• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 46 TAHUN 2009

TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

TERHADAP PEMBERANTASAN KORUPSI

(Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Semarang Di Semarang)

Tesis

Oleh

BOYKE HUTAHAEAN

097005059

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EKSISTENSI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 46 TAHUN 2009

TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

TERHADAP PEMBERANTASAN KORUPSI

(Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Semarang Di Semarang)

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

BOYKE HUTAHAEAN

097005059

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : EKSISTENSI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PEMBERANTASAN KORUPSI

(Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

Nama Mahasiswa : BOYKE HUTAHAEAN

NIM : 097005059

Program Studi : Magister Ilmu Hukum.

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum K e t u a

)

(Dr. M. Hamdan, SH, MH) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum A n g g o t a A n g g o t a

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 15 Agustus 2011.

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum.

Anggota : 1. Dr. Hamdan, SH, MH.

2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 3. Dr. Madiasa Ablisar, SH. MS.

(5)

ABSTRAK

Korupsi merupakan faktor penghambat bagi pengembangan demokrasi, menghambat pelaksanaan tugas lembaga-lembaga publik serta penyalahgunaan sumber daya yang dimiliki baik alam maupun manusia secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Korupsi memupuk perilaku merahasiakan segala sesuatu dan penindasan. Kerahasiaan terlihat dari banyaknya pelaksanaan program pembangunan yang memiliki permasalahannya masing-masing di mulai dari pengajuan anggaran yang diperbesar (mark up), penggunaan anggaran yang diperkecil (mark down), kegiatan fiktif maupun kondisi yang tidak layak guna. Penindasan dijelaskan dengan kondisi ketidakmampuan masyarakat untuk menikmati hasil yang telah dilakukan oleh sebuah proses pembangunan. Untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi pemerintah telah mempersiapkan segala perangkat hukum yang cukup memadai baik dari proses pencegahan maupun sampai pada tingkatan penindakan. Perangkat hukum dari Undang-Undang Anti Korupsi, lembaga anti korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan Pengadilan yang khusus menangani kasus korupsi. Pembentukan Pengadilan yang khusus menangani kasus korupsi atau yang lazim disebut Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kaitannnya dengan pemberantasan korupsi didasarkan pada berbagai alasan, diantaranya adalah: pertama:

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan yang digunakan hanya sebagai pendukung terhadap penelitian yuridis normatif, yaitu dilakukan melalui pengumpulan berbagai putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri semarang. Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif, maksudnya adalah bahwa seluruh data dianalisis dengan cara menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri semarang dalam mengambil keputusan, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komperhensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.

Adanya subjek hukum yang perlu penanganan khusus. Kedua: Adanya peristiwa hukum khusus yang penanganannya tidak dapat dilakukan dengan aturan hukum yang ada saat ini. Ketiga: Adanya faktor integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum dan hakim. Oleh karena itu, dengan adanya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan memunculkan pertanyaan, bagaimana eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi.

(6)

penanganan perkara dan implementasi sanksi, serta hambatan dari sisi teknis. Disamping itu juga, faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi adalah disebabkan oleh karena tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan yang sulit dan rumit dalam pembuktiannya, baik karena modus operandi maupun profesionalitas pelakunya. Kendala yang terjadi dilapangan antara lain dikarenakan baik Penuntut Umum maupun Majelis Hakim memiliki keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang variasi transaksi yang dipergunakan sebagai jembatan dilakukannya tindakan korupsi tersebut.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya proses rekruitmen terhadap hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dilakukan dengan lebih selektif agar bisa melahirkan Hakim-Hakim yang memiliki kemampuan dan berkompeten dibidang hukum, hal ini dianggap perlu mengingat tindak pidana korupsi adalah merupakan suatu bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak mengalami berbagai hambatan dalam melakukan pemberantasan korupsi, terutama hambatan yang berasal dari kemampuan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sendiri. Disamping itu juga hendaknya eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi kedepan dalam melakukan pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara mencari penyebabnya terlebih dahulu, kemudian penyebab tersebut dihilangkan dengan cara prevensi, kemudian disusul dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan upaya represif (pemidanaan).

(7)

ABSTRACT

Corruption is obstacle factor for democracy evelopment, the implementation of the task of public institution and abuse of resources either natural or human resources optimally for the society prosperity. Corruption build an action that conceal anything and oppression. The secrecy indicated by the implementation of development program with any problem such as mark up, mark down of budget, fictitious or unworthy condition. The oppression is described by in capability of society to enjoy the result of development process. In order to against the corruption, the government prepare the sufficient law instrument either in preventive process up to the taking measures. The law instrument such as the Act of Anti Corruption, Corruption Eradication Commission and Court that handle the corruption case specifically. The establishment of specific court to handle the to corruption case or known as Corruption Crime Court in its relationship to the corruption eradication is based on any reasons, such a first, there is law subject must be handle especially. Second, there is a special law event that can not be handle by the available rule. Third, there is integrity and professionalism factor of the law enforcer and judges. Therefore, by the Corruption Crime Court will raise any question: What the existence of Corruption Crime Court in eradication of corruption.

This research is a normative juridical study in analytic descriptive study. The data was collected by 2 (two) methods, i.e. library and field studies. The library study is refers to the primary law material even the secondary and tertiary law resources, while the field study only as the support on the normative juridical study, i.e. through the collecting data of the decision of corruption crime court in the court in first instance of Semarang. All of the collected data would studied and analyzed qualitatively in which all o the data was analyzed by interpretation qualitatively the opinion or respond of informant, and then describe that aspect related to the topic completely and comprehensively.

Based on the result of research it indicates that in order to eradicate the corruption the corruption crime court has any obstacles such as there is intervention of government to the independency of justice power in Indonesia, obstacle in the view point of juridical, obstacle, crime handling and implementation of sanction on the technical obstacle. In addition, there are any obstacle factors for the corruption crime court because the corruption crime is one of difficult crime in its proven, either for the modus operandi or profesionalism of the accused. The field obstacle is caused by the limitation of the information and knowledge to the judge about the transaction variation used in corruption crime.

(8)

crime is an extraordinary crime, so the corruption crime court has not obstacles in the eradication of corruption especially the obstacle from the capability of the judges. In addition, the existence of the corruption crime court in the future in corruption eradication must seek the causes factor and the causes must be eliminated by preventive and followed by education (the increasing of law awareness of the society through repressive action).

