• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penangguhan Penahanan

Dalam dokumen Praperadilan di Indonesia (Halaman 187-194)

BAB IV Tindakan Alternatif Non Penahanan

D. Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini, penangguhan penahanan diartikan sebagai kegiatan mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir. Tahanan yang resmi dan sah pada dasarnya masih ada dan belum habis, namun pelaksanaan penahanannya ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang

381

45

diperintahkan kepadanya belum habis. Melalui penangguhan penahanan ini, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang berjalan. Pasal 31 KUHAP belum mengatur tata cara pelaksanaan penangguhan penahanan, serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin. Ketentuan ini tidak memberi petunjuk mengenai jaminan, justru dalam penjelasannya hanya disebutkan mengenai syarat penangguhan yakni wajib lapor, tidak keluar rumah, atau kota. Alinea kedua penjelasa Pasal ha ya e yi ggu g status tahanan yang ditangguhkan penahanannya, tidak termasuk masa status tahanan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur di dalam Bab X ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983, yang mengatur mengenai jaminan penangguhan penahanan; serta Bab IV dalam Pasal 25 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983, yang mengatur mengenai pelaksanaan penangguhan penahanan.

Lebih jauh, berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP penangguhan penahanan terjadi atas dasar:

(i) karena permintaan tersangka atau terdakwa;

(ii) permintaan itu disetujui oleh instansi yang menahan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan; dan

(iii) ada persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan.

Dalam konteks penangguhan penahanan, orang yang menjalani penahanan harus berjanji akan melaksanakan dan memenuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan instansi yang menahan. Sebaliknya, pihak yang menahan harus mengeluarkan orang tersebut dari tahanan dengan menangguhkan penahanannya. Penangguhan penahanan dapat dikabulkan apabila memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 31 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 35 dan Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983. Sementara pihak yang dapat mengajukan permohonan penangguhan penahanan menurut Pasal 31 ayat (1) KUHAP adalah tersangka/terdakwa. Sedangkan hak untuk memberikan penangguhan penahanan dimiliki oleh seluruh instansi yang memiliki kewenangan untuk menahan.

Hak ini diberikan selama tahanan yang bersangkutan masih berada dalam lingkup tanggungjawab yuridis instansi yang menahan. Kewenangan ini dengan sendirinya tidak berlaku apabila tahanan sudah beralih menjadi tanggungjawab instansi lain.

Alasan penangguhan penahanan sendiri tidak diatur dalam Pasal 31 KUHAP maupun dalam penjelasan pasal tersebut. Namun dalam praktik, alasan yang umum dikemukakan untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan adalah alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) huruf a KUHAP.

Syarat yang menjadi dasar hukum penangguhan penahanan dapat dibaca dalam kalimat terakhir Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, berdasarkan syarat yang ditentukan . Dapat disimpulkan, penetapan syarat oleh instansi yang memberi penangguhan adalah dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Tanpa adanya syarat yang ditetapkan lebih dulu dan tahanan yang bersangkutan tidak menyatakan kesediaan untuk menaati, penangguhan penahanan tidak boleh diberikan.

Dengan demikian, penetapan syarat dan kesediaan untuk menaati syarat tersebut merupakan prinsip dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Penegasan dan rincian syarat yang harus

46

ditetapkan dalam penangguhan penahanan, dinyatakan dalam penjelasan Pasal 31 KUHAP tersebut. Syarat yang dapat ditetapkan oleh instansi yang menahan antara lain adalah wajib lapor, tidak keluar rumah, atau tidak keluar kota.

Pada dasarnya dari ketiga syarat tersebut, instansi yang menahan dapat memilih salah satu syarat atau dua syarat. Syarat paling mendasar dalam penangguhan penahanan adalah syarat wajib lapor ditambah dengan salah satu syarat yang lain.

