• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Hiv Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Hiv Pada Anak"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Sejauh ini lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dan itu terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006 diperkirakan 4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak terkena HIV. Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus diri sendiri, sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi seluruh keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan perawatan mencakup penyuluhan yang memadai tentang penyakitnya, perawatan, pengobatan, serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya.

Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bias terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%.

Tingkat transmisi AIDS dapat dikurangi dari 25% - 30% menjadi kurang dari 2% (berkurang > 90%) kalau pakai obat antiretoviris (ARV) pada Trismester terakhir kehamilan, selama persalinan, dan kelahiran dan bayi diobati pascapersalinan selama 6 minggu dan tidak disusui. Aturan/resiman yang sangat efektif ini belum ada di Negara-negara sedang berkembang.

Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.(8)

Dampak acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus meningkat, dan saat ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab kematian anak di seluruh dunia. Saat ini World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena AIDS. (8)

Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS.

Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang

(2)

ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.(1),(2)

Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

II.1. DEFINISI

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency

Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk

menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.

Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam familia retrovirus

yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal.

Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV. Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Gejala umum yang sering terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya.

II.2. ETIOLOGI

Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae.Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy

associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau

orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated

virus (LAV) dan AIDS-associated virus.

Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun

(4)

demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.

Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

KARAKTERISASI VIRUS HIV

Gambar 1. Struktur anatomi HIV-1 dan HIV - 2

Partikel HIV terdiri atas inner core yang mengandung 2 untai DNA identik yang dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genon HIV mengandung gen env yang mengkode selubung glikoprotein, gen gag yang mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM 17.000) dan p24 (BM 24.000), dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse trans-criptase, integrase dan protease. Enzim-enzim tersebut dibuuhkan dalam proses replikasi. Selain itu HIV juga mengandung 6 gen lainnya yaitu vpr, vif, rev, nef dan vpu yang mengatur proses reproduksi virus. Bagian paling infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM 41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat ber-peran pada perlekatan virus HIV dengan sel hospes pada proses infeksi.

HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan HIV-2. Perbedaan infeksi kedua virus tersebut dapat dilihat pada tabel.

(5)

Tabel 1. Perbedaan infeksi HIV-2 dan HIV-1

II.3. PATOFISIOLOGI INFEKSI HIV

Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel Thelper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi.

Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik. Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV. Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV. Ketika replikasi virus

(6)

melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome (demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa. Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit.

Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp120 pada molekul CD4.

Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41 yang terdapat pada permukaan membran virus. Molekul CD4 banyak terdapat pada sel limfosit T helper/ CD4+, narnun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh sel tersebut.

Banyak bukti menunjukkan bahwa molekul CD4 memegang peranan penting pada petogenesis dan efek sitopatik HIV.5 Percobaan tranfeksi gen yang mengkode molekul CD4 pada sel tertentu yang tidak mempunyai molekul tersebut, menunjukkan bahwa sel yang semula resisten ter-hadap HIV berubah menjadi rentan terhadap infeksi tersebut.8 Efek sitopatik ini bervariasi pada sel CD4+, namun paling tinggi pada sel dengan densitas molekul CD4 permukaan yang paling tinggi yaitu sel limfosit T CD4+.

Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzim reverse

transcriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa integrasi

antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA integrasi dari HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau beberapa tahun tanpa memproduksi virion baru. Itu sebabnya infeksi HIV pada seseorang dapat bersifat laten dan virus terhindar dari sistem imun hospes.

Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga. Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasikan menjadi protein virus. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp41 dan gp120. RNA virus dan protein

core kemudian akan membentuk membran dan menggunakan membran plasma sel hospes

yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi provirus HIV dan pembentukan partikel virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang terinfeksi.

Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Secara in vitrotelah dibuktikan pada sel-T yang terinfeksi virus laten, rangsangan TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-6 dapat meningkatkan produksi virus yang infeksius. Hal ini penting karena monosit pada individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitoksin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus.

(7)

Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu; HTLV-1, cytomegalovirus, virus herpes simplex, virus

Epstein-Barr, adeno-virus, papovirus dan virus hepatitis B.

Gambar 2. Replikasi Virus HIV

Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya manifestai klinis pada anak. Walaupun di tes dengan menggunakan PCR atau isolasi virus untuk sequence asam nukleat dari virus, hanya 3 pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi baru lahir yang terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan penyakit yang cepat, dengan gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup ialah 9 bulan jika tidak diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami perjalanan penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan periode pertumbuhan cepat CD4 pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini menuju ke sumsum tulang, limpa, dan timus yang menghasilkan penyebaran sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang imatur dari janin. Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini menunjukkan hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48 jam pertama kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi inuterin. Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan (750000kopi/ml) dan menurun secara perlahan. Berbeda dengan orang dewasa bahwa muatan virus pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun pertama.

Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami pola penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat, dengan median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur yang negatif dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang terinfeksi intrapartum. Pada pasien mauatn virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3 bulan pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat setelah 24 bulan. Ini berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang dengan cepat setelah infeksi primer.

Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam jumlah kecil (<5%) host, dan infeksi virus yang cacat (adanya defek pada gen virus).

