HU DEN
BUNGAN I NGAN PRE DI SDN
RODIN
UNI
INFEKSI S ESTASI BEL
N 060972 SI
NDA MAR 1
FAKULTA IVERSITAS
SOIL TRANS LAJAR AN IMALINGK
Oleh: SHA RUTH 100100319
AS KEDOK S SUMATE
MEDAN 2013
SMITTED H NAK SEKO
KAR B, ME
H HUTABA
KTERAN ERA UTARA
HELMINTH LAH DASA EDAN
ARAT
A
LEMBAR PENGESAHAN
Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan
Nama : Rodinda Marsha Ruth Hutabarat NIM : 100100319
Pembimbing Penguji I
(dr. Wisman Dalimunthe Sp. A (K)) (dr. Lambok Siahaan, MKT) NIP. 140 354 982 NIP. 19711005 200112 1 001
Penguji II
(dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc. CM-FM, MPd. Ked) NIP. 19670527 199903 2 001
Medan, Januari 2014 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
STH bersifat endemis pada keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale
(cacing tambang). Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh. Anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH mengalami penurunan kesehatan fisik dan kemampuan kognitif, serta mempengaruhi prestasi belajar di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar.
Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif-analitik dengan pendekatan
cross sectional yang dilakukan di SDN 060972 Simalingkar B, Medan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2013. Sampel penelitian adalah 63 orang anak sekolah dasar yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi STH anak diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Kato-Katz. Data prestasi belajar anak diambil sebagai data sekunder dari rapor bulan Agustus 2013. Data penelitian dianalisis dengan uji Chi Square.
Pada penelitian ini, terdapat22 orang (34,9%) anak yang terinfeksi STH dan 5 orang (7,9%) anak dengan prestasi belajar kurang. Anak yang terinfeksi STH ditemukan paling banyak pada anak perempuan (53,7%) dan anak kelas II (40,9%). Anak sekolah dasar dengan prestasi belajar kurang ditemukan paling banyak pada anak perempuan (60,0%), anak kelas III (80,0%), dan anak yang terinfeksi STH (80,0%). Hasil uji Fisher’s Exact mendapatkan p value = 0,046 (95% CI)) dengan OR = 8,89.
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan prestasi belajar anak-anak sekolah dasar.
ABSTRACT
Soil Transmitted Helminths are endemic in six area of World Health Organization and affect more than 2 billion people around the world. The four most common STH are Ascaris lumbricoides (roundworm), Trichuris trchiura (whipworm), and Necator americanus and Ancylostoma duodenale (hookworms). STH infection in human can cause disturbance in tissue and organ. Children in school aged who infected by STH undergo decreased physical health and cognitive abilities, also affect study achievement. The aims of the research was to know the relation between STH infection and study achievement.
This research was a descriptive-analytic cross sectional study, it had been held at SDN 060972 Simalingkar B, Medan on August 2013 until October 2013. Samples of the research were 63 primary school children. Samples were chosen based on inclusion criteria and exclusion criteria with total sampling technic. STH infection data were collected as a primary data by doing a Kato-Katz technic of stool laboratory test. Study achievement data were collected as a secondary data from report card on August 2013. Research data were analyzed with Chi Square test.
In this research, there were 22 (34,9%) children was infected by STH and 5 (7,9%) children with under achievement. Children who were infected by STH were mostly found in female group (53,7%) and second grade primary school student (40,9%). Under achievement children were mostly found in female group (60,0%) and third grade primary school (80,0%), and children with STH infection (80,0%). Fisher’s Exact test found that p value was 0,046 (95% CI)) with OR = 8,89.
From the result of the research, we concluded that there was a relation between STH and study achievement. Awareness in protection of personal and environment hygiene, also periodic medical check-up should be done for improve primary school children’s health quality and study achievement.
Keywords : primary school children, STH infection, study achievement
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul:
“Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan”
Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi
persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyusunan
dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini, antara lain:
1. Prof. dr. Gontar Siregar, Sp. PD - KGEH, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
USU, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti
Program Pendidikan Kedokteran di Fakultas Kedokteran USU.
2. dr. Wisman Dalimunthe Sp.A (K), sebagai dosen pembimbing karya tulis
ilmiah, yang telah memberikan waktu untuk membimbing saya dalam proses
penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
3. dr. Lambok Siahaan, MKT dan dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc. CM-FM, MPd.
Ked, sebagai dosen penguji karya tulis ilmiah, yang telah memberikan banyak
kritik dan saran yang membangun saya untuk memperlengkapi karya tulis
ilmiah ini.
4. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, sebagai dosen pembimbing akademis, yang telah
membimbing saya selama menjalani Program Pendidikan Kedokteran.
5. Kepala Sekolah dan seluruh guru SDN 060972 Simalingkar B, Medan yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian di
SDN 060972 Simalingkar B, Medan.
6. Departemen Parasitologi Fakuktas Kedokteran USU, yang telah menyediakan
7. Staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran USU, yang telah
membimbing dan mendidik saya selama mengikuti Program Pendidikan
Kedokteran.
8. Orang tua saya, Marnix Sahata Hutabarat, BBA dan dr. Rointan
Simanungkalit, Sp. KK (K), yang selalu mendukung, membimbing, dan
mendoakan saya dalam menjalani tiap hal yang saya lakukan, termasuk
penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
9. Kakak dan adik saya, dr. Margareth Hutabarat dan Michella Hutabarat, yang
selalu membantu dan membuat saya selalu bersemangat dalam menyusun dan
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
10.Sahabat-sahabat saya, Amanda, Benny, Dewi, Dwi, Evelyn, Fenny, Ivonne,
Jessica, Kristin, Monica, Sherylin, Stefanie, Stefani, yang telah meluangkan
waktu dalam bertukar pikiran selama proses penyusunan dan penyelesaian
karya tulis ilmiah ini.
11.Teman-teman Fakultas Kedokteran USU Angkatan 2010 yang telah
mendukung dan membantu saya selama proses penyusunan dan penyelesaian
karya tulis ilmiah ini.
12.Seluruh keluarga dan teman yang tidak dapat diucapkan satu per satu, saya
ucapkan terima kasih atas segala dukungannya.
Saya menyadari kekurangan yang terdapat dalam karya tulis ilmiah ini.
Namun, saya berharap karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai salah satu
sumber pengetahuan ataupun referensi untuk penelitian selanjutnya.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
melimpahkan berkat dan kurnia-Nya kepada kita semua.
