• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL KERJA

A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN

1. Pelaksanaan Kegiatan di Tahun 2017

Indikator Kinerja Kegiatan Balai Litbang Biomedis Papua tahun 2017 berupa Jumlah Publikasi karya tulis ilmiah di bidang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan yang dimuat di media cetak dan atau elektronik nasional dan internasional menghasilkan 4 publikasi. Indikator tersebut tercapai 6 publikasi yaitu 4 publikasi nasional dan 2 publikasi internasional (>100%).

Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan menghasilkan 2 produk Data Dasar yaitu Produk Data Dasar berupa Karakteristik Human Immunodeficiency Virus Type-1

pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA) di Papua (Kabupaten Nabire, Kabupaten/Kota Jayapura dan Kabupaten Jayawijaya dan Produk Data Dasar berupa Resistensi dari HLA B 1301 di Provinsi Papua dan Papua Barat(100%).

Tabel IV.1. Realisasi Sasaran dan Indikator Kinerja Kegiatan Balai Litbang Biomedis Papua Tahun 2017

Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target 2017 Realisasi 2017 % Meningkatnya penelitian dan pengembangan di bidang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan

1. Jumlah publikasi karya tulis ilmiah di bidang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan yang dimuat di media cetak dan atau elektronik nasional dan internasional

2. Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan 4 2 6 2 150 100

Pada tahun 2017, Balai Litbang Biomedis Papua telah melakukan lima kegiatan penelitian yang terdiri dari dua penelitian yang dibiayai oleh dana

DIPA Balai Litbang Biomedis Papua dan tiga penelitian yang dibiayai oleh DIPA Badan Litbangkes.

Tabel IV.2.Kegiatan Penelitian yang dilakukan Balai Litbang Biomedis Papua Tahun 2017

N

o Judul Penelitian Sumber Dana

1. Karakteristik Human Immunodeficiency Virus Type-1 pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA) di Papua (Kabupaten Nabire, Kabupaten/Kota Jayapura dan Kabupaten Jayawijaya

DIPA Balai

2. Identifikasi Mutasi pada Gen folP1 Mycobacterium Leprae

dan Deteksi Gen HLA B 13:01 serta Faktor – faktor yang Mempengaruhi Resistensi MDT pada Pasien Lepra di Kabupaten Bintuni dan Kota Jayapura

DIPA Balai

3.

Analisis Mutasi Terkait Resistensi Rifampisin Pada Gen rpoB Mycobacterium lepraedi kota Jayapura

DIPA Badan (Risbinkes) 4. Gambaran Kasus Frambusia Setelah PengobatanMassal di

Kota Jayapura

DIPA Badan (Risbinkes) 5. Clusterof Differentiation 4 (CD4) dan Kepatuhan

pengobatan Anti Retroviral pada Orang dengan HIV/AIDS di Kota Jayapura, Papua

DIPA Badan (Risbinkes)

Berikut penjabaran ringkasan hasil penelitian yang dilakukan Balai Litbang Biomedis Papua tahun 2017 baik yang bersumber dana DIPA Balai Litbang Biomedis Papua maupun yang bersumber dana DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan:

a. Karakteristik Human Immunodeficiency Virus Type-1 pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA) di Papua (Kabupaten Nabire, Kabupaten/Kota Jayapura dan Kabupaten Jayawijaya

Ketua Pelaksana : Hotma M.L Hutapea, M.Si

Kasus Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) pada empat kabupaten tertinggi di Papua adalah Nabire, Biak, Jayawijaya, dan Merauke dengan angka kasus masing-masing adalah 2.112 kasus, 723 kasus,

652 kasus, dan 417 kasus. Terapi antiretroviral (ARV) telah diterapkan pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Terapi dapat memicu munculnya mutasi pada gen RT HIV yang dapat menyebabkan kebalnya HIV terhadap ARV yang diberikan.

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan. Metode penelitian adalah deskriptif analitik yang dirancang secara potong lintang terhadap 90 responden positif HIV/AIDS yang menjalani perawatan rutin di VCT RSUD atau Puskesmas di Kabupaten Nabire, 84 responden Kab./Kota Jayapura, dan 90 responden di Kab. Jayawijaya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran varian HIV yang menginfeksi ODHA di Kabupaten Nabire, Kab./Kota Jayapura, dan Jayawijaya, dan resistensi yang muncul. Selain itu profil HLA subyek penelitian juga akan dipelajari untuk memperoleh gambaran mengenai tipe HLA pada subyek etnis Papua dan Non-Papua. Mendapatkan data mengenai jumlah sel CD4T-helper dan muatan virus juga akan dikumpulkan dari data rekam medik dan pada saat pelaksanaan penelitian. Namun hasil penelitian ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah data resistensi yang muncul pada subyek penelitian.