(9)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Semarang Di Semarang)”.

Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran, karena penulis yakin bahwa Tuhan tidak akan membebani dan menguji hambaNya melebihi dari daya dan kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis muliakan, yaitu:

(10)

2. Yang terpelajar Bapak Dr. M. Hamdan, SH. MH selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. MHum selaku pembimbing III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.

4. Yang Terpelajar Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH. MS dan yang terpelajar Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH. MH. DFM yang telah berkenan sebagai penguji dari mulai kolokium hingga meja hijau dan telah banyak memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.

5. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

6. Teman-teman satu angkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda Bakti

(11)

pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh

dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.

Akhirnya, penulis berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, September 2011

Penulis

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Boyke Hutahaean.

Tempat / Tanggal Lahir : Galang / 21 September 1983.

Alamat : Jl. Gaperta Ujung Gg. I No. 3 Medan. Agama : Kristen Protestan.

Pekerjaan : Advokat. Status Pribadi : Menikah.

Pendidikan : 1. SD Neg. No. 106843 : Tahun 1995. Jaharum B Galang

1. SMP Markus Medan : Tahun 1998. 2. SMU Kartika I. 2 Medan : Tahun 2001 3. Fakultas Hukm Universitas : Tahun 2006.

HKBP Nomensen Nama Orang Tua Laki-Laki : Bakti Hutahaean.

Nama Orang Tua Perempuan : Jermina Br. Simanjuntak, SPd. MPd. Anak Ke : 2 dari 4 bersaudara.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka konsepsi ... 28

G. Metode Penelitian ... 30

1. Spesifikasi penelitian ... 30

2. Sumber data ... 32

3. Analisis data ... 33

BAB II : EKSISTENSI PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM MELAKUKAN PEMBERANTASAN KORUPSI ... 34

(14)

B. Pemberantasan Korupsi Melalui Putusan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ... 50

C. Analisis Terhadap Pertimbangan Unsur Pidana Yang Dilakukan Oleh Majelis Hakim ... 72

D. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Melalui Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ... 90

BAB III : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH OLEH PENGADILAN TINDAK PIDANA DALAM MELAKUKAN PEMBERANTASAN KORUPSI ... ... 111

A. Adanya Pengaruh Pemerintah Terhadap Independensi Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia ... 113

B. Hambatan Dari Sisi Yuridis (Normatif) ... 120

C. Hambatan Dari Sisi Penanganan Perkara dan Implementasi Sanksi ... 128

D. Hambatan Dari Sisi Teknis ... ... 134

BAB IV : EKSISTENSI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI KEDEPAN DALAM MELAKUKAN PEMBERANTASAN KORUPSI ... 136

A. Akar Permasalahan Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi ... 136

B. Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kedepan ... 142

1. Dari sisi pribadi hakim... 143

2. Dari sisi lembaga pengadilan tindak pidana korupsi ... 145

3. Dari Sisi Proses Penanganan Perkara ... 148

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 151

(15)
(16)

ABSTRAK

Korupsi merupakan faktor penghambat bagi pengembangan demokrasi, menghambat pelaksanaan tugas lembaga-lembaga publik serta penyalahgunaan sumber daya yang dimiliki baik alam maupun manusia secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Korupsi memupuk perilaku merahasiakan segala sesuatu dan penindasan. Kerahasiaan terlihat dari banyaknya pelaksanaan program pembangunan yang memiliki permasalahannya masing-masing di mulai dari pengajuan anggaran yang diperbesar (mark up), penggunaan anggaran yang diperkecil (mark down), kegiatan fiktif maupun kondisi yang tidak layak guna. Penindasan dijelaskan dengan kondisi ketidakmampuan masyarakat untuk menikmati hasil yang telah dilakukan oleh sebuah proses pembangunan. Untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi pemerintah telah mempersiapkan segala perangkat hukum yang cukup memadai baik dari proses pencegahan maupun sampai pada tingkatan penindakan. Perangkat hukum dari Undang-Undang Anti Korupsi, lembaga anti korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan Pengadilan yang khusus menangani kasus korupsi. Pembentukan Pengadilan yang khusus menangani kasus korupsi atau yang lazim disebut Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kaitannnya dengan pemberantasan korupsi didasarkan pada berbagai alasan, diantaranya adalah: pertama:

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan yang digunakan hanya sebagai pendukung terhadap penelitian yuridis normatif, yaitu dilakukan melalui pengumpulan berbagai putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri semarang. Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif, maksudnya adalah bahwa seluruh data dianalisis dengan cara menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri semarang dalam mengambil keputusan, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komperhensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.

Adanya subjek hukum yang perlu penanganan khusus. Kedua: Adanya peristiwa hukum khusus yang penanganannya tidak dapat dilakukan dengan aturan hukum yang ada saat ini. Ketiga: Adanya faktor integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum dan hakim. Oleh karena itu, dengan adanya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan memunculkan pertanyaan, bagaimana eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi.

(17)

penanganan perkara dan implementasi sanksi, serta hambatan dari sisi teknis. Disamping itu juga, faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi adalah disebabkan oleh karena tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan yang sulit dan rumit dalam pembuktiannya, baik karena modus operandi maupun profesionalitas pelakunya. Kendala yang terjadi dilapangan antara lain dikarenakan baik Penuntut Umum maupun Majelis Hakim memiliki keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang variasi transaksi yang dipergunakan sebagai jembatan dilakukannya tindakan korupsi tersebut.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya proses rekruitmen terhadap hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dilakukan dengan lebih selektif agar bisa melahirkan Hakim-Hakim yang memiliki kemampuan dan berkompeten dibidang hukum, hal ini dianggap perlu mengingat tindak pidana korupsi adalah merupakan suatu bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak mengalami berbagai hambatan dalam melakukan pemberantasan korupsi, terutama hambatan yang berasal dari kemampuan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sendiri. Disamping itu juga hendaknya eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi kedepan dalam melakukan pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara mencari penyebabnya terlebih dahulu, kemudian penyebab tersebut dihilangkan dengan cara prevensi, kemudian disusul dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan upaya represif (pemidanaan).

