• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penatalaksanaan 3. Prognosis

Dalam dokumen Lap Skenario 2 Geriatri (Halaman 34-39)

G. Penatalaksanaan dan Prognosis 1. Asesmen Geriatri

2. Penatalaksanaan 3. Prognosis

Jump 4

Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-permasalahan pada langkah 3.

Jump 5

Merumuskan tujuan pembelajaran

1. Memperoleh informasi yang akurat tentang status kesehatan geriatri. 2. Melakukan pemeriksaan klinis geriatri.

3. Menyusun data dari simptom, pemerikasaan fisik, prosedur klinis, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil suatu kesimpulan suatu diagnosis penyakit geriatri

4. Merancang manajemen penyakit geriatri. 5. Melakukan penatalaksanaan kasus geriatri.

Eyang Karto Usia: 75 tahun

Keluhan Utama:

Ngompol sejak 3

bulan dan ngobrok selama 2 minggu

Keluhan Lain:

- Sering marah-marah

- Tidak bisa tidur, sering minum obat tidur.

2 tahun yang lalu: Dirawat akibat stroke

Pemeriksaan fisik:

- Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatan menurun (3+/3+) - Rectal Toucher = Tidak ada pembesaran prostat

Pemeriksaan penunjang:

- USG = Tidak ada pembesaran prostat - Pemeriksaan Indeks Barthel

- Pemeriksaan psikiatri Tinggal dengan putrinya, aktivitas sehari-hari harus dibantu

6. Merancang tindakan preventif penyakit geriatri dengan mempertimbangkan faktor pencetus.

7. Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit geriatri.

Jump 7

Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh.

Berdasarkan usia, Eyang Karto sudah termasuk usia lanjut karena berusia lebih dari 60 tahun. Pasien tersebut dibawa ke dokter oleh karena mengompol (inkontinensia urin) dan ngobrok (inkontinensia alvi). Kedua hal tersebut bisa saja terjadi karena kelainan urologik (radang atau tumor), neurologik (kelainan SSP, stroke, demensia, hilang reflek berkemih/ defekasi, dan trauma medulla spinalis), otot kandung kemih yang abnormal, otot dasar panggul melemah, hambatan mobilitas, tempat berkemih yang tidak memadai, maupun faktor psikologik (marah dan depresi).

Sering marah-marah pada pasien tersebut biasa terjadi pada lansia, oleh karena penurunan hormon serotonin ataupun faktor psikologik (kehilangan pasangan hidup, kesepian, dan stress). Penurunan serotonin juga menyebabkan penderita lebih cemas, dan sulit tidur, sehingga beberapa kasus diperlukan obat tidur. Namun, efek samping obat tidur yang diberikan pada pasien tersebut dapat menyebabkan inkontinensia urin oleh karena efek penurunan kontraksi otot dan sensasi berkemih pada vesica urinaria.

Pada skenario, Eyang Karto mengalami gangguan psikologi yang mana istrinya telah wafat. Kehilangan pasangan hidup pada pasien geriatri memberikan dampak besar terhadap rasa kesepian, rasa berkabung sehingga pasien geriatri akan cenderung mengisolasi diri, menarik diri, menyalahkan diri sendiri, dan marah pada diri sendiri sehingga menyebabkan peningkatan stress dan depresi. Tingkat depresi dan stress akan semakin tinggi karena pasien susah melakukan aktifitas sehari-hari sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Psikologis yang terganggu dapat memicu kebingungan, perasaan takut, sulit berkonsentrasi,

ketidakberdayaan sehingga mengurangi daya sensoris ingin mixie dan defekasi, dan mengurangi motivasi untuk menemukan kamar mandi sehingga dapat memicu inkontinensia.

Keadaan imobilisasi pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari sehingga membutuhkan bantuan orang lain menyebabkan pasien tidak dapat mencapai tempat berkemih sendiri dan tidak dapat menahan untuk tidak berkemih sebelum sampai pada tempatnya juga memicu inkontinensia fungsional.