Di Kabupaten Nabire ditemukan 5 kasus resistensi, sebanyak 7 responden di Kab./Kota Jayapura, dan 4 responden di Kab. Jayawijaya. Namun tidak ditemukan responden dengan nilai viral load tinggi yang mengalami resistensi terhadap penghambat protease. Resistensi tersebut muncul karena mutasi yang menurunkan efektifitas beberapa regimen ARV seperti lamivudine, emtricitabine, didanosine dan abacavir. Terkait hal tersebut perlu dipertimbangkan untuk menyediakan regimen atau kombinasi ARV baru untuk menanggulangi infeksi HIV-1 pada pasien kebal obat. Selain itu, monitoring pasien yang sedang dalam terapi ARV perlu dilaksanakan lebih rinci untuk mendapatkan akurasi kepatuhan minum obat.

b. Identifikasi Mutasi pada Gen folP1 Mycobacterium Leprae dan Deteksi Gen HLA B 13:01 serta faktor – faktor yang mempengaruhi resistensi MDT pada Pasien Lepra di Kabupaten Bintuni dan Kota Jayapura

Ketua Pelaksana : dr.Antonius Oktavian, M.Kes

Papua merupakan daerah yang masuk dalam golongan high endemicity penyakit lepra. Salah satu masalah yang dihadapi adalah kasus relaps, g

a

gal berobat dan kepatuhan yang rendah. Masalah alergi terhadap dapson juga dihadapi pada penangana

n

kusta di Papua. Penelitian ini, akan melakukan deteksi gen resistensi Mycobacterium leprae dengan metode Polymerase Chain

Reaction (PCR) pada kasus lepra dan deteksi gen pengkode

Dapsone Hypersensitivity Syndrome (DHS) pada pasien alergi Dapsone. Dalam penelitian ini juga diteliti faktor yang mempengaruhi resistensi dapson. Desain penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan rancangan deskriptif. Populasi sampel penelitian adalah 100 orang penderita. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan sampel lesi kulit dan skin silt cuping telinga pada penderita.

Kriteria inklusi untuk kasus meliputi Didiagnosa secara klinis sebagai penderita lepra dengan hasil pemeriksaan cardinal sign dan atau BTA positif dari sampel lesi kerokan telinga, sudah menjalani pengobatan minimal 3 bulan, bertempat tinggal di Kotamadya Jayapura dan Kabupaten Bintuni dan bersedia dikunjungi rumah, bersedia diambil sampel darah, insisi telinga atau kerokan kulitdan swab hidung ditunjukkan dengan menandatangani informed consent. Responden dapat tidak diikutsertakan dalam penelitian dengan kriteria kasus lepra dan kontak tidak bersedia terlibat dalam penelitian, dan sedang sakit keras saat pengambilan sampel.

Variabel yang akan diukur dalam penelitian ini meliputi variabel bebas adalah kepatuhan, mutasi gen resistensi, genetik manusia sedangkan variable terikat adalah resistensi dan DHS.

Pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium adalah pemeriksaan Ekstraksi Dioxyribo Nucleic Acid (DNA) sampel mukosa nasal dan kerokan kulit, PCR dan sekuensing. Analisis data sekuensing menggunakan perangkat pengolah data análisis mutasi sehingga titik mutasi sedangkan análisis HLA B 13:01 dilakukan menggunakan program Accutype.

Dalam penelitian ini didapatan hasil terdeteksi mutasi pada gen FolP1 yang berkaitan erat dengan resistensi dapson baik yang sudah pernah ditemukan sebelumnya di negara lain maupun yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Mutasi yang sudah pernah diketahui sebelumnya mengarah pada adanya resistensi lemah terhadap dapson. Deteksi gen HLA B 13:01 mendapatkan hasil bahwa gen HLA B 13:01 terdeteksi pada sebagian besar penderita DHS dan sangat sedikit pada pasien lepra non DHS. Hal ini berarti gen tersebut tervalidasi sebagai marker DHS. Dalam studi ini asosiasi gen HLA B 13:01 terhadap DHS sangat signifikan dengan p vallue 7,17×10-7dan OR: 26,3.

