• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Penyebab Peritonitis pada Pasien dengan Perforasi Usus di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2010-2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Profil Penyebab Peritonitis pada Pasien dengan Perforasi Usus di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2010-2012"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

 

HU DEN

BUNGAN I NGAN PRE DI SDN

RODIN

UNI

INFEKSI S ESTASI BEL

N 060972 SI

NDA MAR 1

FAKULTA IVERSITAS

SOIL TRANS LAJAR AN IMALINGK

Oleh: SHA RUTH 100100319

AS KEDOK S SUMATE

MEDAN 2013

SMITTED H NAK SEKO

KAR B, ME

H HUTABA

KTERAN ERA UTARA

HELMINTH LAH DASA EDAN

ARAT

A

(2)
(3)

 

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan

Nama : Rodinda Marsha Ruth Hutabarat NIM : 100100319

Pembimbing Penguji I

(dr. Wisman Dalimunthe Sp. A (K)) (dr. Lambok Siahaan, MKT) NIP. 140 354 982 NIP. 19711005 200112 1 001

Penguji II

(dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc. CM-FM, MPd. Ked) NIP. 19670527 199903 2 001

Medan, Januari 2014 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

 

ABSTRAK

STH bersifat endemis pada keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale

(cacing tambang). Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh. Anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH mengalami penurunan kesehatan fisik dan kemampuan kognitif, serta mempengaruhi prestasi belajar di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar.

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif-analitik dengan pendekatan

cross sectional yang dilakukan di SDN 060972 Simalingkar B, Medan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2013. Sampel penelitian adalah 63 orang anak sekolah dasar yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi STH anak diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Kato-Katz. Data prestasi belajar anak diambil sebagai data sekunder dari rapor bulan Agustus 2013. Data penelitian dianalisis dengan uji Chi Square.

Pada penelitian ini, terdapat22 orang (34,9%) anak yang terinfeksi STH dan 5 orang (7,9%) anak dengan prestasi belajar kurang. Anak yang terinfeksi STH ditemukan paling banyak pada anak perempuan (53,7%) dan anak kelas II (40,9%). Anak sekolah dasar dengan prestasi belajar kurang ditemukan paling banyak pada anak perempuan (60,0%), anak kelas III (80,0%), dan anak yang terinfeksi STH (80,0%). Hasil uji Fisher’s Exact mendapatkan p value = 0,046 (95% CI)) dengan OR = 8,89.

Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan prestasi belajar anak-anak sekolah dasar.

(5)

 

ABSTRACT

Soil Transmitted Helminths are endemic in six area of World Health Organization and affect more than 2 billion people around the world. The four most common STH are Ascaris lumbricoides (roundworm), Trichuris trchiura (whipworm), and Necator americanus and Ancylostoma duodenale (hookworms). STH infection in human can cause disturbance in tissue and organ. Children in school aged who infected by STH undergo decreased physical health and cognitive abilities, also affect study achievement. The aims of the research was to know the relation between STH infection and study achievement.

This research was a descriptive-analytic cross sectional study, it had been held at SDN 060972 Simalingkar B, Medan on August 2013 until October 2013. Samples of the research were 63 primary school children. Samples were chosen based on inclusion criteria and exclusion criteria with total sampling technic. STH infection data were collected as a primary data by doing a Kato-Katz technic of stool laboratory test. Study achievement data were collected as a secondary data from report card on August 2013. Research data were analyzed with Chi Square test.

In this research, there were 22 (34,9%) children was infected by STH and 5 (7,9%) children with under achievement. Children who were infected by STH were mostly found in female group (53,7%) and second grade primary school student (40,9%). Under achievement children were mostly found in female group (60,0%) and third grade primary school (80,0%), and children with STH infection (80,0%). Fisher’s Exact test found that p value was 0,046 (95% CI)) with OR = 8,89.

From the result of the research, we concluded that there was a relation between STH and study achievement. Awareness in protection of personal and environment hygiene, also periodic medical check-up should be done for improve primary school children’s health quality and study achievement.  

Keywords : primary school children, STH infection, study achievement

(6)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul:

“Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan”

Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi

persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyusunan

dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini, antara lain:

1. Prof. dr. Gontar Siregar, Sp. PD - KGEH, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran

USU, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti

Program Pendidikan Kedokteran di Fakultas Kedokteran USU.

2. dr. Wisman Dalimunthe Sp.A (K), sebagai dosen pembimbing karya tulis

ilmiah, yang telah memberikan waktu untuk membimbing saya dalam proses

penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Lambok Siahaan, MKT dan dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc. CM-FM, MPd.

Ked, sebagai dosen penguji karya tulis ilmiah, yang telah memberikan banyak

kritik dan saran yang membangun saya untuk memperlengkapi karya tulis

ilmiah ini.

4. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, sebagai dosen pembimbing akademis, yang telah

membimbing saya selama menjalani Program Pendidikan Kedokteran.

5. Kepala Sekolah dan seluruh guru SDN 060972 Simalingkar B, Medan yang

telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian di

SDN 060972 Simalingkar B, Medan.

6. Departemen Parasitologi Fakuktas Kedokteran USU, yang telah menyediakan

(7)

 

7. Staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran USU, yang telah

membimbing dan mendidik saya selama mengikuti Program Pendidikan

Kedokteran.

8. Orang tua saya, Marnix Sahata Hutabarat, BBA dan dr. Rointan

Simanungkalit, Sp. KK (K), yang selalu mendukung, membimbing, dan

mendoakan saya dalam menjalani tiap hal yang saya lakukan, termasuk

penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

9. Kakak dan adik saya, dr. Margareth Hutabarat dan Michella Hutabarat, yang

selalu membantu dan membuat saya selalu bersemangat dalam menyusun dan

menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

10.Sahabat-sahabat saya, Amanda, Benny, Dewi, Dwi, Evelyn, Fenny, Ivonne,

Jessica, Kristin, Monica, Sherylin, Stefanie, Stefani, yang telah meluangkan

waktu dalam bertukar pikiran selama proses penyusunan dan penyelesaian

karya tulis ilmiah ini.

11.Teman-teman Fakultas Kedokteran USU Angkatan 2010 yang telah

mendukung dan membantu saya selama proses penyusunan dan penyelesaian

karya tulis ilmiah ini.

12.Seluruh keluarga dan teman yang tidak dapat diucapkan satu per satu, saya

ucapkan terima kasih atas segala dukungannya.

Saya menyadari kekurangan yang terdapat dalam karya tulis ilmiah ini.

Namun, saya berharap karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai salah satu

sumber pengetahuan ataupun referensi untuk penelitian selanjutnya.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa

melimpahkan berkat dan kurnia-Nya kepada kita semua.