Dalam tingkat penyidikan di kepolisian, penangguhan penahanan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangguhan penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik. Selain itu, bila diperlukan, penangguhan penahanan dapat didahului dengan gelar perkara. Kewajiban lainnya, setiap penangguhan penahanan haruslah dilaporkan kepada atasan pejabat yang menandatangani surat perintah penangguhan penahanan.382

Terhadap tersangka yang telah diberikan penangguhan penahanan, dapat dilakukan penahanan kembali melalui penerbitan surat perintah pencabutan penangguhan penahanan yang ditandatangani oleh Penyidik atau Atasan Penyidik selaku Penyidik. Surat perintah pencabutan penangguhan penahanan dikeluarkan karena tersangka telah melanggar persyaratan penangguhan penahahan. Surat perintah pencabutan penangguhan penahanan wajib diikuti dengan terbitnya surat perintah penahanan lanjutan, yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.383

Sedangkan di Kejaksaan, berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No: B-98/E/Ejp/05/2002, tanggal 15 Mei 2002, dalam melakukan pengalihan atau penangguhan penahanan haruslah mengutamakan/mengedepankan pemenuhan aspek yuridis, melalui pemberian petunjuk-petunjuk yang akurat dan tepat sasaran yang dapat dilakukan dengan cara:384

1. dalam setiap perkara, terutama yang dianggap penting dan sensitif, penanganannya harus berkoordinasi dengan pihak penyidik dan komunitas intelijen, dan terlebih dahulu mempertimbangkan secara matang terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi atas dilakukannya penahanan atau tidak dilakukannya penahanan atas diri tersangka.

2. apabila keputusan atas penahanan atau tidak dilakukannya penahanan atas diri tersangka telah dipertimbangan secara matang, diminta agar dalam pelaksanaannya selalu konsisten dengan sikap yang telah ditempuh dan tidak mudah goyah dengan mengubah atau mengalihkan jenis penahanan tersangka kembali, walaupun dihadapkan kepada adanya tekanan massa, oleh karena perubahan atau pengalihan status penahanan itu akan sangat merugikan institusi kejaksaan di mata masyarakat. Sekali lagi ditegaskan, agar dalam menentukan sikap terhadap pilihan yang demikian terlebih dahulu dipertimbangkan dari berbagai aspek, dan untuk itu diperlukan masukan yang aktual.

3. apabila ada permohonan penangguhan penahanan, agar tetap mempedomani Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-675/E/Epoll2/1994 tanggal 1 Desember 1994 perihal permohonan penangguhan penahanan/tahanan luar dan wajib lapor.

Sementara merujuk pada Surat Jampidum No. B-675/E/Epo/1994 tanggal 1 Desember 1994, dikatakan bahwa untuk mencegah terjadinya dampak yang berkaitan dengan masalah permohonan penangguhan penahan/tahanan luar dan wajib lapor, para jaksa diminta untuk:

382

Pasal 47 Perkap 14 tahun 2012 tentang manajeman tingkat penyidikan

383

Pasal 48 Perkap 14 tahun 2012 tentang manajeman tingkat penyidikan

384

Surat ini muncul sebagai respon dari banyaknya laporan yang diterima dari daerah serta berdasarkan pengamatan, sering ditemukan adanya tahanan yang ditangguhkan penahanannya atau dialihkan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota karena adanya tekanan massa pendukung tersangka, yang tidak menghendaki dilakukannya penahanan terhadap yang bersangkutan, baik melalui ancaman fisik maupun psikhis, bahkan tidak jarang secara konkrit telah dilakukan dalam bentuk serangan fisik kepada aparat atau aset kejaksaan.

