• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Penatalaksanaan DM secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:

a. Menjaga agar KGD berada dalam kisaran normal

b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang sesuai dengan kecukupan gizi yang baik, yaitu karbohidrat (60-70%), protein (10-15%), dan lemak (20-25%), jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,

17

umur, dan kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga KGD tetap normal, olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI., 2005). Menurut Suherman dan Nafrialdi (2012) tanpa insulin, kontraksi otot dapat menyebabkan glukosa lebih banyak masuk ke dalam sel. Karenanya pasien DM sangat dianjurkan untuk melakukan olah raga secara teratur agar tidak terlalu banyak membutuhkan insulin.

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil mengendalikan KGD penderita DM, maka perlu dilakukan penatalaksanaan terapi dengan obat baik dalam bentuk terapi dengan obat antidiabetes oral (ADO), insulin atau kombinasi keduanya.

2.6.1 Obat Antidiabetes Oral (ADO)

Berdasarkan cara kerjanya obat antidiabetes oral dapat dibagi dalam enam kelompok besar yaitu :

a. Sulfonilurea

Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid dan klorpromazid. Generasi 2 yang potensi hipoglikemik lebih besar misalnya gliburid (=glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimepirid.

Mekanisme kerja golongan ini sering disebut sebagai insulin secretagogues, kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP- sensitive K channel pada membran sel-sel β yang menimbulkan depolarisasi membran dan

18

keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel β, merangsang granula yang berisi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C. Sulfonilurea juga selanjutnya dapat meningkatkan kadar insulin dengan cara mengurangi bersihannya di hati. Pada penggunaan yang panjang atau dosis besar dapat menyebabkan hipoglikemia.

Farmakokinetik berbagai sulfonilurea mempunyai sifat kinetik berbeda, tetapi absorpsi melalui saluran cerna cukup efektif, untuk mencapai kadar optimal di plasma, sulfonilurea dengan masa paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Dalam plasma sekitar 90%-99% terikat protein plasma terutama albumin, ikatan ini paling kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk gliburid. Karena semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan disekresikan melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat (Suherman dan Nafrialdi, 2012).

b. Meglitinid (kalium chanel blokers)

Repaglinida dan nateglinida adalah obat antidiabetes dari golongan ini. Senyawa ini sama mekanisme kerjanya dengan sulfonilurea. Repaglinida dan nateglinida menstimulasi sekresi insulin denga cara memblok saluran kalsium sensitif-ATP pada sel β pankreas (Suherman dan Nafrialdi, 2012). Namun berbeda dengan golongan sulfonilurea, meglitinid memiliki kerja cepat sehingga efektif dalam pelepasan dini insulin yang terjadi setelah makan (postprandial) (Harvey, et al., 2001).

c. Binguanida

Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan biguanid: fenformin, buformin dan metformin, tetapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena

19

sering menyebabkan asidosis laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin.

Mekanisme kerja biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu antihiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar sebagian besar menghambat glikoneogenesis dan meningkatkan sensitifitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa menjadi lemak. Pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat badan; pada orang nondiabetik yang gemuk tidak menimbulkan penurunan kadar glukosa darah.

Metformin oral akan mengalami absorpsi di intestin, dalam darah tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh masa paruhnya sekitar 2 -5 jam (Suherman dan Nafrialdi, 2012; Soegondo, dkk., 2004).

d. Thiazolidindion

Thiazolidindion adalah golongan obat baru yang mempunyai kerja farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin. Rosiglitazon dan pioglitazon merupakan obat dari golongan ini. Berdaya mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitifitas jaringan perifer untuk insulin. Oleh karena itu penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat, juga kapasitas penimbunannya di jaringan ini. Efeknya kadar insulin, glukosa dan asam lemak dalam darah menurun, begitu pula glikoneogenesis dalam hati (Soegondo, 2004).

e. Penghambat α-glukosidase

Monosakarida seperti glukosa dan fruktosa yang dapat ditransport ke luar dari lumen usus ke dalam aliran darah. Oleh karena itu, zat tepung kompleks,

20

oligosakarida dan disakarida harus dipecah menjadi molekul monosakarida sebelum diabsoprsi. Penyerapan tersebut dipermudah oleh enzim enterik seperti α glukosidase (Katzung, 2010). Akarbose dan miglitol merupakan obat dari golongan ini, bekerja menghambat kerja enzim α glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial (Soegondo, dkk., 2004). Obat ini bekerja di lumen usus, tidak merangsang pelepasan insulin, juga tidak meringkatkan kerja insulin pada jaringan target (Harvey, et al., 2001).

f. Penghambat Dipeptidil Peptidase-IV (DPP-4) dan Inkretin Mimetik

Sitagliptin dan vildagliptin merupakan obat golongan ini. Obat-obat kelompok terbaru ini bekerja berdasarkan efek penurunan hormon inkretin. Inkretin adalah hormon yang dihasilkan epitel usus yang berfungsi dalam glukoregulator, inkretin terbagi dua yaitu GLP-1 (glucagon like peptida-1 ) dan GIP (gastrointestinal inhibitory peptide). Glucagon like peptida-1 (GLP-1) berikatan dengan reseptor sel β pankreas sehingga memiliki efek meningkatkan sekresi insulin. Namun, GLP-1 sangat cepat diuraikan oleh suatu enzim khas DPP-4 (dipeptidylpeptidase), sehingga mempunyai waktu paruh yang sangat singkat yaitu 1-2 menit. Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim DPP- IV, sehingga GLP-1 bekerja lebih lama (Ratimanjari, 2011).

Exenatide merupakan inkretin mimetik dengan rangkaian polipeptida, sekitar 50% homolog dengan GLP-1. Exenatide memperbaiki sekresi insulin, memperlambat pengosongan lambung, menurunkan asupan makanan, menurunkan sekresi glukosa postprandial. Exenatide diberikan secara subkutan,

21

tetapi penggunannya sangat jarang karena durasi kerja yang singkat dan memerlukan injeksi yang sering (Harvey, et al., 2001)

2.6.2 Terapi Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Sedangkan pada penderita DM tipe 2, terapi insulin dibutuhkan apabila terapi dengan ADO tidak dapat mengendalikan KGD. Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok berdasarkan mula kerja (onset) dan masa kerja (duration). Penggolongan sediaan insulin dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerjanya

Jenis sediaan insulin Mula kerja (jam)

Puncak (jam)

Masa kerja (jam)

Masa kerja singkat (short-acting)

disebut juga insulin reguler 0,5 1-4 6-8

Masa kerja sedang (intermediate-

acting) 1-2 6-12 18-24

Masa kerja sedang, mula kerja

singkat 0,5 4-15 18-24

Masa kerja panjang (long-acting ) 4-6 14-20 24-36 *Depkes RI., (2005)

Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya dikemas dalam vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan secara subkutan (di bawah kulit). Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti daerah lengan, paha bagian atas dan bokong.

Dokumen terkait