Medan, 04 Desember 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 2
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1. Tujuan Umum ... 3
1.3.2. Tujuan Khusus ... 3
1.4.Manfaat Penelitian ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 4
2.1.1. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 4
2.1.2. Morfologi dan Siklus Hidup Soil Tranmitted Helminths (STH) ... 5
2.1.2.1. Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ... 5
2.1.2.2. Morfologi dan Siklus Hidup Trichiusris trichiura ... 9
2.1.2.3. Morfologi dan Siklus Hidup Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) ... 12
2.1.3. Patogenesis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 16
2.1.4. Diagnosa Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) .... 16
2.1.4.1. Gejala Klinis ... 16
2.1.4.1.1. Gejala Klinis Askariasis ... 16
2.1.4.1.2. Gejala Klinis Trikuriasis ... 18
2.1.4.1.3. Gejala Klinis Ankilostomiasis dan Nekatoriasis ... 18
2.1.4.2. Pemeriksaan Penunjang ... 19
2.1.6. Pencegahan Infeksi Soil Transmitted Helminths
(STH) ... 25
2.2. Prestasi Belajar ... 26
2.2.1. Definisi dan Aspek-Aspek Belajar ... 26
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar ... 26
2.2.2.1. Faktor Internal Anak ... 27
2.2.2.1.1. Aspek Fisiologis ... 27
2.2.2.1.2. Aspek Psikologis ... 28
2.2.2.2. Faktor Eksternal Anak ... 30
2.2.2.2.1. Lingkungan Sosial ... 31
2.2.2.2.2. Lingkungan Nonsosial... 31
2.2.2.3. Faktor Pendekatan Belajar ... 32
2.2.2.3.1. Pendekatan Hukum Jost... 32
2.2.2.3.2. Pendekatan Ballard dan Clanchy ... 32
2.2.2.3.3. Pendekatan Biggs ... 33
2.2.2.3.4. Pendekatan Independent Learning dan Self-Directed Learning ... 34
2.2.3. Penilaian Prestasi Belajar ... 34
2.2.3.1. Indikator Prestasi Belajar ... 34
2.2.3.2. Pendekatan Evaluasi Prestasi Belajar ... 36
2.2.3.2.1. Pendekatan Acuan Norma (Norm-Referenced Assessment) ... 36
2.2.3.2.2. Penilaian Acuan Kriteria (Criterion-Referenced Assessment) .. 37
2.2.3.3. Batas Minimal Prestasi Belajar ... 37
2.3. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak ... 38
2.4. Kerangka Teori ... 39
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 40
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 40
3.2. Definisi Operasional ... 40
3.2.1. Soil Transmitted Helminths ... 40
3.2.2. Infeksi Soil Transmitted Helminths ... 40
3.2.3. Prestasi Belajar ... 41
3.2.4. Anak Sekolah Dasar ... 41
3.3. Hipotesis ... 41
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 42
4.1. Jenis Penelitian ... 42
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 42
4.3.1. Populasi Penelitian ... 42
4.3.2. Sampel Penelitian ... 43
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 43
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 44
5.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 44
5.2.1. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44
5.2.2. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas ... 45
5.2.3. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 45
5.2.4. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Prestasi Belajar ... 47
5.3. Hasil Analisis Data ... 48
5.3.1. Karakteristik Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas ... 48
5.3.2. Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin, Kelas, Infeksi STH, dan Intensitas Infeksi ... 49
5.3.3. Hubungan Antara Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar .... 52
5.4. Pembahasan ... 53
5.4.1. Karakteristik Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas ... 53
5.4.2. Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin, Kelas, Infeksi STH, dan Intensitas Infeksi ... 54
5.4.3. Hubungan Antara Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar .... 55
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
6.1. Kesimpulan ... 57
6.2. Saran ... 57
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths 22
Tabel 2.2. Jenis, Indikator, dan Cara Evaluasi Belajar 34
Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan Jenis Kelamin
45
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan Kelas
45
Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan Infeksi STH
46
Tabel 5.4. Distribusi Jenis STH dan Intensitas Infeksi 47
Tabel 5.5. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Berdasarkan Prestasi Belajar
48
Tabel 5.6. Distribusi Karakteristik Infeksi STH Anak
Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin
48
Tabel 5.7. Distribusi Karakteristik Infeksi STH Anak
Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas
49
Tabel 5.8. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak
Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin
50
Tabel 5.9. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak
Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas
50
Tabel 5.10. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak
Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Infeksi STH
51
Tabel 5.11. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak
Sekolah Dasar Berdasarkan Intensitas Infeksi
52
Tabel 5.12. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak
Sekolah Dasar Berdasarkan Infeksi STH
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 1 Mulut Ascaris lumbricoides 6
Gambar 2 Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides 6
Gambar 3 Telur Ascaris lumbricoides 7
Gambar 4 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides 8
Gambar 5 Cacing Dewasa Triciuris trichiura 9
Gambar 6 Telur Triciuris trichiura 10
Gambar 7 Siklus Hidup Triciuris trichiura 11
Gambar 8 Cacing Dewasa Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus 12
Gambar 9 Telur Cacing Tambang 13
Gambar 10 Larva Rhabditiform dan Larva Filariform
Cacing Tambang 14
Gambar 11 Siklus Hidup Cacing Tambang 15
Gambar 12 Kerangka Teori 39
DAFTAR SINGKATAN
ATP : Adenosine triphosphate
cc : cubic centimeters
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
CI : Confident Interval
ERCP : Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography
Fe : ferum
gr : gram
IgE : imunoglobulin E
IL : Independent Learning
IQ : Intelligence Quotient
BB : berat badan
Th2 : type 2 T helper cell
mg : milligram
mm : millimeter
NaCl : Natrium Chloride
OR : odd ratio
PCR : Polymerase Chain Reaction
RI : Republik Indonesia
RS : Rumah Sakit
SDN : Sekolah Dasar Negeri
STH : Soil Transmitted Helminths
TPK : Tujuan Pembelajaran Khusus
TPU : Tujuan Pembelajaran Umum
UKS : Usaha Kesehatan Sekolah
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Ethical Clearance
Lampiran 3 Surat Keterangan Melakukan Penelitian
Lampiran 4 Lembar Penjelasan
Lampiran 5 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
Lampiran 6 Formulir Data Subjek Penelitian
Lampiran 7 Data Induk
ABSTRAK
STH bersifat endemis pada keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale
(cacing tambang). Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh. Anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH mengalami penurunan kesehatan fisik dan kemampuan kognitif, serta mempengaruhi prestasi belajar di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar.
Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif-analitik dengan pendekatan
cross sectional yang dilakukan di SDN 060972 Simalingkar B, Medan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2013. Sampel penelitian adalah 63 orang anak sekolah dasar yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi STH anak diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Kato-Katz. Data prestasi belajar anak diambil sebagai data sekunder dari rapor bulan Agustus 2013. Data penelitian dianalisis dengan uji Chi Square.
Pada penelitian ini, terdapat22 orang (34,9%) anak yang terinfeksi STH dan 5 orang (7,9%) anak dengan prestasi belajar kurang. Anak yang terinfeksi STH ditemukan paling banyak pada anak perempuan (53,7%) dan anak kelas II (40,9%). Anak sekolah dasar dengan prestasi belajar kurang ditemukan paling banyak pada anak perempuan (60,0%), anak kelas III (80,0%), dan anak yang terinfeksi STH (80,0%). Hasil uji Fisher’s Exact mendapatkan p value = 0,046 (95% CI)) dengan OR = 8,89.