(18)

ABSTRACT

Corruption is obstacle factor for democracy evelopment, the implementation of the task of public institution and abuse of resources either natural or human resources optimally for the society prosperity. Corruption build an action that conceal anything and oppression. The secrecy indicated by the implementation of development program with any problem such as mark up, mark down of budget, fictitious or unworthy condition. The oppression is described by in capability of society to enjoy the result of development process. In order to against the corruption, the government prepare the sufficient law instrument either in preventive process up to the taking measures. The law instrument such as the Act of Anti Corruption, Corruption Eradication Commission and Court that handle the corruption case specifically. The establishment of specific court to handle the to corruption case or known as Corruption Crime Court in its relationship to the corruption eradication is based on any reasons, such a first, there is law subject must be handle especially. Second, there is a special law event that can not be handle by the available rule. Third, there is integrity and professionalism factor of the law enforcer and judges. Therefore, by the Corruption Crime Court will raise any question: What the existence of Corruption Crime Court in eradication of corruption.

This research is a normative juridical study in analytic descriptive study. The data was collected by 2 (two) methods, i.e. library and field studies. The library study is refers to the primary law material even the secondary and tertiary law resources, while the field study only as the support on the normative juridical study, i.e. through the collecting data of the decision of corruption crime court in the court in first instance of Semarang. All of the collected data would studied and analyzed qualitatively in which all o the data was analyzed by interpretation qualitatively the opinion or respond of informant, and then describe that aspect related to the topic completely and comprehensively.

Based on the result of research it indicates that in order to eradicate the corruption the corruption crime court has any obstacles such as there is intervention of government to the independency of justice power in Indonesia, obstacle in the view point of juridical, obstacle, crime handling and implementation of sanction on the technical obstacle. In addition, there are any obstacle factors for the corruption crime court because the corruption crime is one of difficult crime in its proven, either for the modus operandi or profesionalism of the accused. The field obstacle is caused by the limitation of the information and knowledge to the judge about the transaction variation used in corruption crime.

(19)

crime is an extraordinary crime, so the corruption crime court has not obstacles in the eradication of corruption especially the obstacle from the capability of the judges. In addition, the existence of the corruption crime court in the future in corruption eradication must seek the causes factor and the causes must be eliminated by preventive and followed by education (the increasing of law awareness of the society through repressive action).

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merupakan sumber malapetaka suatu rezim, hal ini diungkapkan oleh Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore, sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, sebagai berikut:1

“There is no question that as we move into global information age, foreign corrupt practices threaten to undermind both the growth and the stability of our global trade and system. Nowhere are the consequences more evident than in emerging and developing economies. The Financial crisis in Russia and Asia have clearly been deepened as a result of cronyism and corruption”.

Dipelopori oleh tuntutan mahasiswa, Orde Baru digantikan Era Reformasi pada tanggal 20 Mei 1998. Reformasi merupakan perubahan radikal guna mencapai perbaikan dalam masyarakat atau negara tanpa disertai cara-cara dan kondisi kekerasan.2

1

Romli Atmasasmita, “Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad ke XXI: Suatu Reoreintasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 25 September 1999, hlm. 8.

Era Reformasi menempatkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagai sasaran utama yang harus diwujudkan. Meskipun telah berganti dengan Era Reformasi, perkembangan masalah korupsi di Indonesia masih sedemikian parahnya karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, bahkan selama beberapa tahun berturut-turut Indonesia tergolong negara paling korup di Asia. Bahkan di mata orang bisnis, khususnya para investor Asia, korupsi di

2

(21)

Indonesia, dalam hal ini adalah korupsi di pengadilan, Indonesia memperoleh skor 9,92 dari skala 1 sampai 10 dengan catatan yang mendapat skor 1 adalah yang terbaik dan yang mendapat skor 10 adalah yang terburuk.3

Menurut Indonesia Coruption Wacth (ICW) kelemahan dalam upaya untuk memerangi korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:4

1. 2.

Pemberantasan korupsi berjalan lamban, aparat penegak hukum tidak serius dalam menangani kasus korupsi.

3.

Tiadanya jaminan akses informasi publik (misalnya UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik).

4.

KPK tidak bisa menangani semua kasus yang dilaporkan oleh masyarakat. Kualitas pelaporan yang sulit untuk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

Disamping itu juga, upaya dalam pemberantasan korupsi banyak yang gagal karena pendekatan yang semata-mata bersifat pendekatan hukum atau terlalu bertumpu pada himbauan moral. Ada kalanya upaya pemberantasan korupsi dilakukan dengan setengah hati, hal tersebut dapat diperhatikan pada setidaknya 7 (tujuh) alasan yang tidak benar untuk tidak memberantas korupsi, yaitu:5

1.

2.

Korupsi ada dimana-mana. Tidak ada yang dapat dilakukan untuk membasmi sesuatu yang sudah menjadi wabah. Tetapi coba lihat kesehatan, penyakit juga dijumpai dimana-mana. Namun tidak ada orang yang menyimpulkan tidak perlu dilakukan upaya untuk mencegah dan mengobati penyakit. Sama seperti penyakit, luas sebaran dan jenis korupsi berbeda-beda satu sama lain, dan langkah-langkah untuk mencegah dan membasmi juga diperlukan untuk penyakit korupsi.

3

Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006), hlm. 2.

Korupsi sudah ada sejak dulu. Seperti dosa, korupsi adalah pembawaan dari manusia. Tidak ada yang dapat dilakukan mengenai hal itu. Sekali

4

http://pakar-hukum.blogspot.com/2009/10/efektifitas-pemidanaan-tindak pidana.html

5

Robert Klitgaard, Ronald Maclean Abaroa, dan H. Lindsey Parris (Alih Bahasa Masri Maris),

(22)

lagi, pengalaman ini benar akan tetapi kesimpulannya salah. Meski dosa itu ada bukan berarti dosa sama dari satu orang ke orang yang lain, dan hal ini berlaku pula bagi korupsi. Kita dapat menghilangkan peluang untuk melakukan korupsi, meski korupsi akan tetap ada.

3.

4.

Konsep korupsi kabur dan tergantung pada budaya. Dalam beberapa budaya perilaku yang kita anggap menyimpang dianggap biasa. Memerangi korupsi berbau imperialisme budaya. Dalam kenyataan seperti yang dikatakan John T. Noonan dalam bukunya mengenai sejarah korupsi, ”tidak ada masyarakat manapun yang menerima korupsi”. Penelitian antropologi menunjukkan, warga masyarakat mampu membedakan antara sebuah pemberian dan suap, dan mereka mengutuk korupsi. Bentuk-bentuk korupsi yang dibahas disini merupakan bentuk pelanggaran hukum diseluruh dunia

5.

