA ERA MODERNISASI
A.Korupsi dan Modernisasi ... 42
B.Praktek-Praktek Korupsi di Indonesia Korupsi Serta Latar
Belakang Masyarakat ... 46
C.Korupsi Merupakan Iklim Yang Tidak Sehat ... 49
BAB IV : PERANAN DAN KEWENANGAN HAKIM DALAM
MEMBERANTAS KORUPSI
A.Kewenangan Hakim Dalam Usahanya Memberantas
Tindak Pidana Korupsi Menurut
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 ... 54
B.Peranan Hakim dalam Upayanya Memberantas
Tindak Pidana Korupsi Indonesia ... 59
C.Hambatan Bagi Hakim Dalam Memberantas Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia ... 63
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. ...Kesimpula
n ... 66
B. ...Saran
... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 69
ABSTRAK
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan-perubahan kondisi sosial masyarakat, memiliki dampak sosial negatif terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidan yang meresahkan masyarakat. Salah satu pidana yang dapat dikatakan sangat fenomenal adalah tindak korupsi. Skripsi ini berjudul
“PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001”.
Dalam skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah faktor-faktor apa penyebab timbulnya tindak pidana korupsi. Bagaimana dampak tindak pidana korupsi terhadapa perekonomian
ABSTRAK
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan-perubahan kondisi sosial masyarakat, memiliki dampak sosial negatif terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidan yang meresahkan masyarakat. Salah satu pidana yang dapat dikatakan sangat fenomenal adalah tindak korupsi. Skripsi ini berjudul
“PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001”.
Dalam skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah faktor-faktor apa penyebab timbulnya tindak pidana korupsi. Bagaimana dampak tindak pidana korupsi terhadapa perekonomian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbuatan korupsi merupakan penyakit universal dalam tatanan politik
semua Negara didunia ini. Berbagai strategi dan upaya dilakukan oleh pemerintah
untuk memberantasnya. Kalaupun tidak bisa memberantasnya paling tidak dapat
mengurangi volumenya. Karena korupsi dapat merusak sendi-sendi kehidupan
berbangsa. Sebagaimana yang kita ketahui sendiri, bahwa jatuhnya bangsa
Indonesia ke dalam jurang multidimensional berawal dari banyaknya korupsi di
setiap lembaga pemerintahan, bahkan Departemen Agama sekalipun, sebuah
departemen yang membawahi pembenahan moral bagi warga Negara yang sudah
ditetapkan undang-undang.
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana,
sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah
korupsi. Dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti
penggelapan uang, penerimaan uang dan sebagainya.
Indonesia termasuk dalam peringkat yang paling tinggi dalam hal urusan
korupsi, sebuah prestasi yang sebenarnya sangat memalukan sebagai Negara yang
Berbicara fenomena mengenai korupsi Jhonson BS Rajagukguk dalam
Samuel P Huntigton menyatakan dalam bukunya, “Political Order In Changing
Societies” bahwa korupsi adalah : “behavior of public official which deviates
from accepted norms in order to serve private ends” yang artinya adalah
perlakuan menyimpang “public official” atau para pegawai dari norma-norma
yang diterima dan dianut oleh suatu masyarakat. Tujuan penyimpangan adalah
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi.1
Terjadinya perbuatan korupsi dalam suatu Negara adalah lemahnya sistem,
merupakan salah satu tidak dapat disangkal maksudnya sistem mengenai
pencegahan korupsi itu sendiri karena sudah merupakan budaya. Lemahnya
mekanisme di berbagi sektor birokrasi dewasa ini, seperti dikeluhkan oleh
masyarakat, juga para pengusaha nasional termasuk pengusaha kecil maupun
pengusaha asing, karena banyaknya administrasi yang harus mereka lalui untuk
memperoleh suatu izin atau fasilitas.
Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya
suap-menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu perbuatan korupsi, bahkan
tanpa tersembunyi korupsi yang jenis ini masih saja terus berlangsung dengan
berbagai sistem yang terjadi.
Makin maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi dan makin gencarnya
pemberantasan korupsi dikarenakan sudah makin terpuruknya keadaan keuangan
1
Jhonson BS Rajagukguk, Reformasi Mentalitas Budaya Politik Menuju Pemberantasan Korupsi, Sinar Indonesia baru, Jumat 15 Juli 2005, hal 13.
Negara yang disebabkan oleh kecurangan yang dilakukan oleh pejabat yang
diberikan kekuasaan untuk memperkaya dirinya. Korupsi merupakn fenomena
yang terjadi dalam suatu Negara yang mana merupakan kelemahan pada suatu
bangsa yang merembes kesemua tingkat pelayanan umum, korupsi melemahkan
garis kehidupan masyarakat dan membuat tidak adanya pemerataan kesehahteraan
dalam kehidupan.
Makin maraknya tindak pidana korupsi dewasa ini, sehingga dianggap
perlu adanya pengaturan terhadap tindak pidana korupsi, mengingat juga sifat dari
tindak pidana korupsi yang merupakan “extraordinary crime”. Oleh karena itu
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh hakim antara lain dengan instrument
hukum yang luar biasa trsebut tidak bertentangan dengan standar hukum secara
universal.
Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh hakim di
pengadilan yang saat ini sangat gencar dilakukan merupakan langkah nyata
menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Namun kesemuanya pemberantasan
yang dilakukan oleh hakim memiliki kendala maupun hambatan dimana seorang
hakim harus secara teliti mengkaji mengenai alat bukti yang diajukan kehadapan
sidang karena merupakan tindak pidana khusus yang diatur secara tersendiri oleh
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
saat ini.
Korupsi berkembang dan tumbuh subur di Indonesia yang terdapat
memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi, pada
umumnya sifat acuh tak acuh. Disatu sisi mereka merasa terhormat dan takjub
akan kemewahan dan cara hidup golongan “jet set” dan para koruptor. Namun
disisi lain mereka merasa jengkel terhadap tingkah laku mereka yang berlebihan.
Selanjutnya sikap rakyat menjadi semakin apatis dengan semakin meluasnya
praktek-praktek korupsi oleh beberapa pejabat lokal, regional, maupun nasional
yang ada diberbagai instansi tesebut.
Sebaliknya mahasiswa menanggapi korupsi dengan emosi yang
meluap-luap dan protes terbuka, mereka sangat sensitif terhadap perbuatan korupsi, juga
menuntut perbuatan yang merugikan bangsa dan Negara. Oleh aspirasi sosialnya
yang sehat dan tidak memililki vested interest, tidak henti-hentinya mereka
melontarkan kritik, lalu memberikan sugesti-sugesti kepada pemerintah untuk
melakukan tindakan korektif tegas terhadap perbuatan korupsi. Oleh pengaruh
edukatif yang intensif, muncullah kesadaran politik pada mereka, dan timbul pula
aspirasi politik. Mereka mampu melihat secara kritis dan mereka tidak puas
terhadap perbuatan manipulative dan koruptif dari banyak pejabat terhadap
instansi yang ada.