Medan, 04 Desember 2013

Penulis,

(8)

 

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ...   1 

1.2. Rumusan Masalah ... 2 

1.3. Tujuan Penelitian ... 3 

1.3.1. Tujuan Umum ... 3 

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3 

1.4.Manfaat Penelitian ... 3 

  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 4

2.1.1. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 4

2.1.2. Morfologi dan Siklus Hidup Soil Tranmitted Helminths (STH) ... 5

2.1.2.1. Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ... 5

2.1.2.2. Morfologi dan Siklus Hidup Trichiusris trichiura ... 9

2.1.2.3. Morfologi dan Siklus Hidup Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) ... 12

2.1.3. Patogenesis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 16

2.1.4. Diagnosa Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) .... 16

2.1.4.1. Gejala Klinis ... 16

2.1.4.1.1. Gejala Klinis Askariasis ... 16

2.1.4.1.2. Gejala Klinis Trikuriasis ... 18

2.1.4.1.3. Gejala Klinis Ankilostomiasis dan Nekatoriasis ... 18

2.1.4.2. Pemeriksaan Penunjang ... 19

(9)

 

2.1.6. Pencegahan Infeksi Soil Transmitted Helminths

(STH) ... 25

2.2. Prestasi Belajar ... 26

2.2.1. Definisi dan Aspek-Aspek Belajar ... 26

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar ... 26

2.2.2.1. Faktor Internal Anak ... 27

2.2.2.1.1. Aspek Fisiologis ... 27

2.2.2.1.2. Aspek Psikologis ... 28

2.2.2.2. Faktor Eksternal Anak ... 30

2.2.2.2.1. Lingkungan Sosial ... 31

2.2.2.2.2. Lingkungan Nonsosial... 31

2.2.2.3. Faktor Pendekatan Belajar ... 32

2.2.2.3.1. Pendekatan Hukum Jost... 32

2.2.2.3.2. Pendekatan Ballard dan Clanchy ... 32

2.2.2.3.3. Pendekatan Biggs ... 33

2.2.2.3.4. Pendekatan Independent Learning dan Self-Directed Learning ... 34

2.2.3. Penilaian Prestasi Belajar ... 34

2.2.3.1. Indikator Prestasi Belajar ... 34

2.2.3.2. Pendekatan Evaluasi Prestasi Belajar ... 36

2.2.3.2.1. Pendekatan Acuan Norma (Norm-Referenced Assessment) ... 36

2.2.3.2.2. Penilaian Acuan Kriteria (Criterion-Referenced Assessment) .. 37

2.2.3.3. Batas Minimal Prestasi Belajar ... 37

2.3. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak ... 38

2.4. Kerangka Teori ... 39

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 40

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 40

3.2. Definisi Operasional ... 40

3.2.1. Soil Transmitted Helminths ... 40

3.2.2. Infeksi Soil Transmitted Helminths ... 40

3.2.3. Prestasi Belajar ... 41

3.2.4. Anak Sekolah Dasar ... 41

3.3. Hipotesis ... 41

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 42

4.1. Jenis Penelitian ... 42

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 42

4.3.1. Populasi Penelitian ... 42

4.3.2. Sampel Penelitian ... 43

(10)

 

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 43

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 44

5.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 44

5.2.1. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

5.2.2. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas ... 45

5.2.3. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 45

5.2.4. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Prestasi Belajar ... 47

5.3. Hasil Analisis Data ... 48

5.3.1. Karakteristik Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas ... 48

5.3.2. Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin, Kelas, Infeksi STH, dan Intensitas Infeksi ... 49

5.3.3. Hubungan Antara Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar .... 52

5.4. Pembahasan ... 53

5.4.1. Karakteristik Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas ... 53

5.4.2. Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin, Kelas, Infeksi STH, dan Intensitas Infeksi ... 54

5.4.3. Hubungan Antara Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar .... 55

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1. Kesimpulan ... 57

6.2. Saran ... 57

(11)

 

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths 22

Tabel 2.2. Jenis, Indikator, dan Cara Evaluasi Belajar 34

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Berdasarkan Jenis Kelamin

45

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Berdasarkan Kelas

45

Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Berdasarkan Infeksi STH

46

Tabel 5.4. Distribusi Jenis STH dan Intensitas Infeksi 47

Tabel 5.5. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Berdasarkan Prestasi Belajar

48

Tabel 5.6. Distribusi Karakteristik Infeksi STH Anak

Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin

48

Tabel 5.7. Distribusi Karakteristik Infeksi STH Anak

Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas

49

Tabel 5.8. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak

Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin

50

Tabel 5.9. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak

Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas

50

Tabel 5.10. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak

Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Infeksi STH

51

Tabel 5.11. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak

Sekolah Dasar Berdasarkan Intensitas Infeksi

52

Tabel 5.12. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak

Sekolah Dasar Berdasarkan Infeksi STH

(12)

 

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Mulut Ascaris lumbricoides 6

Gambar 2 Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides 6

Gambar 3 Telur Ascaris lumbricoides 7

Gambar 4 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides 8

Gambar 5 Cacing Dewasa Triciuris trichiura 9

Gambar 6 Telur Triciuris trichiura 10

Gambar 7 Siklus Hidup Triciuris trichiura 11

Gambar 8 Cacing Dewasa Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus 12

Gambar 9 Telur Cacing Tambang 13

Gambar 10 Larva Rhabditiform dan Larva Filariform

Cacing Tambang 14

Gambar 11 Siklus Hidup Cacing Tambang 15

Gambar 12 Kerangka Teori 39

(13)

 

DAFTAR SINGKATAN

ATP : Adenosine triphosphate

cc : cubic centimeters

CDC : Centers for Disease Control and Prevention

CI : Confident Interval

ERCP : Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography

Fe : ferum

gr : gram

IgE : imunoglobulin E

IL : Independent Learning

IQ : Intelligence Quotient

BB : berat badan

Th2 : type 2 T helper cell

mg : milligram

mm : millimeter

NaCl : Natrium Chloride

OR : odd ratio

PCR : Polymerase Chain Reaction

RI : Republik Indonesia

RS : Rumah Sakit

SDN : Sekolah Dasar Negeri

STH : Soil Transmitted Helminths

TPK : Tujuan Pembelajaran Khusus

TPU : Tujuan Pembelajaran Umum

UKS : Usaha Kesehatan Sekolah

(14)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Ethical Clearance

Lampiran 3 Surat Keterangan Melakukan Penelitian

Lampiran 4 Lembar Penjelasan

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

Lampiran 6 Formulir Data Subjek Penelitian

Lampiran 7 Data Induk

(15)

 

ABSTRAK

STH bersifat endemis pada keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale

(cacing tambang). Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh. Anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH mengalami penurunan kesehatan fisik dan kemampuan kognitif, serta mempengaruhi prestasi belajar di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar.

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif-analitik dengan pendekatan

cross sectional yang dilakukan di SDN 060972 Simalingkar B, Medan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2013. Sampel penelitian adalah 63 orang anak sekolah dasar yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi STH anak diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Kato-Katz. Data prestasi belajar anak diambil sebagai data sekunder dari rapor bulan Agustus 2013. Data penelitian dianalisis dengan uji Chi Square.

Pada penelitian ini, terdapat22 orang (34,9%) anak yang terinfeksi STH dan 5 orang (7,9%) anak dengan prestasi belajar kurang. Anak yang terinfeksi STH ditemukan paling banyak pada anak perempuan (53,7%) dan anak kelas II (40,9%). Anak sekolah dasar dengan prestasi belajar kurang ditemukan paling banyak pada anak perempuan (60,0%), anak kelas III (80,0%), dan anak yang terinfeksi STH (80,0%). Hasil uji Fisher’s Exact mendapatkan p value = 0,046 (95% CI)) dengan OR = 8,89.

Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan prestasi belajar anak-anak sekolah dasar.

(16)

 

ABSTRACT

Soil Transmitted Helminths are endemic in six area of World Health Organization and affect more than 2 billion people around the world. The four most common STH are Ascaris lumbricoides (roundworm), Trichuris trchiura (whipworm), and Necator americanus and Ancylostoma duodenale (hookworms). STH infection in human can cause disturbance in tissue and organ. Children in school aged who infected by STH undergo decreased physical health and cognitive abilities, also affect study achievement. The aims of the research was to know the relation between STH infection and study achievement.

This research was a descriptive-analytic cross sectional study, it had been held at SDN 060972 Simalingkar B, Medan on August 2013 until October 2013. Samples of the research were 63 primary school children. Samples were chosen based on inclusion criteria and exclusion criteria with total sampling technic. STH infection data were collected as a primary data by doing a Kato-Katz technic of stool laboratory test. Study achievement data were collected as a secondary data from report card on August 2013. Research data were analyzed with Chi Square test.

In this research, there were 22 (34,9%) children was infected by STH and 5 (7,9%) children with under achievement. Children who were infected by STH were mostly found in female group (53,7%) and second grade primary school student (40,9%). Under achievement children were mostly found in female group (60,0%) and third grade primary school (80,0%), and children with STH infection (80,0%). Fisher’s Exact test found that p value was 0,046 (95% CI)) with OR = 8,89.

From the result of the research, we concluded that there was a relation between STH and study achievement. Awareness in protection of personal and environment hygiene, also periodic medical check-up should be done for improve primary school children’s health quality and study achievement.  

Keywords : primary school children, STH infection, study achievement

(17)

 

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Soil Transmitted Helminths (STH)adalah suatu kelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur parasit atau larva

yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab pada negara-negara

tropis dan subtropis di dunia (Bethony et al., 2006). STH bersifat endemis pada

keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. Dari seluruh anak-anak yang membutuhkan

penatalaksanaan di dunia, 42% terdapat di negara-negara area Asia Tenggara.

Area ini merupakan lokasi terbesar pelaksanaan program pencegahan infeksi

STH. Dari seluruh anak-anak di area Asia Tenggara tersebut, 64% berasal dari

India, 15% berasal dari Indonesia, dan 13% berasal dari Banglades. Sebanyak

16.685.884 anak-anak yang belum bersekolah dan 41.390.043 anak-anak usia

sekolah di Indonesia membutuhkan kemoterapi untuk mencegah infeksi STH

(WHO, 2012a).

Survei yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan

bahwa prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura masih cukup tinggi, yaitu sekitar 60%-90%, terutama pada anak-anak. Infeksi

Ancylostoma duodenale dan Necator americanus terdapat sebanyak 70%, terutama di daerah perkebunan (Supali dan Margono, 2009). Di Bagian Ilmu

Kesehatan Anak RS Tembakau Deli dan Rumah Sakit Pirngadi Medan, prevalesi

infeksi STH pada tahun 2004 adalah askariasis 55,8 %, trikuriasis 52 %, dan

cacing tambang 7,4 % (Elmi, et al, 2004). Penelitian mengenai penentuan

frekuensi optimal pengobatan massal askariasis dengan albendazole pada anak

usia sekoalah dasar di Desa Suka mendapatkan prevalensi askariasis sebesar

(18)

 

STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides

(cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau

whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang

atau hookworm) (Hotez et al., 2006). Infeksi oleh keempat nematoda usus ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan telur cacing atau larva pada feses manusia

(Supali, Margono, dan Abidin, 2009; Maguire, 2010a; WHO, 2012b).

Pemeriksaan kopromikroskopik terdiri dari berbagai metode, di antaranya teknik

Kato-Katz, metode konsentrasi eter, ataupun metode FLOTAC (Knopp et al.,

2008; Glinz et al., 2010; Fürst et al., 2012). Saat ini, teknik Kato-Katz merupakan

metode kopromikroskopik yang dipergunakan secara luas dalam survei

epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia

(intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; WHO, 2012b). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan

intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur

cacing (Glinz et al., 2010).

Biasanya, anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH

mengalami penurunan kesehatan fisik dan intelektual yang dikarenakan oleh

malnutrisi, di mana cacing tersebut mengambil sari makanan yang penting bagi

tubuh seperti protein, karbohidrat, dan zat besi (Lobato et al., 2012 dan

Departemen Kesehatan RI, 2006). Infeksi STH juga diperkirakan berdampak

negatif terhadap kemampuan kognitif, mempengaruhi prestasi belajar di sekolah,

dan akan mempengaruhi produktivitas ekonomi masa depan (Scolari et al., 2000;

Bethony et al., 2006; Müller et al., 2011).

Berdasarkan pemaparan dan data-data yang telah dijelaskan di atas,

peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan prestasi belajar pada anak.

1.2. Rumusan Masalah

(19)

 

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminths dengan

prestasi belajar anak.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik seluruh subjek penelitian.

2. Untuk mengetahui distribusi anak yang menderita Soil Transmitted Helminths.

3. Untuk mengetahui distribusi prestasi belajar anak.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Pihak sekolah, orang tua anak, dan anak-anak menyadari dampak

dari infeksi Soil Transmitted Helminths, terutama terhadap prestasi belajar anak.

2. Institusi pelayanan kesehatan, seperti: Puskesmas dan UKS,

meningkatkan kesadaran dalam pencegahan dan penatalaksanaan

infeksi Soil Transmitted Helminths.

3. Masyarakat mengetahui mengenai infeksi Soil Transmitted

Helminths dan dapat mencegah terjadinya infeksi dalam kehidupan

sehari-hari.

4. Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi tentang

infeksi Soil Transmitted Helminths.

5. Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang infeksi

Soil Transmitted Helminths, terutama yang berkaitan dengan

(20)

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

2.1.1. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

Soil Transmitted Helminths (STH)adalah suatu kelompok parasit nematoda yang

menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur parasit atau larva

yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab pada negara-negara

tropis dan subtropis di dunia (Bethony et al., 2006).  STH bersifat endemis pada keenam area WHO dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia.

Dari seluruh anak-anak yang membutuhkan penatalaksanaan, tiga perempat

terdapat di negara-negara area Asia Tenggara dan Afrika, sekitar seperempat

terdapat di area Pasifik Barat, Mediterania Timur, dan Amerika. Hanya 4 juta

anak-anak (atau kurang dari 1%) terdapat di negara-negara area Eropa (WHO,

2012a). STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides

(cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau

whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang atau hookworm) (Hotez et al., 2006). 

Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura diperkirakan menginfeksi masing-masing 1,3 milyar orang di seluruh dunia. Secara geografis, insidensi

infeksi parasit ini bervariasi. Prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides yang tinggi terdapat di Cina dan Asia Tenggara. Pada negara-negara di Asia Tengah,

askariasis terutama terdapat di daerah lembab. Sekitar 45% terdapat di Amerika

Tengah dan Amerika Selatan. Di Eropa, angka infeksi Ascaris lumbricoides

umumnya rendah. Infeksi Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan

Necator americanus umumnya terdapat di negara-negara dengan daerah tropis dan subtropis. Distribusi infeksi Trichuris trichiura terjadi seiring dengan penyebaran

(21)

 

terdapat di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa Selatan (Ideham dan

Pusarawati, 2007).

Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan

dan organ tubuh, di mana parasit tersebut hidup dan mengambil nutrisi dari dalam

tubuh manusia. Pada keadaan kronis, infeksi STH mengakibatkan gangguan

pertumbuhan dan perkembangan fisik dan intelektual anak-anak. Selain itu,

infeksi STH juga diperkirakan berdampak negatif terhadap kemampuan kognitif,

mempengaruhi prestasi belajar di sekolah, di mana akan mempengaruhi

produktivitas ekonomi masa depan (Bethony et al., 2006; Müller et al., 2011).

Faktor individu dan lingkungan mempengaruhi resiko dan intensitas

infeksi STH. Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura paling banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5-15 tahun. Intensitas dan frekuensi infeksi

menurun pada orang dewasa Sedangkan, infeksi Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus lebih banyak ditemukan pada orang dewasa daripada anak-anak (Bethony et al., 2006). Faktor lingkungan yang mempengaruhi berupa cuaca

yang hangat dan lembab. Perilaku hidup sehat, sanitasi, pengelompokan rumah

tangga, pekerjaan, tingkat kemiskinan, dan urbanisasi juga merupakan

faktor-faktor yang berperan dalam infeksi STH (Hotez et al., 2006).

2.1.2. Morfologi dan Siklus Hidup Soil Transmitted Helminths (STH) 2.1.2.1. Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem / merah muda keputihan, panjangnya dapat mencapai 40 cm. Jangka hidup (life

span) cacing dewasa adalah 10-12 bulan. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm. Sedangkan ukuran cacing jantan 15-31cm dengan diameter 2-4

mm. Mulut Ascaris lumbricoides memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga, antara lain satu tonjolan di bagian dorsal dan dua tonjolan di ventrolateral. Pada

(22)
(23)
(24)
(25)
(26)

 

richiura beru

(27)

 

dari Centers f

(28)
(29)
(30)
(31)

 

dari Centers f

(32)

 

2.1.3. Patogenesis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

Patogenesis infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan interaksi dari respon imun tubuh manusia, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, dan

terjadinya kekurangan nutrisi (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Eosinofilia merupakan karakteristik berbagai infeksi cacing. Eosinofilia

yang dijumpai pada sediaan darah perifer, sumsum tulang belakang, dan jaringan

lainnya berkaitan dengan keberadaan ataupun migrasi cacing pada jaringan tubuh

tersebut. Keadaan eosinofilia berperan secara signifikan dalam proses

pembasmian cacing di dalam tubuh manusia dan resistensi terhadap infeksi

cacing, di mana bertanggung jawab terhadap sejumlah proses inflamasi patologi.

Infeksi kronis cacing secara khusus menyebabkan aktivasi sistem imunitas yang

ditandai dengan profil sitokin tipe Th2 yang dominan dan tingkat imunoglobulin

E yang tinggi, begitu juga proliferasi dan aktivasi eosinofil. Namun, respon tubuh

manusia berupa produksi berbagai sitokin, antibodi spesifik dan nonspesifik

imunoglobulin E (IgE), serta mobilisasi eosinofil, basophil, dan sel mast tersebut

tidak dapat sepenuhnya memproteksi (Maguire, 2010b).

Pada infeksi STH juga terjadi malnutrisi energi protein. Anak-anak

yang diinfeksi oleh 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gr protein dari diet

yang mengandung 30-50 gr protein per hari (Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.1.4. Diagnosis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) 2.1.4.1. Gejala Klinis

2.1.4.1.1. Gejala Klinis Askariasis

Gejala klinis askariasis diklasifikasikan menjadi gejala akut yang berhubungan

dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang

disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa

(Bethony et al., 2006).

Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi pada saat di paru. Pada orang yang rentan, terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan

timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Di paru,

(33)

 

infiltrat eosinofilik yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat

tersebut menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut dengan

sindrom Loeffler (Supali, Margono, dan Abidin, 2009).

Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing, dan

keadaan gizi penderita. Umumnya, hanya infeksi dengan intensitas yang sedang

dan berat pada saluran pencernaan dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing

dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen. Keadaan ini juga dapat

menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan nutrisi

lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan

pertumbuhan. (Bethony et al., 2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009).

Pada anak-anak, cacing dewasa dapat beragregasi ke dalam ileum dan

mengakibatkan obstruksi parsial karena ukuran lumen ileum yang kecil. Berbagai

konsekuensi yang berat dapat terjadi, antara lain intusepsi, volvulus, dan obstruksi

total. Selanjutnya keadaan ini dapat mengakibatkan infark dan perforasi usus.

Keadaan peritonitis dapat berakibat fatal, walaupun anak tersebut dapat bertahan,

cacing dewasa yang berpindah tempat dapat mati dan menyebabkan peritonitis

granulomatosa kronis (Bethony et al., 2006). Secara khusus, anak yang

mengalami obstruksi oleh Ascaris lumbricoides memiliki keadaan toksik dengan tanda dan gejala peritonitis. Pada beberapa kasus, massa dapat diraba di kuadran

kanan bawah abdomen. Cacing dewasa dapat memasuki lumen apendiks,

mengakibatkan kolik apendiks akut dan gangren di ujung apendiks, selanjutnya

memberi gambaran klinis yang tidak dapat dibedakan dengan apendisitis. Cacing

dewasa Ascaris lumbricoides cenderung berpindah-pindah di dalam tubuh anak-anak yang mengalami demam tinggi, sehingga cacing tersebut dapat muncul dari

nasofaring atau anus (Ideham dan Pusarawati, 2007; Supali, Margono, dan

Abidin, 2009).

Askariasis hepatobilier dan pankreas terjadi jika cacing dewasa pada

duodenum memasuki dan memblok orifisium dari ampula duktus bilier utama

(34)

 

hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada orang dewasa, terutama

wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran percabangan

duktus bilier (biliary tree) orang dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing

dewasa (Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.1.4.1.2. Gejala Klinis Trikuriasis

Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan

eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi (Maguire, 2010a). Pada trikuriasis,

inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat

menyebabkan kolitis (Bethony, et al., 2006). Anak-anak yang menderita kolitis

akibat trikuriasis kronis akan mengalami nyeri abdomen kronis, diare, anemia

defisiensi besi, gangguan pertumbuhan, serta clubbing fingers. Anak-anak tersebut beresiko menderita sindrom disentri trikuris. Keadaan ini ditandai dengan

tenesmus dengan banyak feses yang mengandung banyak mukus dan darah.

Prolapus rektus sering terjadi dan cacing dewasa dapat ditemukan pada mukosa

yang prolaps (Maguire, 2010a).

2.1.4.1.3. Gejala Klinis Ankilostomiasis dan Nekatoriasis

Ankilostomiasis dan nekatoriasis dapat menimbulkan gejala akut yang

berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan

kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing

dewasa (Bethony et al., 2006). Larva filariform (larva stadium tiga) yang

menembus kulit dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus

berupa ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva

tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Pneumonitis

yang disebabkan oleh infeksi larva cacing tambang tidak seberat pada infeksi

larva Ascaris lumbricoides (Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a). Manusia yang belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia, dan

eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat pada

(35)

 

duodenale secara oral dapat menyebabkan sindrom Wakana, yang ditandai dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak (Bethony et al.,

2006).

Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dihasilkan

dari kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang

dewasa pada mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies

dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein) (Bethony, et al.,

2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009). Cacing Necator americanus

menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10 cc per hari, sedangkan

Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes,

dan akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh

cacing tambang menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan

gejala pucat, lemah, dipsnoe, terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein

yang kronis dari infeksi berat cacing tambang dapat menyebabkan

hipoproteinemia dan edema anasarka (Bethony et al., 2006; Maguire, 2010a).

Infeksi sedang dan anemia dapat mengganggu fisik, kognitif, dan intelektual pada

anak yang sedang bertumbuh. Pada banyak kasus infeksi berat, anemia yang

disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif

(Maguire, 2010a).

2.1.4.2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi Soil

Transmitted Helminths (STH) berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Supali, Margono, dan Abidin, 2009; Maguire, 2010a; WHO,

2012b). Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.

Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah,

bentuk, bau, dan tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai

ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel

darah putih, dan gula (Swierczynski, 2010). Sedangkan, pemeriksaan mikroskopis

(36)

 

dengan menggunakan NaCl 0,85% dan lugol iodin. Pada pemeriksaan ini, kedua

reagensia diteteskan pada kaca objek (object glass), yaitu 1 tetes NaCl 0,85% di sisi kiri dan 1 tetes iodin di sisi kanan. Kemudian, sedikit spesimen feses (seujung

tangkai apliktor) dilarutkan bersama dengan kedua reagensia yang telah diteteskan

di kaca objek. Setelah itu, kaca objek ditutup dengan kaca dek dan diperiksa di

bawah mikroskop dengan pembesaran 10x10 dan 10x40.

Pemeriksaan kopromikroskopik ini memiliki kelemahan, yaitu tingkat

kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Saat

ini, teknik Kato-Katz merupakan metode kopromikroskopik yang dipergunakan

secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di

dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi

beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing. Pemakaian sampel

feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki

sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi

sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per

gram feses) (Glinz et al., 2010).

Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa

pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses

sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Teknik pemeriksaan

ini memfokuskan pada metode diagnosis parasitologi yang mampu melakukan

skrining dengan menggunakan sampel feses dalam jumlah banyak, yaitu 0,5 gram

atau bahkan 1 gram pada metode dengan konsentrasi eter atau teknik FLOTAC.

Metode dengan konsentrasi eter sering dipergunakan dalam mendiagnosis infeksi

cacing, terutama pada laboratorium khusus. Metode ini dapat mendiagnosis

infeksi protozoa usus yang terjadi bersamaan (Glinz et al., 2010). Beberapa

penelitian mendapatkan bahwa pemeriksaan dengan beberapa sampel ataupun

penggunaan kombinasi beberapa metode diagnosis meningkatkan keakuratan

diagnosis. Kadang metode dengan konsentrasi eter dan metode Kato-Katz

(37)

 

memperdalam pengertian mengenai poliparasitisme (Fürst et al., 2012). Hal

penting dalam metode dengan konsentrasi eter ini adalah penggunaan sampel

feses yang difiksasi dengan sodium acetate-acetic acid-formalin (SAF) atau

formalin yang diencerkan, sehingga sampel dapat disimpan dan dianalisis di

waktu berikutnya. Bagaimanapun, perbedaan interlaboratorium yand besar telah

diketahui dalam diagnosis infeksi cacing dan protozoa usus tertentu (Glinz et al.,

2010).

Penelitian terbaru menyarankan pemakaian teknik FLOTAC dalam

mendiagnosis infeksi STH pada manusia. Kelebihan teknik FLOTAC adalah

elemen parasit, seperti telur cacing, terkumpul di bagian apikal kolum

pengapungan sehingga mudah dibaca, misalnya dengan potongan transversal

untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Selain itu, elemen parasit terpisah dari

debris fekal sehingga mempermudah identifikasi dan perhitungan. Protokol teknik

ini telah berkembang dari teknik FLOTAC dasar (sensitivitas analitik secara teori

= 1 telur per gram feses), teknik FLOTAC dual, teknik FLOTAC ganda, dan

teknik FLOTAC pelet (semua: sensitivitas analitik secara teori = 2 telur per gram

feses). Pada pemeriksaan FLOTAC tunggal, 1 gram feses dianalisis, di mana

jumlah sampel ini 24 kali lebih banyak daripada pemeriksaan Kato-Katz apusan

tebal tunggal. Hal ini menjelaskan tingkat kesensitivitasan FLOTAC yang lebih

tinggi (Knopp et al., 2008; Glinz et al., 2010).

Intensitas infeksi STH terdiri atas intensitas ringan, sedang, dan berat.

Pada askariasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 4.999

telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 5.000 sampai dengan 49.999 telur

per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 50.000 telur per gram feses.

Pada trikuriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 999

telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 1.000 sampai dengan 9.999 telur

per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 10.000 telur per gram feses.

Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1

sampai dengan 1.999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 2.000 sampai

dengan 3.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 4.000

(38)

 

Tabel 2.1. Intensitas Infeksi SoilTransmitted Helminths

Organisme

Infeksi Intensitas Rendah (telur per gram

feses)

Infeksi Intensitas Sedang (telur per gram

feses)

Infeksi Intensitas Berat (telur per gram

feses)

Ascaris lumbricoides 1–4.999 5.000–49.999 > 50.000

Trichuris trichiura 1–999 1.000–9.999 > 10.000 Cacing tambang

(Necator americanus atau

Ancylostoma duodenale)

1–1.999 2.000–3.999 > 4.000

Dikutip dari WHO, 2012a

Selain pemeriksaan kopromikrokospik, terdapat juga pemeriksaan

antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR

(World Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan

pilihan dalam mendiagnosis infeksi STH. Kekurangan pemeriksaan ini adalah

bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap

terdeteksi setelah penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi

silang dengan nematode lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi

pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.

Pemeriksaan dengan menggunakan PCR dapat menjadi pemeriksaan baku (‘gold’ standard), tetapi perlu dilakukan validasi di berbagai latar epidemiologi yang berbeda untuk mengetahui skala pemakaiannya secara luas (Becker et al., 2011).

Larva Ascaris lumbricoides dapat ditemukan di sputum atau bahan

aspirasi lambung sebelum telur cacing ditemukan di feses. Bentuk cacing dewasa

yang besar, berwarna krem, dan tidak bersegmen dapat dengan mudah

diidentifikasi bila cacing tersebut keluar melalui mulut, anus, ataupun hidung.

Cacing yang terdapat di usus dapat dilihat melalui pemeriksaan foto polos

radiografi. Pemeriksaan untrasonografi, computed tomography, dan ERCP

(endoscopic retrograde cholangipancreatography) dapat memperlihatkan cacing yang terdapat di cabang saluran bilier dan duktus pankreas. Cacing yang tampak

pada duktus bilier ataupun pankreas pada pemeriksaan ERCP dapat diekstraksi

(39)

 

dilakukan dengan mengidentifikasi cacing dewasa pada mukosa rektum yang

prolaps atau melalui kolonoskopi (Maguire, 2010a).