c. Analisis Mutasi Terkait Resistensi Rifampisin Pada Gen rpoB

Mycobacterium lepraedi Kota Jayapura

Ketua Pelaksana : Yustinus Maladan, S.Si

Lepra masih merupakan salah satu penyakit yang dominan di Jayapura, Papua. Berdasarkan rekomendasi WHO, salah satu jenis obat dalam program multi drug therapy (MDT) adalah rifampisin. Meskipun demikian, ditemukan penderita lepra yang kurang peka terhadap rifampisin dan diduga karena strain Mycobacterium lepra

yang resisten. Mekanisme molekuler dari aktivitas rifampisin dipengaruhi oleh gen rpoB pada M. leprae. Perubahan urutan nukleotida (mutasi) pada gen tersebut bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi rifampisin.

Informasi yang cepat tentang kepekaan rifampisin merupakan hal yang penting sebagai upaya pengobatan terhadap penyakit lepra. Berdasarkan laporan kasus penyakit Dinas

Kesehatan Kota Jayapura tahun 2016, terdapat 34 pasien dengan riwayat relaps, default dan beberapa di antaranya tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan setelah mengkonsumsi MDT. Kasus resistensi M. leprae terhadap rifampisin di Jayapura belum pernah diteliti sehingga penting dilakukan penelitian untuk mempelajari resistensi rifampisin pada penderita lepra.Sampel penelitian adalah insisilesi kulit dan telinga yang diambil dari pasien yang sedang mengkonsumsi atau telah menjalani pengobatan MDT tetapi masih menunjukkan gejala.

Kriteria inklusi meliputi diagnose sampel secara klinis dengan hasil pemeriksaan BTA positif, pasien sedang dan telah menjalani proses pengobatan MDT namun masih bergejala, merupakan pasien relaps, default, bertempat tinggal di Kotamadya Jayapura, bersedia dikunjungi rumahnya, bersedia diambil insisi lesi kulit dan telinga, ditunjukkan dengan menandatangani informed consent. Pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium adalah ekstraksi

Deoxyribonucleic Acid (DNA), dilanjutkan dengan proses

Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing DNA M. leprae

untuk mendeteksi mutasi pada gen rpoB. Penelitian ini diharapkan menjadi informasi penting bagi program yang berhubungan dengan pengobatan penyakit lepra.

Hasil pemeriksaan mikroskopis pada ketiga puluh empat (34) sampel yang diperiksa adalah sembilan (9) diantaranya positif BTA sedangkan dua puluh lima (25) yang lainnya negatif BTA. Berdasarkan karakteristik pasien, sebagian besar adalah pasien relaps yaitu sebanyak 59%, kemudian default 32% dan kurang peka terhadap pengobatan 9%. Hasil pensejajaran gen rpoBM. leprae di gene bank menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya mutasi pada gen rpoByang dapat menyebabkan resistensi terhadap rifampisin.

Dengan demikian, rifampisin masih baik dan sensitive untuk digunakan dalam pengobatan kasus lepra di Jayapura. Status gizi pasien yang diamati, menunjukkan status gizi yang normal.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah gen rpoBM. leprae asal Jayapura tidak mengandung mutasi yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap rifampisin. Dengan demikian, perlu untuk mendeteksi mutasi pada gen lain yang dapat menyebabkan resistensi pada obat dapson dan klofazimin (lampren), yang merupakan pasangan rifampisin komponen MDT dalam pengobatan lepra. Selain itu, untuk menunjang keberhasilan pengobatan maka diharapkan pasien lepra dapat minum obat secara teratur serta pendampingan yang intensif dari petugas kesehatan maupun keluarga.

d. Gambaran Kasus Frambusia Setelah Pengobatan Massal di Kota Jayapura

Ketua Pelaksana : dr.Yuli Arisanti

Frambusia merupakan salah satu penyakit kulit tropis yang terabaikan (Neglected Tropical Disease) yang disebabkan oleh salah satu subspesies dari bakteri Treponema pallidum subspecies pertenue (T.p pertenue). Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan pada stadium laten dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tulang, bahkan hingga menyebabkan kecacatan. Berbeda dengan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri spesies Treponema pallidum yang ditularkan melalui hubungan/kontak secara seksual (sexually transmitted), Frambusia ditularkan melalui kontak langsung atau melalui barang-barang yang digunakan oleh penderita.