47

1. permohonan penangguhan penahanan hanya dilakukan terhadap in giro yang dalam status tahanan. Dengan demikian tidak dibenarkan adanya surat permohonan penangguhan penahanan atau permohonan untuk ditahan luar/tidak ditahan dalam hal tersangka tidak dalam status tahanan;

2. perubahan status tersangka yang diserahkan Penyidik kepada Kejaksaan hanya dapat dilakukan apabila benar-benar beralasan. Dengan demikian akan dapat dicegah terjadinya rekayasa penahanan dimana disangkakan/didakwakan pasal-pasal yang memungkinkan tersangka/terdakwa dapat ditahan padahal sebenarnya perbuatan yang disangkakan tidak dapat dilakukan penahanan;

3. kewajiban melapor hanya dapat dibebankan kepada tersangka yang dalam status tahanan rumah, tahanan kota dan yang ditangguhkan penahanannya;

D.1. Jaminan penangguhan penahanan

Ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP telah secara tegas menentukan bentuk jaminan dalam

pe a gguha pe aha a , dapat erupa ja i a ua g atau ja i a ora g . Na u KUHAP elu

memerinci cara pelaksanaan penjaminan tersebut. Penetapan jaminan dalam penangguhan penahanan sifat ya fakultatif . Oleh karena itu, jaminan uang atau ja i a ora g dapat ditetapkan sekaligus atau salah satu oleh instansi yang menahan.

Tanpa jaminan, tindakan penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Sebab, unsur jaminan pada dasarnya dapat dikesampingkan. Akan tetapi, agar syarat penangguhan penahanan benar-benar ditaati, maka penangguhan penahanan dilakukan bersamaan dengan jaminan. Pemberian jaminan ini merupakan upaya untuk memperkecil kemungkinan tersangka/terdakwa melarikan diri.385

a. Jaminan uang

Berdasarkan ketentuan KUHAP, penangguhan penahanan dengan jaminan atau tanpa jaminan diadakan dan dilaksanakan dalam bentuk perja jia a tara tersa gka/terdakwa atau penasihat hukumnya dengan instansi yang bertanggungjawab secara yuridis atas penahanan.

Apabila jaminan penangguhan berbentuk uang, instansi atau pejabat yang bersangkutan—sesuai dengan tingkat pemeriksaan, menetapkan besarnya uang jaminan. Besaran uang jaminan secara

jelas disebutkan dalam surat perjanjian penangguhan. Dalam hal ini ada beberapa aturan yang harus dipahami:

1. Uang jaminan disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Instansi manapun yang memberi penangguhan penahanan, uang jaminan disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Panitera yang berwenang menyimpan uang jaminan sekalipun yang memberi penanguhan penahanan instansi penyidik, penuntut umum, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. 2. Penyetoran uang jaminan dilakukan sendiri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau

keluarganya. Berdasarkan penetapan besarnya jaminan yang dicantumkan secara jelas dalam surat perjanjian, uang tersebut disetor ke kepaniteraan Pengadilan Negeri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya. Penyetoran dilakukan berdasar formulir penyetoran yang dikeluarkan instansi bersangkutan. Jika penyidik yang memberikan

385

Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan penangguhan penahanan diatur di dalam Bab X ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983; serta Bab IV dalam Pasal 25 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983, yang mengatur mengenai pelaksanaan penangguhan penahanan.

48

penangguhan penahanan, instansi itu yang mengeluarkan formulir penyetoran uang jaminan, untuk selanjutnya dibawa pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri.

3. Bukti setoran dibuat dalam rangkap tiga. Hal ini ditentukan dalam angka 8 huruf a Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Bukti penyetoran dibuat dalam rangkap tiga, dengan perincian: (i) selembar sebagai arsip penitera Pengadilan Negeri; (ii) selembar diberikan kepada yang menyetor untuk digunakan bukti kepada instansi yang menahan bahwa dia telah melaksanakan isi perjanjian yang berhubungan dengan pembayaran uang jaminan; (iii) Selembar lagi dikirim panitera kepada pejabat atau instansi yang menahan melalui kurir untuk digunakan sebagai alat kontrol.