2.1.5. Penatalaksanaan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

Seluruh infeksi Ascaris lumbricoides, baik yang bersifat asimtomatik ataupun intensitas rendah, harus dilakukan tindakan penatalaksanaan. Pilihan obat berupa

albendazol oral (400 mg dosis tunggal), mebendazol (500 mg dosis tunggal atau

100 mg dua kali sehari dalam 3 hari), atau pirantel palmoat (11 mg / kg BB dosis

tunggal, dosis maksimal 1 gram). Ketiga obat ini memiliki tingkat kesembuhan

yang tinggi. Penderita yang tidak sepenuhnya sembuh mengalami penurunan

beban infeksi cacing yang diketahui melalui pemeriksaan telur cacing (Menteri

Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Bethony et al., 2006; Ideham dan

Pusarawati, 2007; Maguire, 2010a).

Albendazol bekerja dengan cara berikatan dengan β tubulin parasit sehingga menghambat polimarisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan

glukosa oleh larva maupun cacing dewasa. Akibatnya, persediaan glikogen cacing

menurun, pembentukan ATP berkurang, dan cacing mati. Obat ini juga dapat

merusak telur cacing. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular

dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat

pengambilan glukosa oleh cacing secara ireversibel, sehingga terjadi deplesi

glikogen pada cacing. Mebendazol menyebabkan sterilitas pada telur cacing.

Pirantel palmoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan

meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dengan keadaan spastis

(Syarif dan Elysabeth, 2009).

Invermektin oral (150-200 µg / kg BB dosis tunggal), yang merupakan

obat pilihan untuk strongiloidiasis dan onkosersiasis, juga efektif dalam

mengobati askariasis. Levamisol oral (2,5 mg / kg BB dosis tunggal) juga

merupakan obat alternatif yang direkomendasikan oleh WHO. Levamisol

digunakan sebagai imunostimultan pada manusia dengan memperbaiki

mekanisme pertahanan seluler dan memacu pematangan limfosit T. Piperazin

(40)

 

serta tidak dipakai lagi di beberapa negara. Pirantel palmoat dan piperazin sitrat

dinyatakan aman untuk digunakan selama masa kehamilan. WHO juga

merekomendasikan pemakaian albendazol dan mebendazol selama masa

kehamilan berdasarkan data yang telah diperoleh. Selain itu, kedua obat ini dapat

digunakan dalam penatalaksanaan anak-anak di bawah 12 bulan (Syarif dan

Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a).

Obat baru yang memiliki aktivitas melawan Ascaris lumbricoides

termasuk nitazoksanid dan tribendimidin, yang terdaftar di Cina. Piperazin dapat

menyebabkan paralisis flaksid pada cacing sehingga berperan dalam melepaskan

obstruksi. Jika terdapat dalam sediaan sirup, obat ini dapat diberikan melalui

nasogastric tube. Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi bakteri, dan bila gejala akut reda diberikan obat antelmintik untuk mencegah kekambuhan (Maguire,

2010a).

Dosis tunggal albendazol, mebendazol, dan pirantel pamoat dapat

menyembuhkan kurang dari 50% penderita trikuriasis serta menurunkan beban

akibat infeksi cacing kurang dari 60%. Pemakaian albendazol selama tiga hari

(400 mg / hari secara oral) atau mebendazol (100 mg dua kali sehari) lebih efektif

untuk infeksi ringan dan sedang. Pada infeksi berat, pemberian albendazol selama

5-7 hari atau kombinasi albendazol dan invermektin yang dikonsumsi satu kali

memiliki tingkat kesembuhan dan penurunkan intensitas infeksi yang lebih tinggi

(Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a).

Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, pemberian terapi besi dapat

memperbaiki kadar hemoglobin menjadi normal, tetapi anemia akan terjadi kembali apabila terapi antelmintik tidak diberikan. Albendazol 400 mg dosis

tunggal merupakan terapi pilihan. Pemberian mebendazol 100 mg yang diberikan

dua kali sehari dalam 3 hari lebih efektif daripada diberikan 500 mg dosis tunggal.

Pemberian pirantel palmoat dengan dosis 11 mg/kgBB diperlukan untuk

mengeliminasi atau menurunkan angka infeksi berat (Syarif dan Elysabeth, 2009;

(41)

 

2.1.6. Pencegahan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

WHO menyusun strategi global dalam mengendalikan STH dengan penggunaan

kemoterapi modern. Strategi tersebut bertujuan untuk mengendalikan morbiditas

yang diakibatkan oleh infeksi STH, yaitu dengan mengeliminasi infeksi dengan

intensitas sedang dan tinggi dengan pemberian obat antelmintik (terutama

albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal). Obat

antelmintik ini diberikan kepada populasi dengan resiko tinggi, yaitu:

a. Anak-anak yang belum sekolah (usia 1-4 tahun)

b. Anak-anak usia sekolah (usia 5-14 tahun)

c. Wanita usia reproduktif (termasuk wanita dengan kehamilan trimester kedua

dan ketiga, serta wanita menyusui).

d. Kelompok usia dewasa yang rentan terpapar dengan infeksi STH (contoh:

pekerja kebun teh dan pekerja penambangan).

Program pemberantasan infeksi cacing juga dilakukan melalui sekolah dan

lembaga lain yang terkait. Program pemberantasan infeksi ini termasuk dengan

pemberian vaksinasi dan suplemen, seperti: vitamin A (WHO, 2012a).

Program pengendalian infeksi cacing di Indonesia disusun dalam

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

424/Menkes/SK/VI/2006, di mana tujuan dari program ini adalah memutus mata

rantai penularan infeksi cacing, baik di dalam tubuh maupun di luar tubuh.

Program ini dilakukan dengan kerja sama pemerintah, Departemen Kesehatan,

masyarakat, serta sektor lain sebagai mitra. Untuk mencapai hal tersebut

dilakukan kegiatan berupa penentuan prioritas lokasi atau penduduk sasaran,

penegakkan diagnosis dengan pemeriksaan feses secara langsung menggunakan

metode Kato-Katz, serta penanggulangan infeksi. Sesuai rekomendasi WHO,

penanggulangan infeksi cacing dilakukan dengan pengobatan tindakan

pencegahan, dan promotif (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman,

berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh

cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan

(42)

 

sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan

massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya

didapati kurang dari 30%, dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening).

Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%,

pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja

(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Pencegahan dilakukan dengan pengendalian faktor resiko, antara lain

kebersihan lingkungan, kebersihan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup,

semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai,

menjaga kebersihan makanan, serta pendidikan kesehatan di sekolah kepada guru

dan anak. Pendidikan kesehatan dilakukan melalui penyuluhan kepada masyarakat

umum secara langsung atau dengan penggunaan media massa. Sedangkan untuk

anak-anak di sekolah dapat dilakukan penyuluhan melalui program UKS (Unit

Kesehatan Sekolah) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.2. Prestasi Belajar

2.2.1. Definisi dan Aspek-Aspek Belajar

Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan

yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, perubahan-perubahan tersebut akan nyata

dalam seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2010). Menurut Lyle E. Bourne, JR.,

Bruce R. Ekstrand, belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang

diakibatkna oleh pengalaman dan latihan (Mustaqim, 2012).