Membersihkan masyarakat kita dari korupsi akan memerlukan perubahan besar dalam sikap dan tata nilai. Hasil yang dicapai dari upaya menghimbau orang agar meningkatkan moral tidak menggembirakan. Bagi pemerintah daerah ada 2 (dua) hal yang penting. Pertama, menyiapkan rencana perubahan sosial besar-besaran dan kemudian melaksanakannya berada diluar tugas utama pemerintahan daerah. Kedua, sementara itu selalu ada cara untuk menutup celah-celah untuk melakukan korupsi, seperti misalnya: menciptakan insentif dan sanksi, meningkatkan akuntabilitas dan persaingan, serta memperbaiki aturan main.

6.

Diberbagai negara, korupsi sama sekali tidak merugikan. Korupsi berperan sebagai minyak pelumas untuk roda ekonomi, dan perekat untuk sistem politik. Benar korupsi untuk pelumas memang ada. Tetapi teori dan penelitian lapangan menunjukkan bahwa pelumas tanpa korupsi lebih baik dari pelumas melalui korupsi. Meski dalam suatu masyarakat pembayaran uang pelicin mempunyai fungsi tertentu, tidak berarti secara keseluruhan uang pelicin itu baik

7.

Tidak ada langkah apapun yang dapat diambil jika petinggi-petinggi pemerintah sendiri melakukan tindak korupsi, atau jika korupsi sudah sistematis. Bagi upaya anti korupsi akan lebih baik apabila para pemimpin bersih dan jika korupsi terjadi dari waktu kewaktu saja, tidak secara rutin. Tetapi pemberantasan korupsi yang berhadil menunjukkan perbaikan sistem dapat mengurangi peluang bagi semua orang, termasuk para politisi yang berkuasa untuk mendapat keuntungan dari korupsi. Korupsi sistematis dapat dibasmi.

(23)

demokrasi yang sudah stabil korupsi merupakan ancaman yang terus menerus pada kelancaran penyediaan barang dan layanan masyarakat. Korupsi telah merugikan masyarakat secara luas dengan mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan publik oleh pemerintahan. Korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Pada sektor dunia usaha, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.6

Kendati ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan supaya menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Korupsi juga menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan lapangan perniagaan. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.7

Korupsi juga

6

Ibid, hlm. 18.

merupakan faktor penghambat bagi pengembangan demokrasi, menghambat pelaksanaan tugas lembaga-lembaga publik serta penyalahgunaan sumber daya yang dimiliki baik alam maupun manusia secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Korupsi memupuk perilaku merahasiakan segala sesuatu dan penindasan. Kerahasiaan terlihat dari banyaknya pelaksanaan program pembangunan yang memiliki permasalahannya masing-masing di mulai dari

7

(24)

pengajuan anggaran yang diperbesar (mark up), penggunaan anggaran yang diperkecil (mark down), kegiatan fiktif maupun kondisi yang tidak layak guna. Penindasan dijelaskan dengan kondisi ketidakmampuan masyarakat untuk menikmati hasil yang telah dilakukan oleh sebuah proses pembangunan.8

Oleh karena itu, mengingat perilaku korupsi yang semakin merajalela yang pada akhirnya akan membawa dampak pada terhambatnya penyelenggaraan kesejahteraan hidup rakyat, maka salah satu cara supaya rakyat tersebut dapat hidup sejahtera adalah melalui pemberantasan korupsi, sehingga pemberantasan korupsi dapat menjadi awal penyelesaian berbagai krisis di Indonesia.

Secara realitas korupsi banyak sekali menimbulkan kerugian dalam bentuk dana yang cukup besar. Lebih dari itu kerugian yang terbesar dari pelaksanaan korupsi yang terus menerus adalah antara lain terciptanya kemiskinan struktural, penumpukan ilegal aset-aset pada segelintir orang, dan lebih parah lagi akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan rasa hormat kepada lembaga-lembaga administrasi dan tata kelola pemerintah sehingga menimbulkan kelemahan otoritas pemerintah terhadap rakyatnya.

9

8

Ibid, hlm. 19.

Untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi pemerintah telah mempersiapkan segala perangkat hukum yang cukup memadai baik dari proses pencegahan maupun sampai pada tingkatan penindakan. Perangkat hukum dari

9

(25)

Undang-Undang Anti Korupsi, Pengadilan yang khusus menangani kasus korupsi, lembaga anti korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Khusus terhadap Pengadilan yang khusus menangani korupsi dan selanjutnya disebut Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) adalah didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung putusan diucapkan. Konsekuensinya, pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) harus membentuk UU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi paling lambat 3 tahun sejak putusan MK dibacakan.10

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan satu-satunya yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap ibu kota kabupaten/kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana dan prasarana. Untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan pada setiap ibukota provinsi.11

10

Perhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006.

11

(26)

Pemberian jangka waktu 3 (tiga) tahun oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memang menimbulkan perdebatan, misalnya bagaimana mungkin MK memutuskan suatu norma hukum bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi pada saat bersamaan membiarkan norma yang bertentangan tersebut berlaku selama 3 (tiga) tahun. Terlepas dari perdebatan, yang pasti sampai saat ini secara yuridis formal keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi masih diakui, karena itu tidak berpengaruh terhadap kasus- kasus yang sedang diproses KPK, baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan. Pertanyaannya, apakah Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi diperlukan untuk menangani tindak pidana korupsi?

Dalam hal ini, berdasarkan amendemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan secara limitatif 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama. Meski demikian, pembentukan pengadilan khusus sangat dimungkinkan di bawah empat lingkungan peradilan tersebut. Ketentuan ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.12

Permasalahan yang muncul adalah tidak adanya ketentuan yuridis yang mengatur tentang tata cara atau prosedur pembentukan pengadilan khusus tersebut. Akibatnya, pembuat undang-undang membentuk pengadilan khusus berdasarkan situasi yang muncul dalam penegakan hukum di lapangan. Pembentukan pengadilan khusus didasarkan pada kebutuhan untuk khusus, baik dalam hal perlindungan subjek

12

(27)

hukumnya maupun upaya penyelesaian perkara hukum yang efektif dan efisien karena perangkat hukum dan lembaga yang ada dianggap belum memadai. Oleh karena itu, pembentukan pengadilan khusus dapat dibentuk berdasarkan beberapa alasan, yaitu:13

