• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Diabetes Melitus disertai Hipertensi dan Gagal Ginjal Kronis

5. Penatalaksaaan Terapi

Sasaran utama pengobatan diabetes melitus disertai hipertensi dan gagal ginjal kronis adalah untuk mengurangi risiko komplikasi penyakit, memperbaiki gejala yang muncul, mengurangi morbiditas dan mortalitas, meningkatkan kualitas hidup, dan memperlambat perkembangan dari gagal ginjal kronis. Tujuan dari terapi farmakologi gagal ginjal kronis adalah untuk mengontrol kondisi yang mendasari seperti diabetes melitus dan hipertensi yang telah menimbulkan kerusakan ginjal sehingga dapat mencegah penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, dan mengendalikan komplikasi sekunder yang mungkin muncul.

Strategi terapi dilakukan dengan 2 cara, yaitu nonfarmakologi dan farmakologi.

a. Terapi non-farmakologi. Pasien dengan prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya hidup untuk mengurangi tekanan darah sistolik. Modifikasi gaya hidup tersebut antara lain mengurangi berat badan dengan menjaga berat badan normal (body mass index 18,5-24,9 kg/m2); mengkonsumsi makanan diet yang kaya akan buah, sayur, dan produk berlemak rendah dengan mengurangi lemak jenuh dan total; mengurangi pemasukan garam; aktivitas fisik aerobik regular; mengurangi konsumsi alkohol (Saseen and Maclaughlin, 2008).

Terapi nutrisi medis (diet) dibutuhkan untuk pasien DM, pasien DM tipe 2 sering membutuhkan pembatasan kalori untuk menurunkan berat badan. Latihan aerobik akan memperbaiki resistensi insulin, pengontrolan glikemik, berperan dalam menjaga atau menurunkan berat badan (Triplitt et al., 2008).

Pembatasan protein diet dapat menurunkan risiko berkembangnya proteinuria dan gagal ginjal kronis pada pasien diabetes. Dari data yang tersedia, pembatasan protein diet hanya dapat memberi keuntungan kecil. Diet rendah protein dapat mengakibatkan malnutrisi pada pasien gagal ginjal kronis, NKF K/DOQI menyarankan pemasukan protein diet sebesar 0,6 g/kg/hari pada pasien dengan GFR <25 ml/menit per 1,73 m2. Pemasukan protein dapat dinaikkan hingga 0,75 g/kg/hari untuk pasien yang tidak dapat menerima atau tidak mengatur status nutrisi secara kuat dengan diet protein yang lebih rendah (0,6 g/kg/hari) (Joy et al., 2008). Rekomendasi pemasukan protein bagi pasien

hemodialisis kronis adalah 1,2 g/kgBB/hari. Rekomendasi energi harian total bagi pasien hemodialisis adalah 35 kcal/kgBB/hari (Hudson, 2008).

Pembatasan cairan biasanya tidak dibutuhkan untuk seluruh pasien namun pasien gagal ginjal kronis stadium 5 membutuhkan pemasukan sodium yang terkontrol. Hiperkalemia biasa terjadi pada pasien gagal ginjal kronis stadium 5 dan pasien yang membutuhkan dialisis maka dibutuhkan pengaturan pembatasan potassium 50-80 mEq/hari dan pengurangan konsentrasi dialisat potassium bagi pasien hemodialisis. Pasien gagal ginjal kronis dengan komplikasi anemia sebaiknya menjaga pemasukan iron yang cukup. Pembatasan phosphorus

juga sebaiknya dilakukan dalam mengendalikan hiperfosfatemia pada gagal ginjal kronis (Hudson, 2008).

b. Terapi farmakologi. Terapi bagi pasien diabetic chronic kidney disease

dapat dilakukan dengan pemberian terapi intensif dan pengontrolan terhadap hipertensi agar berada dalam rentang optimal.

1) Terapi untuk diabetes melitus tipe 2

Terapi intensif dapat mengurangi mikroalbuminuria dan mencegah berkembangnya komplikasi diabetes. Terapi intensif ini meliputi insulin atau obat oral disertai dengan tes gula darah minimal 3 kali sehari. Sasaran terapinya meliputi A1c <7%, plasma preprandial 92-130 mg/dL dan glukosa darah

postprandial puncak sebesar <180 mg/dL (Joy et al., 2008). Dalam kriteria pengendalian DM, sasaran A1C yang diinginkan adalah < 6,5% di Indonesia (Soegondo, dkk., 2006).