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar anak dapat dibedakan

menjadi faktor internal (faktor dari dalam anak), faktor eksternal (faktor dari luar

anak), dan faktor pendekatan belajar (approach to learning). Faktor-faktor tersebut dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan

(43)

 

mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan

memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil

pembelajaran. Karena pengaruh-pengaruh faktor tersebut, muncul anak-anak yang

berprestasi tinggi (high-achievers), berprestasi rendah (under-achievers) atau gagal sama sekali (Syah, 2009).

2.2.2.1. Faktor Internal Anak

Faktor internal berasal dari diri sendiri meliputi dua aspek, yaitu aspek fisologis

(yang bersifat jasmaniah), dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah) (Syah,

2009).

2.2.2.1.1. Aspek Fisiologis

Kondisi umum jasmani dan tonus otot anak menandai tingkat kebugaran

organ-organ tubuh, yang dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam

mengikuti pelajaran (Syah, 2009). Proses belajar seseorang akan terganggu jika

kesehatan seseorang terganggu (Slameto, 2010). Kekurangan gizi biasanya

mempunyai pengaruh terhadap kesehatan jasmani, seperti mudah mengantuk,

lekas lelah, dan lesu, terutama pada anak-anak yang usianya masih muda

(Mustaqim, 2012). Kondisi organ tubuh yang lemah, misal: pada nyeri kepala

yang berat, dapat menurunkan kemampuan kognitif sehingga materi yang

dipelajari leih sulit diterima, bahkan tidak dapat diterima sama sekali (Syah,

2009). Selain itu, daya tahan tubuh yang menurun lebih rentan untuk terserang

penyakit. Apabila keadaan ini semakin memburuk, aktivitas belajar dapat berhenti

(Mustaqim, 2012).

Kondisi organ-organ khusus anak, seperti: tingkat kesehatan indera

pendengaran dan indera penglihatan, juga mempengaruhi kemampuan anak dalam

menyerap informasi dan pengetahuan, terutama di kelas. Akibatnya, proses

(44)

 

gagal, meskipun kapasitas kognitifnya normal atau lebih tinggi dari

teman-temannya (Syah, 2009).

2.2.2.1.2. Aspek Psikologis

Aspek psikologis berperan penting dalam proses pembelajaran (Mustaqim, 2012).

Aspek psikologis dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan belajar

anak. Aspek psikologis tersebut pun dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antara

faktor-faktor yang terdapat di dalam aspek psikologis tersebut, faktor yang

terpenting adalah tingkat kecerdasan / intelegensi anak, sikap anak, bakat anak,

minat anak, dan motivasi anak (Syah, 2009).

1. Tingkat Kecerdasan / Intelegensi Anak

Menurut Reber, umumnya intelegensi diartikan sebagai kemampuan

psiko-fisik untuk bereaksi terhadap rangsangan atau menyesuaikan diri dengan

lingkungan dengan cara yang tepat (Syah, 2009). Tingkat kecerdasan atau

intelegensi (IQ) berpengaruh besar terhadap kemajuan belajar dan sangat

menentukan tingkat keberhasilan belajar anak (Syah, 2009; Slameto, 2010).

Dalam situasi yang sama, seseorang yang memiliki intelegensi tinggi

umumnya mudah mengikuti proses belajar dengan hasil cenderung baik.

Sebaliknya, orang yang memiliki intelegensi rendah cenderung mengalami

kesukaran dalam belajar dan lambat berpikir, sehingga memiliki prestasi

belajar yang rendah (Dalyono, 2009). Walaupun begitu, anak yang

mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi belum tentiu berhasil dalam

proses belajarnya. Sebab, belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan

banyak faktor yang mempengaruhinya, sedangkan intelegensi hanya salah

satu faktor di antara faktor-faktor yang lainnya (Slameto, 2010).

2. Sikap Anak

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan

(45)

 

maupun negatif. Sikap anak yang postif, terutama kepada guru dan mata

pelajaran yang diberikan, merupakan awal yang baik terhadap proses belajar

anak tersebut. Sebaliknya, sikap negatif anak terhadap guru dan mata

pelajaran yang diberikan, apalagi diikuti dengan rasa benci, dapat

menimbulkan kesulitan belajar bagi anak tersebut (Syah, 2009).

3. Bakat Anak

Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki

seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dalam

perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu

untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya

pendidikan dan latihan (Syah, 2009). Bakat dapat mempengaruhi

tinggi-rendahnya suatu prestasi belajar di bidang-bidang tertentu. Jika pelajaran

yang dipelajari anak sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya akan

lebih baik karena anak tersebut senang dalam mempelajari hal tersebut.

Selanjutnya, anak akan lebih giat lagi dalam belajar. Sebaliknya, pemaksaan

kehendak untuk menyekolahkan anak pada jurusan keahlian yang tidak

sesuai dengan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik

(academic performance) atau prestasi belajarnya. Hal tersebut juga terjadi bila anak tidak sadar terhadap bakatnya sendiri dan memilih jurusan

keahlian yang bukan bakatnya (Syah, 2009; Slameto, 2010).

4. Minat Anak

Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2009). Minat yang besar terhadap

sesuatu hal merupakan modal yang besar untuk memperoleh tujuan yang

diminati (Dalyono, 2009). Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian

hasil belajar anak dalam bidang-bidang tertentu (Syah, 2009). Jika anak

tidak memiliki minat yang tinggi terhadap proses belajar dan bahan

pelajaran yang dipelajari, maka anak tidak akan belajar dengan

(46)

 

pelajaran tersebut, sehingga enggan untuk belajar. Akibatnya, anak

cenderung berprestasi rendah. Namun, jika proses belajar dan bahan

pelajaran dapat menarik minat anak, maka bahan pelajaran akan lebih

mudah dipelajari dan disimpan. Hal ini cenderung menghasilkan prestasi

yang tinggi (Dalyono, 2009; Slameto, 2010).

5. Motivasi Anak

Motivasi adalah keadaan jiwa individu yang mendorong untuk melakukan

sesuatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan (Mustaqim, 2012). Motivasi

dapat dibedakan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.

Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan dari dalam diri anak yang dapat

mendorongnya melakukan tindakan belajar, umumnya karena kesadaran

akan pentingnya sesuatu. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang lebih

signifikan bagi anak karena lebih murni dan tidak bergantung pada dorongan

atau pengaruh orang lain. Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan dari

luar individu anak, misal: orang tua, guru, teman-teman, dan anggota

masyarakat, yang juga dapat mendorong anak untuk melakukan kegiatan

belajar. Motivasi ekstrinsik dapat berupa pujian, hadiah, peraturan atau tata

tertib sekolah, teladan orang tua, guru, dan sebagainya. Seseorang yang

belajar dengan motivasi kuat akan belajar dengan sungguh-sungguh, penuh

gairah, atau semangat. Sedangkan, seseorang yang belajar dengan motivasi

lemah akan malas belajar, bahkan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang

berhubungan dengan pelajaran (Dalyono, 2009; Syah, 2009).

2.2.2.2. Faktor Eksternal Anak

Faktor eksternal anak terdiri dari dua, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor

lingkungan non-sosial (Syah, 2009).