4. Berdasar tanda bukti penyetoran, pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan.

Lebih jauh, terdapat dua cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebenaran penyetoran: (i) tanda bukti penyetoran tersebut diperlihatkan oleh pemohon atau penasihat hukum

atau keluarganya; atau

(ii) berdasarkan penerimaan tanda bukti penyetoran yang dikirim panitera kepada instansi yang menahan. Melalui salah satu cara ini, instansi yang menahan kemudian mengeluarkan surat perintah/penetapan penangguhan penahanan.

Besarnya uang jaminan ditentukan dengan memerhatikan berat ringannya tindak pidana yang di dakwakan kepada terdakwa, kedudukan terdakwa/penjamin, dan kekayaan yang dimiliki olehnya. Uang jaminan tersebut harus diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Uang jaminan yang diminta Penuntut Umum ataupun Pengadilan Tinggi tetap harus diserahkan dan disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

Apabila terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 bulan tidak diketemukan, maka uang jaminan tersebut berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan menjadi milik negara, dan disetor ke kas negara. Dalam hal terdakwa melarikan diri, maka penjamin wajib membayar uang jaminan yang telah ditetapkan dalam perjanjian, apabila penjamin tidak membayar, maka melalui penetapan Pengadilan dilakukan penyitaan terhadap barang-barang milik penjamin menurut hukum acara perdata dan kemudian barang tersebut dilelang dan hasil lelang disetor ke kas negara.

Apabila terdakwa melarikan diri, maka penjamin tidak dapat diajukan sebagai terdakwa di pengadilan. Persyaratan untuk diterima sebagai penjamin adalah orang tersebut harus memiliki kecakapan untuk bertindak, cukup memiliki kemampuan, dan bertempat tinggal di Indonesia.

Hubungannya dengan tugas pengadilan, standar pelayanan pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung 026/KMA/SK/II/2012 dalam bagian Pelayanan Pengajuan Penangguhan atau Pengalihan Penahanan, menyatakan:

1. terdakwa/tersangka/penasihat hukumnya dapat mengajukan permohonan penangguhan atau pengalihan penahanan secara lisan di depan Majelis Hakim. atau secara tertulis dengan surat permohonan ditujukan kepada Majelis Hakim. Surat permohonan tersebut harus menyebutkan alasan diajukannya penangguhan penahanan.

2. terdakwa/penasihat hukum/keluarga/wali dapat memberikan jaminan penangguhan atau pengalihan penahanan berupa jaminan uang dan atau jaminan orang.

3. terdakwa/tersangka/penasihat hukumnya harus menyebutkan besarnya jaminan uang dalam Penetapan Penangguhan atau Pengalihan Penahanan. Pengadilan wajib menyimpan uang tersebut di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan bukti setornya diberikan pada terdakwa/tersangka atau keluarga atau kuasa hukumnya.

4. terdakwa/tersangka/penasihat hukumnya wajib membuat pernyataan kepada hakim bahwa ia bersedia bertanggung jawab apabila terdakwa yang ditahan melarikan diri. Dalam

49

penetapan pernyataan penangguhan penahanan tersebut harus disebutkan identitas secara jelas dan besarnya uang yang harus ditanggung penjamin.

5. terdakwa/tersangka/penasihat hukum hanya dapat mengambil jaminan uang kembali jika telah terdapat Putusan yang berkekuatan hukum tetap.

a.1. Uang jaminan jatuh menjadi milik negara

Pada dasarnya uang jaminan secara hukum masih merupakan hak milik Pemohon. Hanya saja, untuk sementara dipisahkan dari penguasaan pemohon dengan jalan dititipkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Uang jaminan tersebut harus dikembalikan ke pemohon setelah perjanjian penangguhan penahanan berakhir dan semua syarat yang ditetapkan dalam perjanjian dipenuhi.