Sejak 1995, United State telah menggunakan obat oral, obat injeksi, dan insulin untuk mengatasi diabetes melitus. Terdapat 6 kelas obat oral untuk mengatasi diabetes melitus tipe 2, yaitu penghambat α-glukosidase, biguanida, meglitinida, peroxisomeproliferator-activated receptor γ-agonists (sering dikenal sebagai tiazolidindion [TZDs] atau glitazon), penghambat DPP-IV, dan sulfonilurea. Obat antidiabetes oral sering dikelompokkan berdasarkan mekanisme aksi penurunan glukosa. Biguanida dan TZDs sering dikategorikan sebagai insulin sensitizer karena dapat mengurangi resistensi insulin. Sulfonilurea

dan meglitinida dikategorikan sebagai insulin secretagogues karena meningkatkan

pelepasan insulin endogen.

a) Insulin

Insulin merupakan hormon anabolik dan antikatabolik yang berperan dalam pengaturan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak. Karakteristik yang digunakan untuk mengkategorikan insulin meliputi sumber, kekuatan, onset, dan durasi aksi. Ada 4 tipe insulin, yaitu (1) rapid-acting insulin, contohnya Humalog (insulin lispro), Novolog (insulin aspart); (2) short-acting insulin, contohnya Humulin R, Novolin R (regular); (3) intermediate-acting insulin, contohnya Humulin N, Novolin N; (4) long-acting insulin, contohnya Lantus (insulin glargine), Levermir (insulin determir) (Triplitt et al., 2008). Insulin menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik (Sukandar dkk.,2008).

b) Obat hipoglikemik injeksi lain (1) Exenatide

Exenatide meningkatkan sekresi insulin yang bergantung pada glukosa. Exenatide mengurangi pemasukan makanan, yang akan menurunkan berat badan, dan memperlambat pengosongan lambung sehingga terdapat penyesuaian yang lebih baik antara kecepatan hadirnya glukosa dalam plasma terhadap disposisi glukosa.

(2) Pramlintide

Pramlintide menekan sekresi tingginya glukagon postprandial yang tidak tepat, mengurangi pemasukan makanan, yang mana dapat mengurangi berat badan, dan memperlambat pengosongan lambung sehingga terdapat penyesuaian yang lebih baik antara kecepatan hadirnya glukosa dalam plasma terhadap disposisi glukosa (Triplitt et al., 2008).

c) Obat Oral (1) Sulfonilurea

Mekanisme utamanya adalah meningkatkan sekresi insulin. Sulfonilurea mengikat reseptor sulfonilurea spesifik pada sel β pankreas. Pengikatan

ATP-dependent K+ channel mengakibatkan penembusan potasium dan depolarisasi membran menurun. Voltage-dependent Ca2+ channel terbuka dan Ca2+ masuk secara terus-menerus. Peningkatan Ca2+ intraseluler menyebabkan translokasi granul insulin menuju permukaan sel dan terjadi eksositosis granul insulin. Tingginya sekresi insulin dari pankreas melalui vena portal kemudian menekan produksi glukosa hepatik (Triplitt et al., 2008). Sulfonilurea bekerja merangsang

sekresi insulin pada pankreas sehingga hanya efekif bila sel beta pankreas masih dapat berfungsi (Sukandar dkk.,2008).

(2) Insulin sekretagoga kerja pendek

Tempat ikatan golongan ini berdekatan dengan tempat ikatan sulfonilurea. Nateglinide dan repaglinide menstimulasi sekresi insulin dari sel β pankreas, mirip dengan sulfonilurea. Repaglinide, sebuah derivat benzoic acid, dan nateglinide, sebuah derivat asam amino enilalanin, keduanya membutuhkan kehadiran glukosa untuk menstimulasi sekresi insulin. Bila tingkat glukosa sudah berkurang maka stimulasi sekresi insulin juga akan berkurang (Triplitt et al.,

2008).