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan prestasi belajar anak-anak sekolah dasar.
ABSTRACT
Soil Transmitted Helminths are endemic in six area of World Health Organization and affect more than 2 billion people around the world. The four most common STH are Ascaris lumbricoides (roundworm), Trichuris trchiura (whipworm), and Necator americanus and Ancylostoma duodenale (hookworms). STH infection in human can cause disturbance in tissue and organ. Children in school aged who infected by STH undergo decreased physical health and cognitive abilities, also affect study achievement. The aims of the research was to know the relation between STH infection and study achievement.
This research was a descriptive-analytic cross sectional study, it had been held at SDN 060972 Simalingkar B, Medan on August 2013 until October 2013. Samples of the research were 63 primary school children. Samples were chosen based on inclusion criteria and exclusion criteria with total sampling technic. STH infection data were collected as a primary data by doing a Kato-Katz technic of stool laboratory test. Study achievement data were collected as a secondary data from report card on August 2013. Research data were analyzed with Chi Square test.
In this research, there were 22 (34,9%) children was infected by STH and 5 (7,9%) children with under achievement. Children who were infected by STH were mostly found in female group (53,7%) and second grade primary school student (40,9%). Under achievement children were mostly found in female group (60,0%) and third grade primary school (80,0%), and children with STH infection (80,0%). Fisher’s Exact test found that p value was 0,046 (95% CI)) with OR = 8,89.
From the result of the research, we concluded that there was a relation between STH and study achievement. Awareness in protection of personal and environment hygiene, also periodic medical check-up should be done for improve primary school children’s health quality and study achievement.
Keywords : primary school children, STH infection, study achievement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Soil Transmitted Helminths (STH)adalah suatu kelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur parasit atau larva
yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab pada negara-negara
tropis dan subtropis di dunia (Bethony et al., 2006). STH bersifat endemis pada
keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. Dari seluruh anak-anak yang membutuhkan
penatalaksanaan di dunia, 42% terdapat di negara-negara area Asia Tenggara.
Area ini merupakan lokasi terbesar pelaksanaan program pencegahan infeksi
STH. Dari seluruh anak-anak di area Asia Tenggara tersebut, 64% berasal dari
India, 15% berasal dari Indonesia, dan 13% berasal dari Banglades. Sebanyak
16.685.884 anak-anak yang belum bersekolah dan 41.390.043 anak-anak usia
sekolah di Indonesia membutuhkan kemoterapi untuk mencegah infeksi STH
(WHO, 2012a).
Survei yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan
bahwa prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura masih cukup tinggi, yaitu sekitar 60%-90%, terutama pada anak-anak. Infeksi
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus terdapat sebanyak 70%, terutama di daerah perkebunan (Supali dan Margono, 2009). Di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RS Tembakau Deli dan Rumah Sakit Pirngadi Medan, prevalesi
infeksi STH pada tahun 2004 adalah askariasis 55,8 %, trikuriasis 52 %, dan
cacing tambang 7,4 % (Elmi, et al, 2004). Penelitian mengenai penentuan
frekuensi optimal pengobatan massal askariasis dengan albendazole pada anak
usia sekoalah dasar di Desa Suka mendapatkan prevalensi askariasis sebesar
STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides
(cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau
whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang
atau hookworm) (Hotez et al., 2006). Infeksi oleh keempat nematoda usus ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan telur cacing atau larva pada feses manusia
(Supali, Margono, dan Abidin, 2009; Maguire, 2010a; WHO, 2012b).
Pemeriksaan kopromikroskopik terdiri dari berbagai metode, di antaranya teknik
Kato-Katz, metode konsentrasi eter, ataupun metode FLOTAC (Knopp et al.,
2008; Glinz et al., 2010; Fürst et al., 2012). Saat ini, teknik Kato-Katz merupakan
metode kopromikroskopik yang dipergunakan secara luas dalam survei
epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia
(intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; WHO, 2012b). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan
intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur
cacing (Glinz et al., 2010).
Biasanya, anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH
mengalami penurunan kesehatan fisik dan intelektual yang dikarenakan oleh
malnutrisi, di mana cacing tersebut mengambil sari makanan yang penting bagi
tubuh seperti protein, karbohidrat, dan zat besi (Lobato et al., 2012 dan
Departemen Kesehatan RI, 2006). Infeksi STH juga diperkirakan berdampak
negatif terhadap kemampuan kognitif, mempengaruhi prestasi belajar di sekolah,
dan akan mempengaruhi produktivitas ekonomi masa depan (Scolari et al., 2000;
Bethony et al., 2006; Müller et al., 2011).
Berdasarkan pemaparan dan data-data yang telah dijelaskan di atas,
peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan prestasi belajar pada anak.
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminths dengan
prestasi belajar anak.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik seluruh subjek penelitian.
2. Untuk mengetahui distribusi anak yang menderita Soil Transmitted Helminths.
3. Untuk mengetahui distribusi prestasi belajar anak.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1. Pihak sekolah, orang tua anak, dan anak-anak menyadari dampak
dari infeksi Soil Transmitted Helminths, terutama terhadap prestasi belajar anak.
2. Institusi pelayanan kesehatan, seperti: Puskesmas dan UKS,
meningkatkan kesadaran dalam pencegahan dan penatalaksanaan
infeksi Soil Transmitted Helminths.
3. Masyarakat mengetahui mengenai infeksi Soil Transmitted
Helminths dan dapat mencegah terjadinya infeksi dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi tentang
infeksi Soil Transmitted Helminths.
5. Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang infeksi
Soil Transmitted Helminths, terutama yang berkaitan dengan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
2.1.1. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Soil Transmitted Helminths (STH)adalah suatu kelompok parasit nematoda yang
menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur parasit atau larva
yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab pada negara-negara
tropis dan subtropis di dunia (Bethony et al., 2006). STH bersifat endemis pada keenam area WHO dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia.
Dari seluruh anak-anak yang membutuhkan penatalaksanaan, tiga perempat
terdapat di negara-negara area Asia Tenggara dan Afrika, sekitar seperempat
terdapat di area Pasifik Barat, Mediterania Timur, dan Amerika. Hanya 4 juta
anak-anak (atau kurang dari 1%) terdapat di negara-negara area Eropa (WHO,
2012a). STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides
(cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau
whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang atau hookworm) (Hotez et al., 2006).