(8)

Perubahan sistem imun anak-anak karena infeksi HIV akan menyerupai infeksi HIV pada orang dewasa. Penurunan sel T akan kurang dramatis disebabkan karena pada bayi terjadi limfositosis relatif. Sebagai contoh, jumlah CD4 1.500 sel/mm3 pada anak <1>

Aktivasi sel B muncul pada infeksi awal pada kebanyakan anak sebagai bukti hipergammaglobulinemia dengan kadar antibodi anti-HIV-1 yang tinggi. Respon ini memperlihatkan adanya disregulasi dari supresi sel T dari sintesis antibodi sel B dan peningkatan jumlah CD4 aktif dari respon humoral sel limfosit B. Disregulasi dari sel B mendahului berkurangnya CD4 pada kebanyaka anak, dan dapat berguna sebagai alat bantu diagnosis infeksi HIV pengganti bila tes diagnosis spesific (PCR, kultur) tidak ada atau terlalu mahal. Meskipun peningkatan kadar imunoglobulin, bukti dari produksi antibodi spesifik tidak muncul pada beberapa anak. Hipogamaglobulinemia sangat jarang.

Pengaruh terhadap sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Makrofag dan mikroglia mempunyai peran penting dalam dalam neuropatogenesis HIV, dan dari data dilaporkan astrosit juga dapat berpengaruh. Meskipun mekanisme pada sistem saraf pusat belum begitu jelas, pertumbuhan otak pada bayi muda dipengaruhi 2 mekanisme, yaitu virus itu sendiri yang dapat menginfeksi bermacam-macam sel otak secara langsung ,atau secara tidak langsung dengan cara mengeluarkan sitokin (IL-1α, IL-1 , TNF- α, IL-2) atau oksigen reaktif dari limfosit atau makrofag yang terinfeksi HIV.

Gambar 3. Patogenesis HIV DEPLESI SEL LIMFOSIT CD4+

Jumlah virus yang terdapat pada sel hospes berhubungan dengan menurunnya fungsi sel T CD4+ dan parahnya penyakit. Kecepatan penurunan sel T CD4+ rendah dan relatif konstan pada individu terinfeksi HIV tetapi asimtomatik, dan menjadi lebih cepat pada individu terinfeksi HIV yang disertai dengan sinsitia (sel raksasa multinuklear). Jumlah sel T CD4+ pada darah penderita infeksi HIV merupakan indikator terpenting untuk

(9)

mengetahui perjalanan penyakit. Apabila jumlah sel T CD4+ kurang dari 600 sel/ul darah maka penderita mulai menunjukkan defisiensi imunitas seluler dan menderita infeksi oportunistik.

Berkembangnya infeksi HIV penyakit menjadi AIDS ditandai dengan berkurangnya jumlah sel T CD4+ pada darah tepi dari 1000 sel/ul menjadi kurang dari 200 sel/ul darah5. Pada individu normal perbandingan sel T CD4+ dan sel T CD8+ pada darah tepi adalah 2:1, akan tetapi pada penderita AIDS perbandingan ini menjadi terbalik, sehingga menjadi kurang dari 1 bahkan kurang dari 1:5

Menurunnya jumlah sel limfosit T CD4+ merupakan karakteristik infeksi HIV. Penurunan ini dapat disebabkan oleh rangsangan virus terhadap sel T CD4+ lain untuk mengeluarkan zat yang bersifat toksis terhadap sel T CD4+, eliminasi oleh respon imun hospes melalui antibodi komplemen atau melalui Antibody-Dependent Cell-mediated Cytotoxicity

(ADCC), dan rangsangan signal yang menyebabkan apoptosis.

Satu atau lebih protein HIV dapat bersifat sebagai superantigen yang berikatan dengan rantai beta pada reseptor sel T dan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II pada Antigen Presenting Cell (APC). Ikatan ini akan menyebabkan signal apoptosis terhadap sel T. Selain itu ada beberapa efek sitopatik langsung HIV terhadap sel yang terinfeksi sehingga menyebabkan lisisnya sel yaitu.

1) Proses produksi virus dengan ekspresi gp 41 pada mem-bran plasma dan budding partikel virus akan menyebabkan;

• Kenaikan permeabilitas membran plasma

• Masuknya kalsium dalam jumlah yang mematikan • Lisis sel.

2) Membran plasma sel terinfeksi HIV akan bergabung dengan sel T CD4+ lain melalui interaksi molekul gp 120-sel T CD4+, sehingga membentuk sel raksasa multinuklear atau sinsitia. Proses pembentukan sinsitia ini dapat menyebabkan kematian sel yang terinfeksi HIV maupun sel yang tidak terinfeksi

3) DNA virus yang tidak terintegrasi dalam sitoplasma atau sejumlah RNA yang tidak berfungsi dapat bersifat toksik terhadap sel yang terinfeksi.

4) Produksi virus akan mengganggu sintesis atau ekspresi protein sehingga menyebabkan kematian sel.