1. Adanya subjek hukum yang perlu penanganan khusus seperti anak.

2. Adanya peristiwa hukum khusus yang penanganannya tidak dapat dilakukan dengan aturan hukum yang ada saat ini.

3. Adanya faktor integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum dan hakim.

Untuk pemberantasan korupsi, alasan yang kedua dan ketiga merupakan alasan yang mendasari dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Fakta menunjukkan bahwa korupsi merupakan fenomena sosial yang kronis bagi bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi dilakukan mulai dari praktik konvensional hingga masuk dalam sistem keuangan modern dan lintas negara. Substansi dan struktur hukum yang ada saat ini dianggap kurang memadai untuk memberantas korupsi. 14

Pemeriksaan perkara korupsi dalam lingkungan peradilan umum yang sekarang ini dinilai berjalan tidak efektif. Sikap masyarakat terhadap pemeriksaan korupsi di pengadilan umum sekarang ini lebih banyak menunjukkan sikap pesimistis. Masyarakat berpandangan pengadilan yang memeriksa perkara korupsi sekarang ini dipandang belum mandiri dan bebas dari campur tangan pihak lain. Pembentukan pengadilan korupsi juga dalam rangka memenuhi tuntutan perlakuan

13

http://baderi.wordpress.com/2008/04/15/keberadaan-pengadilan-tipikor.

14

(28)

secara adil dalam memberantas korupsi, jaminan kepastian hukum, dan perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.15

Pembentukan pengadilan korupsi harus dilihat dalam perspektif kebijakan atau politik hukum pidana. Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, baik dari perspektif yuridis normatif maupun sosiologis, terdapat alasan yang cukup kuat untuk tetap mempertahankan eksistensi Pengadilan Khusus Tindak pidana Korupsi. Disamping itu juga, secara yuridis konstitusional, keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus berada pada salah satu dari empat lingkungan peradilan, dalam hal ini di bawah lingkungan peradilan umum.Agar tujuan tercapai, penempatan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di bawah peradilan umum harus tetap memerhatikan kekhususan yang dimilikinya.16

Alasan lain agar pengadilan tindak pidana korupsi harus tetap dipertahankan adalah dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat diperhatikan dari semester I tahun 2009, dari 199 perkara dan 222 terdakwa korupsi yang diperiksa dan diputus di pengadilan umum, mulai dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung (MA) yang terpantau, sebanyak 153 terdakwa divonis bebas, hanya 69 terdakwa yang dinyatakan bersalah. Sedangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Pada semester I-2009, dari 29

15

Ibid.

16

(29)

perkara dengan 32 terdakwa yang diperiksa dan diputus, tidak ada satu pun yang divonis bebas. ”Semua terdakwa divonis bersalah. Pengadilan Tipikor juga tak pernah menjatuhkan vonis percobaan atau di bawah satu tahun penjara. Rata-rata divonis di atas 4 (empat) tahun.17

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka penulis membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi, sebagai berikut: 1. Bagaimana eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan

pemberantasan korupsi?

2. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi?

3. Bagaimana eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi kedepan dalam melakukan pemberantasan korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

17

(30)

1. Untuk mengetahui eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi.

3. Untuk mengetahui eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi kedepan dalam melakukan pemberantasan korupsi.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi.

2. Secara praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.

(31)

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang “Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)” ini belum pernah

dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat saya pertanggung jawabkan secara keilmuan akademis.

Adapun judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah:

(32)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka digunakan beberapa teori dan konsep dalam rangka menganalisis eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi.

1. Kerangka teori.

Untuk menjaga eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi dalam menentukan berhasil atau tidaknya dalam hal mengatasi atau menghukum pelaku tindak pidana korupsi tidak terlepas dari dotrin Montesquieu tentang ajaran pembagian kekuasaan (distribution of power) yang salah satu ajarannya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus diselenggarakan secara independen, yang meliputi: kemandirian personal (personal judicial indepence), kemandirian substansial (substantif judicial independence) dan kemandirian internal serta kemandirian kelembagaan (institusional judicial independence) yang berarti:18

a. Kemandirian substantif adalah kemandirian di dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.

b. Kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya di dalam memutus suatu perkara yang sedang diperiksa.

c. Kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman meliputi antara lain rekruetmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa pensiun.

18

(33)

d. Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri.

Hal tersebut diatas adalah selain untuk menjaga eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi juga berkaitan erat dalam rangka melaksanakan penegakan hukum, khususnya penegakan hukum dalam hal melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi.

Berbicara tentang penegakan hukum tidak terlepas dari unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam rangka penegakan hukum tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai sistem dalam penegakan hukum dan merupakan bahagian dari legal system. Sebagaimana diketahui bahwa sistem adalah sebagai suatu organ yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain.19

Sementara itu, Lawrence M. Friedman mengemukakan:20

Sistem hukum (legal system) tidak saja merupakan rangkaian larangan atau perintah, akan tetapi lebih dari itu sebagai serangkaian aturan yang bisa menunjang, meningkatkan, mengatur, dan menyuguhkan cara untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, kita akan berbicara tentang 3 (tiga) komponen penting dalam sistem hukum (legal system) yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture. Ketiga hal ini adalah komponen pembentuk sesbuah sistem hukum (legal system) yang dikehendaki oleh sebuah masyarakat.

Lebih lanjut lagi menurut Lawrence M. Friedman, untuk menggambarkan kinerja kutipan komponen tersebut diatas dapat kita bayangkan apabila komponen

19

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 56.

20

(34)

struktur hukum (legal structure) diibaratkan sebagai sebuah mesin, maka substansi hukumnya (legal substance) adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu, sedangkan budaya hukum (legal culture) adalah apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan, menetapkan bagaimana mesin itu digunakan. Bagi Friedman yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri, yaitu sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute settlement), skema distribusi barang dan jasa (goods distributing scheme), dan pemeliharaan sosial (social maintenance).21

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka untuk melakukan penegakan hukum pada umumnya, ada beberapa unsur atau komponen yang harus dipenuhi secara keseluruhan, yang meliputi:22

a. Materi hukum/substansi hukum, meliputi:

1. Hukum tertulis/peraturan perundang-undangan. 2. Yurisprudensi tetap.

3. Kebiasaan.

4. Perjanjian-perjanjian internasional

Dalam hal ini adalah segala materi hukum yang berkenaan dengan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi.

