• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Penatalaksanaan

 

c. Multidrug-resistance /MDR (kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin)

d. Extensive Drug-resistance/XDR (MDR TB ditambah kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua, diantaranya kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)

e. Totally drug-resistance/TDR (dikenal juga dengan super XDR TB, yaitu:

kuman sudah resisten dengan seluruh OAT lini pertama RHZES dan obat lini kedua amikasin, kanamisin, kapreomisin, fluorokuinolon, tionamid, PAS) (Soedarsono, 2010).

2.6 Penatalaksanaan

Pengobatan kasus resistensi sangat mahal, lebih toksik, kurang efektif pada infeksi laten sehingga sering mengalami kegagalan. Oleh karena itu, strategi dalam program pengendalian resistensi TB harus ditekankan pada pentingnya pencegahan transmisi galur resisten (Soedarsono, 2010).

Standar ke-15 pada International Standards for Tuberculosis Care

berisikan standar penatalaksanaan TB resistensi OAT yaitu

a. Pasien tuberkulosis yang disebakan kuman resisten obat (khususnya MDR)

seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua.

b. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif dan pengobatan

harus diberikan paling sedikit 18 bulan.

c. Cara-cara yang berpihak kepada pasien diisyaratkan untuk memastikan

d. Konsultasi dalam penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR TB harus dilakukan (Nawas, 2010).

MDR TB terjadi bila strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten

terhadap isoniazid dan rifampisin yang merupakan dua obat yang paling kuat dari lini pertama. Pada pengobatan MDR, petugas kesehatan harus mengubah kombinasi obat dengan menambahkan lini kedua. Obat lini kedua memiliki lebih banyak efek samping, praktis pengobatan lebih lama, dan biaya mungkin 100 kali lebih besar dibandingkan terapi lini pertama. TB jenis MDR juga dapat tumbuh resisten terhadap obat lini kedua yang akan lebih menyulitkan pengobatan lagi (Soedarsono, 2010).

Pengobatan MDR TB memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 18-24 bulan. Terdiri atas dua tahap: tahap awal dan tahap lanjutan. Pedoman WHO membagi pengobatan MDR TB menjadi lima group berdasarkan potensi dan efikasinya. Klasifikasi OAT yang dipergunakan dalam pengobatan MDR TB dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya, yaitu: Kelompok pertama: pirazinamid dan etambutol, paling efektif dan ditoleransi dengan baik; Kelompok kedua: injeksi kanamisin atau amikasin, jika alergi diganti dengan kapreomisin atau viomisin, yang bersifat bakterisidal; Kelompok ketiga: fluoroquinolone, diantaranya: levofloksasin, moksifloksasin, ofloksasin, yang bersifat bakterisidal tinggi; Kelompok keempat: PAS, etionamid, protionamid dan Sikloserin, merupakan bakteriostatik lini kedua; Kelompok kelima: amoksisilin asam klavulanat, makrolide baru (klaritromisin), dan linezolid, masih belum jelas efikasinya (Soedarsono, 2010).

   

Program penanggulangan TB dunia dimulai pada awal tahun 1990-an dimana WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB

yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)

dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling

efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba

klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil

implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS yang baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga akan mencegah berkembangnya MDR TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes RI., 2008).

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yakni:

a. Komitmen politis.

b. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan

tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.

d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap

hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah

perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan streptomisin selama satu sampai dua tahun. para amino acid (PAS) kemudian diganti dengan pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, rifampisin dan ethambutol selama 6 bulan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan BP4/RSP baru sekitar 30% (Depkes RI., 2008).

Target program pengendalian TB (Stop TB Partnership) bahwa pada

tahun 2015, angka prevalensi dan mortalitas TB relatif berkurang 50% dibandingkan tahun 1990 dan minimal 70% infeksi TB dapat dideteksi dengan strategi DOTS, 85% diantaranya dinyatakan sembuh. Serta tahun 2050 TB bukan lagi masalah kesehatan masyarakat global. Salah satu tujuan Rencana Global 2006-2015 mencegah/menangani kasus TB resistensi OAT (MDR TB) dengan cara menjalankan program DOTS (WHO, 2010).

Pada penatalaksanaan MDR TB yang diterapkan adalah strategi

DOTS-Plus (Directly Observed Treatment Strategy-Plus). Pengobatan jangka pendek

untuk MDR TB tidak tepat. Karena itu pada program DOTS-Plus huruf “S”

   

menggunakan OAT lini kedua dengan kontrol infeksi (Soepandi, 2008). Perbandingan prinsip strategi DOTS-plus dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dengan DOTS-plus

Strategi DOTS Strategi DOTS-plus

Komitmen administratif dan politik

(pemerintah).

Komitmen administratif dan politik (pemerintah) yang lebih lama.

Diagnosis dengan kualitas yang baik menggunakan pemeriksaan sputum mikroskopis

Diagnosis yang akurat dengan pemeriksaan kultur dan uji resistensi

Pengobatan yang berkesinambungan terhadap lini pertama untuk pasien rawat jalan.

Pengobatan yang berkesinambungan terhadap obat lini pertama dan kedua. pemberian obat lini kedua dilakukan dibawah pengawasan yang ketat

Pengawasan obat secara langsung Pengawasan obat secara langsung.

Pencatatan yang sistematik dan bertanggung jawab

Sistem pelaporan dan perekaman data yang memungkinkan untuk evaluasi terhadap tahap akhir pencatatan

Penatalaksanaan MDR TB harus sesuai dengan guideline, dosis, regimen, dan lama pengobatan yang tepat serta menerapkan strategi DOTS-Plus tersebut. Hal ini akan meningkatkan angka kesembuhan serta mencegah resistensi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Dokumen terkait