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura diperkirakan menginfeksi masing-masing 1,3 milyar orang di seluruh dunia. Secara geografis, insidensi
infeksi parasit ini bervariasi. Prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides yang tinggi terdapat di Cina dan Asia Tenggara. Pada negara-negara di Asia Tengah,
askariasis terutama terdapat di daerah lembab. Sekitar 45% terdapat di Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Di Eropa, angka infeksi Ascaris lumbricoides
umumnya rendah. Infeksi Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan
Necator americanus umumnya terdapat di negara-negara dengan daerah tropis dan subtropis. Distribusi infeksi Trichuris trichiura terjadi seiring dengan penyebaran
terdapat di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa Selatan (Ideham dan
Pusarawati, 2007).
Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan
dan organ tubuh, di mana parasit tersebut hidup dan mengambil nutrisi dari dalam
tubuh manusia. Pada keadaan kronis, infeksi STH mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan intelektual anak-anak. Selain itu,
infeksi STH juga diperkirakan berdampak negatif terhadap kemampuan kognitif,
mempengaruhi prestasi belajar di sekolah, di mana akan mempengaruhi
produktivitas ekonomi masa depan (Bethony et al., 2006; Müller et al., 2011).
Faktor individu dan lingkungan mempengaruhi resiko dan intensitas
infeksi STH. Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura paling banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5-15 tahun. Intensitas dan frekuensi infeksi
menurun pada orang dewasa Sedangkan, infeksi Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus lebih banyak ditemukan pada orang dewasa daripada anak-anak (Bethony et al., 2006). Faktor lingkungan yang mempengaruhi berupa cuaca
yang hangat dan lembab. Perilaku hidup sehat, sanitasi, pengelompokan rumah
tangga, pekerjaan, tingkat kemiskinan, dan urbanisasi juga merupakan
faktor-faktor yang berperan dalam infeksi STH (Hotez et al., 2006).
2.1.2. Morfologi dan Siklus Hidup Soil Transmitted Helminths (STH) 2.1.2.1. Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem / merah muda keputihan, panjangnya dapat mencapai 40 cm. Jangka hidup (life
span) cacing dewasa adalah 10-12 bulan. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm. Sedangkan ukuran cacing jantan 15-31cm dengan diameter 2-4
mm. Mulut Ascaris lumbricoides memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga, antara lain satu tonjolan di bagian dorsal dan dua tonjolan di ventrolateral. Pada
richiura beru
dari Centers f
dari Centers f
2.1.3. Patogenesis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Patogenesis infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan interaksi dari respon imun tubuh manusia, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, dan
terjadinya kekurangan nutrisi (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Eosinofilia merupakan karakteristik berbagai infeksi cacing. Eosinofilia
yang dijumpai pada sediaan darah perifer, sumsum tulang belakang, dan jaringan
lainnya berkaitan dengan keberadaan ataupun migrasi cacing pada jaringan tubuh
tersebut. Keadaan eosinofilia berperan secara signifikan dalam proses
pembasmian cacing di dalam tubuh manusia dan resistensi terhadap infeksi
cacing, di mana bertanggung jawab terhadap sejumlah proses inflamasi patologi.
Infeksi kronis cacing secara khusus menyebabkan aktivasi sistem imunitas yang
ditandai dengan profil sitokin tipe Th2 yang dominan dan tingkat imunoglobulin
E yang tinggi, begitu juga proliferasi dan aktivasi eosinofil. Namun, respon tubuh
manusia berupa produksi berbagai sitokin, antibodi spesifik dan nonspesifik
imunoglobulin E (IgE), serta mobilisasi eosinofil, basophil, dan sel mast tersebut
tidak dapat sepenuhnya memproteksi (Maguire, 2010b).
Pada infeksi STH juga terjadi malnutrisi energi protein. Anak-anak
yang diinfeksi oleh 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gr protein dari diet
yang mengandung 30-50 gr protein per hari (Ideham dan Pusarawati, 2007).
2.1.4. Diagnosis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) 2.1.4.1. Gejala Klinis
2.1.4.1.1. Gejala Klinis Askariasis
Gejala klinis askariasis diklasifikasikan menjadi gejala akut yang berhubungan
dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang
disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa
(Bethony et al., 2006).
Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi pada saat di paru. Pada orang yang rentan, terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan
timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Di paru,
infiltrat eosinofilik yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat
tersebut menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut dengan
sindrom Loeffler (Supali, Margono, dan Abidin, 2009).
Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing, dan
keadaan gizi penderita. Umumnya, hanya infeksi dengan intensitas yang sedang
dan berat pada saluran pencernaan dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing
dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan nutrisi
lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan
pertumbuhan. (Bethony et al., 2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009).
Pada anak-anak, cacing dewasa dapat beragregasi ke dalam ileum dan
mengakibatkan obstruksi parsial karena ukuran lumen ileum yang kecil. Berbagai
konsekuensi yang berat dapat terjadi, antara lain intusepsi, volvulus, dan obstruksi
total. Selanjutnya keadaan ini dapat mengakibatkan infark dan perforasi usus.
Keadaan peritonitis dapat berakibat fatal, walaupun anak tersebut dapat bertahan,
cacing dewasa yang berpindah tempat dapat mati dan menyebabkan peritonitis
granulomatosa kronis (Bethony et al., 2006). Secara khusus, anak yang
mengalami obstruksi oleh Ascaris lumbricoides memiliki keadaan toksik dengan tanda dan gejala peritonitis. Pada beberapa kasus, massa dapat diraba di kuadran
kanan bawah abdomen. Cacing dewasa dapat memasuki lumen apendiks,
mengakibatkan kolik apendiks akut dan gangren di ujung apendiks, selanjutnya
memberi gambaran klinis yang tidak dapat dibedakan dengan apendisitis. Cacing
dewasa Ascaris lumbricoides cenderung berpindah-pindah di dalam tubuh anak-anak yang mengalami demam tinggi, sehingga cacing tersebut dapat muncul dari
nasofaring atau anus (Ideham dan Pusarawati, 2007; Supali, Margono, dan
Abidin, 2009).
Askariasis hepatobilier dan pankreas terjadi jika cacing dewasa pada
duodenum memasuki dan memblok orifisium dari ampula duktus bilier utama
hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada orang dewasa, terutama
wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran percabangan
duktus bilier (biliary tree) orang dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing
dewasa (Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007).
2.1.4.1.2. Gejala Klinis Trikuriasis
Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan
eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi (Maguire, 2010a). Pada trikuriasis,
inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat
menyebabkan kolitis (Bethony, et al., 2006). Anak-anak yang menderita kolitis
akibat trikuriasis kronis akan mengalami nyeri abdomen kronis, diare, anemia
defisiensi besi, gangguan pertumbuhan, serta clubbing fingers. Anak-anak tersebut beresiko menderita sindrom disentri trikuris. Keadaan ini ditandai dengan
tenesmus dengan banyak feses yang mengandung banyak mukus dan darah.
Prolapus rektus sering terjadi dan cacing dewasa dapat ditemukan pada mukosa
yang prolaps (Maguire, 2010a).