Jika pemohon melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian, berupa tindakan

elarika diri, uang jaminan yang dititipkan di kepaniteraan dengan sendirinya berubah menjadi milik negara, dan disetorkan ke kas negara oleh panitera, sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983 dan Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983, angka 8 huruf i. Menurut Pasal 35 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983, landasan pemilikan dimungkinkan jika tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu tiga bulan tidak ditemukan. Berdasarkan Pasal 35 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983, dasar peralihan uang jaminan menjadi milik negara, apabila yang

ersa gkuta elarika diri sela a ula da sejak dari ta ggal elarika diri terse ut ya g ersa gkuta tidak dite uka , aka sejak saat dilewatinya masa 3 bulan tersebut, uang jaminan beralih menjadi milik negara.

Selanjutnya berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983, angka 8 huruf i, diatur mengenai tata cara peralihan yang dilakukan melalui penetapan Pengadilan Negeri. Menurut peraturan ini, jika tersangka atau terdakwa yang sedang ditangguhkan penahanannya melarikan diri dan dalam tempo tiga bulan tidak ditemukan, Pengadilan Negeri mengeluarkan atau

e er itka pe etapa ya g erisi:

(i) pengambilan uang jaminan menjadi milik negara;

(ii) memerintahkan panitera untuk menyetorkan uang tersebut ke kas negara.

a.2. Pengembalian uang jaminan

Dalam praktiknya, pengembalian uang jaminan dari penitipan dapat diminta dan harus dikembalikan apabila penangguhan penahanan telah dicabut kembali oleh instansi yang menahan. Prosedur permintaan kembali uang jaminan dapat didasarkan atas surat pencabutan penangguhan penahanan. Atas dasar surat ini, tersangka/terdakwa yang bersangkutan atau penasihat hukumnya maupun keluarganya mengajukan permintaan pengembalian uang jamianan dari Panitera Pengadilan Negeri.

Bila pengadilan telah mengeluarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, secara otomatis perjanjian penangguhan penahanan juga berakhir. Apapun putusan dari pengadilan, dengan sendirinya telah mengubah status terdakwa dan secara otomatis mengakiri perjanjian penangguhan penahanan.

Dengan berakhirnya perjanjian penangguhan penahanan, uang jaminan dikembalikan menjadi milik yang bersangkutan, dan yang bersangkutan atau penasihat hukum atau keluarganya mengajukan permintaan pengembalian uang titipan dari Panitera Pengadilan Negeri.

50

b. Jaminan orang

Jaminan penangguhan penahanan berupa orang diatur dalam Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983 dan Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14- PW.07.03/1983, angka 8 huruf c, f dan j. Pada dasarnya tata cara pelaksanaan jaminan orang hampir sama dengan tata cara jaminan uang.

Pengertian jaminan dengan orang, yakni berupa perjanjian penangguhan ketika seseorang bertindak dan menyediakan diri secara sukarela sebagai jaminan. Penjamin sendiri bisa penasihat hukumnya, keluarganya atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan tahanan. Penjamin bersedia memberi pernyataan dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa dia akan bertanggungjawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.

Tata cara pelaksanaan jaminan orang adalah sebagai berikut:

1. menyebut secara jelas identitas orang yang menjamin. Identitas penjamin dicantumkan secara jelas dalam perjanjian penangguhan.

2. instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh

pe ja i , ya g dise ut ua g ta ggu ga .

3. surat perjanjian penangguhan penahanan juga harus memuat besarnya ua g ya g harus dita ggu g oleh orang yang menjamin apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri. Besarnya uang tanggungan akan ditetapkan oleh instansi yang menahan. Selanjutnya, pengeluaran surat perintah/penetapan penangguhan didasarkan atas surat jaminan dari si penjamin. Pengeluaran surat perintah/penetapan pena gguha didasarka atas ukti surat ja i a dari penjamin yang disampaikan kepada instansi yang menahan.

Dalam jaminan orang, uang tanggungan tidak segera disetor. Penyetoran dilakukan apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan sudah lewat tiga bulan tidak juga ditemukan. Penyetoran uang tanggungan ke kas negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri.