(3) Biguanida

Metformin adalah satu-satunya biguanida yang tersedia di Indonesia. Metformin menurunkan pembentukan glukosa hepatik, menurunkan absorbsi intestin terhadap glukosa dan memperbaiki sensitivitas insulin (meningkatkan ambilan dan penggunaan glukosa perifer) (Lacy et al., 2009).

(4) Tiazolidindion (TZDs atau glitazon)

Pioglitazon dan rosiglitazon merupakan contoh TZDs. Tiazolidindion meningkatkan sensitivitas insulin pada otot dan jaringan lemak dan menghambat glukoneogenesis hepatik (Sukandar dkk.,2008).

(5) Penghambat α-glukosidase

Penghambat α-glukosidase menghambat enzim (maltase, isomaltase, sukrase, dan glukoamilase) dalam usus halus, menghambat pemecahan sukrosa

dan komplek karbohidrat namun tidak menyebabkan malabsorbsi nutrisi ini sehingga dapat mengurangi peningkatan glukosa darah postprandial.

(6) Penghambat DPP-IV

Penghambat DPP-IV memperpanjang waktu paruh dari GLP-1, mengingat pada pasien DM tipe 2 jumlah GLP-1 menurun. Penghambat DPP-IV mengurangi tingginya glukagon postprandial yang tidak tepat dan menstimulus sekresi insulin yang bergantung glukosa. Obat ini tidak mengubah pengosongan lambung (Triplitt et al., 2008).

2) Terapi untuk hipertensi

Penurunan tekanan darah pada pasien diabetes melitus dapat mengurangi perkembangan CKD. Sasaran tekanan darah untuk pasien CKD sebesar <130/80 mm Hg. Tingginya tekanan darah pada pasien dengan CKD lebih sulit dikontrol dibandingkan pada pasien dengan fungsi ginjal normal sehingga biasanya dibutuhkan 3 atau lebih pengobatan yang berbeda terhadap tekanan darah. Pengontrolan tekanan darah dapat mengurangi kecepatan penurunan GFR dan derajat albuminuria pada pasien dengan diabetes melitus (Joy et al., 2008).

Obat yang digunakan untuk mengendalikan hipertensi (

angiotensin-converting enzyme inhibitors, angiotensin II receptor blockers, β-blockers, calcium channel blockers, diuretics, aldosterone antagonists, dan direct renin

Gambar 1. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

Hubungan antara ginjal, angiotensin II, dan regulasi tekanan darah. Terdapat 3 regulator utama dalam sekresi renin dari sel-sel juxtaglomerular dalam sistem ini, dan tempat aksi primer dari agen antihipertensi. ((1) angiotensin-converting enzyme inhibitors; (2) angiotensin

II receptor blockers; (3) β-blockers; (4) calcium channel blockers; (5) diuretics; (6) aldosterone antagonists; (7) direct renin inhibitor; CNS, central nervous system)

(Saseen and Maclaughlin, 2008) a) Diuretik

Terdapat 4 subkelas diuretik yang digunakan dalam pengobatan hipertensi: thiazides, loops, potassium-sparing agent, dan antagonis aldosteron. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan cara diuresis. Diuresis menyebabkan volum plasma menurun sehingga menurunkan cardiac output dan tekanan darah. b) Inhibitor ACE

ACE memfasilitasi pembentukan angiotensin II yang mengatur regulasi tekanan darah arterial. Inhibitor ACE menghalangi ACE sehingga menghambat konversi angiotensin I ke angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor

yang poten yang juga menstimulasi sekresi aldosteron, menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan sodium bersamaan dengan hilangnya potasium. Inhibitor ACE menghalangi ACE sehingga vasodilatasi dan penurunan aldosteron pun terjadi. Inhibitor ACE juga menghalangi degradasi bradikinin dan memicu pembentukan substansi vasodilatasi yang lain (prostaglandin E2 dan prostasiklin). Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah namun juga bertanggung jawab terhadap timbulnya efek samping batuk kering (Saseen and Maclaughlin, 2008)

c) Angiotensin II receptor blocker (ARB)

Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin (termasuk ACE) dan jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti chymase. Inhibitor ACE hanya menutup jalur renin-angiotensin, ARB menahan langsung reseptor angiotensin tipe I (AT1), reseptor yang memperantarai efek angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol efren glomerulus). Tidak seperti inhibitor ACE, ARB tidak mencegah pemecahan bradiinin. Hal ini tidak memberikan efek samping batuk (Sukandar dkk.,2008).