2.1.4.1.3. Gejala Klinis Ankilostomiasis dan Nekatoriasis
Ankilostomiasis dan nekatoriasis dapat menimbulkan gejala akut yang
berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan
kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing
dewasa (Bethony et al., 2006). Larva filariform (larva stadium tiga) yang
menembus kulit dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus
berupa ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva
tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Pneumonitis
yang disebabkan oleh infeksi larva cacing tambang tidak seberat pada infeksi
larva Ascaris lumbricoides (Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a). Manusia yang belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia, dan
eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat pada
duodenale secara oral dapat menyebabkan sindrom Wakana, yang ditandai dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak (Bethony et al.,
2006).
Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dihasilkan
dari kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang
dewasa pada mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies
dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein) (Bethony, et al.,
2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009). Cacing Necator americanus
menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10 cc per hari, sedangkan
Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes,
dan akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh
cacing tambang menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan
gejala pucat, lemah, dipsnoe, terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein
yang kronis dari infeksi berat cacing tambang dapat menyebabkan
hipoproteinemia dan edema anasarka (Bethony et al., 2006; Maguire, 2010a).
Infeksi sedang dan anemia dapat mengganggu fisik, kognitif, dan intelektual pada
anak yang sedang bertumbuh. Pada banyak kasus infeksi berat, anemia yang
disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif
(Maguire, 2010a).
2.1.4.2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Supali, Margono, dan Abidin, 2009; Maguire, 2010a; WHO,
2012b). Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah,
bentuk, bau, dan tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai
ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel
darah putih, dan gula (Swierczynski, 2010). Sedangkan, pemeriksaan mikroskopis
dengan menggunakan NaCl 0,85% dan lugol iodin. Pada pemeriksaan ini, kedua
reagensia diteteskan pada kaca objek (object glass), yaitu 1 tetes NaCl 0,85% di sisi kiri dan 1 tetes iodin di sisi kanan. Kemudian, sedikit spesimen feses (seujung
tangkai apliktor) dilarutkan bersama dengan kedua reagensia yang telah diteteskan
di kaca objek. Setelah itu, kaca objek ditutup dengan kaca dek dan diperiksa di
bawah mikroskop dengan pembesaran 10x10 dan 10x40.
Pemeriksaan kopromikroskopik ini memiliki kelemahan, yaitu tingkat
kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Saat
ini, teknik Kato-Katz merupakan metode kopromikroskopik yang dipergunakan
secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di
dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi
beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing. Pemakaian sampel
feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki
sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi
sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per
gram feses) (Glinz et al., 2010).
Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa
pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses
sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Teknik pemeriksaan
ini memfokuskan pada metode diagnosis parasitologi yang mampu melakukan
skrining dengan menggunakan sampel feses dalam jumlah banyak, yaitu 0,5 gram
atau bahkan 1 gram pada metode dengan konsentrasi eter atau teknik FLOTAC.
Metode dengan konsentrasi eter sering dipergunakan dalam mendiagnosis infeksi
cacing, terutama pada laboratorium khusus. Metode ini dapat mendiagnosis
infeksi protozoa usus yang terjadi bersamaan (Glinz et al., 2010). Beberapa
penelitian mendapatkan bahwa pemeriksaan dengan beberapa sampel ataupun
penggunaan kombinasi beberapa metode diagnosis meningkatkan keakuratan
diagnosis. Kadang metode dengan konsentrasi eter dan metode Kato-Katz
memperdalam pengertian mengenai poliparasitisme (Fürst et al., 2012). Hal
penting dalam metode dengan konsentrasi eter ini adalah penggunaan sampel
feses yang difiksasi dengan sodium acetate-acetic acid-formalin (SAF) atau
formalin yang diencerkan, sehingga sampel dapat disimpan dan dianalisis di
waktu berikutnya. Bagaimanapun, perbedaan interlaboratorium yand besar telah
diketahui dalam diagnosis infeksi cacing dan protozoa usus tertentu (Glinz et al.,
2010).
Penelitian terbaru menyarankan pemakaian teknik FLOTAC dalam
mendiagnosis infeksi STH pada manusia. Kelebihan teknik FLOTAC adalah
elemen parasit, seperti telur cacing, terkumpul di bagian apikal kolum
pengapungan sehingga mudah dibaca, misalnya dengan potongan transversal
untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Selain itu, elemen parasit terpisah dari
debris fekal sehingga mempermudah identifikasi dan perhitungan. Protokol teknik
ini telah berkembang dari teknik FLOTAC dasar (sensitivitas analitik secara teori
= 1 telur per gram feses), teknik FLOTAC dual, teknik FLOTAC ganda, dan
teknik FLOTAC pelet (semua: sensitivitas analitik secara teori = 2 telur per gram
feses). Pada pemeriksaan FLOTAC tunggal, 1 gram feses dianalisis, di mana
jumlah sampel ini 24 kali lebih banyak daripada pemeriksaan Kato-Katz apusan
tebal tunggal. Hal ini menjelaskan tingkat kesensitivitasan FLOTAC yang lebih
tinggi (Knopp et al., 2008; Glinz et al., 2010).
Intensitas infeksi STH terdiri atas intensitas ringan, sedang, dan berat.
Pada askariasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 4.999
telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 5.000 sampai dengan 49.999 telur
per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 50.000 telur per gram feses.
Pada trikuriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 999
telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 1.000 sampai dengan 9.999 telur
per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 10.000 telur per gram feses.
Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1
sampai dengan 1.999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 2.000 sampai
dengan 3.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 4.000
Tabel 2.1. Intensitas Infeksi SoilTransmitted Helminths
Organisme
Infeksi Intensitas Rendah (telur per gram
feses)
Infeksi Intensitas Sedang (telur per gram
feses)
Infeksi Intensitas Berat (telur per gram
feses)
Ascaris lumbricoides 1–4.999 5.000–49.999 > 50.000
Trichuris trichiura 1–999 1.000–9.999 > 10.000 Cacing tambang
(Necator americanus atau
Ancylostoma duodenale)
1–1.999 2.000–3.999 > 4.000
Dikutip dari WHO, 2012a
Selain pemeriksaan kopromikrokospik, terdapat juga pemeriksaan
antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR
(World Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan
pilihan dalam mendiagnosis infeksi STH. Kekurangan pemeriksaan ini adalah
bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap
terdeteksi setelah penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
silang dengan nematode lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi
pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.
Pemeriksaan dengan menggunakan PCR dapat menjadi pemeriksaan baku (‘gold’ standard), tetapi perlu dilakukan validasi di berbagai latar epidemiologi yang berbeda untuk mengetahui skala pemakaiannya secara luas (Becker et al., 2011).
Larva Ascaris lumbricoides dapat ditemukan di sputum atau bahan
aspirasi lambung sebelum telur cacing ditemukan di feses. Bentuk cacing dewasa
yang besar, berwarna krem, dan tidak bersegmen dapat dengan mudah
diidentifikasi bila cacing tersebut keluar melalui mulut, anus, ataupun hidung.