Berdasarkan banyaknya kerugian yang dialami oleh Negara akibat pelaku
korupsi inilah yang memberikan tanggapan pemerintah terhadap korupsi inilah
tahun 60-an dilancarkan team-team pemberantasan korupsi, undang-undang
korupsi, komisi empat dan OPSTIB (operasi tertib) pusat dan daerah2.
Secara marathon OPSTIB memeriksa peristiwa-peristiwa korupsi, baik
yang berlangsung di daerah maupun di pusat pemerintahan. Dan hampir setiap
hari Koran-koran memuat-memuat berita hasil pemberantasan korupsi seperti
yang dimuat di Sinar Indonesia baru yang mana memuat berita “Presiden Telah
Setujui Periksa 57 Pejabat Negara kasus Korupsi RP 1 sampai 56 Milyar, yang
menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani izin
pemeriksaan terhadap tujuh pejabat Negara, sehingga secara keseluruhan presiden
telah menyetujui pemeriksaan 57 pejabat Negara yang disampaikan juru bicara
kepresidenan Andi Mallarangeng”.3
Perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan yang baru
memang memberikan banyak celah untuk berlangsungnya tindak korupsi,
terutama korups materiil dari kelas-kelas sosial menengah dan tinggi. Namun jelas
bagi kita bahwa korupsi itu menjadi tanda pengukur bagi:
1. Tidak adanya perkembangan politik yang efektif.
2. Tidak adanya partisipasi politik dari sebagian besar rakyat Indonesia
khususnya rakyat miskin dan masyarakat di daerah pendesaan.
3. Tidak adanya badan hukum dan sanksi yang mempunyai kekuatan riil.4
2
Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid I,
3
Presiden telah setuju periksa 57 Pejabat Negara Kasus Korupsi RP1-56 4
Adanya penyelewengan-penyelewengan itu bukannya membuat kita mencapai
hasil yang diharapkan, tetapi mendatangkan malapetaka karena adanya korupsi
dan pembangunan pun akan dijalankan asal-asalan, sekedarnya dan tidak sesuai
dengan kelayakan dan kewajaran dalam standar nilai yang dituntut.
Korupsi merupakan gambaran yang menunjukkan pada kita betapa
lemahnya pengawasan sebagi faktor pengaman dari pembangunan yang dapat
dimanipulasi serta direkayasa guna kepentingan pribadi untuk memperkaya diri.
Korupsi telah banyak merugikan pembangunan dan terjadinya pembodohan
publik guna menutupi kebobrokan dari para koruptor.
Pembangunan yang merata tidak akan tercapai dengan baik apabila
pembangunan itu tidak dilengkapi dengan pengawasan pembangunan guna
melindungi aset-aset Negara yang akan dirongrong oleh para koruptor. Tanpa
adanya pengawasan pembangunan akan banyak terjadi kebocoran-kebocoran dan
kebocoran itu pada akhirnya mampu menggagalkan pembangunan. Maka seiring
dengan lajunya pembangunan, pengawasan pun harus terus berlangsung. Semakin
meningkat pembangunan, pengawasan semakin tidak boleh surut dan
menyesuaikan keadaan tersebut.
Pengawasan adalah sesuatu yang bersifat kodrati yang diperlukan dalam
saja perlu kewaspadaan apalagi dalam kehidupan untuk sebuah Negara yang
menyangkutkan hidup orang banyak di dalamnya.
Namun untuk menghindari korupsi, dalam melakukan pengawasan tidak
boleh gegabah, pengawasan yang dilaksanakan tanpa pemikiran yang matang,
bukanlah ikut memperlancar pembangunana, salah-salah justru malah
menghambatnya terhadap pelaksanaannya.
Mestilah disadari pengawasan pembangunan bukanlah unsur yang berdiri
sendiri, tetapi merupakn salah satu unsur dari berbagai pembangunan. Tujuan
utama dari pengawasan adalah ikut berusaha memperlancar pembangunan serta
mengamankan hasil-hasil pembangunan.
Pengawasan diperlukan bukan karena kurang kepercayaan dan bukan
untuk mencari-cari kesalahan dan bukan untuk menakuti-nakuti serta membuat
orang gelisah, tetapi pengawasan untuk membuat agar segala perencanaan
pembangunan berjalan secara lancar dan bersih.
Pengawasan pembangunan berupaya agar tidak terjadi penyelewengan
dalam pelaksanaan suatu rencana, dan segera mengambil jaln keluar dari kemelut
yang mungkin muncul, serta lahirnya mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai
dan dirasakan oleh semua lapisan.
Mengkaitkan antara pengawasan yang dilakukan oleh hakim dalam
menegakkan Undang-undang No. 20 tahun 2001, seorang hakim yang dapat
menjalankan tugas memberantas tindak pidana korupsi, maka hakim itu telah
membangun keadilan yang diinginkan masyarakat banyak.
Judul adalah sangat penting keberadaannya dalam suatu karya ilmiah
termasuk halnya dengan skripsi. Tanpa adanya judul maka syarat sebuah tulisan
dan arah tulisan itu tidak tentu tidak dapat dibuat dan dimengerti. Tulisan tentang
judul ini adalah sangat mutlak maka pihak yang terkait di dalam suatu karya
ilmiah akan dapat dimengerti secara sepintas tentang isi pembahasan. Judul skripsi
ini adalah : PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 20
TAHUN 2001.
Hakim merupakan orang yang dianggap mampu menyelesaikan perkara
korupsi secara jelas, tetapi adakalanya kekuasaan hakim di pengadialn justru
dirongrong oleh para pihak yang ingin menyelamatkan dirinya dari sanksi pidana
dengan mengiming-imingi hakim tersebut denagn apapun yang dianggap
menguntungkan hakim tersebut serta tak jarang seorang hakim diintimidasi oleh
para koruptor dengan menganggu kekuasaannya dalam pengadilan dengan
mengintimidasi berupa ancaman bagi para hakim yang tidak mau bekerja sama,
tetapi juga gangguan tersebut dengan pemberian sejumlah uang agar perkaranya
Selayaknya seorang hakim tidak perlu khawatir akan intimidasi yang
datang padanya, hanya para koruptorlah yang pantas merasa terintimidasi akan
kasus yang ditangani oleh para hakim tersebut karena akan terungkapanya
penyimpangan dan penyelewengan yang dilakuknnya dan gelisah menghadapi
pengawasan yang dilakukan oleh hakim dipersidangan,
Sehingga wajar saja seandainya jika para koruptor berupaya mengintimidasi para
hakim tersebut.
Dari sinilah pentingnya keterbukaan dan kejujuran seorang hakim dalam
mengadili perkara korupsi yang ada ditangannya yang diharapkan dapat
membawa perubahan bagi Negara ini juga bagi perkembangan hukum di
Indonesia. Keterbukaan dan kejujuran selain mempunyai arti lahiriah tetapi juga
mengandung makna batiniah, dengan keterbukaan dan kejujuran seorang hakim
akan tercipta penegakkan hukum yang baik seperti yang diharapakan rakyat.
B. Perumusan Masalah
Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan yang akan
dibahas, karena hal yang demikian akan mudah diketahui pembatasan dari
pelaksanaan penelitian serta pembahasan yang akan dilakukan.