Dipihak lain, materi hukum baru akan tercipta melalui proses kegiatan: 1. Perencanaan hukum.

2. Pembentukan hukum. 3. Penelitian hukum

4. Pengembangan dan informasi hukum. 5. Penyelenggaraan dokumentasi hukum. 6. Pengembangan ilmu hukum.

7. Pembinaan pendidikan hukum. 8. Anotasi keputusan-keputusan hakim. 9. Analisis dan evaluasi hukum.

21

Ibid, hlm. 2.

22

(35)

b. Aparat penegak hukum.

Aparat penegak hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagaimana terdapat dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

Norvel Morris sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa: Sistem Peradilan Pidana adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan” dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.23

Di Indonesia, tahapan dalam peradilan pidana dijalankan oleh subsistem yaitu:

1. Hakim (pemeriksa disidang pengadilan). 2. Polisi (penyidikan).

3. Jaksa (penuntutan).

4. Advokat (bantuan hukum), dan

5. Lembaga Pemasyarakatan (pemasyarakatan).

Kelima komponen ini bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu “Integrated Criminal Justice”.24

c. Budaya hukum.

Budaya hukum merupakan kunci pokok dari terselenggaranya penerapan dan penegakan hukum dalam suatu negara, sebab budaya hukum adalah kesadaran hukum yang dimiliki oleh satu/sekelompok orang, berarti semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat yang ada dalam suatu negara maka semakin mudah tercapai penegakan hukum dinegara tersebut, karena sebaik apapun peraturan hukum yang ada, tidak akan pernah dapat ditegakkan apabila yang menjadi subyek hukum tersebut tidak memiliki budaya hukum

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh moral seseorang sangat menentukan didalam sikap, tindakan, dan putusan. Pelaku korupsi berarti telah bersikap, bertindak dan memutuskan segalanya karena moralnya yang tidak baik, tercela, dan tidak terpuji.25

23

Mardjono Reksodiptro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku

kedua, (Jakarta; Lembaga Kriminologi UI), hlm. 140

24

Ibid, hlm. 85 25

S. Anwary, Analisis Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Ditinjau

(36)

d. Sarana dan prasarana hukum.

Sarana dan prasarana hukum adalah untuk mendukung kelancaran dan kelangsungan berperannya sistem hukum secara lebih baik, diantaranya adalah: segala sarana dan prasarana badan-badan peradilan, sarana dan prasarana biro-biro hukum, sarana dan prasarana bagi penelitian, pengembangan dan pendidikan hukum.

Berdasarkan beberapa unsur atau komponen penegakan hukum pada umumnya sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis berpendapat bahwa keseluruhan unsur atau komponen tersebut juga harus ada atau terpenuhi dalam hal melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi, sebab berbicara tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sama halnya dengan berbicara tentang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum dibidang tindak pidana korupsi. Adapun yang menjadi alasan dikatakan bahwa seluruh unsur atau komponen tersebut harus terpenuhi adalah berdasarkan pengertian dari sitem dalam penegakan hukum itu sendiri, yaitu sistem merupakan suatu organ yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain. Sejumlah unsur atau komponen yang dimaksud disini adalah: materi/substansi hukum, aparat penegak hukum, budaya hukum, sarana dan prasarana hukum.

(37)

Menurut A. Mukti Arto Lembaga Kekuasaan Kehakiman mempunyai peran penting bagi suatu negara hukum yang demokratis konstitusional, yaitu:26

a. Menurut teori konstitusi.

Pembentukan lembaga-lembaga negara sebagai institusi penyelenggara negara harus ada pembatasan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Lembaga negara seperti lembaga Kekuasaan Kehakiman bertugas untuk mengawasi jalannya hukum dan pemerintahan agar tidak menyimpang dari konstitusi.

b. Menurut teori negara hukum.

Keberadaan lembaga Kekuasaan kehakiman merupakan ciri utama dan elemen dasar dari negara hukum. Di dalam negara hukum modern harus ada kekuasaan kehakiman untuk menjalankan penegakan keadilan.

c. Menurut teori demokrasi.

Indonesia merupakan negara hukum yang setiap melaksanakan kegiatan dan kebijakan didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku. Kehidupan yang demokratis selalu berada dalam negara hukum. Dan didalam negara hukum harus ada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga penegak demokrasi (pengadilan) untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum demi melindungi kepentingan rakyat dari kesewenangwenangan pemerintah.

Berdasarkan hal demikian, maka tugas seorang hakim adalah menafsirkan hukum dan prinsip-prinsip dasar dan asumsi-asumsi yang melandasai hukum yang bersangkutan. Karena itu hakim harus independen tetapi tidak berarti ia bertindak sewenwang-wenang. Orang yang dipilih menjadi pejabat Pengadilan harus mempunyai integritas, keahlian, dan latar belakang pelatihan dan persyaratan yang sesuai dibidang hukum. Proses seleksi harus tidak membeda-bedakan orang menurut ras, suku bangsa, jenis kelamin, agama, aliran politik, dan pendapat, latar belakang Negara atau sosial, hak milik, kelahiran atau status.

26

A.Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung Redifinisi Peran dan Fungsi Mahkamah

(38)

Namun, tidak menganggap membeda-bedakan bila disyaratkan bahwa calon pejabat Pengadilan harus warga masyarakat yang bersangkutan. Calon hakim diangkat dan mendapatkan kenaikan pangkat penting sekali bagi Independensinya. Hakim tidak diangkat berdasarkan pertimbangan politik, tetapi semata-mata atas dasar keahlian dan netralits politik. Proses pengangkatan pejabat Pengadilan melibatkan Legislatif, Eksekutif, dan Perdilan itu sendiri.27

Selanjutnya dalam menjatuhkan pidana, maka Hakim harus berorientasi pada tujuan pemidanaan yang tidak terlepas dari faktor pencegahan agar tidak terjadinya tindak pidana (korupsi) dan faktor penanggulangan setelah terjadinya tindak pidana (korupsi). Adapun yang menjadi tujuan pemidanaan dapat dilihat dari aspek filosofis penjatuhan pidana itu sendiri. Dalam hukum pidana setidaknya ada 3 (tiga) teori tentang pemidanaan tersebut, dan teori-teori tersebut lahir didasarkan pada persoalan mengapa suatu kejahatan harus dikenai sanksi pidana. Ketiga teori dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien).

