• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5 Pencegahan Ko-Infeksi HIV-TB .1 Pencegahan Primer.1Pencegahan Primer

2.5.3 Pencegahan Tersier .1 Pengobatan.1 Pengobatan

A. HIV (Kemenkes RI, 2013)

Pengobatan HIV bertujuan untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup pengidap HIV yang dilakukan secara bersamaan dengan penapisan dan terapi infeksi oportunistik, pemberian kondom dan konseling. Pengobatan AIDS bertujuan untuk menurunkan sampai tidak terdeteksi jumlah virus (viral load) HIV dalam darah dengan menggunakan kombinasi obat ARV.

Pengobatan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan:

a. terapeutik, meliputi pengobatan ARV, pengobatan IMS, dan pengobatan infeksi oportunitis.

b. profilaksis, meliputi: pemberian ARV pasca pajanan dan kotrimoksasol untuk terapi dan profilaksis

c. penunjang, meliputi pengobatan suportif, adjuvant dan perbaikan gizi.

Pengobatan ARV diberikan setelah mendapatkan konseling, mempunyai pengingat minum obat (PMO) dan pasien setuju patuh terhadap pengobatan seumur hidup dan harus diinkasi bagi:

a. penderita HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3;

b. ibu hamil dengan HIV, dan

c. penderita HIV dengan tuberkulosis.

B. Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2011)

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan memperhatikan riwayat pengobatan sebelumnya.

Sehingga penderita tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif b. Kasus yang sebelumnya diobati

b.1 Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

b.2 Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

b.3 Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

c. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya.

d. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,

seperti:

d.1 Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,

d.2 Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, d.3 Kembali diobati dengan BTA negative.

Catatan:

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

WHO memberikan rekomendasi dosis untuk tiap jenis obat berdasarkan berat badan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.3 Rekomendasi Dosis untuk Tiap Jenis Obat Berdasarkan Berat

Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampicin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40)

-Ethambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35)

-Streptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

(WHO, 2009)

Khusus untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun mungkin tidak bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena itu direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mg/kg per hari pada pasien dengan umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin tidak bisa menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari (WHO, 2009).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

c.1 Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Dan sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

c.2 Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian

obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yaitu: pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, atau pasien TB ektra paru.

Tabel 2.4 Panduan OAT yang Diberikan untuk Pasien Baru Berat Badan Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, yaitu : pasien kambuh, pasien gagl atau pasien dengan setelah putus berobat (default).

Selama 56 hari Selama 28

hari

Selama 20 minggu 30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.

2 tablet 4KDT

2 tablet 4KDT + 2 tab Etambutal 38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj.

3 tablet

71 kg 5 tablet 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250 mg).

Dokumen terkait