Adapun yang merupakan permasalahan yang akan diangkat dalam
1. Bagaimana kewenangan hakim dalam usahanya memberantas tindak
pidana korupsi menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001.
2. Bagaimana peranan hakim dalam upayanya memberantas tindak pidana
korupsi di Indonesia.
3. Apakah yang menjadi hambatan bagi hakim dalam memberantas tindak
pidana korupsi di Indonesia.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian di dalam pembahasan skripsi ini ditujukan kepada
berbagai pihak terutama :
1. Secara teoritis sebagai perkembangan ilmu pengetahuan ilmu hukum.
2. Secara praktis hasil penelitian sebagia hasil studi yang lebih maju, juga
sebagai sumbangsih kepada pemerintah sebagai kebijaksanaan usaha
dalam pemberantasan korupsi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001.
3. Melalui tulisan ini juga diharapkan dapat diambil manfaatnya oleh
masyarakat dan sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan mengenai tindak
pidana korupsi.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui Apakah hakim sudah berperan secara optimal dalam
2. Untuk mengetahui Bagaimana peranan hakim dalam upayanya
memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui Apakah yang menjadi hambatan bagi hakim dalam
memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.
E. Keaslian Penulisan
Dalam proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan
mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan kewenangan dalam
memberantas korupsi, kemudian penulis rangkai sendiri menjadi satu karya ilmiah
yang disebut dengan skripsi. Oleh karenanya penulis menyatakan bahan skripsi ini
adalah hasil karya penulis dan belum pernah ada sebelumnya skripsi seperti ini.
F. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Korupsi
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut ‘korupsi’ (dari bahasa latin :
curruptio = penyuapan; curruptore = merusak) gejala dimana para pejabat,
badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidak beresan lainnya.
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya.5
c. 1) Korup (busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
d. 2) Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
dan sebagainya).
e. 3) Koruptor(orang yang korupsi).6
Dengan demikian, secara Harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa
sesungghnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas :
a. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan
dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orng lain.
b. Korupsi : busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang
dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaan untuk
kepentingan pribadi).
Adapun menurut Surbekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum yang
dimaksud curruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang
merugikan keuangan Negara.7
5
Poerwadarminta W.J.S Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakarta penerbit Balai Pustaka tahun 1976 hal : 12. 6
Baharuddin Lopa, mengutip pendapat dari David M. Chalmers
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi dan
kepentingan umum.8
Gurnal Myrdal menyebutkan :
To include not only all forms of improper or selfish exercise of power
and influence attached to be public office or the special position one
occupies in the public life but also the activities of the bribers.
Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tak patut yang berkaitan
dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha
tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut serta kegiatan
lainnya seperti penyogokan.9
Edelherz lebih senang menggunakan istilah white collar crime untuk
perbuatan korupsi ini. Di dalam bukunya yang berjudul The Investigation
7
Subekti dan Tjitrosodibio,Kamus Hukum,Jakarta Penerbit Pradnya Paraminta tahun 1973 hal 10 8
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Pengadilan Hukum, Jakarta Penerbit Rineka Cipta,tahun 1992 hal 42.
9
of White Collar Crime A Manual for Law Enforcement Agencies
disebutkan sebagai berikut :
White collar crime an illegal act or service of illegal acts committed by
nonphysical means and by concealment or guile, to obtain money or
property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain
business or personal or personal advantage.
………..suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat illegal
yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk
mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari
pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan
bisnis/keuntungan pribadi.10
Sedangkan secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi
tidak memberikan defenisi yang jelas mengenai maksud dari tindak pidana
korupsi. Akan tetapi di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya memberikan gambaran dari maksud
tindak pidana korupsi itu, yaitu dalam pasal 2 yang menyebutkan, bahwa :11
a. Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu koperasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan
10
Helbert Edelherz, The Investigation or white collar crime. A Manual For Law Enforcement agencies Amerika, Penerbit Office of Regional Operations, tahun 1977 hal 4.
11
paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
b. Dalam hal ini tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
2. Ciri-ciri Korupsi
Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Husein Alatas dalam
bukunya Sosiologi Korupsi, sebagai berikut:12
a. Korupsi senatiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup
sesungguhnya tidak ada kasus itu biasanya termasuk dalam
pengertian-penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja
perjalanan atau rekening hotel. Namun, disini seringkali ada pengertian
12
diam-diam diantara pejabat yang mempraktikan berbagai penipuan agar
situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku
yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan
frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang
dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan
polemik di masyarakat.
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka
yang berada di dalam lingkungannya tidk tergoda untuk menyembunyikan
perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga
kerahasiaannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran
hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi menagndung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap bentuk korupsi adalah pengkhianatan kepercayaan.
Dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 ini, maka dikatakan, subjek
delik itu adalah :
a. Manusia
b. Korporasi
c. Pegawai negeri
a. Subjek Manusia
Manusia berarti dia adalah orang, laki-laki atau wanita. Bukan subjek
binatang, sebab antara manusia dan binatang ada perbedaan. Bedanya ialah bahwa
manusia mempunyai budaya, sedangkan binatang tidak, dia memiliki insting.
Subjek manusia seringkali dengan kata-kata ‘hij’ atau ‘barang siapa’.
b. Subjek Korporasi
Pertama adalah kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Contoh : organisasi kemasyarakatan yang
bergerak dibidang politik, seperti partai politik. Partai politik adalah organisasi
yang terdiri dari kumpulan orang yang memiliki cita-cita tertentu, dengan
mempunyai ketua, sekretaris dan bendahara. Kedua, adalah kekayaan yang
terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Contoh :
Yayasan, adalah kumpulan dari harta benda atau kekayaan yang disisihkan untuk
tujuan tertentu, misalnya tujuan sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan lain
c. Subjek Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri pada umumnya, ialah orang yang bekerja pada
pemerintah. Dalam Undang-undang No.31 tahun 1999, maka pengertian
Pegawai Negeri menurut pasal 1 ayat (2) diperluas meliputi :
1. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang tentang
kepegawaian.
2. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah.
Misalnya, karyawan dari sebuah BUMN, karyawan dari BUMD atau juga
karyawan perseroan terbatas X yang badan hukum itu menerima fasilitas
keuangan dari pusat atau pun daerah.
G. Metode Penulisan
a . Teknik Analitis Data
Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penulisan, maka
penulisan ini bersifat deskriptif analistis. Deskriptif maksudnya digambarkan atau
menelah permasalahan hukum terhadap dampak-dampak tindak pidana korupsi
terhadap pereknomian Negara, sedangkan Analistis maksudnya data hasil
penelitian terlebih dahulu diolah dan analisa dan kemudian diuraikan secara
cermat terhadap dampak tindak pidana korupsi terhadap perekonomian Negara.
b. Alat Pengumpulan Data
Selain itu juga digunakan metode library research atau penelitian
kepustakaan untuk mendapatkan data yang relevan dengan penyusunan skripsi ini,
yakni melalui buku-buku, surat kabar, yang kesemuanya bertujuan untuk
membantu analisa dan sebagai bahan perbandingan antara teori di satu pihak dan
praktek di pihak lain.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi imi dibagi dalm beberapa tahapan yang
disebut dengan BAB, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara
tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan
lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan
keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN.
