• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAH PUSTAKA

C. Diabetes Mellitus

4. Penatalaksanaan

Tujuan umum penatalaksanaan Diabetes Melitus adalah memperbaiki kelainan metabolisme pasien sehingga dapat mempertahankan status kesehatan pasien dan memperpanjang harapan hidup pasien. Pendekatan penatalaksanaan terapi Diabetes Melitus yang lain dipusatkan pada adanya resistensi insulin dan usaha untuk meningkatkan kemampuan insulin yang tersedia dalam memacu pengambilan glukosa oleh jaringan (Foster, 2000).

Pada penatalaksanaan terapi Diabetes Melitus terdapat terapi primer dan terapi sekunder. Penatalaksanaan terapi primer meliputi edukasi, diet, dan olahraga sedangkan terapi sekunder dengan insulin, obat hipoglikemia oral dan cangkok pankreas (Foster, 2000).

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2005).

a. Terapi non farmakologik 1.) Diet

Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk semua penderita DM. Melalui terapi ini diharapkan dapat mencapai outcome metabolik yang optimal dan pencegahan serta terapi komplikasi. Untuk orang dengan DM tipe 1, fokus terutama pada pemberian insulin dan diseimbangkan dengan diet

untuk mencapai dan menjaga berat badan yang ideal. Pada pasien DM tipe 2 dilakukan pembatasan kalori untuk mencapai penurunan berat badan. Penurunan berat badan dapat menurunkan faktor risiko pada orang DM tipe 2 (Triplitt dkk, 2005).

2.) Olahraga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asalkan dilakukan secara teratur akan bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2005).

b. Terapi farmakologik 1.) Terapi insulin

Bagi penderita DM Tipe 1 terapi insulin sangat dibutuhkan karena pada penderita DM Tipe 1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita telah rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Untuk itu penderita harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2005).

Dahulu terapi insulin untuk pasien DM tipe 2 dianggap sebagai pilihan yang terakhir, tetapi, hal tersebut mulai berubah seiring dengan waktu. Blonde (2007) menyatakan bahwa terapi insulin intensif pada DM tipe 2 yang baru terdiagnosa dapat meningkatkan kontrol glukosa darah dalam jangka waktu lama menurunkan risiko mikrovaskular dan makrovaskuler, serta potensial meningkatkan fungsi selβ pankreas.

Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung

diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, lalu didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi sistemik yang selanjutnya berperan untuk membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2005).

2.) Obat hipoglikemi oral

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

a. Golongan sulfonilurea

Sifat perangsangan obat golongan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena ketika kondisi hiperglikemia sel pankreas gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan

sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2005). Obat golongan sulfonilurea berisiko tinggi terjadi hipoglikemia jika pasien berusia lanjut dan mengalami insufisiensi renal atau gangguan hati (Triplitt dkk, 2005).

Golongan sulfonilurea terdiri dari 2 agen generasi. Agen generasi pertama meliputi klorpropamid, tolbutamid, karbutamid, asetoxamid, tolazamid dan glikodiazin. Agen generasi kedua meliputi glibenklamid, glipizid, gliklazid dan glimepirid (Karam, 1998).

b. Golongan meglitinida dan Turunan fenilalanin

Obat golongan glinida ini merupakan obat hipoglikemik generasi baru yang kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya (Karam, 1998).

c. Golongan biguanida

Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati dengan menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah

menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral di United State adalah metformin. Kerja obat ini adalah meningkatkan sensitivitas insulin pada hati dan jaringan perifer, sehingga meningkatkan ambilan glukosa (Triplitt dkk, 2005).

Sangat penting untuk memulai dosis dari dosis rendah dan dapat ditingkatkan secara bertahap digunakan bersamaan waktu makan hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko gangguan saluran pencernaan yang mungkin dapat terjadi (Karam, 2007). Tablet 500 mg dapat digunakan 3 kali sehari bersamaan dengan waktu makan, atau 850 mg digunakan 2 kali sehari namun pada beberapa pasien dapat digunakan 3 kali sehari (Semla, Beizer, Higbee, 2002).

d. Golongan inhibitor α-glukosidase

Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat di dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga obat dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita Diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga

menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Sehingga obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu (Triplitt dkk, 2005). Akarbose

merupakan obat yang termasuk dalam golongan ini, tersedia dalam tablet 50 mg dan 100 mg. Dosis awal pengunaan dapat dimulai dengan pemberian 50 mg 3 kali sehari, secara bertahap dapat ditingkatkan hingga 100 mg untuk 3 kali sehari. Obat ini memiliki keuntungan untuk mengatasi hiperglikemia postprandial, sehingga alangkah baik jika digunakan setelah suapan pertama saat makan (Karam, 1998).

Dokumen terkait