Teori absolut atau teori retributif atau dikenal dengan teori pembalasan (vergerldingstheori) tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan morally justified (pembalasan secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima atas kejahatan yang

27

(39)

dilakukannya.28

Menurut teori diatas, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya pidana. Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan.

Menurut teori ini, bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Artinya teori absolut memandang, pidana dimaksudkan untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.

29

Dari uraian diatas, maka suatu pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Jadi, pidana secara mutlak harus ada karena dilakukannya suatu kejahatan. Karena itulah maka teori ini disebut dengan teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan, akan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.30

b. Teori relatif atau tujuan (doel theorien).

Menurut teori ini, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah (prevensi) agar kejahatan itu tidak terulang lagi.

28

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy, (Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 68.

29

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), hlm. 21.

30

(40)

Jadi, pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan, melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana itu dimasa depan, baik bagi si penjahat maupun masyarakat. Oleh karena itu teori yang kedua ini disebut dengan teori tujuan.31

Adapun wujud pidana menurut teori ini berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya, yaitu memperbaiki, menakutkan dan membinasakan. Kemudian hakikat pidana itu sendiri dibedakan kepada prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum (general) bertujuan agar masyarakat pada umumnya menjadi takut, sehingga mereka tidak melakukan tindak pidana yang sama pada masa yang akan datang.32

Sedangkan prevensi khusus (special) seperti yang dianut oleh Van Hamel (Belanda) dan Von Liszt (Jerman) adalah bertujuan untuk mencegah niat buruk pelaku kejahatan, juga agar sipelaku tidak mengulangi kejahatannya.

Secara lebih terperinci Van Hamel mengemukakan bahwa prevensi khusus suatu pidana dalam teori relatif itu adalah:

1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.

2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.

3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.

4. Tujuan satu-satunya suatu pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum.33

31

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 34.

32

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Pratnya, 1993), hlm. 34.

33

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana

(41)

Sementara itu, E. Utrecht menyebutkan bahwa:

Teori relatif atau tujuan menitikberatkan pada tujuan hukum. Ancaman hukuman dan hukuman perlu supaya manusia tidak berdosa (ne peccetur), supaya manusia tidak melanggar. Menurut teori ini maka tujuan hukuman ialah menakutkan manusia melakukan pelanggaran, yaitu pada ancaman hukuman ada pengaruh menakutkan orang melakukan pelanggaran, dan juga untuk memperbaiki dan mendidik manusia ia oleh masyarakat dapat diterima lagi sebagai anggota yang baik.34

c. Teori gabungan (veriniging theorien)

Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan kepada sipelaku juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.35

Dalam teori gabungan (veriniging theorien) dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping itu juga yang menjadi dasar adalah tujuan daripada hukuman. Teori gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) maupun teori relatif atau tujuan (doel theorien) dianggap berat sebelah, sempit dan sepihak..

36

Adapun keberatan teori gabungan (veriniging theorien) terhadap teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) adalah:37

34

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesembilan, (Jakarta: 1966), hlm. 366.

35

Mahmud Mulyadi, dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan

Korporasi ,(Jakarta: PT. SOFMEDIA, 2010), hlm. 98.

36

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), hlm. 64.

37

(42)

1. Dalam menentukan balasan sulit sekali menetapkan batasan-batasannya atau sulit untuk menentukan beratnya hukuman.

2. Apa dasar untuk memberi hak kepada negara untuk menjatuhkan hukuman sebagai pembalasan.

3. Hukuman sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. 4. Singkatnya dalam teori ini dasar pembalasan sama sekali tidak

memberi kepuasan hukum bagi kepentingan masyarakat, sedang hukum pidana diadakan untuk kepentingan masyarakat.

Sedangkan keberatan teori gabungan (veriniging theorien) terhadap teori relatif atau tujuan (doel theorien) adalah:

1. Dalam teori relatif hukum dipakai sebagai cara untuk mencegah kejahatan, yaitu: baik yang dimaksud untuk menakut-nakuti umum, maupun yang ditujukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan. 2. Hukuman yang berat itu dirasa tidak memenuhi rasa perikeadilan,

apabila ternyata bahwa kejahatannya ringan.

3. Keberadaan hukum daripada masyarakat membutuhkan kepuasan, oleh karenanya hukum tidak dapat semata-mata didasarkan pada tujuan untuk mencegah kejahatan atau membinasakan penjahat.38

Dengan demikian, teori yang ketiga ini mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Teori gabungan antara pembalasan dan prevensi ini kemudian bervariasi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu:

1. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan. Akan tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. Variasi yang pertama ini dianut oleh Pompe. Pompe mengatakan sebagaimana dikutip Andi hamzah, ”bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang lanjutnya, pidana dapat

38

(43)

dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap tidak dapat dipungkiri bahwa pidana berarti suatu pembalasan”.39

Grotius sebagai penganut teori ini kemudian mengembangkan teori gabungan tersebut dengan menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, akan tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana menurutnya adalah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.40

2. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Teori ini dianut oleh Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum diciptakannya sebuah Undang-Undang. Ia juga berpendapat bahwa tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela oleh pelaku, karena itu ia pantas dijatuhi pidana sesuai dengan perbuatannya. Masih menurut Aquino, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Sebab tujuan pidana adalah untuk melindungi kesejahteraan masyarakat. Senada dengan pendapat Aquino tersebut diatas, Vos berpendapat bahwa suatu pidana adalah dimaksudkan sebagai prevensi umum, bukan semata-mata

39

Andi Hamzah, op.cit, hlm. 36.

40

(44)

ditujukan kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara, maka ia tidak terlalu takut lagi karena sudah berpengalaman.41

3. Teori gabungan yang menganggap pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat harus dititikberatkan sama.

Beranjak dari ketiga teori pidana tersebut diatas, maka dapatlah diketahui mengapa pemidanaan itu diberlakukan. Untuk menemukan jawabannya, maka harus dikembalikan kepada persoalan apa sebenarnya tujuan diciptakannya hukum itu. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan diciptakannya hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban, keamanan dan keadilan ditengah-tengah masyarakat.42

Untuk mewujudkan tujuan itu pulalah, pemerintah selalu mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku kejahatan (korupsi) yang mencoba mengganggu ketentraman masyarakat tersebut. Tindakan tegas yang diambil pemerintah dalam rangka melindungi, mengayomi masyarakatnya adalah dengan menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan (korupsi) tersebut.

