• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI

Dalam dokumen Referat Hiv Pada Anak (Halaman 31-36)

Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:

a) Prong 1 : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif; b) Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif; c) Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi

yang dikandungnya;

d) Prong 4 : Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya.

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.

Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu-ke-bayi(preventing

mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi meningkatkan ketahanan hidup anak dan

kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas infeksi HIV pediatrik.

Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:

• ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4 di bawah 350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.

• Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.

• Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya menyusui, dan

profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam minggu apabila ibu tidak menyusui.

• Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak diketahui.

• Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.

Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi. Hal ini dapat dijelaskan karena sperma ayah yang menderita HIV tidak mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya buat anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi HIV pada perempuan.

Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.

1. PMTCT dengan antiretroviral penuh

Untuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai terapi antiretroviral penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan pada janin. Terapi antiretroviral dapat diberikan walaupun tidak memenuhi kriteria untuk mulai terapi antiretroviral; setelah melahirkan bisa berhenti lagi bila masih tidak dibutuhkan.

Pedoman baru dari WHO melonggarkan kriteria terapi antiretroviral untuk perempuan hamil. WHO mengusulkan perempuan hamil dengan penyakit stadium klinis 3 dan CD4 di bawah 350 ditawarkan ART (antiretroviral therapy). Jelas bila CD4 di bawah 200, atau mengalami penyakit stadium klinis 4, sebaiknya si perempuan memakai ART.

Namun ada sedikit keraguan dengan rejimen yang sebaiknya diberikan pada perempuan. Perempuan hamil tidak boleh diberikan efavirenz pada triwulan pertama. Selain itu, ada masalah dengan pemberian nevirapine pada perempuan dengan CD4 yang masih tinggi: efek samping ruam dan hepatotoksisitas (keracunan hati) lebih mungkin dialami oleh perempuan dengan di atas 250. Jadi dibutuhkan pemantauan yang lebih ketat, sedikitnya pada beberapa minggu pertama, bila nevirapine diberikan pada perempuan dengan CD4 di atas 250.(26) 2. PMTCT – mulai dini

Namun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil. Mungkin ARV tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai efavirenz pada triwulan pertama, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek samping. Bila dia pakai terapi TB (tuberculosis), diusulkan dihindari nevirapine, walaupun boleh tetap dipakai NNRTI (non

nucleoside reverse transcriptase inhibitor) ini bila tidak ada pilihan lain. Dan apa dampak

bila ART diberikan pada perempuan tetapi tidak pada suami yang terinfeksi juga? Apakah si perempuan akan kasih obatnya pada suami, atau lebih buruk lagi, obatnya dibagi dengan dia? Bila menghadapi beberapa masalah ini, atau si perempuan tetap tidak memenuhi kriteria untuk mulai ART penuh, sebaiknya dia ditawarkan protokol yang berikut.

Tabel 6. Rezimen PMTC Dini

AZT dan 3TC diteruskan setelah melahirkan untuk mencegah timbulnya resistansi pada nevirapine, karena walaupun hanya satu pil diberikan waktu persalinan, tingkat nevirapine dapat tetap tinggi dalam darah untuk beberapa hari, jadi serupa dengan monoterapi dengan nevirapine. Hal yang serupa pada bayi dicegah dengan pemberian AZT setelah dosis tunggal nevirapine.

Sekali lagi, protokol ini membutuhkan diagnosis dan perawatan agak dini, dan obat harus tersedia. Bila ibu diberikan AZT untuk kurang dari empat minggu sebelum melahirkan, AZT pada bayi sebaiknya diteruskan selama empat minggu, bukan tujuh hari.(26) 3. PMTCT – mulai lambat

Bila baru dapat mulai pengobatan waktu persalinan yang dapat dipaka sebagai berikut

Tabel 7. Rezimen PMTC Lambat 4. Makanan bayi

Sampai 10% bayi dari ibu HIV-positif tertular melalui menyusui, tetapi jauh lebih sedikit bila disusui secara eksklusif. Sebaliknya lebih dari 3% bayi di Indonesia meninggal akibat infeksi bakteri, yang sering disebabkan oleh makanan atau botol yang tidak bersih. Ada juga yang diberi pengganti ASI (PASI) dengan jumlah yang kurang sehingga bayi meninggal karena malnutrisi. ASI memberi semuanya yang dibutuhkan oleh bayi untuk tumbuh dan melawan infeksi. Jadi sering kali bayi lebih berisiko bila diberi PASI daripada ASI dari ibu HIV-positif. Oleh karena itu usulan sekarang adalah agar bayi diberi ASI eksklusif untuk enam bulan pertama, kemudian disapih mendadak, kecuali bila dapat dipastikan bahwa PASI secara eksklusif dapat diberi dengan cara AFASS

A = Affordable (terjangkau) F = Feasible (praktis)

A = Acceptable (diterima oleh lingkungan) S = Safe (aman)

S = Sustainable (kesinambungan)

Itu berarti tidak boleh disusui sama sekali. Ada banyak masalah: mahalnya harga susu formula, sehingga sering bayi tidak diberi cukup; kalau bayi menangis, ibu didesak untuk menyusuinya; ibu yang tidak menyusui dianggap kurang memperhatikan bayi, atau melawan dengan asas; air yang dipakai tidak bersih, atau campuran tidak disimpan secara aman; dan apakah PASI dapat diberi terus-menerus.

ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan atau minuman lain, termasuk air. ASI adalah sangat halus, mudah diserap oleh perut/usus. Makanan lain lebih keras sehingga lapisan perut/usus membuka agar diserap, membiarkan HIV dalam ASI menembus dan masuk darah bayi. Jadi risiko penularan tertinggi bila bayi diberi ASI yang mengandung HIV, bersamaan dengan makanan lain. Harus ada kesepakatan sebelum melahirkan antara ibu, ayah dan petugas medis agar bayi langsung disusui setelah lahir, sebelum diberi makanan/minuman lain. Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara mendadak (berhenti total menyusui).

DAFTAR PUSTAKA

1. LAPORAN KASUS HIV-AIDS DI INDONESIA Triwulan 3 Tahun 2011 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan, Kementerian Kesehatan RI

2. Prof. Subowo, dr. Msc.Phd. 2010.Imunologi Klinik.CV. SAGUNG SETO. P.177.Jakarta

3. Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Penyakit Menular. Dalam:

Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo d/a Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. 556.

4. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 – 247. 5. Abbas A, Lichtman A, Pober J. Cellular and Molecular Immunology. Philadelphia :

WB Saunders Co 1994; 418-25.

6. Stites D, Terr A, Parslow T. Medical Immunology. Ninth ed. London Prentice Hall Int Inc 1997; 748-55.

7. Sarwo Handayani.Balitbang Depkes RI.Deplesi Sel Limfosit CD4+ pada infeksi HIV.Cermin Dunia Kedokteran No.130.2001

8. Kuby J. Immunology. Second Ed. New York : Freeman and Co. 1996; 523-56. 9. Whittle H, Ariyoshi K, Rowland-Jones S. HIV-2 and T Cell Recognition. Current Op

in Immunol 1998; 10 : 383.

10. Wolther K, Schuitmaker H, Miedema F. Rapid CD4+ T-Cell Turnover HIV 1 Infection: Paradigm Revisited. J Immunol Today 1998; 19 : 44-7.

11. Benjamini E, Lekowitz S. Immunology : A Short Course. Second ed. New York: Wiley and Sons 1991; 226-9.

12. Roit I, Brostoff J, Male D. Immunology, Fourth ed. London: Mosby 1996; 16.7-16.8, 21.7.

13. Lane C. Immunophatogenesis of HIV Infection. Medscape HIV/AIDS. Annual Update. Norhwestern Univ Med School 1999.

14. O' Brien S, Dean M. In Search of AIDS-Resistance Genes. J Scient Am 1997; Sept : 28-33.

15.http://www.metapathogen.com/HIV-1/HIV-1-anatomy.html

16. Donel Suhaimi,dkk.2009.Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi HIV pada Kehamilan.Pekan Baru.

17. Greenwood D, Slack R, Peutherer J, Barer M. Medical microbiology: a guide to microbial infections: pathogenesis, immunity, laboratory diagnosis and control. Edisi ke-17. UK: Churchill Livingstone; 2007.

18. Green WC. Latar belakang dan masalah umum. Dalam: Green WC (eds). HIV, kehamilan, dan kesehatan perempuan. Yayasan spiritia, Jakarta;2009:4-6.

19. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16.

20. Samsuridjal D. Gejala-gejala infeksi HIV/AIDS. Dalam kumpulan Artikel dan

Makalah untuk Pelatihan Penatalaksanaan HIV/AIDS di RS provinsi sumatera Utara. Medan; http://www.ilunifk83.com/t71-hiv-aids

21. Lubis, Imran. Pemeriksaan Laboratorium untuk HIV, dalam AIDS pada Cermin Dunia Kedokteran No.75, 1992. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.

22. Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D. Penyakit Menular Seksual. Dalam: Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. 2006. 1677 – 1678.

23. Isselbacher, J Kurt. dkk. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Editor: Ahmad H. Asdie. Volume 4, Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.

24. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Penyakit menular seksual. Dalam: Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Obstetri Williams. EGC, Jakarta; 2006: 1680-1681. 25. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia:

PMTCT.net; 2008. h.1.

26. Kemenkes RI.2011.Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke Bayi.Jakarta

Dalam dokumen Referat Hiv Pada Anak (Halaman 31-36)

Dokumen terkait