Selain menyebabkan menurunnya jumlah sel limfosit T CD4+, infeksi HIV juga menyebabkan menurunnya fungsi sel tersebut, yang secara tidak langsung berhubungan dengan efek sitopatik dan pengurangan jumlah sel limfosit T. Respon humoral terhadap antigen terlarut dan respon sel T sitotoksik (CTL) terhadap virus tertentu juga terganggu, mungkin karena gagalnya sel T CD4+ mensekresi sitokin dalam jumlah yang cukup untuk diferensiasi fungsi sel B dan CTL.

Penurunan fungsi sel T CD4+ disebabkan oleh ikatan gp120 dengan molekul CD4 pada permukaan sel T. Ikatan ini menyebabkan molekul CD4 yang telah berikatan dengan gp120 tidak dapat berinteraksi dengan molekul MHC kelas II pada APC, sehingga respon sel T terhadap antigen terlarut dapat dihambat. Kemungkinan lain gp120 yang berikatan dengan

(10)

molekul CD4 menyebabkan fungsi pengaturan ekspresi permukaan beberapa molekul yang dibutuhkan untuk aktivasi sel T menurun. Selain itu protein tat HIV dapat memblok respon imun, yang dirangsang oleh antigen melalui jalur aktivasi sel T intra seluler

Selain menginfeksi sel limfosit T CD4+, HIV dapat juga menginfeksi monosit atau makrofag lebih rendah daripada sel limfosit T, karena makrofag relatif lebih resisten. Hal ini disebabkan karena sitotoksisitas virus membutuhkan ekspresi molekul CD4 yang cukup tinggi. Makrofag dapat terinfeksi melalui jalur bebas molekul CD4, yaitu melalui fagositosis sel lain yang terinfeksi atau endositosis melalui reseptor Fc antibodi yang mengikat HIV. Pada umumnya makrofag dapat diinfeksi oleh HIV namun tidak dapat dibunuh oleh virus tersebut, sehingga sering merupakan reservoir. Meskipun makrofag relatif resisten terhadap sitolisis HIV, namun seringkali fungsinya juga berkurang pada individu terinfeksi HIV. Berkurangnya fungsi makrofag tersebut meliputi menurunnya kemokinesis dan produksi sitokin. Fungsi APC pada makrofag juga menurun, kemungkinan disebabkan karena menurunnya pengaturan ekspresi MHC kelas II.

Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap infeksi lain dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan kerusakan jaringan limfoid semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm' (normal 1.500 sel/mm'). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi.

II.4. TRANSMISI

Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :

1. Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual. Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti sifilis danchancroid akan memudahkan terjadinya infeksi HIV.

2. Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah balk itu tranfusi whole blood, plasma, trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.

3. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan psikotropika.

4. Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 15-40% berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.

Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang

(11)

disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:

Gambar 4. Transmisi dari ibu ke anak

Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi – seperti juga ART untuk siapa pun terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Seperti ditunjukkan pada gambar, penularan dapat terjadi dalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB.

Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui. Gambar 5. Child in Utery

(12)

Faktor risiko lain termasuk kelahiran premature (bayi lahir terlalu dini) dan kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko menunjukkan satu hal: yang terpenting adalah mengawasi kesehatan ibu.

Beberapa pokok kunci:

• Status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya

• Status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya • Status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu

II.5. FAKTOR RISIKO PENULARAN

Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi: 1. Faktor ibu dan bayi

a. Faktor ibu

Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang.

Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4 kurang dari 200.

Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat.

Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat kadar CD4 yang kurang dari 200 serta adanya masalah pada ibu seperti mastitis, abses, luka di puting payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan menjadi meningkat bila ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya.

b. Faktor bayi

1) Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,

2) Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya

2. Faktor cara penularan

a. Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi, b. Bayi menelan darah ataupun lendir ibu,

(13)

c. Persalinan yang berlangsung lama, d. Ketuban pecah lebih dari 4 jam

e. Penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan tindakan episiotomi

f. Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada ASI

Tabel 2 Faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi

II.6. PERJALANAN PENYAKIT

Perjalanan penyakit infeksi HIV terdiri atas tiga fase sesuai dengan perjalanan infeksi HIV itu sendiri,yaitu:

1. Serokonversi

Serokonversi adalah masa selama virus beredar menuju target sel (viremia) dan antibodi serum terhadap HIV mulai terbentuk. Sekitar 70% pasien infeksi HIV primer menderita sindrom mononucleosis-like akut yang terjadi dalam 2 hingga 6 minggu setelah infeksi awal, yang dikenal juga sebagai sindrom retroviral akut (acute retroviral syndrome; ARS). Sindrom ini terjadi akibat infeksi awal serta penyebaran HIV dan terdiri dari gejala-gejala yang tipikal, namun tidak khas. Sindrom ini memiliki bermacam-macam manifestasi, gejala yang paling umum mencakup demam, lemah badan, mialgia, ruam Wit, limfa denopati, dan nyeri tenggorokan (sore throat). Selama masa ini terjadi viremia yang sangat hebat dengan penurunan jumlah limfosit CD4.

(14)

2. Penyakit HIV Asimtomatis

Setelah infeksi HIV akut dengan penyebaran virus dan munculnya respons imun spesifik HIV, maka individu yang terinfeksi memasuki tahap kedua infeksi. Tahap ini dapat saja asimtomatis sepenuhnya. Istilah klinis 'laten' dulu digunakan untuk menandai tahap ini, namun istilah tersebut tidak sepenuhnya akurat karena pada tahap laten sejati (true latency), replikasi virus terhenti sementara.

