• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

2.1.5. Penatalaksanaan Infeksi Soil Transmitted Helminths

dilakukan dengan mengidentifikasi cacing dewasa pada mukosa rektum yang prolaps atau melalui kolonoskopi (Maguire, 2010a).

2.1.5. Penatalaksanaan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

Seluruh infeksi Ascaris lumbricoides, baik yang bersifat asimtomatik ataupun intensitas rendah, harus dilakukan tindakan penatalaksanaan. Pilihan obat berupa albendazol oral (400 mg dosis tunggal), mebendazol (500 mg dosis tunggal atau 100 mg dua kali sehari dalam 3 hari), atau pirantel palmoat (11 mg / kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram). Ketiga obat ini memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi. Penderita yang tidak sepenuhnya sembuh mengalami penurunan beban infeksi cacing yang diketahui melalui pemeriksaan telur cacing (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007; Maguire, 2010a).

Albendazol bekerja dengan cara berikatan dengan β tubulin parasit sehingga menghambat polimarisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa. Akibatnya, persediaan glikogen cacing menurun, pembentukan ATP berkurang, dan cacing mati. Obat ini juga dapat merusak telur cacing. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat pengambilan glukosa oleh cacing secara ireversibel, sehingga terjadi deplesi glikogen pada cacing. Mebendazol menyebabkan sterilitas pada telur cacing. Pirantel palmoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dengan keadaan spastis (Syarif dan Elysabeth, 2009).

Invermektin oral (150-200 µg / kg BB dosis tunggal), yang merupakan obat pilihan untuk strongiloidiasis dan onkosersiasis, juga efektif dalam mengobati askariasis. Levamisol oral (2,5 mg / kg BB dosis tunggal) juga merupakan obat alternatif yang direkomendasikan oleh WHO. Levamisol digunakan sebagai imunostimultan pada manusia dengan memperbaiki mekanisme pertahanan seluler dan memacu pematangan limfosit T. Piperazin sitrat pernah menjadi obat pilihan, tetapi bersifat neurotoksik dan hepatotoksik,

 

serta tidak dipakai lagi di beberapa negara. Pirantel palmoat dan piperazin sitrat dinyatakan aman untuk digunakan selama masa kehamilan. WHO juga merekomendasikan pemakaian albendazol dan mebendazol selama masa kehamilan berdasarkan data yang telah diperoleh. Selain itu, kedua obat ini dapat digunakan dalam penatalaksanaan anak-anak di bawah 12 bulan (Syarif dan Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a).

Obat baru yang memiliki aktivitas melawan Ascaris lumbricoides

termasuk nitazoksanid dan tribendimidin, yang terdaftar di Cina. Piperazin dapat menyebabkan paralisis flaksid pada cacing sehingga berperan dalam melepaskan obstruksi. Jika terdapat dalam sediaan sirup, obat ini dapat diberikan melalui

nasogastric tube. Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi bakteri, dan bila gejala akut reda diberikan obat antelmintik untuk mencegah kekambuhan (Maguire, 2010a).

Dosis tunggal albendazol, mebendazol, dan pirantel pamoat dapat menyembuhkan kurang dari 50% penderita trikuriasis serta menurunkan beban akibat infeksi cacing kurang dari 60%. Pemakaian albendazol selama tiga hari (400 mg / hari secara oral) atau mebendazol (100 mg dua kali sehari) lebih efektif untuk infeksi ringan dan sedang. Pada infeksi berat, pemberian albendazol selama 5-7 hari atau kombinasi albendazol dan invermektin yang dikonsumsi satu kali memiliki tingkat kesembuhan dan penurunkan intensitas infeksi yang lebih tinggi (Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a).

Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, pemberian terapi besi dapat memperbaiki kadar hemoglobin menjadi normal, tetapi anemia akan terjadi kembali apabila terapi antelmintik tidak diberikan. Albendazol 400 mg dosis tunggal merupakan terapi pilihan. Pemberian mebendazol 100 mg yang diberikan dua kali sehari dalam 3 hari lebih efektif daripada diberikan 500 mg dosis tunggal. Pemberian pirantel palmoat dengan dosis 11 mg/kgBB diperlukan untuk mengeliminasi atau menurunkan angka infeksi berat (Syarif dan Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a).

 

2.1.6. Pencegahan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

WHO menyusun strategi global dalam mengendalikan STH dengan penggunaan kemoterapi modern. Strategi tersebut bertujuan untuk mengendalikan morbiditas yang diakibatkan oleh infeksi STH, yaitu dengan mengeliminasi infeksi dengan intensitas sedang dan tinggi dengan pemberian obat antelmintik (terutama albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal). Obat antelmintik ini diberikan kepada populasi dengan resiko tinggi, yaitu:

a. Anak-anak yang belum sekolah (usia 1-4 tahun) b. Anak-anak usia sekolah (usia 5-14 tahun)

c. Wanita usia reproduktif (termasuk wanita dengan kehamilan trimester kedua dan ketiga, serta wanita menyusui).

d. Kelompok usia dewasa yang rentan terpapar dengan infeksi STH (contoh: pekerja kebun teh dan pekerja penambangan).

Program pemberantasan infeksi cacing juga dilakukan melalui sekolah dan lembaga lain yang terkait. Program pemberantasan infeksi ini termasuk dengan pemberian vaksinasi dan suplemen, seperti: vitamin A (WHO, 2012a).

Program pengendalian infeksi cacing di Indonesia disusun dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/Menkes/SK/VI/2006, di mana tujuan dari program ini adalah memutus mata rantai penularan infeksi cacing, baik di dalam tubuh maupun di luar tubuh. Program ini dilakukan dengan kerja sama pemerintah, Departemen Kesehatan, masyarakat, serta sektor lain sebagai mitra. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan kegiatan berupa penentuan prioritas lokasi atau penduduk sasaran, penegakkan diagnosis dengan pemeriksaan feses secara langsung menggunakan metode Kato-Katz, serta penanggulangan infeksi. Sesuai rekomendasi WHO, penanggulangan infeksi cacing dilakukan dengan pengobatan tindakan pencegahan, dan promotif (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses

 

sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari 30%, dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Pencegahan dilakukan dengan pengendalian faktor resiko, antara lain kebersihan lingkungan, kebersihan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan makanan, serta pendidikan kesehatan di sekolah kepada guru dan anak. Pendidikan kesehatan dilakukan melalui penyuluhan kepada masyarakat umum secara langsung atau dengan penggunaan media massa. Sedangkan untuk anak-anak di sekolah dapat dilakukan penyuluhan melalui program UKS (Unit Kesehatan Sekolah) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.2. Prestasi Belajar

Dokumen terkait