Cacing yang terdapat di usus dapat dilihat melalui pemeriksaan foto polos
radiografi. Pemeriksaan untrasonografi, computed tomography, dan ERCP
(endoscopic retrograde cholangipancreatography) dapat memperlihatkan cacing yang terdapat di cabang saluran bilier dan duktus pankreas. Cacing yang tampak
pada duktus bilier ataupun pankreas pada pemeriksaan ERCP dapat diekstraksi
dilakukan dengan mengidentifikasi cacing dewasa pada mukosa rektum yang
prolaps atau melalui kolonoskopi (Maguire, 2010a).
2.1.5. Penatalaksanaan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
Seluruh infeksi Ascaris lumbricoides, baik yang bersifat asimtomatik ataupun intensitas rendah, harus dilakukan tindakan penatalaksanaan. Pilihan obat berupa
albendazol oral (400 mg dosis tunggal), mebendazol (500 mg dosis tunggal atau
100 mg dua kali sehari dalam 3 hari), atau pirantel palmoat (11 mg / kg BB dosis
tunggal, dosis maksimal 1 gram). Ketiga obat ini memiliki tingkat kesembuhan
yang tinggi. Penderita yang tidak sepenuhnya sembuh mengalami penurunan
beban infeksi cacing yang diketahui melalui pemeriksaan telur cacing (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Bethony et al., 2006; Ideham dan
Pusarawati, 2007; Maguire, 2010a).
Albendazol bekerja dengan cara berikatan dengan β tubulin parasit sehingga menghambat polimarisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan
glukosa oleh larva maupun cacing dewasa. Akibatnya, persediaan glikogen cacing
menurun, pembentukan ATP berkurang, dan cacing mati. Obat ini juga dapat
merusak telur cacing. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular
dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat
pengambilan glukosa oleh cacing secara ireversibel, sehingga terjadi deplesi
glikogen pada cacing. Mebendazol menyebabkan sterilitas pada telur cacing.
Pirantel palmoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan
meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dengan keadaan spastis
(Syarif dan Elysabeth, 2009).
Invermektin oral (150-200 µg / kg BB dosis tunggal), yang merupakan
obat pilihan untuk strongiloidiasis dan onkosersiasis, juga efektif dalam
mengobati askariasis. Levamisol oral (2,5 mg / kg BB dosis tunggal) juga
merupakan obat alternatif yang direkomendasikan oleh WHO. Levamisol
digunakan sebagai imunostimultan pada manusia dengan memperbaiki
mekanisme pertahanan seluler dan memacu pematangan limfosit T. Piperazin
serta tidak dipakai lagi di beberapa negara. Pirantel palmoat dan piperazin sitrat
dinyatakan aman untuk digunakan selama masa kehamilan. WHO juga
merekomendasikan pemakaian albendazol dan mebendazol selama masa
kehamilan berdasarkan data yang telah diperoleh. Selain itu, kedua obat ini dapat
digunakan dalam penatalaksanaan anak-anak di bawah 12 bulan (Syarif dan
Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a).
Obat baru yang memiliki aktivitas melawan Ascaris lumbricoides
termasuk nitazoksanid dan tribendimidin, yang terdaftar di Cina. Piperazin dapat
menyebabkan paralisis flaksid pada cacing sehingga berperan dalam melepaskan
obstruksi. Jika terdapat dalam sediaan sirup, obat ini dapat diberikan melalui
nasogastric tube. Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi bakteri, dan bila gejala akut reda diberikan obat antelmintik untuk mencegah kekambuhan (Maguire,
2010a).
Dosis tunggal albendazol, mebendazol, dan pirantel pamoat dapat
menyembuhkan kurang dari 50% penderita trikuriasis serta menurunkan beban
akibat infeksi cacing kurang dari 60%. Pemakaian albendazol selama tiga hari
(400 mg / hari secara oral) atau mebendazol (100 mg dua kali sehari) lebih efektif
untuk infeksi ringan dan sedang. Pada infeksi berat, pemberian albendazol selama
5-7 hari atau kombinasi albendazol dan invermektin yang dikonsumsi satu kali
memiliki tingkat kesembuhan dan penurunkan intensitas infeksi yang lebih tinggi
(Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a).
Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, pemberian terapi besi dapat
memperbaiki kadar hemoglobin menjadi normal, tetapi anemia akan terjadi kembali apabila terapi antelmintik tidak diberikan. Albendazol 400 mg dosis
tunggal merupakan terapi pilihan. Pemberian mebendazol 100 mg yang diberikan
dua kali sehari dalam 3 hari lebih efektif daripada diberikan 500 mg dosis tunggal.
Pemberian pirantel palmoat dengan dosis 11 mg/kgBB diperlukan untuk
mengeliminasi atau menurunkan angka infeksi berat (Syarif dan Elysabeth, 2009;
2.1.6. Pencegahan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
WHO menyusun strategi global dalam mengendalikan STH dengan penggunaan
kemoterapi modern. Strategi tersebut bertujuan untuk mengendalikan morbiditas
yang diakibatkan oleh infeksi STH, yaitu dengan mengeliminasi infeksi dengan
intensitas sedang dan tinggi dengan pemberian obat antelmintik (terutama
albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal). Obat
antelmintik ini diberikan kepada populasi dengan resiko tinggi, yaitu:
a. Anak-anak yang belum sekolah (usia 1-4 tahun)
b. Anak-anak usia sekolah (usia 5-14 tahun)
c. Wanita usia reproduktif (termasuk wanita dengan kehamilan trimester kedua
dan ketiga, serta wanita menyusui).
d. Kelompok usia dewasa yang rentan terpapar dengan infeksi STH (contoh:
pekerja kebun teh dan pekerja penambangan).
Program pemberantasan infeksi cacing juga dilakukan melalui sekolah dan
lembaga lain yang terkait. Program pemberantasan infeksi ini termasuk dengan
pemberian vaksinasi dan suplemen, seperti: vitamin A (WHO, 2012a).
Program pengendalian infeksi cacing di Indonesia disusun dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
424/Menkes/SK/VI/2006, di mana tujuan dari program ini adalah memutus mata
rantai penularan infeksi cacing, baik di dalam tubuh maupun di luar tubuh.
Program ini dilakukan dengan kerja sama pemerintah, Departemen Kesehatan,
masyarakat, serta sektor lain sebagai mitra. Untuk mencapai hal tersebut
dilakukan kegiatan berupa penentuan prioritas lokasi atau penduduk sasaran,
penegakkan diagnosis dengan pemeriksaan feses secara langsung menggunakan
metode Kato-Katz, serta penanggulangan infeksi. Sesuai rekomendasi WHO,
penanggulangan infeksi cacing dilakukan dengan pengobatan tindakan
pencegahan, dan promotif (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman,
berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh
cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan
sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan
massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya
didapati kurang dari 30%, dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening).
Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%,
pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Pencegahan dilakukan dengan pengendalian faktor resiko, antara lain
kebersihan lingkungan, kebersihan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup,
semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai,
menjaga kebersihan makanan, serta pendidikan kesehatan di sekolah kepada guru
dan anak. Pendidikan kesehatan dilakukan melalui penyuluhan kepada masyarakat
umum secara langsung atau dengan penggunaan media massa. Sedangkan untuk
anak-anak di sekolah dapat dilakukan penyuluhan melalui program UKS (Unit
Kesehatan Sekolah) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
2.2. Prestasi Belajar
2.2.1. Definisi dan Aspek-Aspek Belajar
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan
yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, perubahan-perubahan tersebut akan nyata
dalam seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2010). Menurut Lyle E. Bourne, JR.,
Bruce R. Ekstrand, belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang
diakibatkna oleh pengalaman dan latihan (Mustaqim, 2012).
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar anak dapat dibedakan
menjadi faktor internal (faktor dari dalam anak), faktor eksternal (faktor dari luar
anak), dan faktor pendekatan belajar (approach to learning). Faktor-faktor tersebut dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan
mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan
memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil
pembelajaran. Karena pengaruh-pengaruh faktor tersebut, muncul anak-anak yang
berprestasi tinggi (high-achievers), berprestasi rendah (under-achievers) atau gagal sama sekali (Syah, 2009).
2.2.2.1. Faktor Internal Anak
Faktor internal berasal dari diri sendiri meliputi dua aspek, yaitu aspek fisologis
(yang bersifat jasmaniah), dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah) (Syah,
2009).
2.2.2.1.1. Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus otot anak menandai tingkat kebugaran
organ-organ tubuh, yang dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam
mengikuti pelajaran (Syah, 2009). Proses belajar seseorang akan terganggu jika
kesehatan seseorang terganggu (Slameto, 2010). Kekurangan gizi biasanya
mempunyai pengaruh terhadap kesehatan jasmani, seperti mudah mengantuk,
lekas lelah, dan lesu, terutama pada anak-anak yang usianya masih muda
(Mustaqim, 2012). Kondisi organ tubuh yang lemah, misal: pada nyeri kepala
yang berat, dapat menurunkan kemampuan kognitif sehingga materi yang
dipelajari leih sulit diterima, bahkan tidak dapat diterima sama sekali (Syah,
2009). Selain itu, daya tahan tubuh yang menurun lebih rentan untuk terserang
penyakit. Apabila keadaan ini semakin memburuk, aktivitas belajar dapat berhenti
(Mustaqim, 2012).
Kondisi organ-organ khusus anak, seperti: tingkat kesehatan indera
pendengaran dan indera penglihatan, juga mempengaruhi kemampuan anak dalam
menyerap informasi dan pengetahuan, terutama di kelas. Akibatnya, proses
gagal, meskipun kapasitas kognitifnya normal atau lebih tinggi dari
teman-temannya (Syah, 2009).
2.2.2.1.2. Aspek Psikologis
Aspek psikologis berperan penting dalam proses pembelajaran (Mustaqim, 2012).
Aspek psikologis dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan belajar
anak. Aspek psikologis tersebut pun dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antara
faktor-faktor yang terdapat di dalam aspek psikologis tersebut, faktor yang
terpenting adalah tingkat kecerdasan / intelegensi anak, sikap anak, bakat anak,
minat anak, dan motivasi anak (Syah, 2009).
1. Tingkat Kecerdasan / Intelegensi Anak
Menurut Reber, umumnya intelegensi diartikan sebagai kemampuan
psiko-fisik untuk bereaksi terhadap rangsangan atau menyesuaikan diri dengan
lingkungan dengan cara yang tepat (Syah, 2009). Tingkat kecerdasan atau
intelegensi (IQ) berpengaruh besar terhadap kemajuan belajar dan sangat
menentukan tingkat keberhasilan belajar anak (Syah, 2009; Slameto, 2010).
Dalam situasi yang sama, seseorang yang memiliki intelegensi tinggi
umumnya mudah mengikuti proses belajar dengan hasil cenderung baik.
Sebaliknya, orang yang memiliki intelegensi rendah cenderung mengalami
kesukaran dalam belajar dan lambat berpikir, sehingga memiliki prestasi
belajar yang rendah (Dalyono, 2009). Walaupun begitu, anak yang
mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi belum tentiu berhasil dalam
proses belajarnya. Sebab, belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan
banyak faktor yang mempengaruhinya, sedangkan intelegensi hanya salah
satu faktor di antara faktor-faktor yang lainnya (Slameto, 2010).
2. Sikap Anak
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan
maupun negatif. Sikap anak yang postif, terutama kepada guru dan mata
pelajaran yang diberikan, merupakan awal yang baik terhadap proses belajar
anak tersebut. Sebaliknya, sikap negatif anak terhadap guru dan mata
pelajaran yang diberikan, apalagi diikuti dengan rasa benci, dapat
menimbulkan kesulitan belajar bagi anak tersebut (Syah, 2009).
3. Bakat Anak
Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dalam
perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu
untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya
pendidikan dan latihan (Syah, 2009). Bakat dapat mempengaruhi
tinggi-rendahnya suatu prestasi belajar di bidang-bidang tertentu. Jika pelajaran
yang dipelajari anak sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya akan
lebih baik karena anak tersebut senang dalam mempelajari hal tersebut.
Selanjutnya, anak akan lebih giat lagi dalam belajar. Sebaliknya, pemaksaan
kehendak untuk menyekolahkan anak pada jurusan keahlian yang tidak
sesuai dengan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik
(academic performance) atau prestasi belajarnya. Hal tersebut juga terjadi bila anak tidak sadar terhadap bakatnya sendiri dan memilih jurusan
keahlian yang bukan bakatnya (Syah, 2009; Slameto, 2010).
4. Minat Anak
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2009). Minat yang besar terhadap
sesuatu hal merupakan modal yang besar untuk memperoleh tujuan yang
diminati (Dalyono, 2009). Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian
hasil belajar anak dalam bidang-bidang tertentu (Syah, 2009). Jika anak
tidak memiliki minat yang tinggi terhadap proses belajar dan bahan
pelajaran yang dipelajari, maka anak tidak akan belajar dengan
pelajaran tersebut, sehingga enggan untuk belajar. Akibatnya, anak
cenderung berprestasi rendah. Namun, jika proses belajar dan bahan
pelajaran dapat menarik minat anak, maka bahan pelajaran akan lebih
mudah dipelajari dan disimpan. Hal ini cenderung menghasilkan prestasi
yang tinggi (Dalyono, 2009; Slameto, 2010).
