• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering) .1 Definisi Initial Public Offering (IPO) .1 Definisi Initial Public Offering (IPO)

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering) .1 Definisi Initial Public Offering (IPO) .1 Definisi Initial Public Offering (IPO)

Initial Public Offering (IPO) adalah kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan go public) untuk menjual saham atau efek kepada publik atau masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. (Darmadji dan Fakhruddin dalam Ratnasari, 2013:87 ). Dengan melakukan penawaran umum saham perdana, suatu perusahaan akan berubah statusnya dari perusahaan tertutup (private company) menjadi perusahaan terbuka (public company). Perusahaan terbuka diharuskan melakukan keterbukaan informasi kepada publik khususnya investor yang telah membeli saham perusahaan dan melakukan transformasi pengelolaan perusahaan dari yang bersifat tertutup ke arah yang lebih transparan dan profesional.

2.2.2 Manfaat Initial Public Offering (IPO)

Dengan melakukan Penawaran Umum Saham kepada masyarakat, perusahaan dapat menikmati berbagai manfaat antara lain sebagai berikut (Wicaksono, 2012:13) ;

a. Memperoleh dana tambahan dalam jumlah yang besar dan diterima secarasekaligus. Dana tambahan tersebut dapat digunakan untuk perluasan/ ekspansi perusahaan atau dapat juga digunakan untuk pembayaran utang, sehingga dapat menurunkan beban bunga dan pada akhirnya dapat meningkatkan laba perusahaan.

b. Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk go public termasuk ringan jika dibandingkan dengan sumber pendanaan lainnya seperti meminjam dana dari bank atau lembaga keuangan lainnya.

c. Perusahaan memiliki akses terhadap sumber dana yang lebih beragam di masa yang akan datang, misalnya perusahaan dapat melakukan penawaran umum terbatas (rights issue).

d. Perusahaan publik akan lebih dipercaya dibandingkan dengan perusahaan non publik dalam persaingannya, karena perusahaan publik harus transaran dalam menjalankan usahanya.

e. Perusahaan akan lebih dikenal oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena secara otomatis sebagai perusahaan publik akan lebih banyak diekspos media, analis, investor, dan lembaga lainnya.

f. Sebagai perusahaan publik, memungkinkan karyawan perusahaan untuk memiliki saham perusahaan sehingga dapat meningkatkan motivasi bekerja.

2.2.3 Konsekuensi Initial Public Offering (IPO)

Di samping berbagai manfaat yang dapat dinikmati sebagai perusahaan terbuka, ada beberapa konsekuensi yang harus diperhatikan / ditanggung oleh perusahaan terbuka, antara lain (Wicaksono, 2013:14):

a. Kewajiban untuk melakukan keterbukaan informasi secara penuh kepada publik (full disclosure). Hal ini merupakan konsekuensi utama menjadi perusahaan publik dimana perusahaan diwajibkan untuk memenuhi berbagai peraturan keterbukaan baik yang ditentukan Bapepam-LK,Lembaga Bursa dan berbagai kewajiban lainnya.

b. Transformasi manajemen menjadi perusahaan yang lebih transparan, profesional, kredibel dan memenuhi tuntutan Good Corporate Governance. Dengan menjadi perusahaan publik, maka perusahaan akan dikontrol oleh pihak–pihak eksternal perusahaan untuk mencegah terjadinya praktik –

praktik bisnis yang tidak sehat.

c. Kewajiban membayar dividen, karena salah satu tujuan yang ingin diperoleh pemegang saham adalah untuk mendapatkan dividen. Atas persetujuan pemegang saham pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), perusahaan mempunyai kewajiban menyisihkan keuntungannya untuk memberi dividen kepada para pemegang saham secara proposional.

d. Biaya – biaya yang timbul berkaitan dengan saham perusahaan, seperti biaya pencatatan saham di Bursa Efek, membayar jasa Biro Administrasi Efek (BAE).

2.3 Underpricing

2.3.1 Definisi Underpricing

Underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Underpricing saham juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana efek yang dijual di bawah nilai likuidasinya atau nilai pasar yang seharusnya diterima oleh pemegang saham. Ada kecenderungan bahwa harga penawaran di pasar perdana selalu lebih rendah dibandingkan dengan harga penutupan pada hari pertama diperdagangkan di pasar sekunder. Sedangkan overpricing yang disebut juga underpricing negatif, merupakan kondisi dimana harga penawaran perdana lebih tinggi daripada harga penutupan hari pertama di pasar sekunder.

Fenomena underpricing dapat dijelaskan dengan adanya asimetri informasi. Menurut De Lorenzo dan Fabrizio dalam Permatasari (2014:28) hampir semua penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing sebagai akibat dari adanya asimetri informasi dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu emiten, underwriter dan investor. Dalam kaitannya dengan asimetri informasi terdapat dua model yang dapat menjelaskan adanya asimetri informasi.

Model Baron dalam Permatasari (2014:28) menawarkan hipotesis asimetri informasi yang menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak -pihak yang terlibat dalam penawaran perdana yaitu emiten, underwriter dan masyarakat pemodal. Underwriter memiliki informasi yang lebih memadai mengenai kondisi pasar daripada emiten, sedangkan terhadap calon investor, underwriter memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri

informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan semakin tinggi initial return yang diharapkan dari harga saham.

Menurut Beatty asimetri informasi dapat terjadi antara perusahaan emiten dengan underwriter (Model Baron) atau antara informed investor dengan uninformed investor (Model Rock). Pada model Baron penjamin emisi (underwriter) dianggap memiliki informasi tentang pasar yang lebih lengkap daripada emiten sedangkan terhadap calon investor, penjamin emisi memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan semakin tinggi initial return yang di harapkan dari harga saham (Permatasari, 2014:28).

Model Rock dalam Permatasari (2014:28) menyatakan bahwa asimetri informasi terjadi pada kelompok informed investor dengan uninformed investor. Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai perusahaan emiten akan membeli saham-saham IPO jika harga pasar yang diharapkan melebihi harga perdana. Sementara kelompok uninformed karena kurang memiliki informasi mengenai perusahaan emiten, cenderung melakukan penawaran secara sembarangan baik pada saham-saham IPO yang underpriced maupun overpriced. Akibatnya kelompok uninformed memperoleh proporsi yang lebih besar dalam saham IPO yang overpriced. Menyadari bahwa mereka menerima saham-saham IPO yang tidak proporsional, maka kelompok uninformed akan meninggalkan pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi dalam pasar perdana dan memungkinkan mereka memperoleh return saham yang wajar serta dapat

menutup kerugian dari pembelian saham yang overpriced, maka saham-saham IPO harus cukup underpriced.

2.3.2 Teori Underpricing

Underpicing terjadi karena Ex-Ante Uncertainty harga saham pada saat penawaran perdana. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan fenomena underpricing di dalam Initial Public Offering (Ritter dalam Wicaksono, 2014:20) yaitu:

Dokumen terkait