Memang diakui, bahwa dalam teori relatif sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya tujuan pemidanaan itu adalah untuk memperbaiki si terpidana. Akan tetapi, pada sisi lain teori relatif itu juga menganut paham bahwa salah satu wujud pemidanaan itu adalah untuk membinasakan terpidana. Hal ini kemudian diuraikan lebih jauh oleh Van Hamel yang berpendapat bahwa

41

Ibid, hlm. 37.

42

(45)

setidaknya ada 4 (empat) prevensi khusus suatu pidana, satu diantaranya adalah pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. Sedangkan yang kedua adalah pidana harus mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.43

Karena itu para ahli hukum pidana Indonesia berpendapat bahwa pidana tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh kejahatan yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Dan dengan dijatuhkannya pidana terhadap pelaku kejahatan (korupsi) tersebut, maka ketentraman masyarakat umumpun akan terwujud, sebab hal itu akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka, sehingga penjahat potensial lainnya akan takut untuk melakukan kejahatan yang sama.

Disamping itu, suatu pendirian dalam mepertahankan tata tertib hukum dengan menjatuhkan pidana terhadap seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan ada ditangan pemerintah. Karena itu, penjatuhan pidana menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya.44

Sementara itu, Hamzah dan Sumangelipu dengan mengutip pendapat HG. Rambonnet, mengemukakan bahwa:

Adalah tugas pemerintah untuk mempertahankan ketertiban hukum. Seperti yang kita lihat, untuk mempertahankan ketertiban hukum itu diwujudkan melalui pemidanaan. Berdasarkan hal ini, maka pemerintah mempunyai hak untuk memidana, artinya membalas kejahatan, karena hak pemerintah untuk memidana itu adalah akibat yang logis dari haknya

43

Andi Hamzah, op.cit, hlm. 35.

44

(46)

untuk membalas dengan pidana. Karena kejahatan itu menyebabkan terganggunya ketertiban hukum tersebut dalam suatu bahagian tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan mengeluarkan atau tidak mengikutsertakan penjahat itu dalam pergaulan masyarakat. Hal itu dapat direalisasikan dengan merampas kemerdekaannya (dipenjara), mengambil harta bendanya dan sebagainya.45

Apabila kejahatan tersebut tidak hanya menggangu ketertiban pada suatu hal tertentu, tetapi meluas, misalnya pengkhianatan terhadap negara, maka menurut Rambonnet tujuan pidana mati itu telah terjawab dengan melenyapkan penjahat itu dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum. Dan menurutnya, satu-satunya cara untuk mengucilkan penjahat itu dari pergaulan masyarakat adalah dengan menjatuhkan pidana mati terhadapnya.46

Prodjodikoro mengungkapkan bahwa penjatuhan pidana itu masih diperlukan sebagai alat pencegahan (prevention) bagi orang-orang agar tidak melakukan kejahatan. Kemudian pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Seorang ahli hukum Belanda, Van Hattum, menurutnya, penjatuhan pidana merupakan sebuah pidana yang mutlak diperlukan sebagai tindakan dalam keadaan khusus pada taraf kemajuan zaman sekarang.47

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hakikat penjatuhan pidana itu adalah untuk mewujudkan cita-cita hukum itu sendiri yaitu menciptakan ketenteraman dan kedamaian ditengah-tengah masyarakat. Hal ini tidak akan terwujud bila dimana-mana terjadi kejahatan yang mengakibatkan terganggunya

45

Andi hamzah, op.cit, hlm. 27.

46

Ibid.

47

(47)

ketertiban masyarakat luas, terganggunya hak-hak mendasar (hak hidup), dan jatuhnya kewibawaan negara dalam arti banyak upaya menggulingkan pemerintahan yang sah. Ketentraman dan kedamaian ditengah-tengah masyarakat itu merupakan dambaan semua pihak, baik pemerintah sebagai lembaga yang menetapkan hukum, maupun masyarakat yang melaksanakannya. Dengan dijatuhkannya pidana terhadap terpidana yang tidak memungkinkan untuk diperbaiki lagi, maka terhindarlah masyarakat dari gangguan kejahatannya. Pada sisi lain, dengan dieksekusinya terpidana, maka hal itu sekaligus sebagai penjeraan atau pencegahan dari orang lain, sehingga mereka tidak melakukan kejahatan yang sama. Dengan demikian terwujudlah ketentraman dan kedamaian masyarakat sebagaimana dikemukakan diatas.48

2. Kerangka konsepsi.

Atas dasar kerangka teori yang dipaparkan diatas, maka dapat diartikan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:

1. Eksistensi adalah: Keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi (penjelasan pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi). Eksistensi atau keberadaan49

48

Ibid, hlm. 166.

yang

49

(48)

dimaksud disini adalah wujud yang tampak50

2. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Penjelasan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).

sebagai produk dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yaitu Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

3. Tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dilakukan dengan cara melawan hukum dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

4. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah: serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik

50

(49)

Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

5. Pengadilan tindak pidana korupsi merupakan: satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi, dan/atau tindak pidana yang secara tegas dalam Undang-Undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang penulis gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang penulis lakukan. Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan penelitian, maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian.

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif.51

51

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: 1. Penelitian terhadap asas hukum. 2. Sistematik hukum. 3. Taraf Sinkronisasi vertical dan horizontal. 4. Perbandingan hukum. 5. Sejarah hukum. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif, Suatu

Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 14.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Senam Aerobik Dan Yoga Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Pasien. Diabetes Mellitus Tipe II Di Poliklinik Khusus Penyakit Dalam RSUP

yang tidak diperbolehkan ketika di kamar mandi adalah ..... allah menyukai anak-anak

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

[r]

Pembelajaran dengan model kooperatif TGT menuntut peserta didik bekerja dalam tim untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan sekaligus untuk mempersiapkan

Berdasarkan Penetapan Pemenang Pemilihan Langsung Paket Rekonstruksi Pengaman Jembatan Desa Karanggebang Nomor : 027/SP35.3.15/405.02.4/2017 tanggal 3 Agustus 2017,

Demikian disampaikan atas per hatian dan partisipasi Saudar a diucapkan ter ima kasih. Panitia Pengadaan Bar ang dan Jasa DINAS

Sehubungan dengan evaluasi administrasi dan persyaratan teknis kualifikasi pekerjaan Jasa Konsultansi Perencanaan Teknis Pembangunan Jembatan Di Kabupaten Nunukan