Ditinjau dari segi genetik tingkat kemiripan strain-strainpada genus Treponema bisa mencapai 99.8% (T.p pertenue dengan T.p pallidum) sehingga hampir mustahil membedakan strain-strain ini baik secara morfologik ataupun secara fisiologik. Sisi pembeda kedua subspesies tersebut terletak 6 titik (region) pada set genomnya, dan selama ini uji serologiklah yang menjadi tumpuan dalam membedakan kedua strain yang berkerabat dekat secara molekuler ini. Menurut data kasus frambusia tahun 2014 dari Dinas

Kesehatan Provinsi Papua, 53% kasus frambusia di Provinsi Papua terjadi di Kota Jayapura sehingga pada tahun 2015 dilaksanakan survei frambusia oleh Balai Litbang Biomedis Papua di daerah kantong frambusia. Berdasarkan hasil tersebut, maka pada bulan Februari 2016, salah satu Puskesmas kota Jayapura yakni Puskesmas Hamadi melakukan pengobatan massal terhadap penderita dan kontak serumah frambusia.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kasus frambusia pasca kegiatan pengobatan massal frambusia di kota Jayapura. Sampel yang akan digunakan dalam penelitian adalah pasien yang sudah pernah didiagnosis frambusia dan tercatat telah mendapatkan pengobatan dan kontak yang tinggal serumah selama minimal 1 tahun sebanyak 1 orang. Faktor resiko yang diamati pada penelitian ini antara lain adalah usia, jenis kelamin, riwayat penyakit, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Keberadaan lesi beserta tingkat keparahannya (severity level) diamati dan diperiksa oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam mendiagnosis dan menangani frambusia. Apusan (swab) dari lesi yang ditemukan pada subyek frambusia dikoleksi dan dilarutkan dalam 500 uL larutan buffer fosfat salin (Cl2H3K2Na3O8P2). Tahapan selanjutnya adalah mengamati mikroorganisme dari apusan lesi di bawah mikroskop cahaya, dengan pewarnaan Gram. Hasil pengamatan di bawah mikroskop cahaya akan menentukan tahapan pengamatan selanjutnya baik untuk hasil positif ataupun hasil yang negatif. Jika hasil pengamatan positif teramati mikroorganisme maka akan dilakukan kultur mikroorganisme pada media pemeliharaan. Sebaliknya ketika hasil pengamatan di bawah mikroskop cahaya menunjukkan hasil yang negatif, akan dilanjutkan dengan pengamatan metode darkfield microscopy (mikroskop lapangan gelap). Hasil dari tahapan ini akan menentukan apakah uji molekuler dibutuhkan (PCR).

Hasil menunjukkan bahwa kasus frambusia mengalami penurunan angka kasus setelah pengobatan massal dengan azitromisin sejak tahun 2016. Lesi primer dan kasus aktif frambusia tidak diketemukan, namun pengambilan apusan lesi tetap dilakukan pada luka yang mengarah pada ciri frambusia. Pewarnaan gram dilakukan sebelum pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop medan gelap. Hasil pewarnaan gram menunjukkan karakter hasil pewarnaan untuk bakteri gram negatif. pemeriksaan mikroskopis sediaan apusan (swab) dengan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop medan gelap menunjukkan hasil yang negatif. Pengujian menggunakan RDT juga menunjukkan sebagian besar responden menunjukkan hasil yang negatif meskipun ada sebagian kecil menunjukkan hasil yang positif tanpa memiliki gejala frambusia. Perilaku hidup bersih dan sehat yang sudah diterapkan oleh sebagian besar responden memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan angka kasus frambusia di Kota Jayapura. Namun dengan adanya sebagian kecil responden yang menunjukkan hasil positif pada uji RDT evaluasi dan monitoring

pasca pengobatan masih harus dilakukan.

e. Cluster of Differentiation 4 (CD4) dan Kepatuhan Pengobatan Anti

Retroviral Pada Orang Dengan HIV/AIDS di Kota Jayapura, Papua Ketua Pelaksana : Setyo Adiningsih, S.Si

Papua menjadi provinsi urutan ketiga di Indonesia dengan angka kasus HIV tertinggi setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur, dan angka kasus AIDS tertinggi kedua setelah Jawa Timur. Untuk menekan angka kasus HIV/AIDS beberapa tindakan pencegahan dan pengobatan telah dilakukan, salah satunya dengan terapi antiretroviral (ARV). Terapi ARV mampu menurunkan patogenitas HIV dan progresifitas HIV menjadi AIDS serta meningkatkan kualitas hidup Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). CD4 (cluster of differentiation 4) adalah penanda

imunitas terdapat pada permukaan sel limfosit T-helper yang berperan dalam menginduksi respon imun seluler.