Jika tidak diobati masa laten infeksi HIV dapat berlangsung 18 bulan hingga 15 tahun bahkan Iebih, rata-ratanya 8 tahun. Pada tahap ini penderita tidak rentan terhadap infeksi dan dapat sembuh bila terkena infeksi yang umum. Jumlah CD4+ sel T secara perlahan mulai turun dan fungsinya semakin terganggu. Penderita dengan masa laten yang lama, biasanya menunjukkan prognosis yang lebih baik.

3. Infeksl HIV simtomatik atau AIDS.

Jika terjadi penurunan jumlah sel CD4+ yang meningkat disertai dengan peningkatan viremia maka hal tersebut menandakan akhir masa asimtomatik. Gejala awal yang akan ditemui sebelum masuk ke fase simtomatik adalah pembesaran kelenjar limfe secara menyeluruh (general limfadenopati) dengan konsistensi kenyal, mobile dengan diameter 1 cm atau lebih. Seiring dengan menurunnya jumlah sel CD4+ dan meningkatnya jumlah virus di dalam sirkulasi akan mempercepat terjadinya infeksi oportunistik.

Gambar 7. Kronologi Respon Autoimun pada AIDS

(a) Kerusakan sel CD4+ sebagai penyebab merosotnya jumlah dan fungsi sel CD4+, virus merusak sel replikasi, pertunasan menyebabkan kerusakan membran (b) Ikatan gp120 pada sel terinfeksi dengan CD4 menyebabkan fungsi sel-sel menjadi sinsitium, (c) Sel terinfeksi dirusak oleh sel Tc dan NKC, (d) gp120 bebas berikatan dengan sel CD4+ sehat menyebabkan respon autoimun.

(15)

langsung hilangnya imunitas selular (cellmediated immunity) yang disebabkan oleh hancurnya limfost T helperCD4+ '. Orang dengan penurunan jumlah sel CD4+ ' hingga kurang dari 200 sel/mm3 dikatakan menderita AIDS, meskipun kondisi ini tidak disertai dengan adanya penyakit yang menandai AIDS (Tabel 1). Definisi ini mencerminkan peningkatan kecenderungan timbulnya masalah yang berkaitan dengan HIV yang menyertai rendahnya jumlah sel CD4+ ' secara progresif.

Setelah AIDS terjadi, maka sistem imun sudah sedemikian terkompensasi sehingga pasien tidak mampu lagi mengontrol infeksi oleh patogen oportunis yang pada kondisi normal tidak berproliferasi, serta menjadi rentan terhadap terjadinya beberapa keganasan. Pasien dengan AIDS yang tidak diobati rata-rata meninggal dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun. Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :

Infeksi virus (2-3 minggu)

I

Sindrom retroviral akut (2-3 minggu) Gejala menghilang + serokonversi

I

Infeksi kronis HIV-asimtomatik (rata-rata 8 tahun)

I

Infeksi HIV/AIDS simtomatik (rata-rata 1,3 tahun)

I

Kematian

Bagan 1. Perjalanan penyakit alamiah infeksi HIV

Grafik 1. Perubahan CD 4 +

II.7. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi, anak-anak dan remaja. Pada kebanyakan bayi pemeriksaan fisik biasanya normal. Gejala inisial dapat sangat sedikit, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali, atau yang tidak spesifik seperti kegagalan untuk

(16)

tumbuhm diare rekuren atau kronis, pneumonia interstitial. Di Amerika dan Eropa sering terjadi gangguan paru-paru dan sistemik, sedangkan di Afrika lebih sering terjadi diare dan malnutrisi.

Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut enter for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO).

Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu status klinis dan derajat gangguan imunologis, lihat tabel 3 dan tabel 4.

DEFINISI STATUS IMUNOLOGIS

KATEGORI IMUNOLOGIS

JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT TERHADAP USIA

0 – 1 tahun 1-5 tahun 6-12 tahun

µL % µL % µL %

1. Nonsuppressed ≥ 1500 ≥ 25 ≥ 1000 ≥ 25 ≥ 500 ≥ 25

2. Moderate suppression 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-24 3. Severe suppression <> <15 <> <15 <> <15 Tabel 3. Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan Jumlah CD4 dan Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia(1),(2)

DEFINISI STATUS IMUNOLOGIS

Klasifikasi Secara Klinis N : Tanpa Gejala dan Tanda A : Gejala dan Tanda Ringan B : Gejala dan Tanda Sedang C : Gejala dan Tanda Berat 1. Nonsuppressed N1 A1 B1 C1 2. Moderate suppression A2 C2 B2 C2 3. Severe suppression A3 C3 B3 C3

Tabel 4. Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun Secara Klinis(1) Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun. (1),(7)

 Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan satu bentuk kelainan berdasarkan kategori A.

 Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak termasuk kategori B atau C :

• Lymphadenopathy (≥ 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang bilateral dianggap sebagai satu kesatuan).