d) Calcium Channel Blocker (CCB)

Terdapat 2 subkelas CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridin. Dihidropiridin menghalangi calcium channel tipe-L sehingga menghambat masuknya kalsium melewati membran sel. Mereka merupakan vasodilator yang poten dengan sedikit atau tanpa efek kontraksi atau konduksi kardiak. Nondihidropiridin meliputi verapamil, sebuah depresan kardiak, dan diltiazem,

keduanya memiliki aktivitas depresan kardiak dan vasodilator yang lemah (National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative, 2010). e) β-blocker

β-Blocker menghambat reseptor adrenoseptors β dan pelepasan renin. Kemampuan β-blocker untuk mengurangi renin plasma dan konsentrasi angiotensin II memainkan peran penting dalam mengurangi risiko kardiovaskular. f) Obat-obat alternatif

Peran utama obat antihipertensi alternatif adalah untuk menyediakan penurunan tekanan darah tambahan pada pasien yang sudah mendapat pengobatan dengan obat dari kelas obat yang telah terbukti mengurangi risiko kardiovaskular (diuretik, inhibitor ACE, ARB, CCB, β-blocker). Obat alternatif tersebut antara lain α1-blocker, aliskiren, central α2-agonist, reserpine, direct arterial vasodilator (Saseen and Maclaughlin, 2008).

Gambar 2 di bawah ini merupakan algoritma pengaturan obat-obat hipertensi yang digunakan untuk pasien gagal ginjal kronis dan diabetes.

Gambar 2. Algoritma Pengaturan Hipertensi Untuk Pasien Dengan CKD Dan Diabetes (ACEI, angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; BP,

blood pressure; CCB, calcium channel blocker)

(Joy et al., 2008)

Tekanan darah > 130/80mHg

Bila BP > 15-20/10mmHg di atas sasaran, kombinasikan step 1 dan 2 Sasaran BP =< 130/80mmHg, atau < 125/75mmHg untuk pasien proteinuria

Step 1

Mulai ACEI atau ARB minggu. Jika Scr atau K naik > 30%, diskontinyu agen. Cek kembali Scr (serum kreatinin) dan K dalam 1

Bila BP tidak mencapai sasaran

(<130/80mmHg, atau <125/75mmHg untuk pasien dengan proteinuria)

Step 2 Tambahkan diuretik

Jika CrCl ≥ 30ml/menit, beri

diuretik thiazide Jika CrCl < 30ml/menit, beri loop diuretik BP tidak mencapai sasaran

Step 3

Tambahkan long acting CCB. Dapat dipertimbangkan pemberian β-blocker dosis rendah sebagai pengganti CCB pada pasien angina, heart failure atau arrhythmia

yang harus mereka gunakan. BP tidak mencapai sasaran

Baseline pulse≥ 84 Baseline pulse < 84 Step 4

Tambahkan β-blocker dosis rendah atau

α/β-blocker (jika belum digunakan) NOTE: penggunaan β-blocker dan nondihidropiridin CCB dihindarkan pada pasien tua dan konduksi abnormal

Step 4

Tambahkan subgrup yang lain dari CCB (seperti dihidropiridin CCB jika agen nondihidropiridin sedang digunakan). NOTE: penggunaan β-blocker dan

nondihidropiridin CCB sebaiknya dihindarkan pada pasien tua dan

konduksi abnormal

BP tidak mencapai sasaran

Step 5

Tambahkan long actingα-blocker, central α-agonist, atau vasodilator. NOTE: central α-agonist (clonidin) sebaiknya tidak digunakan dengan β-blocker karena kemungkinan

3) Terapi terhadap komplikasi sekunder

Lakukan pengaturan cairan dan elektrolit, yaitu terhadap sodium dan potassium; status nutrisi; pengobatan terhadap anemia; hiperparatiroidisme sekunder dan osteodistrofi renal; asidosis metabolik; penyakit kardiovaskular, yaitu hipertensi dan hiperlipidemia; pruritus; dan gout (Hudson, 2008).

Dokumen terkait