Pemeriksaan CD4 digunakan untuk melengkapi pemeriksaan klinis dalam mengevaluasi keberhasilan terapi dan menentukan dimulainya pemberian profilaksis untuk infeksi oportunistik pada ODHA. Perhitungan jumlah CD4 digunakan untuk mengetahui perkembangan imunitas pasien selama terapi ARV. Patogenitas dan progresifitas HIV/AIDS dipengaruhi faktor lingkungan dan individu. Faktor lingkungan diantaranya status gizi, infeksi oportunistik, dan kualitas pelayanan kesehatan. Faktor individu diantaranya umur, jenis kelamin, etnis (sosio-demografi pasien).

Meskipun telah menjalani terapi ARV, kegagalan dalam pengobatan dapat terjadi. Kegagalan terapi ditandai dengan penurunan kadar CD4 dan muncul infeksi oportunistik setelah 6 bulan terapi ARV. Faktor individu, akses informasi kesehatan, dan dukungan sosial yang berhubungan dengan kepatuhan ODHA selama terapi ARV penting diketahui. Namun masih sedikit informasi tentang hubungan faktor tersebut dengan jumlah CD4 ODHA selama terapi ARV.

Tujuan penelitian adalah menganalisis jumlah CD4 dan faktor kepatuhan pengobatan ARV pada ODHA di kota Jayapura tahun 2017. Jenis penelitian adalah observasional deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan di VCT RSUD Dok II Jayapura, dengan jumlah sampel sebanyak 85 responden yang telah menyetujui inform consentdan sesuai kriteria inklusi. Kadar CD4 responden naif pada saat awal terapi ARV diperoleh dari data rekam medis, selanjutnya responden bersangkutan diperiksa kadar CD4 dan hemoglobin setelah terapi 12-24 bulan. Data tentang faktor kepatuhan pengobatan minum ARV diperoleh dari kuisioner. Analisis statistik yang digunakan adalah univariate untuk mengetahui distribusi setiap variabel dan analisis bivariate dengan Chi-kuadrat uji Fisher exact dan Odds Ratio pada signifikan p < 0,05 untuk mengetahui hubungan antar variabel dengan jumlah CD4 responden.

Hasil menunjukkan mayoritas responden adalah perempuan (60%), berusia 15-30 tahun (57,6%), bekerja (52,9%), sekolah (94,1%), asli Papua (65,9%), pengetahuan pengobatan baik (98,8%), tidak pernah ganti regimen ARV (94,1%), pernah mengalami efek samping ARV (71,8%), memiliki jaminan kesehatan (88,2%), tidak pernah mengalami pengalaman stigma (95,3%), selalu mendapat konseling kepatuhan (89,4%), akses layanan kesehatan mudah (76,5%), mendapat dukungan keluarga (77,6%), tidak mendapat dukungan komunitas (89,4%).

Mayoritas responden yang mengalami kenaikan jumlah CD4 selama terapi adalah responden dengan tingkat kepatuhan baik, telah menjalani terapi rentang waktu 13-24 bulan, dan menggunakan regimen terapi ARV lini 1. Faktor predisposisi yang memiliki hubungan signifikan dengan jumlah CD4 adalah jenis kelamin dan pekerjaan, dimana responden perempuan berisiko 3,8 kali lebih tinggi untuk mengalami imunodefisiensi (jumlah CD4 < 500 sel/mm³) dibanding responden laki-laki, serta responden yang bekerja berisiko 2,9 kali lebih tinggi mengalami imunodefisiensi daripada responden yang tidak bekerja. Faktor akses informasi kesehatan yang berhubungan signifikan dengan jumlah CD4 adalah pengalaman stigma, dimana responden yang tidak pernah mengalami stigma berisiko 0,095 kali untuk mengalami imunodefisiensi dibandingkan responden dengan pengalaman stigma. Faktor dukungan keluarga dan komunitas sebaya tidak berhubungan dengan jumlah CD4. Perlu dilakukan evaluasi untuk responden yang patuh minum ARV tetapi tidak mengalami kenaikan jumlah CD4 dan pemberian konseling perbaikan status gizi untuk responden dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) kurus dan anemia. Secara umum, penelitian ini diharapkan menghasilkan informasi yang dapat dimanfaatkan untuk evaluasi terapi pengobatan ARV pasien HIV/AIDS dan program pelayanan kesehatan untuk ODHA.