(47)

 

Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan

teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang anak (Syah,

2009).

Proses belajar mengajar terjadi di antara guru dan anak dipengaruhi

oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Jadi, cara belajar anak dipengaruhi

oleh relasi dengan gurunya. Jika terbentuk relasi yang baik di antara guru dan

anak, anak akan menyukai guru dan mata pelajaran yang diberikan, sehingga anak

berusaha mempelajari sebaik-baiknya. Selain relasi guru dengan anak,

menciptakan relasi yang baik antar anak juga diperlukan agar terbentuk pengaruh

yang positif dalam proses belajar anak-anak (Slameto, 2010).

Masyarakat, tetangga, serta teman-teman sepermainan di sekitar tempat

tingga anak tersebut juga merupakan lingkungan sosial (Syah, 2009). Bila

keadaan masyarakat di sekitar tempat tinggal anak terdiri dari orang-orang yang

berpendidikan, terutama bersekolah tinggi dan bermoral baik, anak akan terdorong

untuk lebih giat belajar. Tetapi, bila anak tinggal di lingkungan dengan jumlah

kenakalan anak dan pengangguran tinggi, semangat anak untuk belajar menjadi

rendah (Dalyono, 2009).

Lingkungan sosial yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah

orang tua dan keluarga anak (Syah, 2009). Tingkat pendidikan, penghasilan,

perhatian, bimbingan, dan keharmonisan orang tua dengan anak turut

mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak (Dalyono, 2009).

2.2.2.2.2. Lingkungan Nonsosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah fisik dan

lokasi gedung sekolah, lokasi rumah tempat tinggal keluarga anak, alat-alat

belajar, cuaca, serta waktu belajar yang digunakan anak (Slameto, 2010).

Ruang kelas harus memadai bagi setiap anak agar proses belajar dan

mengajar dapat berlangsung dengan baik. Rumah yang sempit, berantakan, terlalu

padat, dan tanpa sarana umum untuk kegiatan anak-anak akan mendorong anak

untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak seharusnya dikunjungi (Syah, 2009;

(48)

 

penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada anak, sehingga anak akan

lebih giat dan berkembang dalam proses belajar (Slameto, 2010). Waktu belajar

juga mempengaruhi proses dan prestasi belajar anak. Setiap anak memiliki

perbedaan waktu dan rasa siap untuk belajar. Ada anak yang siap belajar di pagi

hari, tetapi ada juga yang siap pada sore hari atau tengah malam (Syah, 2009).

2.2.2.3. Faktor Pendekatan Belajar

Di samping faktor-faktor internal dan eksternal anak, faktor pendekatan

belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar. Pendekatan

belajar dapat dipahami sebagai upaya belajar anak, yang meliputi metode dan

strategi, dalam menunjang keefektivitasan dan efisiensi proses pembelajaran

materi tertentu. Pendekatan belajar terdiri dari pendekatan yang paling klasik

sampai yang paling modern. Di antara pendekatan-pendekatan belajar tersebut,

yang dapat mewakili ialah pendekatan hukum Jost, pendekatan Ballar dan

Clanchy, serta pendekatan Binggs (Syah, 2009).

2.2.2.3.1. Pendekatan Hukum Jost

Anak yang lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan lebih

mudah mengingat memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang

anak tekuni (Syah, 2009).

2.2.2.3.2. Pendekatan Ballard dan Clanchy

Pendekatan belajar anak pada umumnya dipengaruhi oleh sikap

terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Terdapat dua sikap anak terhadap ilmu pengetahuan, yaitu sikap melestarikan apa yang sudah ada

(conserving) dan sikap memperluas (extending). Anak yang bersikap conserving

umumnya menggunakan pendekatan belajar ‘reproduktif’, yaitu menghasilkan

kembali fakta dan informasi yang telah ada. Sedangkan, anak yang bersikap

extending mengguanakan pendekatan belajar ‘analitis’, yaitu memilih dan menginterpretasi fakta dan informasi. Ada juga anak yang menggunakan

(49)

 

mendalam. Pendekatan belajar ini lebih ideal. Dalam pendekatan ini, proses

belajar tidak hanya bertujuan untuk menyerap ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk

mengembangkannya (Syah, 2009).

2.2.2.3.3. Pendekatan Biggs

Pendekatan belajar anak dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk

dasar, yaitu pendekatan surface (permukaan / lahiriah), pendekatan deep

(mendalam), dan pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi). Ketiga

bentuk dasar pendekatan belajar tersebut digunakan anak berdasarkan motifnya,

bukan sikapnya terhadap pengetahuan. Anak yang menggunakan dasar

pendekatan surface approach mau belajar karena dorongan dari luar (dorongan ekstrinsik) dengan ciri-ciri menghindari kegagalan, tetapi tidak belajar dengan

keras. Cara belajar ini bersifat santai, asal menghafal, dan tidak mementingkan

pemahaman yang mendalam. Anak dengan dasar pendekatan deep approach

biasanya belajar karena dorongan dari dalam berupa rasa membutuhkan dan

tertarik pada pelajaran tersebut (dorongan intrinsik). Anak berusaha memuaskan

keingintahuan terhadap isi materi pelajaran. Oleh karena itu, cara belajar ini

bersifat serius, berusaha memahami materi secara mendalam, serta memikirkan

cara pengaplikasiannya. Anak yang menggunakan dasar pendekatan achieving approach umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik berciri khusus, disebut dengan

ego-enchancement, yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya. Cara

belajar ini lebih serius daripada cara pendekatan belajar lainnya. Anak dengan

pendekatan ini memiliki ketrampilan dalam mengatur waktu belajar, usaha

belajar, serta penelaahan isi silabus dengan efisien. Seorang anak yang

mengaplikasikan pendekatan belajar deep approach lebih berpeluang meraih prestasi belajar yang bermutu daripada anak yang menggunakan pendekatan

Gambar

Gambar 2. Cacing Dewwasa Ascariss lumbricoiddes
Gambar 4. Siklus Hiduup Ascaris llumbricoidess
Gambar 66. Telur Trichhuris trichiuura
Gambar 77. Siklus Hiddup Trichiurris trichiura
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah semua anak yang tercatat di rekam medis sebagai penderita hernia inguinalis, baik direk maupun indirek, anak umur 0 hari – 18 tahun,

Dapat disimpulkan bahwa pasien penyakit jantung bawaan pada anak lebih banyak terjadi pada perempuan, umumnya terdiagnosis ketika umur lebih dari 60 bulan dengan status gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 400 resep pasien rawat jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memenuhi kriteria inklusi yang dianalisis yakni pasien paling

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 400 resep pasien rawat jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memenuhi kriteria inklusi yang dianalisis yakni pasien paling

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 400 resep pasien rawat jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memenuhi kriteria inklusi yang dianalisis yakni pasien paling

ANGKA PREVALENSI INFEKSI LUKA OPERASI PADA PASIEN PASCA BEDAH DI BAGIAN BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI BULAN JANUARI SAMPAI

Tujuan Penelitian : Mengetahui profil anak dengan infeksi sistem saraf pusat di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.. Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 51: Pedoman pencegahan.. penularan HIV dari Ibu ke