• Hepatomegali • Splenomegali • Dermatitis • Parotitis

(17)

 Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang tidak termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejala-gejala yang terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV

• Anemia (<8g/dl) neutropenia (< 1000/ul), trombositopenia (<100.000/ul)menetap > 30 hari

• Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode).

• Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak berusia enam bulan atau kurang.

• Kardiomiopati.

• Infeksi CMVyang terjadi lebih dari satu bulan. • Diare

• Hepatitis

• Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali dalam satu tahun).

• Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang terjadi sebelum usia satu bulan.

• Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu dermatom. • Leiomyosarcoma

• Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal kompleks. • Nefropati.

• Nocardiosis.

• Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih. • Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan. • Varicella diseminata atau dengan komplikasi.

 Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan ditemukan pada pasien AIDS.

• Kandidiasis bronki, trakea, dan paru • Kandidiasis esofagus

• Kanker leher rahim invasif

• Coccidiomycosis menyebar atau di paru • Kriptokokus di luar paru

• Retinitis virus sitomegalo

• Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV • Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan • Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia • Histoplasmosis menyebar atau di luar paru • Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan • Sarkoma Kaposi

• Limfoma Burkitt • Limfoma imunoblastik • Limfoma primer di otak

(18)

Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar paru

M. Tuberculosis dimana saja

• Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar paru • Pneumonia Pneumoncystitis carinii

• Pneumonia berulang

• Leukoensefalopati multifokal progresif • Septikemia salmonella yang berulang • Toksoplasmosis di otak

Sedangkan klasifikasi WHO pada anak ialah : Stadium Klinis 1

• Tanpa gejala (asimtomatis)

• Limfadenopati generalisata persisten Stadium Klinis 2

• Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani • Erupsi papular pruritis

• Infeksi virus kutil yang luas • Moluskum kontagiosum yang luas • Infeksi jamur di kuku

• Ulkus mulut yang berulang

• Pembesaran parotid persisten tanpa alasan • Eritema lineal gingival (LGE)

• Herpes zoster

• Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis, atau tonsilitis)

Stadium Klinis 3

• Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku • Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)

• Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan)

• Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu) • Oral hairy leukoplakia (OHL)

• Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut • Tuberkulosis pada kelenjar getah bening

• Tuberkulosis paru

• Pneumonia bakteri yang parah dan berulang • Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala

(19)

• Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis • Anemia (<8g/dl),>

Stadium Klinis 4ii

Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa alasan dan

tidak menanggapi terapi yang baku • Pneumonia Pneumosistis (PCP)

• Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)

• Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun)

• Tuberkulosis di luar paru • Sarkoma Kaposi

• Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru) • Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)

• Ensefalopati HIV

• Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)

• Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)

• Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis) • Kriptosporidiosis kronis

• Isosporiasis kronis

• Infeksi mikobakteri non-TB diseminata • Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B

Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)

• Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

Catatan:

i ‘Tanpa alasan’ berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.

ii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya penisiliosis di Asia)

II.8. DIAGNOSIS

Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.

Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah : 1. Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV

(20)

Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme immunoassays (EIA),immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB).

2. Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV

3. Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV

4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika) 5. Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.

Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian manifestasi klinis. Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium.

Tes untuk mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam kehidupan pertama. Hampir 40% bayi dapat didiagnosis pada masa ini. Disebabkan karena banyak bayi yang terinfeksi HIV mempunyai perkembangan penyakit yang cepat sehingga memerlukan terapi yang progresif pula. Pada anak yang terpapar HIV dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari pertama, beberapa pendapat mengusulkan perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali pada hari ke-14 untuk memaksimalkan deteksi dari virus ini.

Terdapat beberapa tes HIV yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Kebanyakan dari tes-tes ini hanya membutuhkan satu step pengambilan sampel dan hasilnya didapat lebih cepat (< style=""> pada 2 hari pertama kehidupan, dan > 90% pada usia > 2 minggu kehidupan. Uji RNA HIV plasma, yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada PCR DNA untuk diagnosis awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur HIV mempunyai sensitivitas yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun tekniknya lebih sulit dan mahal, dan hasilnya sulit didapat pada beberapa minggu, dibandingkan dengan PCR yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24 bersifat lebih spesifik dan mudah untuk dilakukan namun kurang sensitif dibandingkan dengan uji virologis lainnya.

Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi HIV jika pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada bayi (tidak termasuk darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali hasil positif pada pemeriksaan kultur HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral blood mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau RNA polymerase chain reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV. Pemeriksaan-pemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayi-bayi yang belum pernah diberi ASI sebelumnya.

Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat dinyatakan tidak terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif sampai usia bayi lebih dari empat bulan dan bayi tidak mendapat ASI.

(21)

Berdasarkan pengamatan atas penderita AIDS secara terus menerus selama sakitnya maka dapat dibuat suatu hipotesa mengenai lama dan relatif konsentrasi antigen (HIV) dan antibodi dalam darah penderita. Gambaran parameter serologi infeksi HIV–1 tampak pada Grafik 1, dan dapat dipakai sebagai patokan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi HIV.