Riwayat Penyakit dahulu menyatakan bahwa dua tahun lalu penderita dirawat akibat stroke. Riwayat stroke menjelaskan bahwa pasien pernah mengalami gangguan di daerah otak. Pengaturan sistem berkemih diatur oleh jaras peryarafan dibawah koordinasi pusat pada batang otak, otak kecil, dan korteks serebri. Apabila terdapat gangguan stroke, hal tersebut menyebabkan gangguan pengaturan koordinasi pusat untuk rangsangan dan pengaturan berkemih. Selain itu, stroke menyebabkan kelumpuhan (immobilitas), penurunan sensoris untuk rangsang kemih dan defekasi, dan gangguan kognitif dalam mengenal rumah sehingga semakin memicu terjadinya inkontinensia urin dan alvi.

Pada hasil pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+) menjelaskan bahwa terdapat gangguan mobilitas pada tubuh pasien yang mana ekstremitas superior dan inferior sinistra hanya mampu melawan gaya gravitasi tanpa tahanan. Hal ini semakin memperjelas bahwa pasien telah mengalami kelumpuhan akibat dari stroke. Kelumpuhan -seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf di atas- menyebabkan inkontinensia dan peningkatan depresi.

Skenario menyebutkan bahwa salah satu pemeriksaan fisik yang diberikan pada pasien adalah rectal toucher. Sebagaimana diketahui bahwa rectal toucher bertujuan untuk mengeksplorasi rectum dengan jari. Rectal toucher menilai keadaan mukosa rectal,posisi rectum, keadaan prostat atau serviks, serta menilai reflex tonus sfingter ani externus. Indikasi dilakukannya rectal toucher sesuai skenario karena salah satu keluhan pasien adalah tidak bisa menahan BAB sekaligus ingin mengeksplorasi keadaan prostat pasien. Kasus pembesaran prostat dalam Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) sering terjadi pada usia tua dan gejala

yang khas akibat BPH adalah inkontinensia urine tipe overflow disertai inkontinensia alvi. Karena pada skenario disebutkan melalui rectal toucher dan gambaran USG, didapatkan prostat tidak membesar, maka diagnosis inkontinensia tipe overflow dan inkontinensia alvi akibat BPH dapat dihapuskan.

Pemeriksaan indeks barthel dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien dengan kelainan neuromuskular atau muskuloskeletal dalam merawat dirinya sendiri. Pada kasus ini pemeriksaan indeks barthel dilakukan karena pasien adalah pasien post stroke yang memiliki kelainan neuromuskuler. Tes ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar penatalaksanaan rehabilitasi medik pada pasien, khususnya untuk menentukan hal-hal apa saja yang dibutuhkan pasien dalam aktivitas sehari-hari. Dengan mengulang tes ini secara rutin, tenaga medis juga dapat menentukan peningkatan kemampuan seorang penderita post

stroke dalam melakukan aktivitas harian.

Pemeriksaan psikiatri dilakukan untuk mengeathui adakah gangguan psikologis khususnya depresi pada pasien. Perubahan kondisi fisik, psikologi, dan lingkungan pada seorang lansia sangat memungkinkan terjadinya gangguan psikologis. Berdasarkan riwayat keadaan pasien yang ditinggal istrinya, penurunan kemandirian pasca stroke, serta kelainan inkontinensia pada lansia dalam kasus skenario, pemeriksaan psikiatri juga sangat diperlukan untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui salah satu kemungkinan penyebab inkontinensia pada pasien yang berupa stress.

Untuk menentukan penatalaksanaan pada pasien kasus skenario perlu dilakukan assessment geriatric. Selanjutnya, berdasarkan data assessment

geriatric, penatalaksanaan disesuaikan menurut keadaan pasien, tentunya dengan

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, kondisi sosial yang bermasalah.

2. Skenario 2 ini belum dapat didiagnosis secara pasti, dikarenakan kondisi multipatologi, namun didapatkan inkontinensia urin,riwayat stroke, dll, sehingga membutuhkan informasi yang lebih rinci dan jelas untuk memberikan intervensi pengobatan.

3. Geriatri assesment sangatlah diperlukan untuk mendiagnosis penyakit yang ada pada di skenario ini.

B. Saran

1. Pada pasien Geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya diawasi dengan baik, sebab lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya. 2. Sebagai Dokter umum, harus mengetahui kompetensi apa saja yang harus

dikuasai untuk pasien Geriatri dan berikanlah penatalaksanan sesuai prioritas dan pertimbangan agar tidak terjadinya polifarmasi.

3. Perlu pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memberikan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien.

Dalam dokumen Lap Skenario 2 Geriatri (Halaman 34-39)

Dokumen terkait