5. Motivasi Anak
Motivasi adalah keadaan jiwa individu yang mendorong untuk melakukan
sesuatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan (Mustaqim, 2012). Motivasi
dapat dibedakan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan dari dalam diri anak yang dapat
mendorongnya melakukan tindakan belajar, umumnya karena kesadaran
akan pentingnya sesuatu. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang lebih
signifikan bagi anak karena lebih murni dan tidak bergantung pada dorongan
atau pengaruh orang lain. Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan dari
luar individu anak, misal: orang tua, guru, teman-teman, dan anggota
masyarakat, yang juga dapat mendorong anak untuk melakukan kegiatan
belajar. Motivasi ekstrinsik dapat berupa pujian, hadiah, peraturan atau tata
tertib sekolah, teladan orang tua, guru, dan sebagainya. Seseorang yang
belajar dengan motivasi kuat akan belajar dengan sungguh-sungguh, penuh
gairah, atau semangat. Sedangkan, seseorang yang belajar dengan motivasi
lemah akan malas belajar, bahkan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang
berhubungan dengan pelajaran (Dalyono, 2009; Syah, 2009).
2.2.2.2. Faktor Eksternal Anak
Faktor eksternal anak terdiri dari dua, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor
lingkungan non-sosial (Syah, 2009).
Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan
teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang anak (Syah,
2009).
Proses belajar mengajar terjadi di antara guru dan anak dipengaruhi
oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Jadi, cara belajar anak dipengaruhi
oleh relasi dengan gurunya. Jika terbentuk relasi yang baik di antara guru dan
anak, anak akan menyukai guru dan mata pelajaran yang diberikan, sehingga anak
berusaha mempelajari sebaik-baiknya. Selain relasi guru dengan anak,
menciptakan relasi yang baik antar anak juga diperlukan agar terbentuk pengaruh
yang positif dalam proses belajar anak-anak (Slameto, 2010).
Masyarakat, tetangga, serta teman-teman sepermainan di sekitar tempat
tingga anak tersebut juga merupakan lingkungan sosial (Syah, 2009). Bila
keadaan masyarakat di sekitar tempat tinggal anak terdiri dari orang-orang yang
berpendidikan, terutama bersekolah tinggi dan bermoral baik, anak akan terdorong
untuk lebih giat belajar. Tetapi, bila anak tinggal di lingkungan dengan jumlah
kenakalan anak dan pengangguran tinggi, semangat anak untuk belajar menjadi
rendah (Dalyono, 2009).
Lingkungan sosial yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah
orang tua dan keluarga anak (Syah, 2009). Tingkat pendidikan, penghasilan,
perhatian, bimbingan, dan keharmonisan orang tua dengan anak turut
mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak (Dalyono, 2009).
2.2.2.2.2. Lingkungan Nonsosial
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah fisik dan
lokasi gedung sekolah, lokasi rumah tempat tinggal keluarga anak, alat-alat
belajar, cuaca, serta waktu belajar yang digunakan anak (Slameto, 2010).
Ruang kelas harus memadai bagi setiap anak agar proses belajar dan
mengajar dapat berlangsung dengan baik. Rumah yang sempit, berantakan, terlalu
padat, dan tanpa sarana umum untuk kegiatan anak-anak akan mendorong anak
untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak seharusnya dikunjungi (Syah, 2009;
penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada anak, sehingga anak akan
lebih giat dan berkembang dalam proses belajar (Slameto, 2010). Waktu belajar
juga mempengaruhi proses dan prestasi belajar anak. Setiap anak memiliki
perbedaan waktu dan rasa siap untuk belajar. Ada anak yang siap belajar di pagi
hari, tetapi ada juga yang siap pada sore hari atau tengah malam (Syah, 2009).
2.2.2.3. Faktor Pendekatan Belajar
Di samping faktor-faktor internal dan eksternal anak, faktor pendekatan
belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar. Pendekatan
belajar dapat dipahami sebagai upaya belajar anak, yang meliputi metode dan
strategi, dalam menunjang keefektivitasan dan efisiensi proses pembelajaran
materi tertentu. Pendekatan belajar terdiri dari pendekatan yang paling klasik
sampai yang paling modern. Di antara pendekatan-pendekatan belajar tersebut,
yang dapat mewakili ialah pendekatan hukum Jost, pendekatan Ballar dan
Clanchy, serta pendekatan Binggs (Syah, 2009).
2.2.2.3.1. Pendekatan Hukum Jost
Anak yang lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan lebih
mudah mengingat memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang
anak tekuni (Syah, 2009).
2.2.2.3.2. Pendekatan Ballard dan Clanchy
Pendekatan belajar anak pada umumnya dipengaruhi oleh sikap
terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Terdapat dua sikap anak terhadap ilmu pengetahuan, yaitu sikap melestarikan apa yang sudah ada
(conserving) dan sikap memperluas (extending). Anak yang bersikap conserving
umumnya menggunakan pendekatan belajar ‘reproduktif’, yaitu menghasilkan
kembali fakta dan informasi yang telah ada. Sedangkan, anak yang bersikap
extending mengguanakan pendekatan belajar ‘analitis’, yaitu memilih dan menginterpretasi fakta dan informasi. Ada juga anak yang menggunakan
mendalam. Pendekatan belajar ini lebih ideal. Dalam pendekatan ini, proses
belajar tidak hanya bertujuan untuk menyerap ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk
mengembangkannya (Syah, 2009).
2.2.2.3.3. Pendekatan Biggs
Pendekatan belajar anak dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk
dasar, yaitu pendekatan surface (permukaan / lahiriah), pendekatan deep
(mendalam), dan pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi). Ketiga
bentuk dasar pendekatan belajar tersebut digunakan anak berdasarkan motifnya,
bukan sikapnya terhadap pengetahuan. Anak yang menggunakan dasar
pendekatan surface approach mau belajar karena dorongan dari luar (dorongan ekstrinsik) dengan ciri-ciri menghindari kegagalan, tetapi tidak belajar dengan
keras. Cara belajar ini bersifat santai, asal menghafal, dan tidak mementingkan
pemahaman yang mendalam. Anak dengan dasar pendekatan deep approach
biasanya belajar karena dorongan dari dalam berupa rasa membutuhkan dan
tertarik pada pelajaran tersebut (dorongan intrinsik). Anak berusaha memuaskan
keingintahuan terhadap isi materi pelajaran. Oleh karena itu, cara belajar ini
bersifat serius, berusaha memahami materi secara mendalam, serta memikirkan
cara pengaplikasiannya. Anak yang menggunakan dasar pendekatan achieving approach umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik berciri khusus, disebut dengan
ego-enchancement, yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya. Cara
belajar ini lebih serius daripada cara pendekatan belajar lainnya. Anak dengan
pendekatan ini memiliki ketrampilan dalam mengatur waktu belajar, usaha
belajar, serta penelaahan isi silabus dengan efisien. Seorang anak yang
mengaplikasikan pendekatan belajar deep approach lebih berpeluang meraih prestasi belajar yang bermutu daripada anak yang menggunakan pendekatan