Dalam bab ini akan dibahas tentang : Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Manfaat Penelitian, Tujuan Penelitian, Metode
Pengumpulan Data, Serta Sistematika Penulisan.
BAB II SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA.
Korupsi dalam bab ini akan diuraikan tentang : Tinjauan Tentang
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Penanganan Tindak
Pidana Korupsi.
BAB III` PRAKTEK KORUPSI DI ERA MODERNISASI.
Dalam bab ini akan diuraikan tentang : Korupsi dan Modernisasi,
Praktek-Praktek Korupsi di Indonesia serta Latar Belakang
Masyarakatnya, Korupsi Merupakan yang Tidak Sehat.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dibahas penelitian : Kewenangan Hakim dalam
Usahanya Memberantas Tindak Pidana Korupsi Menurut
Undang-undang No. 20 Tahun 2001, Peranan Hakim Dalam upayanya
Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan dibuat kesimpulan dan saran dari pembahasan
BAB II
SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
A. Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana
dan sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah
korupsi. Dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti
penggelapan uang, penerimaan uang atau korupsi juga diartikan sebagai
penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau uang perusahaan) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
Pengertian masyarakat umum terhadap kata “korupsi” adalah berkenaan
dengan “keuangan Negara” yang dimiliki secara tidak sah (haram).13 Pengertian
13
Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta
korupsi berdasarkan UU No. 3 tahun 1971, yang lebih luas, yang jika disimpulkan
terdiri dari perbuatan seseorang yang merugikan keuangan Negara dan yang
membuat aparat pemerintahan tidak “efektif, efisien, bersih dan berwibawa”.14
Jika hal ini dipahami maka dapat diketahui bahwa tujuan UU Pemberantasan
Tindak Pidan Korupsi adalah :
1. Mencegah kerugian keuangan Negara.
2. Mencapai aparat pemerintahan yang efektif, efisien, bersih dan
berwibawa.15
Hal-hal yang dimuat dalam UU No. 3 Tahun 1971 terkait dengan salah
satu dari dua hal di atas saling erat hubungnnya. Keuangan Negara tidak lepas dari
“aparat pemerintah”, karena yang mengelola “keuangan negara” adalah aparat
pemerintah.
Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-undang No.33 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang dikatakan korupsi adalah :
14 Ibid 15
Ibid
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan
Negara atau perekonomian Negara.
Setiap orang lain atau dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri
atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Menyinggung masalah korupsi berarti pula masalah pelanggaran dengan
kejahtan jabatan, latar belkangnya, faktor-faktor penyebabnya sampai pada
penanggulangannya. Jika membicarakan korupsi maka yang pertama-tama adalah
tindakan yang dilakukan oleh para pejabat atau orang yang memiliki kewenangan
dan jabatan, dimana kewenangan atau jabatannya tersebut disalah gunakan dengan
maksud untuk menguntungkan dan menambah kekayaan diri sendiri, orang lain
maupun korporasi.
Salah satu penyebab atau faktor sampai terjadinya korupsi karena rumitnya
suatu birokrasi, sehingga menumbuh suburkan korupsi, dan pada akhirnya yang
dapat dilakukan untuk menanggulanginya adalah dengan mengajukan orang yang
disangka melakukan tindak pidana korupsi tersebut ke pengadilan, dan diharapkan
hakim dapat menjatuhkan tindak pidana korupsi yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dapat memenuhi rasa keadailan dalam
Korupsi erat kaitannya dengan perbuatan yang ingin memperkaya diri
sendiri, yang dimaksud dengan perbuatan memperkaya diri sendiri adalah
perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya dan sudah tentu perbuatan ini
dapat dilakukan dengan berbagai/bermacam-macam cara, misalnya: menjual,
membeli, menandatangani kontrak, memindahkan rekening dalam bank.
Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur
pemerintahn, dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Ada orang
mengatakan korupsi merupakan “seni hidup”, dan menjadi salah satu aspek
kebudayaan kita.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang
memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak.
Sebagai akibatnya kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korupt yang
berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat
dihormati dan juga menduduki status sosial yang tinggi.
Praktek korupsi yang ada sukar sekali bahkan hampir tidak mungkin di
berantas. Sebab, amat sulit memberikan pembuktian-pembuktiannya, lagi pula
sulit mengejarnya dengan dasar-dasar hukum. Namun akses perbuatan korupsi
sangat merugikan negara dan bangsa. Hingga saat ini korupsi merupakan bahaya
Berbicara korupsi lebih dalam ada baiknya mengetahui apakah korupsi itu
sebenarnya, bagaimana defenisinya dan perbuatan-perbuatan yang bagaimana
yang bisa dikategorikan/dimasukan korupsi?
Menurut Kartini Kartono, beliau memberikan defenisinya tentang Korupsi:
“Bahwa yang dikatakan korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi: salah urus terhadapa sumber-sumber kekayaan Negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.16
Delict korupsi menurut undang-undang Hukum Pidana/KUHP adalah
kejahatan atau kesalahan, ataupun perbuatan-perbuatan yang bisa dikenal tindak
dan sanksi hukum.17 Yang mana terdapat dalam beberapa pasal yaitu :
KUHP 419 berbunyi :
Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun pegawai
negeri :
1. Yang menerima hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk
membujuknya supaya ia menjalankan atau mengalpakan sesuatu dalam
jabatannya, berlawanan dengan kewajibannya.
2. Yang menerima hadiah, sedang ia tahu, bahwa hadiah itu diberikan
kepadanya berhubung ia telah menjalankan atau mengalpakan suatu
perbuatan dalam jabatannya berlawanan dengan kewajibannya.
Ayat 1 berbunyi: Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9
tahun:
a. Hakim yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu bahwa
hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi
keputusan perkara yang harus diputuskannya.
b. Barang siapa yang menurut peraturan undang-undang ditunjuk menjadi
pembicaraan atau penasehat untuk menghadiri sidang pengadilan, ataupun
jaksa, yang menerima hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya
untuk mempengaruhi pertimbangan atau pendapatnya tentang perkara
yang harus diputuskan oleh pengadilan itu.
Ayat 2 berbunyi : “jika hadiah atau perjanjian itu diterima dengan
diketahui bahwa hadiah atau perjanjian itu diberikannya kepadanya supaya
dijatuhkan hukuman dalam perkara pidana, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
KUHP 423 berbunyi: “Pegawai-pegawai negeri dengan maksud
menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan hukum memaksa
seseorang dengan salah memakai kekuasaannya, untuk memberikan
barang sesuatu, membayar, menerima bayaran dengan dipotong sebagian,
atau mengerjakan sendiri sesuatu, dihukum denagn hukuman penjara
Korupsi bisa dimasukan ke dalam kategori perbuatan kejahatan. Maka
praktek-praktek yang dapat dimasukan dalam perbuatan korupt antara lain :
Penggelapan, penyogokan, penyuapan, kecerobohan administrasi dengan intense
mncuri kekayaan Negara, pemerasan, penggunaan kekuatan hukum dan/atau
kekuatan bersenjata untuk imbalan dan upah materiil, barter kekuasaan politik
dengan sejumlah uang, penekanan kontrak-kontrak oleh kawan “sepermainan”
untuk mendapatkan komisi besar bagi diri sendiri dan kelompok dalam penjualan
“pengampunan pada oknum-oknumyang melakukan tindak pidana agar tidak
dituntut oleh yanmg berwajib dengan imbalan suap, eksploitasi dan pemerasan
formal oleh pegawai dan pejabat resmi dan lain-lain.
Korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma
sampai, abad pertengahan dan sekarang. Para pendeta di zamn, Mesir memeras
rakyatnya dengan alasan keharusan menyajikan kurban kepada para dewa.
Jenderal-jenderal pada zaman kerajaan Romawi memeras daerah jajahannya untuk
memperkaya diri. Pada abad pertengahan bnayak bangsawan korup di
istana-istana para raja di Eropa. Bahkan sekarang pun di Amerika Serikat yang begitu
makmur dan modern masih banyak berjangkit praktek-praktek korupsi.
Perkembangan demokrasi dan semakin majunya usaha-usaha
pembangunan dengan pembukaan sumber-sumber alam baru, semakin
berkembang ikut berkembang pula praktek-praktek korupsi dan tidak manipulasi.
Dengan bertambahnya kekayaan dan keuangan Negara, semakin kuat pula
dorongan individu terutama dikalangan pegawai negeri untuk melakukan korupsi
Pemberian hak-hak monopoli dan macam-macam privilege oleh para
pengusaha baik yang ada dipusat maupun didaerah-daerah, biasanya diperlicin
dengan jalan penyuapan atau sogokan, bertambahnya proyek-proyek
pembangunan Negara yang meliputi milyaran rupiah, menimbulkan relasi-relasi
yang akrab antara pemerintah dan kaum business melalui kontrak-kontrak yang
berakseskan tindak koruptif. Kontak-kontak ini hampir selalu diberikan kepada
mereka yang sanggup memberikan komisi yang lebih tinggi, atau diberikan
kepada kalangan sendiri. Hal ini menyuburkan sistem sogok dan penyuapan.
Korupsi memang berlangsung pada semua lapisan masyarakat. Namun
pada masyarakat yang tengah melaksanakan modernisasi, korupsi ini paling
banyak terjadi. Biasanya, korupsi itu berbareng dengan pembangunan industri,
perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru dan bersamaan pula
dengan tampilnya kelas-kelas baru yang banyak mengajukan tuntutan-tuntutan
baru kepada pihak pemerintah. Korupsi merupakan salah satu kriterium dari tidak
adanya institusional politik yang efektif, dan dari kurang berfungsinya sistem
kontrol dan yudikatif.
Banyak pegawai negeri dan pejabat Negara korupsi yang mengakibatkan
tidak mempunyai pertalian lagi dengan rakyat yang harus diberi pelayanan sosial.
Sebab mereka justru mengaitkan peranan kelembagaan dengan tuntutan-tuntutan
eksternal yaitu pihak-pihak yang bersedia menyuap dan memberikan
Penelitian membuktikan, bahwa fase-fase yang paling intensif dalam
aktivitas modernisasi, korupsi paling subur berkembangnya. Sebabnya adalah:
1. Modernisasi menimbulkan perubahan-perubahan nilai yang paling
mendasar di masyarakat, khususnya dalam hal norma-norma, harapan,
prestasi dan ambisi materiil. Standard-standard kriteria baru mengenai
baik-buruk, mendorong orang mengutuk dan meninggalkan beberapa pola
tingakah laku tradisional dan tata susila tertentu, lalu mengoper pola-pola
korupt. Konflik-konflik antara norma-norma nasional tradisional itu
membuka kesempatan bagi individu-ibdividu untuk bertindak
sendiri-sendiri, dengan cara masing-masing, bertindak seenak sendiri dan demi
kepentingan sendiri jadi bertindak korupsi.
2. Modernisasi itu juga membuahkan korupsi, karena modernisasi selalu
menghasilkan sumber-sumber kekayaan baru dan metode baru untuk
memperkaya diri sendiri.
3. Modernisasi juga memungkinkan perluasan otoritas dan kekuasaan
pemerintah, serta melipat gandakan aktivitas-aktivitas pembangunan dan
pengaturan, yang semuanya memberikan celah-celah kemungkinan bagi
tindak korupsi serta penindasan, penekenan terhadap pihak yang lemah
dan bodoh.
4. Pergeseran nilai-nilai dan norma-norma etis dalam periode tradisional dan
modernisasi dengan perubahan-perubahan maha cepat jelas memunculkan
bentuk-bentuk mentalitas baru, yaitu mentalitas kebut-kebutan,
hak orang lain. Pendeknya mengkondisionir munculnya mentalitas
korupsi.
5. Dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia, modernisasi pada
umunya tidak atau belum ditunjang oleh pengembangan lembaga-lembaga
politik, bahkan dibarengi dengan melemahnya instistusi-institusi politik.
Lemahnya lemabaga-lembaga politik ini disebabkan oleh karena
mudahnya lembaga tersebut dibeli oleh kekuatan-kekuatan sosial tertentu.
Dengan kata lain, lembaga politik tadi di sebut korupsi.
Setiap masyarakat yang mengalami proses modernisasi dan
perubahan-perubahan yang cepat, selalu muncul kelompok-kelompok sosial baru yang ingin
berpartisipasi dalam bidang politik, namun mereka tidak mampu
mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai dan prosedur politik yang ada. Mereka
justru ingin memuaskan ambisi-ambisi dan kepentingan pribadi. Disamping itu
lembaga-lembaga politik sering dijadikan alat pemuas ambisi pribadi, dan tidak
jarang dimanipulir oleh tokoh-tokoh politik baru. Lembaga-lembaga tadi tidak
mampu mempertahankan otonomi, kewibawaan dan identitasnya tidak mampu
bertahan terhadap pengaruh oknum-oknum politik dengan ideologi serta interest
pribadi yang ekstrem.
Korupsi itu merupakan produk daripada meluasnya partisipasi politik
dikalangan masyarakat luas, berkat meningkatnya taraf pendidikan dan sistem
informasi, namun mereka tidak terisolir dalam lembaga-lenbaga politik yang ada.
Dengan kata lain apabila proses mobilitas vertikal keatas dalam mesin politik dan
cara-cara inkonvensional serta inkonstitusional untuk usaha mobilitas vertikal,
akan lebih merajalela.
Korupsi juga banyak berlangsung di dalam masyarakat yang
mengutamakan egoisme atau pementingan diri sendiri yaitu kepentingan diri
sendiri yaitu kepentingan individual, keluarga clan, kelompok, klik dan suku
sendiri. Pada umumnya peristiwa yang demikian disebabkan oleh tidak adanya
partai-partai politik yang efektif. Jika kaum intelek dilarang dan dihalang-halangi
untuk berpartisipasi dalam sistem politik. Maka pengurangan jumlah korupsi
dalam situasi demikian ini hanya bisa berlangsung dengan jalan reorganisasi dan
restrukturlisasi kekuatan-kekuatan sosial yang baru muncul dalam sistem politik
tadi.