2. Penyebarluasan dan Pemanfaatan Hasil Penelitian dan Pengembangan Biomedis

Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan Balai Litbang Biomedis Papua selama tahun 2017 diantaranya dengan mengikuti beberapa seminar/simposium baik dalam negeri maupun luar negeri, yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung tercapainya tujuan dan sasaran kinerja Balai Litbang Biomedis Papua.

Kegiatan seminar/simposium yang diikuti oleh Balai Litbang Biomedis Papua selama tahun 2017 adalah :

a. Simposium TBUPDATE IX April 2017 diselenggarakan di Hotel Bumi Surabaya pada tanggal 29-30 April 2017.

b. Seminar Nasional Hari Nyamuk Tahun 2017, “Perkembangan terbaru dalam pengendalian Vektor nyamuk dan manajemen Resistensi Insektisida”.

c. International Symposium Natural Medicines (ISNM) 2017 diselenggarakan di IPB Convention Center pada tanggal 23–25 Agustus 2017.

d. The 2nd international Conference of Global Health (ICGH) 2017 yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran UI mengangkat topik berkaitan dengan peningkatan kualitas kesehatan dalam upaya mempercepat pembangunan bangsa.

e. Eijkman 6th International Conference, “25th year Celebration of the Eijkman Institute Genetics Diseases and Environment”.

f. Symposium on the International Collaborative/Training Center for leprosy Preventive and Treatment Research yang diselenggarakan oleh Shandong Provicial Institute of Dermatology and Venereology di Hotel Melia Resort pada tanggal 30 November 2017.

g. Workshop Bioinformatika yang diselenggarakan di Bogor.

Selain kegiatan seminar/simposium Balai Litbang Biomedis Papua juga memiliki Publikasi ilmiah di bidang biomedis dan teknologi dasar kesehatan pada media cetak dan elektronik nasional menghasilkan 4

publikasi ilmiah nasional dan 2 publikasi ilmiah internasional yang dapat dilihat dari dalam Tabel IV.3. berikut ini.

Tabel IV.3. Judul Publikasi Ilmiah Balai Litbang Biomedis Papua dalam Jurnal Nasional dan Internasional Tahun 2017

No Judul Publikasi Nama Penulis Media Publikasi Keterangan

1 Identification Of Antiretroviral Mutation In Protease and Reverse Transcriptase Inhibitor In Human Immundeficiency Virus-1 Of HIV/AIDS Patients In Mimika Regency, Papua

Mirna Widiyanti, Eva Fitriana, Evi Iriani Natalia, Irawati Wike

Folia Medica Indonesiana, Vol.53, No.1, Page 1 85, January -March 2017 Nasional 2 Entomological Surveillance Of Malaria Vectors In Saumlaki, Maluku Tenggara Barat Regency, Maluku Province

Semuel Sandy, Ivon Ayomi, Melda S Suebu, Y. Maladan, M.Raharjo Pardi, Jan Lewier Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.12, Number 2, Page 167 - 322, January 2017 Nasional 3 Penurunan CD4 Pada ODHA setelah terapi ARV lebih dari 39 bulan (Incomplete Restoration Of CD4 Cell Count after 39 Months of ARV Therapy

Hotma Martologi Lorensia Hutapea, Yunita Mirino, Mirna Widiyanti, Eva Fitriana, Yustinus Maladan, Antonius Oktavian MKMI Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (The Indonesian Jornal of Publich Health), Vol.13, No.3 -September 2017 Nasional

4 Low body mass index increases risk of anemia in adults with HIV-AIDS receiving antiretroviral therapy

Mirna Widiyanti, Reynold Ubra, Eva Fitriana Universa Medicina, Vol.36, No.3, September -Desember 2017 Nasional 5 Enterococcus hirae, Unexpected Bacteria Detected in Rectal Swab of A Subject in Nduga District, Papua Province by 16s rDNA Sequensing System

Hotma Martologi Lorensia Hutapea, Ratna Tanjung, Vatim Dwi Cahyani, Yustinus Maladan, Hana Krismawati, Antonius Oktavian

Journal Of Medical Science and Clinical Research (JMSCR), Vol.05, Issue 05, Page 22266 -22270, May – 2017 Internasional 6 Serologic Observation and Risk Factor of Yaws in Hamadi Public Health Center, Jayapura

Yuli Arisanti, Hotma Hutapea, Suhardi, Yustinus Maladan, Tri Wahyuni, M.Fajri Rokmad Health Science Journal of Indonesia (HSJI), Vol.8, Number 1, Page 1 -58, June 2017 Internasional

Dokumen terkait