Pada bulan pertama setelah terjadi infeksi, dalam darahpenderita masih ditemukan virus HIV (viremia pertama). Pemeriksaan untuk isolasi HIV pada periode ini sangat jarang berhasil, karena sulit mengetahui kapan infeksi terjadi, lagipula viremia hanya berlangsung sebentar, sekitar 2 bulan. Padaakhir bulan ke 2 tubuh mulai membentuk antibodi terhadap envelope dan disusul dengan pembentukan antibodi terhadap core (inti). Pada saat itu pemeriksaan antibodi HIV mulaimenjadi positif untuk jangka waktu lama, kecuali pada antiboditerhadap core yang dapat menurun setelah beberapa tahunkemudian, tergantung dari frekuensi infeksi ulang. Ini berartibahwa selama paling sedikit 2 bulan penderita tampak sehatdan dalam darahnya antibodi HIV tidak terdeteksi olehpemeriksaan serologi; periode ini disebut window period. Setelah 5–10 tahun HIV mulai ditemukan dalam darahuntuk kedua kalinya (viremia kedua), di samping itu jugaditemukan antibodi terhadap envelope. Tampak bahwa antiboditerhadap envelope selalu dapat ditemukan dalam darahdibanding dengan antibodi terhadap core.

Grafik 1. Parameter Serologi Infeksi 11 IV–1 Konsentrasi Relatif

Grafik 2. Respon Imun terhadap HIV

Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakanmetoda ELISA/EIA (enzyme

linked immunoadsorbent assay). ELISA pada mulanya digunakan untuk skrening

darah donordan pemeriksan darah kelompok risiko tinggi/tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian dilanjutkan denganpemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakaimetoda Western Blot. Test'konfirmasi lain yang jarang dipakailagi adalah RIPA (Radioimmunoprecipitation Assay), IFA

(Immunofluorescence Antibody Technique).Berbagaimacam testkonfirmasi tersebut

tidak lebih sensitif dari ELISA, sulit dikerjakan,mahal, lama dan masih dapat memberi hasil tidak benar, false positive, false negative,

indeterminate. Penggabungan test

ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.

(22)

Enzym immunoassay (EIA) digunakan sebagai uji penapis antibodi HIV. Uji penapis yang positif memiliki sensitivitas lebih dari 99,5 persen. Uji positif dikonfirmasi dengan western blot atau immunofluorescence assay (IFA). Walaupun sangat positif, western blot kurang sensitif dibandingkan dengan immunoassay, karena untuk memberi hasil positif diperlukan lebih banyak antibodi. Dengan demikian immunofluorescence assay dapat digunakan untuk memastikan sampel yang positif-EIA tetapi hasil western blot-nya meragukan. Menurut Center for Diseases and

Prevention (1998B) antibodi dapat dideteksi pada 95% pasien dalam waktu 6 bulan

setelah infeksi, dan karenanya pemeriksaan antibodi tidak dapat menyingkirkan infeksi yang terjadi lebih dini. Untuk infeksi HIV primer akut, diperlukan identifikasi antigen inti P24 atau RNA Virus. Hasil konfirmasi yang positif palsu jarang terjadi dan pada satu penelitian terhadap hampir 300.000 donor darah, dengan menggunakan biakan virus, tidak terdeteksi adanya hasil positif palsu wester blot (Center for

Diseases and Prevention (1995)).

Hasil western blot yang meragukan dapat terjadi karena faktor-faktor yang mencakup: • Individu baru terinfeksi, sehingga sedang mengalami serokonversi

• Penyakit HIV stadium akhir

• Bayi yang terpajan secara perinatal dan sedang mengalami serokonversi

• Reaksi nonspesifik pada wanita tidak terinfeksi yang sedang atau pernah hamil.

2. Pemeriksaan ELISA/EIA

ELISA dari berbagai macam kit yang ada di pasaran mempunyai cara kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau sumur microplate. Serum atau plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai 2 jam kemudian dicuci. Ella terdapat IgG (immunoglobulin G) yang menempel pada biji-biji atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan antibodi. Antibodi anti-IgG tersebut terlebih dulu sudah diberi label dengan enzim (alkali fosfatase,horseradish

peroxidase) sehingga setelah kelebihan enzim dicuci habis maka enzim yang tinggal

akan bereaksi sesuai dengankadar IgG yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat. Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG.

Pada setiap tes selalu diikutkan kontrol positif dan negatif untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga kadardi atas cut-offvalue atau di atasabsorbance level spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV di masa lampau. Tes ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 2–3 masa sakit. Selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat ditemukan virus HIV/partikel HIV dan penurunan jumlah sel T4 (Gratik).

(23)

Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi, kemudian setelah 3 bulan IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam sel tubuh) HIV sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah Sel T4 akan kembali ke normal. Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati, karena tergantung dari fase penyakit. Pada umumnya, hasil akan positifpada lase timbul gejalapertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini AIDS

(Pre AIDS phase).

Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilaisensitivitas yang tinggi: 98,1% – 100%, Western Blot memberinilai spesifik 99,6% – 100%. Walaupun begitu, predictive value hasil test positif tergantung dari prevalensi HIV di masyarakat.Pada kelompokpenderita AIDS,predictive positive value adalah100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5% – 100%. Predictive value dari hasil negatif ELISA pada masyarakat sekitar 99,99% sampai 76,9% pada kelompok risiko tinggi. Di samping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu diperhatikan adalah:

1) Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen (akhir-akhir ini sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh karena itu test uji baru akan positif bila penderita telah mengalami serokonversi yang lamanya 2–3 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau lebih (pada keadaan immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV laten dapat temp negatif selama 34 bulan.

2) Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Pen-Cermin Dunia

Kedokteran No. 75, 1992 15 derita AIDS pada taraf permulaan hanya

mengandung IgM, sehingga tidak akan terdeteksi. Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu.

3) Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV– 1. Bila test ini digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24%. Tetapi HIV–2 paling banyak ditemukan hanya di Afrika.

4) Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan dalam test kemurniannya berbeda dengan HIV di alam. Oleh karena itu test ELISA harus dikorfirmasi dengan test lain. Tes ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi walaupun hasil negatif tesini tidak dapat menjamin bahwa seseorang bebas 100%dari HIV-1 terutama pada kelompok resiko tinggi.

Akhir-akhir ini test ELISA telah menggunakan recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.Antibodi terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa saja (Graf k). Sedangkan antibodi terhadap p24 (proten dari core) bila positif berarti penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi

(24)

Pemeriksaan Western Blot cukup sulit, mahal, interpretasinyamembutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar24 jam.Cara kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIVmurni pada polyacrylamide gel yang diberi anus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum penderita. Antibodi HIV dideteksi dengan memberikan antlbodi anti-human

yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama bila diberi

suatusubstrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari bermacam-macam proteinenvelope dan core dapat mengidentifikasi macam antigen HIV.

Antibodi terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein precursor (p25) timbul pada stadium awal kemudian menurunpada saat penderita mengalami deteriorasi. Antibodi terhadap envelope (env) penghasil gen (gp160) dan

precursornya (gp120) dan protein transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada

penderita AIDS pada stadium apa saja. Beberapa protein lainnya yang sering ditemukan adalah: p3 I, p51, p66, p14, p27, lebih jarang ditemukan p23, p15, p9, p7. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengandung antibodi HIV yang lengkap maka Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari HIV antigen cetakannya. Definisi hasil pemeriksaan Western Blot menurut profit dari band protein dapat bermacam-macam, pada umumnya adalah:

1. Positif:

a) Envelope : gp4l, gpl2O, gp160.

b) Salah satu dari band : p 15, p 17, p24, p31, gp4l, p51, p55, p66. 2. Negatif : Bila tidak ditemukan band protein.

3. Indeterminate : Bila ditemukan band protein yang tidak sesuai dengan profil positif.

Hasil indeterminate diberikan setelah ditest secara duplo dan penderita diberitahu untuk diulang setelah 2–3 bulan. Hal ini mungkin karena infeksi masih terlalu dini sehingga yang ditemukan hanya sebagian dari core antigen (p17, p24, p55). Akhir-akhir ini hasil positif diberikan bila ditemukan paling tidak p24, p31 dan salah satu dari gp41 atau gpl60. Dengan makin ketatnya !criteria Western Blot maka spesifisitas menjadi tinggi, dan sensitifitas turun dari 100% dapat menjadi hanya 56% karena hanya 60% penderita AIDS mempunyai p24, dan 83% mempunyai p31.

Sebaliknya cara ini dapat menurunkan angka false positive pada kelompok risiko tinggi, yang biasanya ditemukan sebesar 1 di antara 200.000 test padahal test tersebut sudah didahului dengan test ELISA. Besar false negative Western Blot belum diketahui secara pasti, tapi tentu tidak not. False negative dapat terjadi karena kadar antibodi HIV rendah, atau hanya timbulband protein p24 dan p34 saja (yaitu pada kasus dengan infeksi HIV– 2). False negative biasanya rendah pada kelompok masyarakat tetapi dapat tinggi pada kelompok risiko tinggi. Cara mengatasi kendala tadi adalah dengan menggunakanrecombinant HIV yang lebih murni

(25)

4. Pemeriksaan Penunjang HIV AIDS lainnya: 1) Foto Thoraks

2) Pemeriksaan Fisik

a) Penampilan umum tampak sakit sedang, berat b) Tanda vital

c) Kulit terdapat rush, steven jhonson

d) Mata merah, icterik, gangguan penglihatan e) Leher: pembesaran KGB

f) Telinga dan hidung; sinusitis berdengung g) Rongga mulut: candidiasis

h) Paru: sesak, efusi pleura, otot bantu i) Jantung: pembesaran jantung

j) Abdomen: ascites, distensi abdomen, pembesaran hepar k) Genetalia dan rectum: herpes

l) Neurologi: kejang, gangguan memori, neuropati 3) Mantoux test

4) Pemeriksaan Laboratorium Darah (Kadar CD4, Hepatitis, Paps Smear, Toxoplasma, Virus load)

II.9. PENATALAKSANAAN

Terapi Anti Retroviral (ARV)

Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis. Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis menurut klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan :

1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau persentasenya.

2. Usia

3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2 pilihan :

a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.

b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan, keamanan dan kepatuhan.

Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah : • Peningkatan viral load

• Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun (Kategori Imun 2 pada tabel )

(26)

Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai berikut : (7)

1) Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV secara dini.

2) Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama sedikitnya 1 tahun

3) Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll. 4) Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART 5) Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.

6) Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik akibat HIV

7) Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.

8) Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.

9) Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan informasi dan pedoman baru.

10) Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.

Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita, dan anak yang terinfeksi HIV.

Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan tersendiri.

Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa.

Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:

1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC).

2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).

(27)

3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).

Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :

Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari Kolom B Kolom A Kolom B Nevirapine (NVP) AZT + ddl Nelfinavir (NVF) ddl+3TC d4T + ddl AZT + 3TC d4T + 3TC

Tabel 5. Regimen ART yang diusulkan di Indonesia

Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse transcriptase

inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease inhibitor dengan 2NRTIs.

Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral. Protease

inhibitor sebagai pilihan utama dengan 2NRTIs. Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah

2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimennonnucleoside terpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapi nucleoside analogue adalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir. Pemantauan pengobatan

Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat : 1. Kepatuhan minum obat.

2. Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu sendiri.

Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap 3 bulan sekali.

Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART: 1. Secara klinis

a. Berat badan meningkat

b. Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak berat

c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu, demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik.

(28)

Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah, kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan perjalanan penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang digunakan. Tes jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan profilaksis dapat dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total.

Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ART

Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas. (7)

Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau penghentian dilakukan apabila :

1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya monoterapi atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor (NRTI)

2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.

3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa minggu

4. Infeksi opportunistik dengan immune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan kembali kekebalan.

Asuhan Gizi

Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi HIV. Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia, gangguan penyerapan sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan muntah, dan gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi yang baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap AIDS.

Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang mengkonsumsi ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opoortunistik dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan pengaturan diet seperti obat ARV dimakan ketika saat lambung kosong.

Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan secara oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian stimulan nafsu makan, seperti megestrol acetate dan human recombinant growth

hormone dapat memberikan kenaikan berat badan dan pertumbuhan.

Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang sangat drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein dapat diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine.

(29)

Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi diberikan pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana pemberian PASI tidak memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan cara diperas dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66OC untuk membunuh virus HIV.

Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut :

1. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak terinfeksi atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya.

2. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaliknya memberikan susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag diencerkan.

3. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI.

II.10. PROGNOSIS

Viremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan resiko perjalanan penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada infeksi perinatal berhubungan dengan terjadinya encephalofati, infeksi, perkembangan menjadi AIDS lebih awal, dan berkurangnya jumlah limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi, kurang lebih 30% bayi yang terinfeksi berkembang menjadi gejala klinis berat kategori C atau kematian dalam 1 tahun kehidupan. Dengan terapi yang optimal angka mortalitas dan morbiditas menjadi rendah

II.11. PENCEGAHAN

1. Dapatkah perempuan terinfeksi HIV hamil/memiliki anak

Kita semua berhak untuk menikah dan mendapatkan keturunan. Menjadi HIV positif tidak mengurangi hak kita. Namun jelas tanggung jawab kita juga lebih besar. Kita pasti ingin supaya anak kita tidak terinfeksi HIV, dan ada beberapa cara untuk mengurangi risiko ini. Selain itu, kita pasti ingin tetap sehat agar dapat membesarkan anak kita. Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak.

2. Penatalaksanaan selama kehamilan

Konseling merupakan keharusan bagi wanita positif-HIV. Hal ini sebaiknya dilakukan pada awal kehamilan, dan apabila ia memilih untuk melanjutkan

Gambar

Gambar 1. Struktur anatomi HIV-1 dan HIV - 2
Tabel 1. Perbedaan infeksi HIV-2 dan HIV-1
Gambar 2. Replikasi Virus HIV
Gambar 3. Patogenesis HIV DEPLESI SEL LIMFOSIT CD4+
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem konsonan bahasa Cina 28 vokal kompleks bahasa Cina 19 Konsonan perbendaharaan asli bahasa Melayu 8 Konsonan pinjaman bahasa Melayu Diftong dan vokal bahasa Melayu Jumlah

meningkatkan kandungan humus dan menggemburkan tanah sehingga akar tanaman dapat menyerap unsur hara dalam tanah yang membuat kangkung tumbuh secara baik, bila

Dari hasil analisis pandangan tokoh-tokoh di atas, dapat dipahami bahwa dalam surat yang pertama kali diturunkan kepada nabi Muhammad, manusialah yang mendapat mandat

 %ika peserta didik menjawab namun kurang jelas atau tepat sesuai dengan kajian teori pada buku pembelajaran. Sk)r  %ika peserta didik menjawab tidak sesuai dengan kajian

Nilai p &lt; 0,05 dapat diinterpretasikan secara statistik bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar magnesium dalam air dengan kejadian batu saluran kemih, sehingga

pembelian adalah bauran pemasaran yang terdiri dari : produk, harga, promosi, dan distribusi. Dalam penelitian ini dipilih variabel produk, harga, dan kemudahan lokasi

a. Kinerja organisasi adalah pencapaian hasil organisasi dalam rangka mencapai target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Indikator kinerja organisasi yang

Dari hasil pengujian ini menunjukkan bahwa nilai stabilitas dari semua variasi suhu yang diteliti semuanya memenuhi syarat dan nilai stabilitas optimum terdapat