B. Tindak Pidana Korupsi
Sejalan dengan KUHP maka subjek hukum pidana adalah orang atau
person, namun dalam perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang sedang
membangun, subjek hukum ini diperluas juga badan hukumnya.
Terutama dalam keadaan membangun, pelaku delik lebih banyak terdiri
dari badan hukum dalam arti “naturlijk person”, namun diberi status dan
berfungsi sebagai orang dan oleh karena itu, ia dapat juga bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukan olehnya. Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999
tentang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi:18
18
1. Korupsi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan dalam undang-undang
tentang kepegawaian.
b. Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab
Undang-undang hukum pidana.
c. Orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah, atau
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah.
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang lain yang
mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat.
3. Setiap orang atau perseorangan atau korporasi.
Tetapi berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah berubah yang mana telah diperjelas
rumusannya tetpi subtansinya tetap.19
Untuk melihat dampak merugukan akibat dari korupsi dapat dilihat dalam
Penjelasan Umum Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dikemukakan, ditengah upaya pembangunan nasional di
berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk
penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya
perubahn korupsi telah menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar yang
19
pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk
itu, upaya pencegahan dan pemberantasan perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat.
Dengan penjelasan yang ada pada undang-undang tindak pidana korupsi
dan dikaitkan banyaknya perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan merugikan
keuangan perekonomian Negara serta pelaksanaan pembangunan nasional yang
menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Tindak pidana korupsi adanya suatu kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukan oleh orang bersangkutan yang merugikan perekonomian Negara. Dalam
kenyataan banyak perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan Negara.
Telah disinggung sistem kepegawaian yang tidak sehat, yang menyangkut
fungsi para pegawai sebagai “the man behind gun” yang kurang wajar. Akibat
dari pola nepotisme terjadilah banyak kepincangan dan peristiwa ‘overbelast’,
kebanyakan jumlah pegawai. Adaministarsi Negara tidak efisien, dan budget
untuk gaji pegawai tidak memadai lagi.20 Dengan begitu administarsi jadi
semerawut dan menjadi sumber kongkanglikong, banyak terjadi penggelapan
yang merupakan tindak pidana korupsi.
Departemen-departemen berjumlah cukup besar dengan bermacam-macam
jawatan, board, institute, lembaga-lembaga, komisi-komisi, team-team dan
dinas-dinas dibawahnya oleh karena tidak ada koordinas-dinasi.
20
Sebagai suatu kejahatan, korupsi mesti diganjal dengan hukuman pidana
berupa penjara, kurungan, denda, hukuman administrasi dan hukuman tambahan
lainnya. Dari segi ini, hukuman kepada pelaku kejahatan tindak pidana korupsi
tidak berbeda dengan hukuman bagi pelaku kejahatan biasa/konvensional.
Akan tetapi, khusus untuk kejahatan bagi para pelaku tindak pidana
korupsi diperlukan keberanian dalam pengungkapan kasusnya artinya, faktor
penggerak terjadinya korupsi tersebut mesti dimusnahkan terlebih dahulu untuk
mencegah terulangnya kejahatan yang sama, baik oleh pelaku yang sama atau pun
pelaku yang lain lagi.
Ada beberapa demikian yuridis agar suatu sanksi terhadap pelaku
kejahatan dapat berjalan dengan efektif dan mempunyai efek mencegah terjadi
lagi kejahatan. Misalnya pendapat sebagai berikut:21
1. Pelaku kejahatan dipermukaan di depan umum
Hukuman ini sangat efektif, karena bagaimanapun, seorang koruptur tidak
mau dipermalukan di depan umum, karena itu pihak eksekutif tersebut harus
diusahakan untuk dibawa kedepan pengadilan, dimana sidang-sidang akan terbuka
untuk umum dan disorot oleh pers.
2. Eksekutifnya dikucilkan
Pejabat yang dinyatakan bersalah sebaiknya dikucilkan dari bisnis yang
bersangkutan. Jika dia merupakan eksekutif dari suatu lembaga Negara ataupun
21
perbankan, dia mesti dilarang jadi eksekutif dari lembaga Negara atau perbankan.
Dengan perkataan lain. Dia diamsusikan dalam daftar orang tercela.
C. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah besar yang selalu
menjadi keprihatinan masyarakat. Tidak hanya menjadi keprihatinan dunia
internasional. Dalam Resolusi tentang “Corruption in government” yang
diterima kongres PBB ke 8 mengenai “The Prevention of Crime Treatment of
Offenders” di Havana (Cuba0 Tahun1990, antara lain dinyatakan, bahwa:22
a. Korupsi dikalangan pejabat public “corrupt activities of public official” :
- Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semau jenis program
pemerintah “can destroy the potential effectiveness of all types of
governmental programmes”.
- Dapat menganggu/menghambat pembangunan “hinder development”
dan
- Menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat
“victimize individual and groups”.
22
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana,
b. Ada keterkaitan erat antar korupsi dengan berbagi bentuk kejahatan
ekonomi, kejahatan terorganisasi, dan penyucian uang haram “money
laundering”.
Mengingat berbagai pertimbangan lainnya, Resolusi tersebut menghimbau
kepada Negara-negara anggota PBB untuk menetapkan strategi anti
korupsi sebagai prioritas utama di dalam perencanaan pembangunan sosial
ekonomi, dalam pertimbangan resolusi itu antara lain ditegaskan, bahwa
korupsi merupakan masalah serius karena.23
- Dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat
- Merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas
- Membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.
Memperhatikan pernyataan kongres PBB di atas, maka upaya atau
kebijakan penanggulangan korupsi seyogianya merupakan bagian dari startegi
kebijakan pembangunan sosial ekonomi dan kebijakan pembangunan nasional.24
Bertolak dari pendekatan integral yang demikian, maka masalah korupsi
bukan semata-mata masalah hukum dan kebijakan penegakan hukum. Upaya
penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan dan penegakan
hukum pidana telah cukup lama dilakukan, namun tetap saja korupsi itu ada dan
sulit diberantas. Hal ini disebabkan, masalah korupsi ini berakaitan erat dengan
berbagai kompleksitas masalah lainnya, antara lain masalah mental/moral,
masalah kebutuhan ekonomi dan struktur sistem budaya politik, masalah peluang
23
Ibid. Hal.70 24
yamg ada di dalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi prosedur
administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan
umum.
Memberantas korupsi yang sudah berurat berakar dalam sendi-sendi
masyarakat kita, diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan masyarakat. Tanpa
partisipasi dari rakyat dan dukungan mereka, segala usaha, undang-undang dan
komisi-komisi akan terbentur pada kegagalan. Beberapa saran dikemukakan
antara lain adalah :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tangung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan control sosial, dan tidak bersikap apatis
acuh tak acuh. kontrol sosial baru bisa efektif, apabila bisa dilaksanakan
oleh dewan-dewan perwakilan yang benar-benar representive dan
otonomi, pada taraf desa sampai pada taraf pusat/nasional.
2. Menanamkan aspirasi nasional positif. Yaitu mengutamakan kepentingan
nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan Negara, melalui
sistem pendidikan formal, dan non formal dan pendidikan agama.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan tauladan baik, dengan mematuhi
pola hidup sederhana, dan memiliki rasa tanggung jawab susila.