Menurut ketentuan Pasal 36 ayat (3) PP No. 27 Tahun 1983 jo Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW. 07.03/1983 angka 8 huruf j, pelaksanaan penyetoran uang tanggungan tidak memerlukan penetapan Pengadilan. Catatannya, apabila yang menjamin secara sukarela melaksanakan penyetoran uang tanggungan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang untuk selanjutnya diserahkan kepada kas Negara sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan.

Apabila orang yang menjamin tidak melaksanakan kewajiban penyetoran uang tanggungan, maka untuk memaksakan pemenuhan penyetoran ora g ya g e ja i , diperluka pe etapa

Pengadilan Negeri. Penetapan itu berisi perintah kepada jurusita pe gadila u tuk elakuka sita eksekusi terhadap barang milik orang yang menjamin.

Pelaksanaan sita eksekusi atau executorial beslag dan pelelangan dilakukan jurusita sesuai dengan hukum acara perdata. Oleh karena itu proses pelaksanaan penyetoran dan pelelangan dilakukan sesuai ketentuan Pasal 197 HIR atau Pasal 208 RBG.

Dengan demikian, sita eksekusi terhadap harta orang yang menjamin, menurut Pasal 35 ayat (3) PP No. 27 Tahun 1983 dipersamakan dengan executorial beslag terhadap harta debitur berdasar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap guna memenuhi pembayaran utang kepada pihak kreditur.

51

Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan untuk meletakkan sita eksekusi atas harta orang yang menjamin dengan ketentuan didahulukan penyitaan terhadap harta yang bergerak sesuai dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata jo. Pasal 197 ayat (1) HIR.

Jika harta yang bergerak belum memenuhi jumlah pelunasan uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan, barulah penyitaan dilanjutkan terhadap harta yang tidak bergerak sampai dianggap cukup untuk melunasi jumlah uang tanggungan. Penjualan lelang atas sita eksekusi dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang diatur dalam Pasal 220 HIR atau Pasal 215 RBG.

Setelah jurusita selesai melaksanakan peletakan sita eksekusi atas harta kekayaan orang yang menjamin, disusul dengan pelaksanaan penjualan lelang sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum acara perdata. Hasil penjualan lelang tersebut disetor ke kas negara melalui panitera sesuai dengan jumlah uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan.

Jika hasil penjualan lelang masih kurang, Ketua Pengadilan Negeri dapat lagi mengeluarkan surat penetapan kepada jurusita untuk meletakkan sita eksekusi lanjutan terhadap harta milik orang yang menjamin, sampai terpenuhi pelunasan penyetoran uang tanggungan yang ditetapkan.

D.2. Mekanisme pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan

Tata cara pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 25 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983. Mekanismenya sebagai berikut:

1. Pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan harus berdasarkan surat perintah/penetapan pengeluaran tahanan dari instansi yang menahan;

2. Dalam pembebasan tahanan dimaksud Petugas Rutan harus:

3. Meneliti surat perintah/penetapan pengeluaran tahanan dari instansi yang menahan; 4. Membuat berita acara pengeluaran tahanan dari Rutan, dan menyampaikan tembusan

kepada instansi yang menahan;

5. Mencatat surat-surat penangguhan penahanan dan mengambil cap sidik jari tengah dari tangan kiri tahanan yang bersangkutan ke dalam register yang disediakan;

6. Memeriksa kesehatan tahanan ke dokter Rutan, dan menyampaikan hasilnya kepada instansi yang menahan dan kepada tahanan; dan

7. Menyerahkan barang-barang milik tahanan yang ada dan dititipkan kepada Rutan dengan berita acara dan mencatat dalam register yang disediakan.

Penekanannya, berdasarkan Pasal 31 ayat (2) KUHAP, penyidik, penuntut umum dan hakim berwenang untuk sewaktu-waktu mencabut kembali penangguhan penahanan apabila tersangka

atau terdak a ela ggar syarat-syarat yang ditentukan.

Dalam dokumen Praperadilan di Indonesia (Halaman 187-194)