4. Adanya sanksi dan kekuatan menindak, memberantas dan menghukum
tindak pidana korupsi. Tanpa kekauatan riil dan berani bertindak tegas
semua undang-undang, team, komisi dan operasi menjadi mubazir,
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dan organisasi pemerintahan, melalui
penyerdehanaan jumlah departemen beserta jawatan-jawatan
sebawahannya. Adanya koordinasi antar departemen yang lebih baik,
disertai sistem kontrol yang teratur terhadap administarsi pemerintah, baik
dipusat maupun didaerah.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan prinsip “achievenment”
atau keterampilan teknis dan bukan berdasarkan norma “ascription”,
sehingga memberikan kekuasaan bagi berkembangya neportisme.
Hendaknya dilakukan pemecatan terhadap pegawai yang melakukan
korupsi, dan bukan hanya melakukan pemindahan atau mempromosikan
mereka ketempat lain.
7. Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai non politik, demi kelancaran
administrasi pemerintah. Ditunjang oleh gaji yang memadai bagi para
pegawai dan adanya jaminan masa tua, sehingga berkuranglah
kecenderungan untuk melakukan korupsi.
8. Menciptakan aparatur yang jujur. Kompleksitas hierakhi administrasi
harus disertai displin kerja yang tinggi. Sedangkan jabatan dan kekuatan
didistribusikan melalui norma-norma teknis.
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien. Menyelenggarakan sistem
pemungutan bea cukai yang efektif dan survise yang ketat, baik dipusat
10.Heregistrasi atau pencatatan ulang kekayaan perseorangan yang menyolok,
dengan pengenaan pajak yang tinggi. Kekayaan yang statusnya tidak jelas
dan diduga menjadi hasil korupsi.
Ringkasnya, tindak korupsi itu merupakan tindak pidana yang sangat
merugikan bangsa dan Negara, dan menjadi hambatan utama dalam
pembangunan. Walupun demikian korupsi juga mempunyai fungsi yang
positif yaitu :
1. Mencegah meluasnya ketidak puasan karena adanya distribusi kekuasaan
dan kekayaan yang tidak merata.
2. Sekaligus juga menjadi pengaman bagi munculnya revolusi sosial,
khususnya mencegah keresahan dan revolusi di daerah urban.
Salah satu tugas Negara adalah menghadapi bahaya-bahaya subversi dan
ancaman dari luar dengan sarana angkatan bersenjata. Maka tugas lainnya
yang teramat penting ialah mampu menyusun task force/kekuatan riil
untuk menanggapi bahaya dari dalam ialah korupt.
D. Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Pengungkapan tindak pidana korupsi harus diakui memang ruwet, maka
penangananya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman
yang benar-benar terhadap undang-undang No. 20 Tahun 2001. Syarat-syarat pada
dakwaan tindak pidana korupsi adalah perumusan perbuatan waktu dan tempat
yang dilakukan. Selain itu juga identitas terdakwa untuk dapat merumuskan surat
Penuntut umum harus benar-benar memahami kasus posisi agar dengan
demikian, secara satu persatu dapat dipersatu dapat dirumuskan rentetan
perbuatan terdakwa. Perbuatan terdakwa tersebut diformulasikan pada pasal-pasal
yang didakwakan atau unsur-unsur pasal yang didakwakan. Barulah kemudian
diteliti alat-alat bukti yang sah yang mendukung pembuktian unsur tindak pidana
korupsi tersebut.
Menurut Laden Marpaung dalam Daniel Marshal yang menyatakan pada
harian Berita Buana terbit pada hari Jumat 26 Juli 1991: “Kesulitan menjerat
tersangka pelaku tindak pidana korupsi karena gagalnya Jaksa memberikan alat
bukti yang bukti yang menyakinkan hakim, sering mengundang pendapat agar
sitem pembuktian dalam perkara korupsi menggunakan sistem pembuktian yang
terbalik.25
Seiring terjadinya, menurut opini umum, tersangka benar-benar melakukan
perbuatan korupsi yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya
yang jauh diatas penghasilan resminya. Tapi karena tali temali korupsi sering
begiru ruwet disamping pintarnya terdakwa menghilangkan jejak, jaksa tidak
berhasil menyakinkan hakim akan tuduhannya.26
Pengungkapan tindak pidana korupsi harus diakui memang ruwet, maka
penangananya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman
yang benar-benar terhadap UU No. 20 Tahun 2001. Syarat-syarat dakwaan dalam
tindak pidana korupsi adalah perumusan perbuatan, waktu dan tempat perbuatan
25
Laden Marpaung.Op.Cit.,Hal. 162 26
dilakukan, selain itu juga identitas terdakwa. Untuk merumuskan surat dakwaan,
penuntut umum harus benar-benar memahmi kasus posis dengan demikian, secara
satu persatu dapat dirumuskan rentetan perbuatan terdakwa.
Perbuatan terdakwa tadi diformulasikan kepada pasal yang didakwakan
atau unsur-unsur yang didakwakan. Barulah kemudian diteliti alat-alat bukti yang
sah yang mendukung pembuktian unsur tindak pidana korupsi tersebut. Untuk
memudahkan terlampir contoh materi ringkas (Matrik) yang kemungkinannya
dapat digunakan untuk factor membantu agar jelas kelihatan unsur mana yang
lemah pembuktiannya.
Penanganan tindak pidana korupsi selalu berasaskan “praduga tak
bersalah” (presumption of innocence). Seiring oleh opini umum, sebagaimana
yang ditulis oleh Daniel Marshall, bahwa karena keadaan Perekonomian
seseorang jauh di atas penghasilan formal, masyarakat menilai yang bersangkutan
koruptor. Hal yang demikian yang harus dicegah dan tidak boleh terjadi pada
penanganan tindak pidana korupsi.
Penanganan tindak pidana korupsi memerlukan pemahaman tentang
perbuatan-perbuatan terdakwa, pemahaman ini htidak hanya mencakup perbuatan
terdakwa tetapi juga terhadap peraturan-peraturan terkait dengan perbuatn
terdakwa tersebut misalnya pengelolaan keuangan dan atau proyek, harus
memahami Kep. Pres No. 14 A Tahun 1980 jo Kep. Pres. No. 18 Tahun 1981 dan
Kep. Pres. No. 29 Tahun 1984. Demikian juga masalah manipulasi tanah Negara,
BAB III
BENTUK-BENTUK KORUPSI PADA ERA MODERNISASI
A. Korupsi dan Modernisasi
Korupsi memang berlangsung pada semua lapisan masyarakat. Namun
lapisan masyarakat yang tengah melaksanakan modernisasi, korupsi ini paling
banyak terjadi. Biasanya, korupsi itu berbareng dengan pembangunan industri,
perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, dan bersamaan pula
dengan tampilnya klas-klas baru yang banyak mengajukan tuntutan-tuntutan baru
pada pihak pemerintah. Korupsi merupakan salah satu kriterium dari tidak adanya
institusionalisasi politik yang efektif, dan dari kurang berfungsinya sistem kontrol
dan yudikatif. Banyak pegawai negeri dan pejabat tidak lagi mempunyai otonomi
karena sudah terbelenggu oleh suapan dan sogokan, dan tidak mempunyai
pertalian dengan rakyat yang harus diberi pelayanan sosial. Sebab mereka justru
mengaitkan dengan sistem kelembagaannya dengan tuntutan eksternal yaitu
Modernisasi yang didukung oleh pendidikan ikut mendorong peningkatan
ambisi-ambisi sosial dan ambisi-ambisi materiil, dan memupuk nafsu-nafsu
memiliki. Pemenuhan dorongan ambisi serta kebutuhan-kebutuhan baru itu
dicapai orang baik dengan cara yang konvensional maupun yang tidak. Jadi yang
mana menyuburkan mental-mental korupsi yaitu dengan menggunakan cara-cara
pencapaian dan aturan-aturan yang dibuat sendiri. Kalau bisa menggunakan
jalan-jalan meminta yang deviatif, menyimpang dari hukum dan norma umum.
Pola hidup sederhana dan jujur yang diagung-agungkan di masa lalu, pada
periode modernisasi menjadi “bahan cemoohan” dan sindiran satiritis, sebaliknya
cara hidup eliter, dengan konsumsi mewah dan pola “jet set”, menjadi modus
tingkah laku. Apa yang dianggap sebagai asusila pada zaman “normal” dahulu,
misalnya menerima sogokan, suapan, menggelapkan uang Negara, dan lain-lain
pada zaman modern sekarang ini dianggap sebagai biasa, merupakan gejala sosial
yang terjadi dimana-mana.
Orientasi pada uang dan harta kekayaan pada zaman modern sekarang,
juga ambisi-ambisi perorangan dan interest-interest pribadi tampaknya
berkembang subur dalam kondisi sosial yang “bebas” sekarang; bahkan
tampaknya menjadi semakin liar tidak terkendali. Maka korupsi menjadi satu
aspek dari kebudayaan masyarakat Indonesia yang tengah mengadakan usaha
modernisasi.
Di lain pihak, kita memaknai gejala korupsi dari sudut pandang yang lain
lagi, karena dapat atau tidaknya suatu tindakan dikatakan korupsi pada dasarnya
siapa. Untuk kepentingan pribadi yang masuk dalam proses politik pada awalnya
bukanlah masalah dalam birokrasi, karena hal semacam itu dapat diterima. Unsur
tersebut dapat menjadi persoalan, ketika muncul sistem lain yang berbeda, atau
ketika sistem yang baru diterapkan.
Dalam kasus birokrasi atau sistem politik di Indonesia, sistem yang lebih
baru dipandang lebih baik kerena sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sebuah
Negara. Oleh karena itu sistem inilah yang dijadikan acuan dan kriteria penilaian.
Ketika segala sesuatu yang ada dalam sistem politik tradisional dilihat lewat
kacamata yang berbeda, yang hampir sepenuhnya berlawanan, pada waktu itu
pula hal-hal semula dianggap benar dan wajar lantas menjadi salah dan tidak
wajar.
Salah satu basis dari perilaku korupsi adalah tidak adanya pembedaan
yang tegas antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum dalam aturan nilai
dan norma yang ada dalam suatu masyarakat. Berbagai sistem politik lokal
tradisional di Indonesia memperlihatkan bahwa hal semacam itulah yang terdapat
dalam sistem politik lokal tradisional di Indonesia. Meskipun secara formal,
sistem lokal tradisional semacam itu tidak diakui, namun dibanyak tempat sistem
tersebut masih banyak bertahan dan perangkat nilai yang ada di dalamnya masih
tetap aktif dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam setiap masyarakat yang mengalami proses modernisasi dan
perubahan-perubahan yang cepat, selalu muncul kelompok-kelompok sosial baru
yang ingin berpartisipasi dalam bidang politik; namun mereka tidak mampu
justru ingin memuaskan ambisi-ambisi dan kepentingan pribadi. Disamping itu,
lembaga-lembaga politik sering dijadikan ambisi pribadi, dan tidak jarang oleh
tokoh-tokoh politik baru.
Dalam pemerintahan yang korupsi, mereka yang mendapatkan kekuasaan
politik tertinggi memiliki kesempatan yang paling banyak untuk mendapatkan
kekayaan paling banyak, maka korupsi berat berada di puncak, itu hampir selalu
disebabkan oleh adanya kelembagaan politik yang sangat lemah. Kelembagaan
semacam ini tidak mampu berdiri secara otonom, dan tidak mampu membebaskan
diri dari macam-macam pengaruh penyogokan dan pembelian.
Sebaliknya, masyarakat-masyarakat yang sangat modern seperti yang
terdapat di Amerika Serikat dan India (yang tengah memodernisir diri, dengan
bantuan perlembagaan politik yang sangat kuat), pemimpin-pemimpin politik
yang baru muncul bisa tersosialisasi dalam kode-kode nilai yang mengabdi pada
kepentingan umum.
Dalam keadaan begini, tingkah laku korupt itu akan lebih banyak
berlangsung pada tingkat hierarki birokrasi atau hierarki politik yang lebih
bawahan (pada eselon-eselon lebih rendah). Pejabat-pejabat birokrasi pada
tingkat rendah pada umumnya lebih cenderung untuk melakukan korupsi daripada
pejabat-pejabat pada eselon atasan. Pejabat-pejabat regional dan lokal lebih korupt
daripada pejabat tingkat nasional.
Kepemimpinan nasional tingkat teratas dan kabinet nasionalnya, pada
Government. Sedangkan pejabat-pejabat kota dan lokal, pada umumnya sangat
dalam bergelimang dalam tindak korupsi.
Korupsi itu merupakan produk daripada meluasnya partisipasi politik di
kalangan masyarakat luas, berkat meningkatnya taraf pendidikan dan sistem
informasi namun mereka tidak tersosialisir dalam lembaga-lembaga politik yang
ada. Dengan kata lain apabila proses mobilitas vertikal ke atas dalam mesin politik
dan birokrasi politik tidak mungkin berlangsung, maka akan terjadi banyak
korupsi; sedang cara-cara inkonvensional serta inkonstitusional untuk usaha
mobilitas vertikal, akan lebih merajalela.
Pengurangan jumlah korupsi dalam situasi sedemikian ini hanya bisa
berlangsung dengan jalan reorganisasi, dan restrukturalisasi kekuatan-kekuatan
sosial yang baru muncul dalam sistem politik tadi. Korupsi juga banyak
berlangsung dalam masyarakat yang mengutamakan egoisme atau pementingan
diri sendiri, yaitu kepentingan individual, keluarga, clan, kelompok, kliek, dan
suku sendiri. Pada umumnya peristiwa sedemikian ini disebabkan oleh tidak
adanya partai-partai politik yang efektif, contohnya di Negara Iran (zaman Syah
Reza Pahlevi), Muang Thai dan Philipina dengan sistem kepartaian yang lemah
maka korupsi demi kepentingan individual dan familiar berkembang dengan
suburnya.
B. Praktek-Praktek Korupsi di Indonesia Korupsi Serta Latar Belakang